Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 20 | Cara Menghilangkan Najis
Pada Fasal sebelumnya Tentang Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 19 | Macam-Macam Najis kita telah membahas macam-macam najis dalam ilmu fikih mari kita lanjutkan pada fasal selanjutnya dari Terjemah Kitab Safinatun Naja yaitu fasal yang membahas tentang cara menghilangkan najis mugoladzoh, mutawasithojh dan mukhoffafah dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin.
Image by © LILMUSLIMIINCara Menghilangkan Najis
فَصْلٌ: اَلْمُغَلَّظَةُ: تُطْهُرُبِسَبْعِ غَسْلَاتٍ بَعْدَ اِزَالَةِ عَيْنِهَا اِحْدَهُنَّ بِتُرَابٍ وَالْمُخَفَّفَةُ : تَطْهُرُ بِرَشِّ الْمَاءِ عَلَيْهَا مَعَ الْغَلَبَةِ وَإِزَالَةِ عَيْنِهَا وَالْمُتَوَسِطَةُ تَنْقَسِمُ عَلَى قِسْمَيْنِ: عَيْنِيَّةٌ وَحُكْمِيَّةٌ. اَلْعَيْنِيَّةُ اَلَّتِيْ لَهَا لَوْنٌ وَرِيْحٌ وَطَعْمٌ فَلَا بُدَّ مِنْ إِزَالَةِ لَوْنِهَا وَرِيْحِهَا وَطَعْمِهَا . وَالْحُكْمِيَّةُ : اَلَّتِيْ لَا لَوْنَ لَهَا وَلَا رِيْحَ وَلَاطَعْمَ لَهَا يَكْفِيْكَ جَرْيُ الْمَاءِ عَلَيْهَا.
Fasal: Najis Mugholadzoh suci dengan 7 basuhan sesudah menghilangkan najis ainiahnya salah satunya dengan tanah.
Najis Mukhoffafah suci dengan memercikkan air di atasnya disertai menghilangkan najisnya.
Najis Mutawassithoh dibagi dua, yaitu ainiyyah dan hukmiyyah.
Najis ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau, dan rasa sehingga cara menyucikannya harus menghilangkan warna, bau, dan rasanya.
Najis hukmiah adalah najis yang tidak berwarna, berbau, dan berasa sehingga cukup mengalirkan air di atasnya.
Penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus saja
Fasal ini menjelaskan tentang cara menghilangkan najis.
Usman Suwaifi berkata, “Yang dimaksud dengan najis adalah sifat yang menempel pada tempat tertentu (yang dikenainya), baik najis tersebut adalah ainiah atau hukmiah.”
Cara Menghilangkan Najis Mugholadzoh
Benda suci yang terkena najis mugholadzoh (anjing, babi, dan peranakannya), mungkin sebab terkena jilatannya, air kencingnya, keringatnya, atau tersentuh bagian tubuhnya disertai adanya basah-basah antara bagian tubuhnya dan benda yang tersentuhnya, dapat disucikan dengan 7 (tujuh) kali basuhan secara ta’abbudi setelah menghilangkan dzat najisnya. Andaikan bukan karena alasan ta’abbudi niscaya satu kali basuhan saja yang menghilangkan sifat-sifat najis mugholadzoh sudah mencukupi.
Tujuh kali basuhan setelah hilangnya dzat najis ini sesuai dengan pendapat yang dikatakan oleh Syeh Ibnu Hajar dalam kitab Minhaj Qowim dan Sayyid Murghini dalam kitab Miftah Fallah Mubtadi sekiranya mereka berdua berkata, “Tujuh kali dihitung setelah hilangnya dzat najis. Jadi, basuhan yang menghilangkan dzat najis meskipun berulang kali dihitung sebagai satu kali basuhan. Dalam menghilangkan najis mugholadzoh cukup dengan tujuh kali basuhan meskipun misalnya jilatan mugholadzoh tersebut terjadi berulang kali atau meskipun najis mugholadzoh tersebut disertai dengan najis lain (baik mukhoffah atau mutawasitoh).”
Pendapat yang dipedomani oleh ulama adalah pendapat yang dishohihkan oleh Nawawi. Mereka berkata, “Andaikan dzat najis tidak dapat hilang kecuali dengan misalnya enam kali basuhan maka enam kali basuhan tersebut dihitung sebagai satu kali basuhan.”
Sedangkan Rofii menshohihkan dalam Syarah Shoghir yang berjudul Aziz ‘Ala Wajiz Lil Ghozali bahwa enam kali basuhan tersebut dalam contoh tetap dihitung sebagai enam kali basuhan.
Pendapat ini dikuatkan oleh Isnawi dalam kitab Muhimmat al- Muhtaj.
Bajuri berkata, “Adapun apabila sifat najis (bukan dzat najis) hanya dapat hilang dengan enam kali basuhan maka enam kali basuhan tersebut dihitung enam kali (bukan satu kali).”
Syarat tujuh kali basuhan dalam menghilangkan najis mugholadzoh adalah bahwa salah satu dari tujuh kali basuhan tersebut dicampur dengan debu suci, meskipun basuhan yang terakhir, tetapi basuhan yang lebih utama dicampur dengannya adalah basuhan yang pertama.
Kesimpulannya adalah bahwa percampuran basuhan air dengan debu dapat terjadi dengan 3 (tiga) kemungkinan cara, yaitu:
- Air dan debu bercampur secara bersamaan. Lalu air campuran dibasuhkan pada tempat najis. Cara ini adalah yang paling utama, bahkan Isnawi melarang cara mencampur air dan debu dengan cara selain ini. Dengan cara ini, apabila sifat-sifat najis masih ada tanpa ada benda (jirim) najisnya, kemudian air campuran debu dibasuhkan pada tempat sifat- sifat najis tersebut, maka apabila sifat-sifat najis dapat hilang dengan basuhan air campuran itu maka basuhan tersebut dihitung sebagai satu kali basuhan, tetapi apabila sifat-sifat najis itu tidak dapat hilang dengan basuhan itu maka yang dimaksud dengan kata ‘ain dalam pernyataan ulama, “Muzilul ‘Ain,” adalah satu kali basuhan meskipun tempat yang masih ada sifat-sifat najis itu banyak dan meskipun tidak ada bentuk jirim/benda najisnya.
- Pertama-tama debu diletakkan di atas tempat najis, kemudian air dituangkan padanya, lalu air dan debu bercampur sebelum tempat najis terbasuh. Cara ini mensyaratkan jirim/benda najis dan sifat-sifatnya, yakni rasa, warna, dan bau, telah hilang terlebih dahulu sebelum ditaburi debu.
- Cara yang ketiga ini adalah kebalikan dari cara yang kedua, yaitu pertama-tama air dituangkan ke tempat najis, kemudian ditaburi debu, dan akhirnya mereka bercampur sebelum tempat najis terbasuh, seperti yang telah disebutkan. Dalam cara ini, tidak disyaratkan sifat-sifat najis dan jirimnya hilang terlebih dahulu, karena air lebih kuat, bahkan air dapat menghilangkan sifat-sifat dan jirim najis tersebut. Adapun apabila debu yang lebih dulu ditaburkan maka disyaratkan harus menghilangkan sifat-sifat dan jirim najis tersebut terlebih dahulu, seperti yang telah disebutkan.
Dalam cara kedua dan ketiga, tidak apa-apa jika basah-basah di tempat najis masih ada meskipun basah-basah tersebut najis karena air dan debu yang suci mensucikan yang mendatangi tempat najis tetap dalam sifat suci mensucikannya karena perkara yang mendatangi lebih kuat daripada perkara yang didatangi.
Dalam menghilangkan najis mugholadzoh tidak cukup hanya dengan menaburinya debu tanpa disusul dengan dituangi air, dan tidak cukup dengan mencampurkan debu dengan selain air, dan tidak cukup dengan mencampurkan air dengan debu yang tidak suci mensucikan, misalnya; menghilangkan najis mugholadzoh dengan air yang dicampur dengan tumbuhan usynan, atau dengan air yang dicampur dengan debu najis atau mustakmal dalam tayamum, atau dengan air yang dicampur dengan bekas basuhan-basuhan semisal najis anjing.
Kata usynan (الأشنان) bisa dengan dhommah atau kasroh atau fathah pada huruf ء.Ia adalah sejenis tumbuhan.
Banyaknya debu yang wajib dicampurkan dengan air adalah seukuran yang sekiranya debu dapat mengeruhkan air dan debu bisa sampai ke seluruh tempat najis dengan perantara air.
Air yang telah keruh, seperti air sungai Nil pada saat musim pasang dan air banjir, sebab terkena tanah, sudah mencukupi debu, artinya, tidak perlu dicampur dengan debu lagi.
Apabila seseorang mencelupkan mutanajis (benda yang terkena najis) mugholadzoh ke dalam air banyak yang tenang, kemudian ia menggerak gerakkannya sebanyak tujuh kali dan menaburinya debu, maka mutanajis tersebut dihukumi suci. Gerakan maju dihitung sebagai satu kali basuhan dan kembalinya dihitung sebagai basuhan berikutnya. Apabila ia tidak menggerak- gerakkannya dan ia menaburinya debu maka dihitung sebagai satu kali basuhan.
Atau apabila seseorang mencelupkan mutanajis tersebut di air mengalir, kemudian mutanajis tersebut dilewati tujuh kali aliran air maka masing-masing aliran air dihitung satu kali basuhan.
Adapun ketika mutanajis hanya didiamkan di dalam air banyak yang tenang (tanpa digerak-gerakkan) maka demikian itu dihitung sebagai satu kali basuhan meskipun diamnya di dalam air tersebut berlangsung lama.
Tanah turobiah (yang sudah berdebu), yaitu tanah yang asalnya memang sudah ada debunya atau tanah yang terkena debu sebab hembusan angin, ketika terkena najis mugholadzoh tidak perlu ditat-rib (diberi debu) karena tidak ada gunanya mentat-rib debu, baik debu tersebut mustakmal atau mutanajis.
Mengecualikan dengan tanah turobiah adalah tanah hajariah (yang berbatu) dan romaliah (yang berpasir) yang tidak ada debu disana, maka ketika dua tanah tersebut terkena najis mugholadzoh wajib diberi debu.
Apabila ada sebagian tanah berdebu yang telah terkena najis mugholadzoh (sebut tanah A) berpindah ke tanah lainnya yang suci dan yang tidak berdebu (sebut tanah B), maka jika ingin mensucikan tanah A maka tidak wajib mentat-ribnya dan jika ingin mensucikan tanah B maka wajib mentat-ribnya.
Kemudian apabila ada sebagian basuhan dari tanah yang bukan turobiah (sebut A) mengenai semisal pakaian yang terkena najis mugholadzoh (sebut B) maka B bisa dibasuh dengan basuhan- basuhan sisanya, jika basuhan yang mengenai A ternyata basuhan pertama berarti tinggal menambahkan 6 basuhan lagi, atau ternyata basuhan kedua berarti tinggal menambahkan 5 basuhan lagi dan seterusnya, tetapi harus disertai dengan tat-rib jika di tanah tersebut belum ada debu, jika sudah ada maka tidak perlu adanya tatrib
Mengecualikan dengan basuhan-basuhan sisanya adalah basuhan ketujuh maka tidak wajib membasuh pakaian jika terkena basuhan ketujuh tersebut.
Apabila air tujuh basuhan dikumpulkan menjadi satu dalam semisal bejana (atau ember, bak), kemudian ada sebagian air keluar darinya dan mengenai semisal pakaian yang terkena najis mugholadzoh maka masih wajib membasuh pakaian tersebut dengan 6 kali basuhan lagi karena pakaian tersebut telah terkena basuhan pertama dan wajib mentat-rib salah satu dari 6 basuhan itu jika air pertama yang mengenai belum tercampur dengan debu. Kasus ini berlaku ketika air yang dikumpulkan itu belum mencapai dua kulah dan tidak mengalami perubahan, jika sudah mencapai dua kulah maka dihukumi sebagai air suci mensucikan.
[FAEDAH]
Ada sebuah pertanyaan tentang kasus apabila ada air kencing anjing mengenai tulang bangkai hewan yang bukan mugholadzoh (misal tulang bangkai kambing, sapi, dll), kemudian tulang tersebut dibasuh dengan 7 (tujuh) kali basuhan air yang tentu salah satu dari tujuh basuhan tersebut dicampur dengan debu, maka apakah tulang tersebut dapat suci dari najis mugholadzoh hingga sekiranya apabila ada pakaian basah mengenainya maka tidak perlu lagi mentasbik atau membasuh pakaian tersebut dengan tujuh kali basuhan dengan mencampurkan debu di salah satunya? Jawab, tulang tersebut tidak dapat suci dari najis mugholadzoh, yakni air kencing anjing, sehingga apabila ada pakaian basah mengenainya maka wajib mentasbik pakaian tersebut. Demikian ini dikutip oleh Mudabighi dari Ajhuri dan Ibnu Qosim.
Cara Menghilangkan Najis Mukhofafah
Mutanajis mukhofafah, yaitu benda yang terkena najis air kencing shobi (bocah) laki-kaki yang belum makan dan minum kecuali susu dan belum mencapai umur dua tahun, dapat menjadi suci dengan cara diperciki air disertai gholabahnya (menguasainya) dan hilangnya ‘ain (dzat) najis. Maksudnya, dalam menghilangkan najis mukhofafah cukup dengan diperciki air, tetapi membasuhnya adalah lebih utama karena keluar dari perselisihan pendapat ulama. Dicukupkannya mensucikan najis mukhofafah dengan diperciki air adalah ketika air kencing shobi tidak bercampur dengan basah-basah lain di tempat yang dikenainya, tetapi apabila ia bercampur dengan basah-basah lain maka wajib disucikan dengan cara dibasuh air, bukan diperciki, karena basah-basah tersebut berubah menjadi najis dan tidak termasuk dari air kencingnya.
Dalam memercikkan air, disyaratkan air harus mengenai seluruh bagian yang dikenai air kencing dan air harus meratai dan menguasai air kencing itu. Dalam memercikkan air, secara pasti tidak disyaratkan air harus mengalir. Mengalir dan menetes adalah dua hal yang saling membedakan antara membasuh dan memercikkan air. Karena demikian itu syaratnya, maka tidak cukup memercikkan air ke tempat air kencing shobi tetapi air tidak dapat meratainya dan menguasainya, seperti kebiasaan yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam.
Disyaratkan bersamaan dengan memercikkan air adalah hilangnya sifat-sifat najis mukhofafah, seperti ketika menghilangkan najis-najis lainnya, setelah menghilangkan ‘ain (dzat) najis mukhofafah
Diharuskan memeras kain yang terkena air kencing mukhofafah atau yang terkenanya tetapi sudah kering hingga tidak ada lagi basah-basah yang menetes dari kain tersebut. Mengenai basah-basah yang tidak lagi menetes maka tidak masalah, artinya, bisa langsung diperciki air.
Mengecualikan dengan air kencing shobi laki-laki yang belum makan dan minum kecuali air susu adalah tahinya, muntahannya, air kencing shobiah (bocah perempuan), air kencing shobi laki-laki yang telah makan atau minum selain susu untuk taghodi (dikonsumsi), dan air kencing shobi laki-laki yang menyusu setelah ia berumur dua tahun, maka dalam mensucikan najis-najis ini tidak cukup hanya dengan memercikkan air pada tempat yang dikenainya tetapi harus dibasuh dengan air. Pengertian dibasuh adalah meratai air ke tempat yang dikenai najis disertai dengan mengalirnya air tersebut.
Apabila suatu benda terkena air kencing shobi laki-laki, kemudian diragukan apakah ia belum berumur 2 tahun atau sudah maka wajib menghilangkan najis air kencingnya itu dengan cara dibasuh dengan air karena asal dicukupkan dengan memercikkan air adalah rukhsoh (kemurahan) sehingga tidak diperbolehkan merujuk pada rukhsoh kecuali disertai dengan keyakinan, bukan keraguan.
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik sependapat menetapkan kewajiban membasuh air pada tempat yang dikenai air kencing shobi yang tulen laki-laki dan air kencing shobi yang belum jelas kelakilakiannya meskipun dua shobi ini belum mengkonsumsi makanan apapun.
Ada beberapa ulama yang berpendapat tentang kesucian air kencing shobi laki-laki. Mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ishak, Abu Tsur dari kalangan Syafii dan ia meriwayatkan pendapatnya itu dari Imam Malik. Adapun riwayat yang dikutip oleh sebagian ulama Malikiah tentang suatu pendapat dari Imam Syafii tentang kesucian air kencing shobi maka riwayat tersebut batil, salah, dan kebohongan belaka.
[nextpage]Cara Menghilangkan Najis Mutawasitoh
Najis mutawasitoh dibagi menjadi dua macam, yaitu ainiah (yaitu najis yang terlihat oleh mata) dan hukmiah (yaitu najis yang tempat yang dikenainya itu kita hukumi sebagai najis tanpa terlihat dzat najisnya).
Ainiah
Pengertian najis mutawasitoh [ainiah adalah najis yang masih memiliki warna], seperti; putih, hitam, merah, dan lain-lain, [dan bau], yakni sesuatu yang dapat diketahui dengan indra pencium, [dan rasa], yakni sesuatu yang dapat diketahui dengan indra pengicip, seperti; manis, pahit (dan lain-lain).
Cara mensucikan tempat yang dikenai najis ainiah [diwajibkan menghilangkan warna najis, baunya, dan rasanya] kecuali apabila warna atau bau najis sulit dihilangkan maka tidak wajib menghilangkannya, bahkan tempat yang dikenainya telah nyata suci.
Berbeda apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada di satu tempat yang dikenai satu najis maka tempat tersebut belum dihukumi suci karena kuatnya warna dan bau secara bersamaan dalam menunjukkan tetapnya dzat najis.
Begitu juga berbeda apabila rasa najis masih ada maka tempat yang dikenainya belum suci dan karena pada umumnya masih mudah untuk menghilangkan rasa najis tersebut.
Perkara yang diwajibkan dalam menghilangkan (sifat-sifat) najis ainiah adalah mengerok dan menggosok sebanyak tiga kali.
Disebutkan dalam kitab al-Misbah, “Azhari berkata, Lafadz الحت (mengerok) berarti kamu mengerok dengan sisi batu atau kayu. Lafadz القرص (menggosok) berarti kamu menggosok dengan ujung jari-jari dengan cara menggosok secara kuat. Kemudian kamu menuangkan air pada tempat yang dikenai najis sampai dzat najis dan bekasnya hilang.’”
Apabila najis ainiah telah dikerok, digosok, dan dituangi air, ternyata masih ada warnanya atau baunya maka dihukumi sulit dan tempat yang dikenainya pun telah dihukumi suci. Tidak wajib menggunakan alat bantu semisal sabun dan tumbuhan asynan. Akan tetapi apabila warna dan bau secara bersamaan masih ada maka wajib menggunakan alat bantu tersebut hingga mencapai batas ta’adzur (sulit menghilangkan). Batasan ta’adzur adalah sekiranya warna dan bau najis tersebut tidak dapat dihilangkan kecuali dengan cara memotong tempat yang dikenai najis. Ketika telah dihukumi ta’adzur maka tempat yang dikenai najis dihukumi ma’fu. Kemudian apabila setelah dihukumi ma’fu, ternyata selang beberapa waktu, warna dan bau najis tersebut bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya. Namun, apabila sebelumnya seseorang telah melakukan sholat di tempat yang ma’fu tersebut maka ia tidak wajib mengulangi sholatnya setelah mampu dihilangkan. Jika tidak, maka tidak perlu dihukumi ma'fu.
Kewajiban menggunakan alat bantu semisal sabun harus mempertimbangkan bahwa biaya harga alat bantu tersebut lebihan atas biaya harga air dalam tayamum. Apabila seseorang yang pakaiannya terkena najis dan ia tidak memiliki biaya untuk mendapatkan alat bantu tersebut maka ia sholat dalam keadaan telanjang. Apabila ia tidak mampu mengerok dan menggosok najis dan ia memiliki biaya yang lebihan atas biaya air maka wajib atasnya menyewa orang lain untuk mengerokkan dan menggosokkan najis dengan upah dari biaya lebihan yang ia miliki itu, seperti yang telah disebutkan oleh Syarqowi.
Al-Hisni berkata dalam kitab Syarah Ghoyah, “Syarat toharoh adalah seseorang menuangkan air yang lebih sedikit saja daripada dua kulah di atas tempat najis. Apabila ia mencelupkan semisal baju najis atau lainnya ke dalam bejana yang di dalamnya terdapat air yang kurang dua kulah, maka pendapat shohih yang dikatakan oleh jumhur ashab menyebutkan bahwa baju dan semisalnya tersebut tidak dapat suci karena dengan mencelupkannya ke dalam air sedikit menyebabkan air sedikit tersebut berubah menjadi najis. Menurut pendapat shohih, dalam menuangkan air sedikit di atas tempat najis dicukupkan dengan keadaan bahwa air sedikit tersebut meratai najis. Menurut qiil, disyaratkan air yang digunakan untuk membasuh tempat najis tersebut sebanyak 7 (tujuh) kali banyaknya air kencing. Menurut pendapat rojih, agar menghasilkan kesucian baju, tidak disyaratkan memerasnya.”
Hukmiah
Pengertian [najis hukmiah adalah najis yang tidak lagi memiliki warna, bau, dan rasa,] seperti air kencing yang telah kering dan tidak diketahui sifat-sifatnya.
Cara mensucikan [najis hukmiah cukup bagimu mengalirkan air di atasnya,] maksudnya, mengalirkan air di atas tempat yang terkena najis hukmiah sebanyak satu kali meski tanpa disengaja mengalirkan air, misalnya terkena aliran air hujan.
Al-Hisni berkata dalam kitab Syarah Ghoyah, “Ketahuilah sesungguhnya dalam membasuh najis tidak disyaratkan menyengaja, misalnya apabila air tertuang di atas pakaian najis dan tidak sengaja menuangkannya maka pakaian tersebut telah suci. Begitu juga, apabila pakaian najis terkena air hujan atau aliran banjir. Sebagian ulama mengaku bahwa tidak disyaratkannya menyengaja dalam membasuh najis merupakan ijmak ulama, tetapi Ibnu Suraij dan Qofal dari kalangan ashab kami mensyaratkan niat membasuh najis sebagaimana disyaratkannya niat dalam menghilangkan hadas.”
[nextpage]Hukum Benda Cair yang Dikenai Najis
[TATIMMAH]
Apabila benda cair (selain air) terkena najis maka sulit mensucikannya karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama pernah ditanya tentang tikus yang mati di dalam minyak samin, lalu beliau menjelaskan, “Apabila minyak samin tersebut padat maka buanglah bagian yang dikenai tikus dan bagian sekitarnya, tetapi apabila minyak samin tersebut cair maka jauhilah,” karena minyak samin cair itu telah berubah menjadi najis dan tidak diperbolehkan memanfaatkan minyak samin cair yang najis itu sebagaimana tidak diperbolehkan memanfaatkan cairan-cairan najis lain yang telah terkena najis, kecuali apabila minyak samin cair itu dimanfaatkan sebagai bahan bakar lampu, atau sebagai bahan pembuatan sabun dan lainnya, atau apabila minyak samin cair yang mutanajis atau yang najis dimanfaatkan sebagai pelumas yang dioleskan pada hewan atau perahu maka diperbolehkan tetapi makruh.
Dikecualikan yaitu memanfaatkan minyak samin cair yang najis sebagai bahan bakar lampu yang dipasang di masjid maka tidak diperbolehkan, baik lampu itu menghasilkan asap yang membekas meski sedikit di tembok ataupun tidak.
Adapun madu cair yang terkena najis maka masih mungkin untuk disucikan, yaitu dengan cara membiarkan lebah meminumnya karena madu tersebut akan mengalami proses perubahan sebelum lebah mengeluarkannya lagi, lalu apabila waktu berselang lama antara setelah lebah meminumnya dan sebelum ia mengeluarkannya maka madu tersebut menjadi hak milik pemilik lebah, tetapi apabila tidak berselang waktu yang lama antara waktu keduanya maka madu tersebut menjadi hak milik pemilik madu.
Diperbolehkan memberikan air mutanajis (yang terkena najis) kepada binatang dan diperbolehkan menggenangi lumpur atau lainnya dengan air mutanajis. Sama seperti air mutanajis, diperbolehkan memberikan makanan mutanajis kepada binatang.
Ketika tanah terkena semisal najis air kencing atau khomr, lalu tanah tersebut menyerapnya, maka dalam mensucikan tanah tersebut cukup menuangkan air di atasnya hingga meratai meskipun hanya menuangkan satu kali. Apabila najis air kencing atau khomr mengenai tanah yang keras, yakni tanah tersebut tidak dapat dikeruk atau tidak dapat menyerap, misalnya tanah tersebut seperti batu ubin, maka dalam mensucikan tanah tersebut harus mengeringkannya terlebih dahulu, baru kemudian dituangi air meskipun hanya sekali.
Disebutkan dalam kitab al-Misbah, “Lafadz البلاط (batu ubin) adalah setiap benda yang mengeraskan tanah, baik benda tersebut batu atau yang lainnya.”
Apabila najis yang mengenai tanah adalah najis padat maka perlu adanya rincian, maksudnya apabila najis tersebut tidak mengandung basah-basah dan tidak menajiskan tanah maka cukup dengan mengangkat najis tersebut dari tanah (dan tidak perlu menuangkan air pada tanah), atau apabila najis tersebut mengandung basah-basah maka najis tersebut diangkat dari tanah dan kemudian tanah dituangi air hingga meratai.
Sebagaimana dicukupkan mensucikan tanah dengan hanya menuangkan air di atasnya hingga merata, ketika pisau dipanaskan dengan najis, atau ketika daging dimasak dengan air najis, atau ketika biji-bijian direndam hingga mengembung di dalam air najis, maka dalam mensucikan mereka cukup dengan dituangi air suci mensucikan hingga merata meskipun hanya sekali. Tidak perlu merendamkan pisau tersebut beserta memanaskannya dengan air suci mensucikan. Tidak perlu mendidihkan daging tersebut dengan air suci mensucikan dan memerasnya. Dan tidak perlu merendam biji- bijian tersebut di dalam air suci mensucikan