Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 5 | Syarat-Syarat Bersuci Dengan Batu

Membahas syarat syarat bersuci dengan batu dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kitab safinatun Syarat Bersuci Dengan BatuImage by © LILMUSLIMIIN

Syarat Bersuci Dengan Batu

شُرُوْطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ ثَمَانِيَةٌ : أَنْ يَكُوْنَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، وَأَنْ يُنْقِيَ الْمَحَلَّ، وَأَنْ لَّا يَجِفَّ النَّجْسُ، وَلَا يَنْتَقِلَ، وَلَا يَطْرَأَ عَلَيْهِ أَخَرُ، وَلَا يُجَاوِزَ صَفْحَتَهُ وَحَشَفَتَهُ، وَلَا يُصِيْبَهُ مَاءٌ، وَأَنْ تَكُوْنَ الْأَحْجَارُ طَاھِرَةً

Syarat syarat bersuci dengan batu ada 8 : Yang pertama adalah dengan menggunakan tiga buah batu, yang kedua batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis, yang ketiga najisnya belum kering, yang keempat najisnya belum pindah, yang kelima najisnya tidak terkena najis yang lain, yang keenam najisnya tidak melalui shofhah dan hasyafah, yang ketujuh najisnya tidak terkena air dan yang kedelapan batunya suci.

Penjelasan dari kitab syarah kasyifatus saja karangan imam Nawai Al bantani :

1. Hukum Beristinja

    Fasal ini menjelaskan tentang beristinjak dengan batu.

    Batu disebut dengan muthohhir mukhoffif. Adapun air disebut dengan muthohhir muziil.

    Diwajibkan melakukan istinja secara segera ketika takut akan menajiskan selain tempat yang wajib diistinjai dan ketika hendak melakukan semisal sholat, dari setiap benda yang keluar dari farji, yang najis, yang mengotori tempat keluarnya, dengan cara dibasuh dengan air atau diusap dengan batu.

    2. Syarat Syarat Batu Istinja

    Syarat syarat batu yang mencukupi untuk digunakan istinja bagi orang yang hanya ingin beristinja dengan batu, tanpa air, ada delapan, yaitu :
    • Pertama, batu yang digunakan minimal berjumlah tiga batu.
    • Atau satu batu yang memiliki tiga sisi, meskipun najisnya dapat dibersihkan dengan menggunakan kurang dari tiga batu.Karena sabda Rasulullah Shollallaahu Alaihi Wasallama :

      وليستنج بثلاثة أحجار

      "Dan wajib beristinja dengan tiga batu."

      Apabila membersihakan najis dengan menggunakan lebih dari 3 batu maka wajib menambahinya. Disunahkan mengganjilkan batu apabila najis dapat bersih dengan jumlah batu yang genap.
      Cara yang paling utama dalam beristinja dengan batu adalah bahwa seseorang mengawali mengusap dengan batu pertama dari bagian sisi kanan saluran kotoran, kemudian diputar sedikit demi sedikit hingga sampai lagi pada bagian sisi kanan dimana ia mengawali. Kemudian mengusapkan batu kedua diawali dari sisi kiri saluran kotoran, kemudian diputar sedikit demi sedikit hingga sampai lagi pada bagian sisi kiri dimana ia mengawali. Kemudian mengusapkan batu ketiga pada sisi kanan dan kiri saluran kotoran dan saluran kotoran itu sendiri secara bersamaan.

      Disebutkan dalam kitab Al Misbah bahwa lafadz (اَلْمَسْرَبَةُ) dengan hanya difathah pada huruf (ر) berarti saluran kotoran tinja dan tempat keluarnya. Saluran dan tempat keluar kotoran tersebut disebut dengan nama (اَلْمَسْرَبَةُ) karena (اِنْسِرَابُ الْخَارِجِ مِنْهَا) yaitu keluarnya najis dari saluran dan tempat tersebut. Dengan demikian lafadz (اَلْمَسْرَبَةُ) adalah nama bagi tempat.

    • Kedua, bersihnya tempat yang diistinjai.
    • Sekiranya tidak ada yang tersisa kecuali hanya bekas yang hanya dapat dihilangkan dengan air atau tembikar kecil.

    • Ketiga, najisnya belum kering.
    • apabila najisnya sudah kering maka batu tidak bisa menghilangkannya.

      Perkataan Syeh Salim bin Sumair Al Khadromi, (يَجِفُ) adalah dengan kasroh pada huruf (ج) yang termasuk dari Bab (ضَرَبَ). Menurut bahasa Bani Asad, lafadz (يجف) adalah dengan fathah pada huruf (ج) yang termasuk dari Bab (تَعِبَ).

      Apabila sebagian najis atau seluruh najis telah kering maka wajib beristinja dengan air, bukan batu, selama najis lain tidak keluar setelah najis yang kering itu, meskipun najis lain itu tidak sejenis dengan najis yang kering, dan najis lain itu mengenai tempat yang dikenai najis pertama yang kering.

      Apabila najis pertama kering, kemudian keluar najis lain setelahnya, dan najis lain tersebut mengenai tempat yang dikenai oleh najis pertama yang kering, maka cukup beristinja dengan batu, dan tidak wajib menggunakan air.

    • Keempat, najis yang keluar tidak berpindah
    • Najis yang keluar tidak berpindah dari tempat yang dikenainya pada saat keluar serta najis yang keluar itu menetap di tempat yang dikenainya itu. Apabila najis yang keluar yang berpindah dari tempatnya bersambung (muttasil) dengan tempatnya maka semua najis wajib diistinjai dengan air. Apabila najis yang keluar yang berpindah dari tempatnya terpisah (munfasil) dari tempatnya maka najis yang berpindah itu wajib dibasuh dengan air, sedangkan najis yang masih ada di tempat keluarnya dapat diistinjai dengan batu. Selain itu, disyaratkan pula bahwa najis yang keluar tidak keluar secara terpotong-potong. Apabila keluarnya terpotong-potong di beberapa tempat maka wajib menggunakan air pada najis yang terpotong-potong itu dan cukup menggunakan batu (benda keras lain) pada najis yang tidak terpotong potong.

    • Kelima, najis yang telah keluar tidak dikenai sesuatu yang lain.
    • Maksudnya, baik sesuatu yang lain itu berupa benda najis secara mutlak (basah atau kering) atau berupa benda suci yang basah yang selain keringat. Adapun keringat, dan sesuatu yang lain, yang suci, dan yang kering, seperti; batu kerikil, maka tidak apa apa, artinya, masih diperbolehkan beristinja dengan batu.

      Apabila najis yang keluar dikenai sesuatu yang lain dan yang najis, baik sesuatu yang lain dan yang najis itu berupa benda basah atau kering, atau dikenai sesuatu yang lain, yang suci, dan yang basah meskipun berasal dari rembesan najis yang keluar itu sendiri, maka wajib menggunakan air karena menurut kejelasan yang ada adalah bahwa najis yang keluar dan najis lain itu tidak semakna atau tidak sama.

    • Keenam, najis yang keluar tidak melewati batas Shofhah seseorang.
    • Maksudnya tidak keluar melewati batas sisi duburnya saat buang air besar. Yang dimaksud sisi dubur disini adalah bagian dua pantat yang saling menempel ketika berdiri.

      Dan tidak melewati batas Khasyafahnya. Maksudnya tidak keluar melewati helm dzakarnya saat buang air kecil. Khasyafah disebut juga oleh orang awam dengan nama balajah.

      Sebagaimana diketahui bahwa seseorang boleh beristinjak dengan batu selama najis yang keluar tidak melewati batas khasyafahnya, meskipun najis yang keluar itu telah tersebar parah di sekitar tempat keluarnya tanpa adanya perpindahan najis, terpotong potong, dan melewati batas.

      Sama dengan khasyafah adalah batas perkiraan ukuran khasyafah bagi mustanji (orang yang beristinjak) yang khasyafahnya terpotong atau yang tidak memilikinya sama sekali sejak lahir, artinya, baginya diperbolehkan beristinjak dengan batu selama najis yang keluar tidak melewati batas perkiraan ukuran khasyafah tersebut. Oleh karena itu, tidak cukup dalam masalah khasyafah khuntsa dan farjinya karena masih diragukan identitas status aslinya dari khuntsa tersebut.

      Disyaratkan atas perempuan janda agar cukup beristinja dengan batu adalah bahwa air kencingnya tidak sampai mengenai lubang tempat masuknya dzakar, yaitu lubang yang berada di bawah lubang tempat keluarnya air kencing. Disyaratkan bagi perempuan perawan agar cukup beristinja dengan batu adalah najis yang keluar tidak melewati bagian yang nampak ketika ia duduk.

      Apabila syarat atas perempuan janda dan perawan di atas tidak terpenuhi maka wajib menggunakan air dalam beristinja, bukan batu, sebagaimana diwajibkan menggunakan air dalam beristinja atas laki-laki yang belum dikhitan yang air kencingnya hanya keluar sampai pada kulitnya

    • Ketujuh, najis yang keluar tidak terkena air.
    • Meskipun air tersebut adalah air suci mensucikan, atau cairan lain, dan juga baik air yang mengenainya itu setelah selesai melakukan istinja dengan batu atau sebelumnya, karena air yang mengenai najis itu menjadi mutanajis.

      Dapat diambil pemahaman bahwa apabila ada seseorang beristinja dengan batu yang basah maka tidak sah istinjanya karena batu yang basah tersebut menjadi mutanajis sebab basah-basahnya yang terkena najis tempatnya. Jika terjadi hal demikian, maka diwajibkan beristinja menggunakan air.

    • Kedelapan, batu yang digunakan harus suci.
    • Dengan demikian maka tidak sah beristinja menggunakan batu yang mutanajis atau yang terkena najis.

    [nextpage]

    Benda Benda Yang Disamakan Dengan Batu

    Ketahuilah ! Sesungguhnya setiap benda yang dapat diqiyaskan atau disamakan dengan batu yang sebenarnya dapat digunakan untuk beristinja dengan catatan bahwa benda lain tersebut memiliki empat qoyyid (batasan) yang membuatnya disebut sebagai batu secara syariat. Empat qoyyid atau batasan itu adalah :
    • Pertama benda itu adalah benda yang suci.
    • Oleh karena itu, dikecualikan darinya adalah tahi kering, dan benda yang mutanajis, seperti batu mutanajis.
    • Kedua benda itu adalah benda yang keras.
    • Apabila seseorang beristinja dengan basah basah batu atau lainnya, seperti air mawar dan cukak, maka tidak sah istinjanya.
    • Ketiga benda itu adalah benda yang dapat mengangkat atau menghilangkan najis serta yang meresapnya.
    • Oleh karena itu tidak cukup beristinja dengan menggunakan kaca, bambu yang halus, debu yang dapat rontok, bukan debu yang keras

      Disebutkan dalam kitab al-Misbah bahwa lafadz (قصب) dengan dua fathah adalah setiap tumbuhan yang memiliki ruas-ruas batang (Jawa: ros-rosan). Yang dimaksud dengan bambu yang halus adalah bambu yang tidak memiliki ros-rosan.

    • Keempat benda itu bukanlah benda yang dimuliakan.
    • Dikecualikan darinya adalah benda yang dimuliakan, seperti makanan manusia, misal; roti, dan makanan jin, misal; tulang, dan bagian yang terpotong dari manusia, misal tangan, dan bagian yang terpotong dari selain manusia, misal; ekor unta yang terpotong. Adapun kulit binatang maka pendapat adzhar mengatakan bahwa apabila kulit itu telah disamak maka diperbolehkan beristinja dengannya dan apabila belum disamak maka tidak diperbolehkan, seperti yang dikatakan oleh Al-Hisni.

      TATIMMAH

      Ketika seseorang beristinja dengan air maka disunahkan baginya mendahulukan qubulnya dan mengakhirkan duburnya. Sedangkan apabila ia beristinja dengan batu maka disunahkan baginya mendahulukan duburnya dan mengakhirkan qubulnya.

(والله اعلم)


Jika ada yang membutuhkan terjemahan dalam bahasa sunda, saya sudah menuliskannya pada table di bawah ini, Silahkan disalin kembali kedalam kitab atau buku.

Sunda Arab
Ari ieu eta hiji pasalفَصْلٌ
Ari pirang pirang syarat susuci ku batuشُرُوْطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ
(Eta) Aya dalapanثَمَانِيَةٌ
Kahiji yen buktiأَنْ يَكُوْنَ
Ku tilu batuبِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ
Sareng kaduana yen bisa ngabersihkeun itu batuوَأَنْ يُنْقِيَ
Kana tempatna najisالْمَحَلَّ
Sareng katiluna yen teu garingوَأَنْ لَّا يَجِفَّ
(Naon) Najisالنَّجْسُ
Sareng kaopatna najisna henteu pindahوَلَا يَنْتَقِلَ
Sareng kalimana teu kakeuna'anوَلَا يَطْرَأَ
Kana itu najisعَلَيْهِ
(Naon) Najis sejenأَخَرُ
Sareng kagenepana teu ngaliwatan itu najisوَلَا يُجَاوِزَ
Kana gigir gigir duburna itu jalmaصَفْحَتَهُ
Sareng kana bobogaan nana itu jalmaوَحَشَفَتَهُ
Sareng teu kena kana itu najisوَلَا يُصِيْبَهُ
(Naon) Caiمَاءٌ
Sareng kadalapan yen buktiوَأَنْ تَكُوْنَ
(Naon) Batunaالْأَحْجَارُ
(Eta) anu suciطَاھِرَةً
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami