Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 2 | Rukun Iman

Fasal ini membahas tentang rukun iman dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

RUKUN IMAN

أَرْكَانُ الْأِيْمانِ سِتَّةٌ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ, وَمَلَائِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَبِالْيَوْمِ الْأَخِرِ, وَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالىَ.

Rukun iman ada enam : 

1. Beriman kepada Allah

2. Beriman kepada Malaikat Malaikat Allah

3. Beriman kepada kitab kitab Allah

4. Beriman kepada utusan utusan Allah

5. Percaya pada hari akhir

6. Percaya pada takdir baik dan buruknya dari Allah Ta'aala.


Penjelasan dari kitab syarah kasyifatus saja karangan imam Nawai Al Bantani :

Syaikh Salim bin Sumair Al Hadromi berkata :

Fasal ini menjelaskan tentang segala sesuatu yang wajib diimani dan dalil dalil yang menunjukkan hakikat keimanan.

Pengertian Iman

Iman menurut bahasa berarti membenarkan secara mutlak, baik membenarkan berita yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad atau membenarkan selainnya. Sedangkan menurut istilah syara, pengertian iman adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallama, yaitu semua perkara yang diketahui secara dhorurot atau pasti dari agama.

Maksud membenarkan disini adalah omongan hati yang mengarah pada kemantapan, baik kemantapan itu dihasilkan dari dalil, yang disebut dengan ma’rifat (mengetahui), atau dihasilkan dari tanpa dalil, yang disebut taqlid (mengikuti).

Maksud omongan hati adalah sekiranya hatimu berkata, “Aku meridhoi semua perkara agama yang dibawa oleh Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallama,”

Tingkatan Tingkatan Keimanan

Tingkatan tingkatan keimanan ada lima, yaitu :

1. Iman Taqlid

Yaitu mantap dengan ucapan orang lain tanpa mengetahui dalil. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini dihukumi sah keimanannya tetapi jika dia tidak mencari dalil padahal ia mampu untuk melakukannya maka ia berdosa.

2. Iman Ilmi

Yaitu mengetahui akidah akidah beserta dalil dalilnya. Tingkatan keimanan ini disebut Ilmu Yaqin. Masing masing orang yang memiliki keimanan tingkat satu dan dua termasuk orang yang terhalang jauh dari Allah Ta'aala.

3. Iman Iyaan

Yaitu mengetahui Allah dengan pengawasan hati. Oleh karena itu, Allah tidak hilang dari mata sekedip mata pun karena rasa takut kepadanya selalu ada di hati, sehingga seolah olah orang yang memiliki tingkatan keimanan ini melihatnya di maqom muroqobah (derajat pengawasan hati). Tingkat keimanan ini disebut dengan Ainul Yaqin.

4. Iman Haq

Yaitu melihat Allah dengan hati. Tingkatan keimanan ini adalah pengertian dari para ulama,

العارف يرى ربه في كل شيء

"Orang yang makrifat kepada Allah, dia dapat melihatnya dalam segala sesuatu."

Tingkatan kimanan ini berada di maqom musyahadah dan disebut haqqulyaqiin. Orang yang memiliki kimanan ini adalah orang yang terhalang jauh dari selain Allah.

5. Iman Hakikat

Yaitu sirna bersama Allah dan mabuk karena cinta kepadanya. Oleh karena itu , orang yang memiliki tingkatan keimanan ini hanya melihat Allah. Seperti orang yang tenggelam di dalam lautan dan tidak melihat adanya tepi pantai sama sekali.

Tingkatan keimanan yang wajib dicapai seseorang adalah tingkatan yang ke Satu dan Dua. Sedangkan tingkatan keimanan yang ke tiga, empat, dan lima merupakan tingkatan tingkatan keimanan yang dikhususkan oleh Allah untuk para hambanya yang Dia kehendaki.

[nextpage]

1. Iman Kepada Allah

Rukun iman yang pertama adalah beriman kepada Allah sekiranya kamu meyakini secara tafsil (rinci) bahwa sesungguhnya Allah itu Yang Maha Ada (maujud), Tidak ada awal baginya (qodim), Kekal (baqi), Berbeda dengan makhluk (mukholif lil hawadis), Tidak membutuhkan siapa dan apapun (mustaghnin ‘an kulli syai), Esa (wahid), Kuasa (qodir), Berkehendak (murid), Mengetahui (alim), Mendengar (sami), Melihat (bashir), Berfirman (mutakallim), dan kamu meyakini secara ijmal (global) bahwa sesungguhnya Allah memiliki kesempurnaan yang tiada batas.

Ketahuilah ! Sesungguhnya segala sesuatu yang wujud dilihat dari sisi butuh atau tidak butuhnya pada tempat (mahal) dan yang mewujudkan (mukhossis) dibagi menjadi 4 (empat), yaitu :

Sesuatu yang tidak membutuhkan tempat dan juga mukhossis yaitu Dzat Allah.

Sesuatu yang membutuhkan tempat dan juga mukhossis, yaitu sifat sifat makhluk.

Sesuatu yang menempati tempat tanpa adanya mukossis, Yaitu sifat Allah Al Bari, yaitu Allah yang menciptakan makhluk dan mewujudkan mereka dari keadaan tidak ada menjadi ada.

Sesuatu yang membutuhkan mukhossis, bukan tempat, yaitu dzat makhluk.

Faedah

Barang siapa yang meninggalkan empat kata ini maka imannya telah sempurna, yaitu dimana, bagaimana, kapan dan berapa. Apabila ada orang yang bertanya kepadamu "Dimana Allah ?" Maka jawablah "Allah tidak bertempat dan tidak membutuhkan perjalanan waktu." Apabila ada seseorang yang bertanya kepadamu "Bagaimana Allah ?" Maka jawablah "Allah tidak sama dengan sesuatu apapun." Apabila ada orang bertanya kepadamu "Kapan Allah itu ada ?" Maka jawablah "Allah ada tanpa permulaan dan tidak akan pernah berakhir." Apabila ada orang yang bertanya kepadamu "Allah itu ada berapa ?" Maka jawablah "Allah adalah yang maha esa." dalam surat Al Ikhlas ayat satu "Katakanlah (Muhammad) Dialah Allah yang maha satu.

2. Iman Kepada Malaikat

Rukun iman yang kedua adalah kamu beriman kepada para Malaikat Allah, sekiranya kamu meyakini bahwa mereka adalah materi materi cahaya yang tidak berkelamin laki laki, perempuan, atau khuntsa dan yang tidak memiliki bapak dan ibu, yang benar dalam berita yang mereka sampaikan dari Allah, yang tidak makan, tidak minum, tidak menikah, tidak melestarikan keturunan, tidak tidur, tidak ditulis amal amalnya karena mereka adalah yang menulis, tidak dihisab dan tidak ditimbang amal amal mereka karena mereka tidak memiliki amal amal jelek, yang akan dikumpulkan bersama golongan jin dan manusia, yang dapat memberikan syafaat kepada mereka yang durhaka dari anak cucu Adam dan melihat orang orang mukmin di dalam surga, yang masuk surga, yang menikmati kenikmatan di surga dengan kenikmatan yang sesuai kehendak Allah, tetapi Ahmad Suhaimi berkata :

وجاء عن مجاهد ما يقتضي أ م لا يأكلون فيها ولا يشربون ولا ينكحون وأ م يكونون كما كانوا في الدنيا وهذا يقتضي أن الحور والولدان كذلك اه


“Telah diriwayatkan dari Mujahid tentang suatu riwayat yang menunjukkan bahwa para Malaikat tidak makan, tidak minum, dan tidak menikah di dalam surga, dan tentang riwayat yang menunjukkan bahwa mereka akan dalam keadaan seperti mereka ada di dunia. Riwayat ini juga menunjukkan bahwa bidadari surga dan anak anak kecil surga tidak makan, tidak minum, dan seterusnya di dalam surga.”

Para Malaikat akan mati saat tiupan pertama terompet Isrofil kecuali Malaikat Hamalatu al ‘Arsy (penggotong ‘Arsy) dan 4 (empat) pembesar mereka, yaitu Jibril, Mikail, Isrofil, dan Izroil. Adapun mereka yang dikecualikan ini akan mati setelah tiupan pertama selesai. Adapun sebelum tiupan terompet pertama maka tidak ada satupun Malaikat yang mati.

Wajib beriman secara global bahwa para Malaikat itu ada dan mencapai jumlah batas yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah, dan wajib mengimani mereka yang nama nama mereka disebutkan dan yang ditentukan atau yang jenis jenis mereka ditentukan.

Malaikat yang nama nama mereka disebutkan dan ditentukan adalah Jibril, Mikail, Isrofil, Izroil, Munkar, Nakir, Ridwan, Malik, Roqib, Atid, dan Ruman (Ruman adalah Malaikat yang mendatangi mayit di dalam qubur sebelum Munkar dan Nakir mendatanginya)

Malaikat yang jenis jenis mereka ditentukan adalah Malaikat Hamalatul Arsy, Malaikat Al Khafadzoh dan Malaikat Al Katabah.

Ahmad Qulyubi berkata : "Ketahuilah ! Sesungguhnya Jibril adalah malaikat yang paling utama secara mutlak, bahkan lebih utama daripada Isrofil, sebagaimana menurut pendapat ashoh.

Jalal Suyuti berkata “Jibril akan ikut menghadiri orang yang mati yang masih dalam keadaan masih menanggung wudhu (belum hadas).”

Sebagian ulama berkata “Malaikat yang paling utama secara urutan, mereka adalah Jibril, kemudian Isrofil, (ada yang mengatakan Isrofil dulu, kemudian Jibril), kemudian Mikail, kemudian Malaikat Maut (Izroil).”

Fahrurrozi berkata “Malaikat yang paling utama secara mutlak adalah Malaikat Hamalatu Al ‘Arsy dan Malaikat Al Hafadzoh, kemudian Jibril, kemudian Isrofil, kemudian Mikail, kemudian Malaikat Maut, kemudian Malaikat surga, kemudian Malaikat neraka, kemudian Malaikat yang dipasrahi untuk anak anak Adam, dan kemudian Malaikat yang dipasrahi bertugas untuk mengatur setiap ujung alam semesta.”

Ghazali berkata “Hamba hamba Allah yang paling dekat dengannya dan yang paling luhur derajatnya adalah Isrofil, kemudian Malaikat Malaikat lain, kemudian para Nabi, kemudian para ulama yang mengamalkan ilmunya, kemudian para pemimpin yang adil, kemudian orang orang yang sholih.”

Kamu adalah orang yang cermat bahwa yang dekat belum tentu yang lebih diunggulkan. Pendapat wajhnya adalah mendahulukan Jibril daripada Isrofil.”

Sampai sinilah perkataan Qulyubi berakhir.

[nextpage]

3. Iman Kepada Kitab Kitab Allah

Rukun iman yang ketiga adalah beriman kepada kitab kitab Allah.

Pengertian beriman kepada Kitab kitab Allah adalah membenarkan bahwa Kitab kitab itu merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada para Rasulnya Alaihimus Sholatu Wa salaama, dan semua isi kandungannya adalah benar.

Kitab Kitab itu diturunkan bisa dalam bentuk tertulis pada papan papan, seperti; Taurat, atau terdengar dengan telinga secara langsung, seperti; dalam malam Mi’roj, atau terdengar dari balik tabir, seperti yang terjadi pada Musa di Gunung Thursina, atau terdengar dari Malaikat secara langsung, seperti yang diriwayatkan bahwa kaum Yahudi berkata kepada Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam,

ألا تكلم الله وتنظر إليه إن كنت نبياً كما كلمه موسى ونظر إليه

“Sebaiknya kamu berbicara langsung kepada Allah dan melihatnya jika kamu seorang Nabi sebagaimana Musa berbicara dengannya dan melihatnya.”

لم ينظر موسى إلى الله

"Musa tidaklah melihat Allah." Kemudian diturunkan ayat :

وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحياً أو من وراء حجاب أو يرسل رسولاً فيوحي بإذنه ما يشاء (الشورى)

“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata kata dengannya kecuali dengan perantara wahyu atau dari balik tabir atau dengan mengutus seorang utusan (Malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinnya”

Suhaimi berkata dalam menafsiri ayat di atas, “Tidaklah sah bagi seorang manusia diajak berbicara oleh Allah kecuali diwahyukan kepadanya sebuah wahyu, yaitu sebuah kalimat samar yang diketahui dengan cepat seperti yang didengar oleh Ibrahim dalam mimpi, ‘Sesungguhnya Allah memerintahmu menyembelih putramu’, dan seperti yang diilhamkan kepada Ibu Musa untuk membuang Musa yang masih kecil di lautan, atau dari balik tabir atau dengan mengutus seorang utusan, yaitu Malaikat Jibril, ia mengatakan dengan perintah Tuhannya apa yang Tuhannya kehendaki kepada Rasul yang ditemui Jibril.

Cabang

Sulaiman Al Jamal berkata dengan riwayat dari Harts bin Hisyam :

كيف يأتيك الوحي؟ فقال صلى الله عليه وسلّم أحياناً يأتيني في مثل صلصلة الجرس وهو أشده علي فيفصم عني وقد وعيت ما قال وأحياناً يتمثل لي الملك رجلاً فيكلمني فأعي ما يقول والجرس بفتح الجيم والراء وهو ما يعلق على عنق الحمار وقوله فيفصم عني أي ينفصل عني ويفارقني وقوله وعيت من باب وعى أي حفظت ما قال


“Harts bertanya kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallama, ‘Bagaimana wahyu mendatangimu ?’ Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallama, menjawab, ‘Terkadang wahyu mendatangiku seperti bunyi lonceng yang keras, kemudian bunyi lonceng itu hilang dan aku telah hafal apa yang dikatakannya. Terkadang wahyu mendatangiku dengan dibawa oleh Malaikat yang menjelma seorang laki laki, kemudian ia berkata kepadaku dan aku langsung hafal apa yang ia katakan.’”

Lafadz (الجرس) dalam hadis adalah dengan fathah pada huruf jim (ج) dan roo (ر ) yaitu sesuatu (lonceng) yang digantungkan di leher hewan himar. Lafadz (فيفصم) berarti ( ينفصل عنى) dan (يفارقنى) yang berarti memisahiku. Lafadz (وعيت) adalah berasal dari bab lafadz (وعى) maksudnya aku telah menghafal apa yang ia katakan kepadaku.

Yang dimaksud dengan Kitab kitab adalah sesuatu yang mencakup lembaran lembaran. Telah masyhur bahwa jumlah Kitab kitab yang diturunkan oleh Allah ada 104. Ada yang mengatakan 114. Suhaimi berkata, “Yang benar adalah tidak perlu menentukan jumlah Kitab kitab pada hitungan tertentu. Oleh karena itu tidak perlu dikatakan, ‘Kitab Kitab itu ada 104 saja’, karena jika kamu mau meneliti riwayat riwayat yang ada maka sesungguhnya Kitab kitab itu mencapai 184."

Dengan demikian wajib meyakini secara global (ijmal) bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab kitab dari langit, tetapi wajib mengetahui empat Kitab secara tafshil (rinci), yaitu Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, dan Al Furqon (Al Quran) yang diturunkan kepada makhluk terbaik, yaitu Nabi kita, Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallama Wa Alaihim Ajma’iin.

Lembaran Lembaran (Suhuf) Nabi Ibrohim Alaihis Salam

Diriwayatkan dari hadis Abu Dzar bahwa ia berkata :

يا رسول الله فما كانت صحف إبراهيم؟ قال كانت كلها أمثالاً منها أيها الملك المسلط المبتلي المغرور إني لم أبعثك لتجمع الدنيا بعضها على بعض ولكن بعثتك لترد عني دعوة المظلوم فإني لا أردها ولو كانت من فم كافر

“Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Apa itu lembaran lembaran Ibrahim ?’ Rasulullah menjawab, ‘Semua lembaran lembaran Ibrahim adalah kalimat kalimat perumpamaan. Di antaranya adalah; Hai pemimpin yang telah dikuasai (oleh setan), yang ditimpa cobaan, dan yang tertipu! Sesungguhnya Aku tidak mengutusmu untuk mengumpulkan dunia, maksudnya mengumpulkan bagian dunia satu dengan bagiannya yang lain, tetapi aku mengutusmu agar kamu bisa menghentikan adanya doa orang-orang yang teraniaya karena Aku tidak akan menolaknya meskipun doa itu keluar dari mulut orang kafir.’”

Di antaranya lagi :

وعلى العاقل أن يكون له ساعة يناجي فيها ربه عز وجل وساعة يحاسب فيها نفسه وساعة يتفكر فيها صنع الله تعالى وساعة يخلو أي يتجرد فيها لحاجته من المطعم والمشرب

“Wajib bagi orang yang berakal memiliki (meluangkan) sebagian waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya azza wa jalla, dan memiliki sebagian waktu untuk mengintrospeksi dirinya sendiri, dan memiliki sebagian waktu untuk bertafakkur tentang ciptaan ciptaan Allah, dan memiliki sebagian waktu untuk memenuhi hajat makannya dan minumnya.”

Di antaranya lagi :

و على العاقل أن يكون بصيراً بزمانه مقبلاً على شانه حافظاً للسانه ومن عد كلامه من عمله قل كلامه إلا فيما يعنيه بفتح أوله من باب رمى أي ما تتعلق عنايته به كما قال ابن حجر في فتح المبي

“Wajib atas orang yang berakal untuk waspada terhadap masa masa (yang dilalui) nya, menghadapi keadaan (zamannya), dan menjaga lisannya. Barang siapa menghitung hitung omongannya daripada amalnya maka omongannya akan sedikit kecuali dalam jenis omongan yang bermanfaat baginya,” maksudnya hanya banyak omongan tentang hal hal yang bermanfaat baginya.

Lafadz (يعنيه) adalah dengan fathah pada huruf awal, yaitu yaa (ي)Lafadz tersebut termasuk dalam bab lafadz (رمي) maksud pengertiannya adalah omongan yang berhubungan dengan adanya pertolongan bagi dirinya, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathu Al Mubiin.

Lembaran Lembaran (Suhuf) Nabi Musa Alaihis Salam

Abu Dzar juga berkata bahwa ia bertanya :

يا رسول الله فما كانت صحف موسى؟ قال كانت كلها عبراً بكسر العين وفتح الباء جمع عبرة بسكو ها مثل سدر وسدرة أي مواعظ ومنها عجبت لمن أيقن بالموت كيف يفرح، عجبت لمن أيقن بالنار كيف يضحك، عجبت لمن يرى الدنيا وتقلبها بأهلها كيف يطمئن إليها عجبت لمن أيقن بالقدر ثم يتعب وفي نسخة كيف يغضب عجبت لمن أيقن بالحساب ثم لا يعمل

“Wahai Rasulullah! Apa itu lembaran lembaran Musa?” Rasulullah menjawab, “Lembaran lembaran Musa mengandung nasehat nasehat. Di antaranya adalah ‘Aku heran dengan orang yang meyakini adanya kematian, bagaimana bisa ia merasa senang ? Aku heran dengan orang yang meyakini adanya neraka, bagaimana bisa ia tertawa ? Aku heran dengan orang yang melihat dunia dan melihat bagaimana dunia mengontang antingkan pengikutnya ? Bagaimana ia bisa merasa tenang tenang saja mengejar dunia ? Aku heran dengan orang yang meyakini adanya Qodar, bagaimana bisa dia tidak terima atau marah dengan keadaan (nasibnya) ? Aku heran dengan orang yang meyakini adanya penghitungan amal (hisab), bagaimana bisa ia tidak beramal ?’”

Di dalam Taurat disebutkan :

يا ابن آدم لا تخف من سلطان ما دام سلطاني باقياً وسلطاني باق لا ينفد أبداً بفتح الفاء وبالدال المهملة أي لا يفنى ولا ينقطع يا ابن آدم خلقتك لعبادتي فلا تلعب يا ابن آدم لا تخافن فوات الرزق ما دامت خزائني مملوءة وخزائني لا تنفد أبداً يا ابن آدم خلقت السموات والأرض ولم أعي بخلقهن أيعييني رغيف واحد أسوقه إليك في كل حين

Wahai anak cucu Adam ! Janganlah takut dengan kekuasaan seseorang selama kekuasaan-Ku masih tetap dan Kekuasaanku akan selalu tetap dan tidak akan sirna selama lamanya. Hai anak cucu Adam! Aku telah menciptakanmu agar kamu beribadah kepadaku. Oleh karena itu, janganlah kamu bermain main !

Hai anak cucu Adam ! Janganlah kamu takut dengan rizki yang sedikit selama gedung gedung rizkiku itu penuh banyak. Dan (sesungguhnya) gedung gedung rizkiku itu tidak akan sirna/habis selama lamanya.

Wahai anak cucu Adam ! Aku telah menciptakan langit dan bumi. Aku tidaklah lemah dalam menciptakan semuanya. Apakah kamu menganggapku lemah untuk memberikan satu roti yang Aku bagikan setiap waktu kepadamu ?

Hai anak cucu Adam ! Sebagaimana Aku tidak menuntutmu dengan amal besok, maka janganlah kamu menuntutku dengan rizki besok !

Hai anak cucu Adam ! Wajib atasmu melakukan kefardhuan untukku dan wajib atasku memberikan rizki kepadamu. Kemudian apabila kamu tidak mentaati kefardhuanku maka Aku tetap memberimu rizki sesuai apa yang telah ditetapkan.

Hai anak cucu Adam ! Apabila kamu ridho dengan apa yang telah Aku bagikan untukmu maka sungguh kamu telah memuaskan tubuhmu dan hatimu. Dan apabila kamu tidak ridho dengan apa yang telah Aku bagikan untukmu maka Aku menguasakan dunia untuk mengalahkanmu sehingga kamu akan bingung di dunia sebagaimana binatang binatang liar merasa bingung di lahan yang lapang. Demi kemuliaan dan keagunganku ! Kamu tidak akan memperoleh dari dunia kecuali apa yang telah Aku bagikan kepadamu dan kamu disisiku adalah orang yang tercela.”

[nextpage]

4. Iman Kepada Para Rasul

Rukun iman yang keempat adalah beriman kepada utusan utusan Allah. Mereka adalah hamba hamba Allah yang paling mulia. Dia berfirman, “Masing masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).”

Cara mengimani mereka adalah dengan kamu meyakini bahwa sesungguhnya Allah telah mengutus para Rasul kepada makhluk. Mereka adalah para laki laki yang tidak diketahui jumlahnya kecuali hanya Allah yang mengetahui. Rasul yang pertama kali adalah Adam dan yang terakhir dan yang paling utama di antara mereka adalah pemimpin kita, Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallama. Mereka semua berasal dari keturunan Adam, Alaihis Salaam. Mereka adalah orang orang yang jujur dalam berkata tentang pengakuan sebagai Rasul, dan yang jujur dalam apa yang mereka sampaikan dari Allah Ta’aala, dan yang jujur dalam perkataan perkataan umum, seperti aku telah makan, aku telah minum, dan lain lain. Mereka adalah orang orang yang terjaga dari melakukan keharaman atau kemakruhan. Mereka adalah orang orang yang menyampaikan apa yang diperintahkan untuk disampaikan kepada makhluk meskipun bukan hal hal yang berkaitan dengan hukum hukum. Mereka adalah orang orang yang cerdas sekiranya mereka itu memiliki kemampuan untuk menghadapi perselisihan, berdebat, dan mengalahkan tuduhan tuduhan lawan debat mereka. Empat sifat ini (jujur, menyampaikan wahyu, cerdas, dan amanah) adalah sifat sifat bagi para Rasul.

Pendapat shohih menyebutkan bahwa tidak perlu menghitung atau menentukan jumlah para Nabi dan Rasul karena terkadang menghitung mereka dapat menetapkan sifat kerasulan dan kenabian pada orang yang sebenarnya tidak memiliki sifat tersebut, atau terkadang menafikan sifat kerasulan dan kenabian dari orang yang sebenarnya memiliki sifat tersebut. Dengan demikian, kita hanya wajib membenarkan secara global atau ijmal bahwa Allah memiliki para Rasul dan para Nabi.

Suhaimi berkata :

Wajib atas orang yang beriman untuk mengetahui dan mengajarkan anak anak dan istri istrinya tentang nama nama Rasul yang disebutkan di dalam Al Quran, sehingga mereka semua dapat membenarkan dan mengimani para Rasul secara rinci atau tafsil dan sehingga mereka tidak menganggap kalau yang wajib diimani hanya Nabi Muhammad saja, karena mengimani seluruh Nabi, baik nama mereka disebutkan di dalam al Quran atau tidak, adalah perkara yang wajib atas setiap mukallaf.

Mereka yang disebutkan dalam Al Quran ada 26 atau 25 yang telah aku nadzomkan :

كآدم زكريا بعد يونسهم * أسماء رسل بقرآن عليك تجب
Nama nama Rasul yang disebutkan di dalam Al Quran yang wajib atasmu mengimani mereka adalah * Adam, Zakaria, Yunus
إسحاق يعقوب إسماعيل صالحهم * نوح وإدريس إبراهيم واليسع
Nuh, Idris, Ibrahim, Yasak, * Ishak, Ya’qub, Ismail, Sholih
داود هود عزير ثم يوسفهم * أيوب هارون موسى مع شعيبهم
Ayub, Harun, Musa, Syu’aib, * Daud, Hud, Uzair, Yusuf,
يحيى سليمان عيسى مع محمدهم * لوط والياس ذي الكفل أو اتحدا
Lut, Ilyas, Dzulkifli, atau bisa kedua-duanya, * Yahya, Sulaiman, Isa, Muhammad

Nadzom ini berpola bahar basit. Arti bunyi nadzom, “atau bisa kedua duanya” adalah bahwa ada yang mengatakan kalau Dzulkifli adalah Ilyas. Ada pula yang mengatakan bahwa Dzulkifli adalah Yusak. Ada yang mengatakan bahwa Dzulkifli adalah Zakaria. Ada yang mengatakan bahwa Dzulkifli adalah Huzqail bin Ajuuz (Ajuuz berarti tua renta) karena ibunya sudah tua renta. Kemudian ibunya yang sudah tua itu meminta kepada Allah agar diberi seorang anak. Lalu Allah memberinya Huzqoil itu.” Sampai sinilah perkataan Suhaimi berakhir.

Pengarang kitab Bad ul Kholqi berkata, “Wahab berkata, ‘Basyar bin Ayub dikenal dengan Dzulkifli. Ia bermukim di tanah Syam sepanjang hidupnya hingga ia meninggal dunia. Umurnya adalah 75 tahun. Ia adalah Rasul sebelum Syuaib.”

Dari 25 Rasul tersebut, ada yang dijuluki dengan Ulul Azmi. Mereka berjumlah 5 (lima). Wajib (atas mukallaf) mengetahui urutan keutamaan mereka karena keutamaan mereka tidaklah sama. Yang dimaksud dengan kata ‘Azmi’ disini berarti bersabar dan menanggung beban berat atau berarti kemantapan, seperti yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dalam ayat Al Quran.

Urutan mereka dari yang paling utama adalah Nabi Muhammad, kemudian Nabi Ibrahim, kemudian Nabi Musa, kemudian Nabi Isa, kemudian Nabi Nuh Sholawatullah Wa Salaamuhu Alaihim Ajma’iin.

Dari segi keutamaan, setelah Ulul Azmi adalah para Rasul yang lain, kemudian para Nabi yang lain. Sebenarnya para Rasul dan para Nabi memiliki tingkatan tingkatan yang berbeda beda dari segi siapa yang lebih utama di antara mereka di sisi Allah, tetapi kita tidak bisa menentukannya karena tidak ada keterangan yang menjelaskan tentang hal tersebut. Setelah mereka, kemudian para pembesar Malaikat, seperti Jibril dan selainnya, kemudian para wali, terutama Abu Bakar dan para sahabat yang lain, karena ada hadis Rasulullah :

إن الله اختار أصحابي على العالمين سوى النبيين والمرسلين ثم عوام الملائكة ثم عوام البشر

“Sesungguhnya Allah telah memilih/mengutamakan para sahabatku dibanding makhluk lainnya selain para Nabi dan Rasul, kemudian memilih para Malaikat pada umumnya, kemudian para manusia pada umumnya.”

Idhoh

Al Fasyani berkata, “Para Malaikat didahulukan penyebutannya daripada para Rasul (dalam bunyi hadis) karena mengikuti urutan dari segi siapa yang lebih dahulu diciptakan oleh Allah, karena Malaikat adalah lebih dahulu diciptakan olehnya daripada para Rasul, atau dari segi urutan sebenarnya dalam hal terutus, karena Allah mengutus para Malaikat terlebih dahulu, kemudian Malaikat menyampaikannya kepada para Rasul.”

[nextpage]

5. Iman Kepada Hari Kiamat

Rukun iman yang kelima adalah beriman kepada Hari Akhir dengan cara membenarkan keberadaannya dan membenarkan segala sesuatu yang tercakup di dalam Hari Akhir, seperti dikumpulkannya seluruh makhluk (hasyr), penghitungan amal (hisab), pembalasan amal (jaza), surga, dan neraka.

Hari Akhir disebut dengan nama hari akhir karena tidak ada malam dan siang setelah hari tersebut. Tidak bisa disebut dengan hari tanpa menyebutkan qoyidnya, kecuali apabila disertai dengan malam setelahnya. Atau Hari Akhir disebut dengan nama hari akhir adalah karena hari tersebut merupakan akhir waktu yang terbatasi, maksudnya, akhir hari hari dunia, oleh karena itu, tidak ada hari lain setelahnya, atau karena hari tersebut memang berada di akhir dari hari hari dunia.

Permulaan Hari Akhir dimulai dari tiupan terompet yang kedua sampai tidak ada akhirnya. Ini adalah pendapat yang benar.

Ada yang mengatakan bahwa Hari Akhir berakhir sampai para makhluk menetap di surga dan neraka. Oleh karena itu, permulaan Hari Akhir terjadi di alam dunia dan akhirnya terjadi di alam akhirat.

Hari Akhir disebut juga dengan Hari Kiamat karena qiyamnya atau bangkitnya makhluk makhluk yang mati dari kuburan mereka.

Sedangkan alam kubur termasuk dari alam dunia. Ada yang mengatakan bahwa alam kubur merupakan pemisah antara alam dunia dan alam akhirat.

Ada yang mengatakan bahwa Hari Kiamat dimulai dari kematian mayit, sehingga alam kubur termasuk alam akhirat. Oleh karena itu, para ulama berkata, “Barang siapa telah meninggal dunia maka kiamatnya telah datang, maksudnya Kiamat Sughro.” Kematian seseorang disebut dengan kiamat karena qiyamnya atau bangkitnya mayit dari tidur miring, kemudian duduk untuk ditanyai dua Malaikat Munkar dan Nakir, kemudian dihimpit oleh kuburan, sehingga demikian ini menyerupai dengan Kiamat Kubro.

Zamahsyari berkata, “Permulaan Hari Kiamat adalah dari waktu dikumpulkannya seluruh makhluk (hasyr) sampai tidak ada akhirnya atau sampai penduduk surga masuk ke dalam surga dan penduduk neraka masuk ke dalam neraka.”

Lamanya Hari Akhir bagi orang orang kafir adalah 50.000 tahun karena dahsyatnya kesulitan kesulitan yang terjadi pada hari itu, dan lamanya Hari Akhir adalah lebih sebentar daripada sholat wajib di dunia bagi orang orang mukmin yang sholih, dan lamanya Hari Akhir adalah sedang sedang bagi orang orang mukmin yang durhaka atau yang ahli maksiat.

Ada yang mengatakan bahwa di dalam Hari Kiamat terdapat 50 medan yang setiap medan ditempuh selama 1000 tahun.

Kami meminta kepada Allah ta’ala agar meringankan Hari Kiamat bagi kami dengan anugerah dan pemberiannya.

Demikian di atas diceritakan oleh Suhaimi dan Fasyani.

[nextpage]

6. Iman Kepada Qodar

Rukun iman yang keenam adalah beriman kepada Qodar bahwa baik dan buruknya merupakan dari Allah Ta’aala.

Fasyani berkata, “Pengertian beriman dengan qodar adalah kamu meyakini bahwa sesungguhnya Allah telah mentakdirkan kebaikan dan keburukan sebelum menciptakan makhluk, dan meyakini bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terwujud adalah sesuai dengan qodho dan qodar Allah. Dialah yang Maha Menghendaki semuanya itu. Dicukupkan adanya keyakinan yang mantap tentang hal di atas tanpa menegaskan dalil.

Sayyid Abdullah Al Murghini berkata, “Beriman dengan qodar adalah membenarkan bahwa segala sesuatu yang telah wujud dan yang akan wujud adalah sesuai dengan takdir Allah yang berkata kepada segala sesuatu, ‘Jadilah ! Maka sesuatu itu jadi, baik atau buruk, bermanfaat atau berbahaya, manis atau pahit.’”

Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallama bersabda :

كل شيء بقضاء وقدر حتى العجز والكيس وقال صلى الله عليه وسلّم لا يؤمن عبد بالله حتى يؤمن بالقدر خيره وشره رواه الترمذي


“Segala sesuatu pasti sesuai dengan qodho dan qodar, bahkan kelemahan dan kecerdasan sekalipun.” Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Tidaklah seseorang beriman kepada Allah hingga ia beriman dengan qodar, baik atau buruknya.” (HR. Turmudzi)

Adapun hadis Muslim dalam doa Iftitah (والشر ليس اليك) maka maksudnya adalah tidak ada keburukan yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepadamu atau keburukan tidak diperbolehkan untuk disandarkan kepada Allah demi tujuan berbuat adab, karena yang pantas adalah menyandarkan kebaikan kepada Allah dan menyandarkan keburukan kepada diri sendiri demi tujuan berbuat adab, karena Allah berfirman :

ما أصابك من حسنة فمن الله – أي إيجاداً وخلقاً - وما أصابك من سيئة فمن نفسك


“Apa saja bentuk kebaikan yang menimpamu maka itu adalah dari Allah – dari segi mewujudkan dan menciptakan – dan apa saja keburukan yang menimpamu maka itu adalah dari dirimu sendiri" dari segi melakukan, bukan menciptakan. Sebagai mana ditafsiri oleh firman Allah :

وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم لأن القرآن يفسر بعضه من بعض

“Apa saja musibah yang menimpa kalian maka itu dikarenakan apa yang telah kalian perbuat,” karena ayat Al Quran dapat menafsiri ayat yang lain.

Adapun firman Allah :

قل كل من عند الله

“Katakanlah ! Segala sesuatu berasal dari sisi Allah,” maka dikembalikan pada hakikatnya. Lihatlah adab Nabi Khidr Alaihis Salam, sekiranya ia berkata :

فأراد ربك أن يبلغا أشدهما

“Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai pada kedewasaannya.” dan ia berkata :

فأردت أن أعيبها

“dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu.”

Berangan anganlah tentang perkataan Nabi Ibrohim Al Kholil Alaihis Salam :

الذي خلقني فهو يهدين والذي هو يطعمني ويسقين وإذا مرضت فهو يشفين حيث نسب الهداية والإطعام والشفاء الله والمرض لنفسه

“(yaitu Allah) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjukkan aku, dan Tuhanku, Dia memberi makan dan minum kepadaku, apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” Dalam ayat ayat ini, Nabi Ibrahim menisbatkan petunjuk, memberi makan, dan mengobati kepada Allah dan menisbatkan sakit kepada dirinya sendiri. Ibrahim tidak berkata, “Dialah yang membuatku sakit” karena berbuat adab. Apabila tidak ada tujuan berbuat adab maka sesungguhnya segala sesuatu berasal dari perbuatan perbuatan Allah. Dia berfirman :

والله خلقكم وما تعملون

“Allahlah yang telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” Maksud ‘apa yang kalian perbuat itu’ adalah hal yang baik dan yang buruk, hal yang karena kehendak sendiri atau bukan kerena kehendak sendiri. Tidak ada bagi seorang hamba kecuali hanya condong ketika dalam keadaan berkehendak sendiri. Oleh karena itu, ia dituntut untuk bertaubat, berjanji tidak akan mengulangi, kecewa, dan berhak untuk menerima ta’zir, had, pahala, dan siksa. Kecondongan ini disebut dengan berbuat. Berbuat adalah ta’alluq dari sifat Qudroh Haditsah. Ada yang mengatakan bahwa berbuat itu adalah Irodah Haditsah.

Cabang

Para ulama telah berselisih pendapat tentang pengertian Qodho dan Qodar. Menurut Asya’iroh, pengertian Qodho adalah kehendak Allah terhadap sesuatu di zaman azali sesuai dengan kenyataan sesuatu tersebut di zaman bukan azali. Sedangkan pengertian Qodar menurut mereka adalah bahwa Allah mewujudkan sesuatu sesuai dengan kadar tertentu yang sesuai dengan kehendak. Dengan demikian, kehendak Allah di zaman azali, yang berhubungan dengan bahwa kamu akan menjadi orang yang berilmu adalah contoh Qodho. Sedangkan Allah mewujudkan ilmu dalam dirimu setelah kamu diwujudkan sesuai dengan kehendaknya adalah contoh Qodar.

Adapun menurut Maturidiah maka pengertian Qodho adalah bahwa Allah mewujudkan sesuatu disertai menambahkan penyempurnaan yang sesuai dengan pengetahuannya ta’aala, maksudnya, pembatasan dari Allah di zaman azali terhadap setiap makhluk dengan batasan yang ditemukan pada setiap makhluk itu, yaitu berupa batasan baik, buruk, bermanfaat, berbahaya, dan lain lain, maksudnya pengetahuan Allah di zaman azali terhadap sifat sifat makhluk. Ada yang mengatakan bahwa pengertian Qodho adalah pengetahuan Allah yang azali disertai hubungannya dengan sesuatu yang diketahui. Sedangkan pengertian Qodar menurut mereka adalah bahwa Allah mewujudkan sesuatu sesuai dengan pengetahuan itu. Dengan demikian, pengetahuan Allah di zaman azali tentang seseorang akan menjadi orang yang berilmu setelah ia diwujudkan adalah contoh Qodho. Sedangkan Allah mewujudkan ilmu pada dirinya setelah ia diwujudkan adalah contoh Qodar. Pendapat ini dan pendapat Asya’iroh tentang Qodho dan Qodar adalah pendapat yang masyhur.

Menurut masing masing pendapat, maka Qodho Allah adalah qodim dan Qodarnya adalah Haadis, berbeda dengan pendapat Maturidiah.

Ada yang mengatakan bahwa masing masing Qodho dan Qodar berarti kehendak Allah Ta’al.

Tafsil

Sulaiman Al Jamal berkata, seperti yang dikatakan oleh Al Fuyumi dalam kitab Al Misbah, “Lafadz (القدر) dengan hanya fathah pada huruf (د) berarti qodho yang ditakdirkan oleh Allah. Lafadz (القدر) dengan sukun dan bisa fathah pada huruf (د) berarti ukuran dan jumlah. Boleh dikatakan (هذا قدر هذا) yang berarti ini adalah seukuran ini. Adapun lafadz (القدر) dalam Firman Allah Ta’aala, ( انا أنزلناه فى ليلة القدر) maka maksud lafadz (القدر) adalah malam mentakdirkan atau (ليلة التقدير) (Lailatul Takdir). Mengapa malam itu disebut dengan lailatul takdir adalah karena Allah mentakdirkan (menetapkan) perkara perkara yang Dia kehendaki sampai pada malam lailatul takdir di tahun tahun berikut berikutnya. Perkara perkara itu adalah seperti : kematian, ajal, rizki, dan lain lain. Allah memasrahkan perkara perkaranya itu kepada para petugasnya, yaitu 4 (empat) Malaikat; Isrofil, Mikail, Izrail, dan Jibril ‘alaihim As Salam. Mujahid berkata bahwa malam lailatu Al Qodar disebut lailatu Al Hukm. Ada yang mengatakan disebut dengan lailatu Asy Syarof dan lailatu Al ‘Udzmi. Ada yang mengatakan pula disebut dengan Lailatu Ad Doiq atau malam kesempitan (kepadatan) karena padatnya tugas yang harus dilakukan oleh para Malaikat pada malam itu. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Allah menetapkan qodho qodhonya pada malam separuh Sya’ban dan memasrahkan kepada para petugasnya di malam lailatu Al Qodr.

Hal di atas bukan berarti bahwa pentakdiran Allah terjadi pada malam lailatu Al Qodr karena Allah telah mentaqdirkan segala taqdirnya di zaman Azali sebelum menciptakan langit dan bumi, tetapi maksudnya adalah bahwa Allah memperlihatkan takdir takdirnya kepada para Malaikat di malam lailatu Al Qodr.

Dalil Naqli Rukun Islam Dan Iman

Tanbih

Syeh Salim bin Sumair Al Khadromi menyebutkan penjelasan tentang rukun rukun Islam dan rukun rukun iman terlebih dahulu dikarenakan penjelasan tentang itu merupakan objek pembahasan yang sangat penting karena mencakup seluruh perbuatan perbuatan ibadah yang dzohir dan batin. Bahkan, Jufri berkata, “Tidaklah pantas bagi orang yang berakal ketika ia ditanya tentang rukun rukun Islam dan rukun rukun iman, kemudian ia tidak bisa menjawab, padahal ia menganggap dirinya sebagai orang muslim dan mukmin.”

Rukun rukun Islam dan Iman terkutip dari hadis Sayyidina Jibril ‘alaihis Salam, seperti yang disebutkan dalam kitab Arba’in Nawawi, bahwa diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu‘anhu bahwa ia berkata :

بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلّم ذات يوم إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر لا يرى عليه أثر السفر ولا يعرفه منا أحد حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وسلّم فأسند ركبتيه إلى ركبتيه ووضع كفيه على فخذيه وقال يا محمد أخبرني عن الإسلام فقال رسول الله صلى الله عليه وسلّم الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا قال صدقت فتعجبنا له يسأله ويصدقه قال فأخبرني عن الإيمان قال أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره قال صدقت قال فأخبرني عن الإحسان قال أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك قال فأخبرني عن الساعة قال ما المسؤول عنها بأعلم من السائل قال فأخبرني عن أمارا ا قال أن تلد الأمة ربتها وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاة يتطاولون في البنيان ثم انطلق فلبث ملياً ثم قال يا عمر أتدري من السائل؟ قلت الله ورسوله أعلم قال فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم رواه مسلم

Suatu ketika kami duduk disamping Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Tiba tiba datanglah seorang laki laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, dan tidak ada bekas bekas kalau ia adalah seorang musafir, serta tidak ada satupun dari kami yang mengenalnya. Laki laki itu duduk mendekati Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Laki laki itu menyandarkan kedua lututnya berdekatan dengan kedua lutut Rasulullah sambil laki laki itu meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Rasulullah. Kemudian ia berkata, “Hai Muhammad! Beritahu aku tentang Islam !”,

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama menjawab, “Islam adalah kamu bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, kamu mendirikan sholat, kamu menunaikan zakat, kamu berpuasa di bulan Ramadhan, dan kamu berhaji ke Baitullah jika mampu perjalanannya.” Laki laki itu berkata, “Kamu benar !"

Kami para sahabat sangat terkejut dan heran kepada laki laki itu. Ia bertanya kepada Rasulullah dan membenarkan jawaban beliau.

“Beritahu aku tentang Iman !” kata laki laki itu. Rasulullah menjawab, “Iman adalah kamu mengimani (mempercayai) Allah, para Malaikatnya, Kitab kitabnya, para Rasulnya, Hari Akhir, dan Qodar, baik dan buruknya.” Laki laki itu berkata, “Kamu benar. Beritahu aku tentang Ihsan!” Rasulullah menjawab, “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seolah olah kamu melihatnya. Apabila kamu tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Laki laki itu berkata lagi, “Beritahu aku tentang Hari Kiamat!” Rasulullah menjawab, “Tidaklah orang yang ditanya tentang Hari Kiamat itu lebih mengetahui daripada yang bertanya.” Laki laki itu berkata, “Beritahu aku tentang tanda tanda Hari Kiamat!” Rasulullah menjawab, “(Tanda tanda Hari Kiamat adalah) amat atau budak perempuan melahirkan majikan atau nyonyanya sendiri, kamu melihat orang orang yang bertelanjang kaki dan dada, yang miskin, dan yang hanya berprofesi sebagai penggembala domba berlomba lomba meninggikan bangunan rumah.”

Setelah itu, laki laki itu pergi. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama diam. Lalu beliau berkata, “Hai Umar! Apakah kamu tahu siapa tadi yang bertanya?”

Umar menjawab, “Allah dan Rasulnya lebih mengetahuinya.”

Rasulullah menjelaskan, “Yang bertanya barusan adalah Jibril. Ia datang kemari untuk mengajari agama kalian.”

Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim.

Bunyi hadis (ووضع كفيه على فخذيه) berarti Laki laki itu meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Malaikat Jibril yang menjelma sebagai seorang laki laki melakukan hal demikian itu karena merasa sudah akrab dengan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dengan melihat hubungan keakraban yang terjadi antara mereka berdua ketika Jibril mendatangi Rasulullah dengan membawa wahyu.

Perbuatan Malaikat Jibril di atas dijelaskan secara gamblang atau tersurat menurut riwayat Nasai dari hadis Abu Hurairah dan Abu Dzar bahwa ia berkata, “Laki laki itu meletakkan kedua tangannya di atas kedua lutut Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.”

Bunyi hadis,(الاحسان) berarti bahwa yang dimaksud dengan ihsan adalah ikhlas. Bisa juga yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Tafsiran membaguskan amal adalah lebih khusus daripada tafsiran ikhlas.

Bunyi dalam hadis, ‘kamu beribadah kepada Allah seolah olah kamu melihatnya. Apabila kamu tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya Allah melihatmu,’ adalah kesimpulan dari seluruh sabda sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama karena pernyataan dalam hadis tersebut mencakup maqom musyahadah dan maqom muroqobah.

Jelasnya adalah bahwa hamba memiliki tiga maqom atau tingkatan dalam ibadahnya, yaitu :

Hamba melakukan ibadah dengan tata cara yang telah memenuhi tuntutan syariat, yaitu sekiranya ibadahnya telah memenuhi syarat syarat dan rukun rukun.

Hamba melakukan ibadah dengan tata cara nomer pertama, dan ia telah tenggelam dalam lautan maqom mukasyafah sehingga seolah olah ia melihat Allah dalam ibadahnya. Ini adalah tingkatan atau maqom Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, sebagaimana beliau bersabda, “Aku menjadikan penghibur hatiku dalam sholat.”

Hamba melakukan ibadah dengan tata cara nomer pertama disertai ia telah dikuasai dengan keadaan bahwa Allah melihatnya. Ini adalah maqom Muroqobah.

Oleh karena itu, dalam perkataan hadis, ‘Apabila kamu tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya Allah melihatmu,’ adalah penurunan dari maqom mukasyafah ke maqom muroqobah, maksudnya jika kamu beribadah kepada Allah dengan keadaan yang mana kamu bukan termasuk ahli melihatnya maka beribadahlah kepadanya dengan keadaanmu yang meyakini bahwa Allah melihatmu.

Dengan demikian, masing masing dari tiga maqom di atas disebut dengan ihsan, hanya saja ihsan yang merupakan syarat sahnya ibadah hanya pada maqom yang kesatu karena ihsan pada maqom yang kedua dan ketiga adalah ihsan yang merupakan sifat yang hanya diberikan kepada orang orang tertentu atau khowas dan sangat sulit bagi kebanyakan orang untuk memilikinya.

Bunyi hadis ‘Beritahu aku tentang Hari Kiamat’, bermaksud ‘Beritahu aku tentang kapan terjadinya Hari Kiamat.’

Bunyi hadis ‘Tidaklah orang yang ditanya tentangnya’ bermaksud ‘Tidaklah orang yang ditanya tentang waktunya’.

Bunyi hadis ‘lebih mengetahui daripada yang bertanya’ bermaksud bahwa Rasulullah dan Jibril sama sama tidak mengetahui kapan terjadinya Hari Kiamat.

Bunyi hadis 'Tentang tanda tanda Hari Kiamat!' yang diungkapkan dengan (عن علاماتها) adalah dengan fathah pada huruf (ء), berarti (عن علاماتها) seperti yang disebutkan dalam kitab Al Misbah, "Lafadz (الأمارة) dan (العلامة) adalah sama dari segi wazan dan arti'" adapun lafadz (الأمارة) dengan dibaca kasroh pada huruf (ء) maka berarti sifat kewalian atau sifat kepemimpinan.

Maksud tanda tanda Hari Kiamat adalah tanda tanda sebelum terjadinya Hari Kiamat, bukan tanda tanda yang menyertai terjadinya Hari Kiamat yang seperti terbitnya matahari dari arah barat dan keluarnya Daabah atau hewan melata. Oleh karena maksudnya adalah tanda tanda sebelum terjadinya Hari Kiamat, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata :

أن تلد الأمة ربتها وفي رواية ربها

‘Budak perempuan melahirkan majikan atau nyonyanya sendiri.’ Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Budak perempuan melahirkan majikan atau tuannya sendiri.’

Pernyataan dalam hadis ‘Budak perempuan melahirkan majikannya sendiri,’ masih diperselisihkan oleh para ulama tentang maksudnya hingga menghasilkan beberapa macam pendapat :

Pendapat ashoh mengatakan bahwa pernyataan tersebut menginformasikan tentang banyaknya sarori (para budak perempuan) dan anak anak mereka. Dan anak laki laki mereka yang hasil dari tuan menempati kedudukan derajat tuan mereka sendiri karena harta seseorang akan menjadi milik anak laki lakinya, kemudian terkadang harta tersebut akan dibelanjakan oleh anak laki laki itu sebagaimana harta dibelanjakan oleh para pemilik asli dengan adanya izin untuk membelanjakan, qorinatu Al Haal atau izin yang diindikasikan oleh keadaan, atau izin pembelanjakan berdasarkan keadaan umumnya. Sebagian ulama mengartikan pernyataan di atas dengan pengertian bahwa orang orang muslim banyak menguasai negara negara orang orang kafir. Kemudian para sarori menjadi banyak. Kemudian anak laki laki amat (budak perempuan) yang hasil dari tuannya menempati kedudukan tuannya dalam segi derajat (status sosial) karena derajat anak laki laki itu menjadi luhur sebab ayahnya.

Para budak amat melahirkan para pemimpin. Oleh karena itu, ibu anak laki laki yang merupakan hasil dari tuan termasuk golongan rakyat anaknya sendiri karena anaknya itu adalah tuan ibunya sendiri.

Keadaan para manusia akan hancur atau kacau. Para ibu (yang budak) dari anak anak yang hasil dari tuan mereka akan banyak dijual di akhir zaman. Para ibu tersebut berada di tangan banyak pembeli. Tanpa sengaja, pembeli mereka adalah anak anak mereka sendiri, tetapi anak anak mereka tidak mengetahui kalau budak budak perempuan yang mereka beli adalah ibu mereka sendiri. Setelah terbeli, akan banyak terjadi kasus anak berdurhaka kepada ibu karena anak (yang berkedudukan sebagai tuan) akan memperlakukan ibu (yang berkedudukan sebagai budaknya anak) dengan penghinaan atau omongan tercela sebagaimana sayyid atau tuan memperlakukan budak budaknya.

Bunyi dalam hadis (و ان ترى الحفاة) adalah dengan dhommah pada huruf (ح) yaitu bentuk jamak dari mufrod (حاف) Pengertiannya adalah orang yang tidak memakai alas kaki.

Bunyi dalam hadis (العراة) adalah merupakan bentuk jamak dari mufrod (عار) yaitu orang yang tidak mengenakan apapun pada tubuhnya.

Bunyi dalam hadis (العالة) adalah dengan fathah pada huruf (ل) yang tidak ditasydid, yaitu bentuk jamak dari mufrod (عائل) Lafadz (العالة) dengan mngikuti wazan (فعلة) seperti lafadz (كافر كفرة) Arti (العالة) adalah orang orang fakir.

Bunyi dalam hadis (رعاء الشاة) adalah dengan kasroh pada huruf (ر) dan dengan hamzah mamdudah, yaitu bentuk jamak dari mufrod (راع) Adapun lafadz (رعاء) dengan dhommah pada huruf (ر) maka wajib adanya huruf Taak Marbutoh seperti lafadz (قاض, قضاة) seperti disebutkan dalam kitab Al Misbah. Asal arti (الرعي) adalah menjaga. Sedangkan lafadz (الشاء) adalah dengan hamzah yang berarti kambing kambing. Lafadz (الشاء) adalah bentuk jamak dari mufrod (شاة) yaitu merupakan bentuk jamak, antara bentuk jamak dan mufrodnya dapat dibedakan dengan adanya huruf Haa. Begitu juga lafadz (شاة) dapat dijamakkan ke dalam lafadz (شياه) dengan huruf Haa. Lafadz (رعاء الشاء) yang berarti para penggembala kambing kambing dikhususkan untuk disebut di dalam hadis karena mereka adalah ahlul badiah atau orang orang pedalaman.

Bunyi dalam hadis (يتطاولون فى البنيان) berarti mereka unggul unggulan dalam meninggikan bangunan. Maksud hadis adalah memberitahukan tentang pergantian keadaan atau perubahan dengan ditunjukannya satu fenomena kenyataan bahwa ahlul badiah atau orang orang miskin akan berusaha menyaingi dan menguasai ahlul khadiroh atau orang orang kaya. Mereka yang ahlul badiah akan memperoleh atau merebut harta harta kaum ahlul hadiroh secara paksa dan dzalim sehingga mereka akan berlimpah rumah faniah mereka (الفانية). Pengertian faniah (الفانية) adalah harta benda yang banyak memiliki himmah (fungsi) / (الهمة). Ahlul badiah menggunakan harta harta itu untuk memperluas atau memperpanjang dan meninggikan bangunan (misal rumah) dengan bata (dan lain lain).

Lafadz (الهمة) dengan dibaca kasroh pada huruf (ه) berarti keadaan pertama kali saat memiliki tujuan. Terkadang lafadz tersebut diartikan dengan tujuan yang kuat, seperti yang disebutkan dalam kitab Al Misbah.

Bunyi dalam hadis (ثم انطلق) berarti laki laki yang bertanya itu pergi.

Bunyi dalam hadis (لبث) berarti bahwa kemudian Rasulullah diam tidak berkata dalam hal ini. Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadz (لبثتُ) dengan huruf (ت) yang didhommah sehingga yang diam adalah Umar selaku orang yang memberitahukan hadis.

Bunyi dalam hadis (مليا) adalah dengan tasydid pada huruf (ي) maksudnya (diam) dalam waktu yang lama. Waktu diam tersebut terjadi 3 kali, seperti yang disebutkan dalam riwayat Abu Daud, Turmudzi, dan lain lain.

Bunyi dalam hadis ‘Kemudian beliau berkata: Hai Umar! Apakah kamu tahu siapa tadi yang bertanya? Umar menjawab, Allah dan Rasulnya lebih mengetahuinya. Rasulullah berkata, Yang bertanya barusan adalah Jibril. Ia datang kemari untuk mengajari agama kalian,’ berarti bahwa Jibril mengajarkan kaidah kadiah agama kalian.

Berdasarkan keterangan hadis secara keseluruhan, dapat dimengerti dan disimpulkan bahwa agama adalah nama bagi gabungan tiga perkara, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan.

Dari hadis, dapat pula dipahami bahwa disunahkan bagi guru mengingatkan para santrinya, dan bagi pemimpin mengingatkan para pengikutnya, tentang kaidah kadiah ilmu, dan kejadian kejadian yang langka atau aneh, dengan tujuan memberikan manfaat dan faedah kepada mereka. Demikian ini disebutkan oleh Al Fasyani.

(والله اعلم)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami