Safinatun Naja 19 - Macam Macam Najis

Fasal ini membahas tentang macam macam najis dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Macam Macam Najis

(فَصْلٌ)

النجاسات ثلاثة: مغلظة ومخففة ومتوسطة المغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين والمتوسطة : سائر النجاسات.

Najis najis ada tiga yang pertama najis mugolladoh yang kedua najis mukhoffafah dan yang ketiga najis mutawasitoh. Najis mugoladoh adalah najis anjing, babi dan cabang / peranakan dari keduanya. najis mukhoffafah adalah kencing bayi laki laki yang belum makan selain dari asi dan usianya belum mencapai dua tahun. Najis mutawasitoh adalah najis najis lain.

Penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus saja

[Fasal ini] menjelaskan tentang dzat-dzat najis.

Kata najasah yang dimaksudkan pada dzat merupakan pengertiannya secara majaz. Adapun hakikat najasah adalah sifat yang melekat pada tempat tertentu, maksudnya badan, atau tempat, atau pakaian.

[Najis-najis ada 3/tiga] dari segi pembagiannya yang diurutkan berdasarkan tingkat hukum dan cara membasuh.

Pertama adalah najis [mugholadzoh,] maksudnya, najis yang berat hukumnya.

[Dan] yang kedua adalah najis [mukhofafah,] maksudnya, najis yang diringankan hukumn

[Dan] yang ketiga adalah najis [mutawasithoh] maksudnya, najis yang hukumnya sedang (tengah-tengah) antara mugholadzoh dan mukhofafah

Najis Mugholadzoh

[Najis Mugholadzoh adalah najis anjing,] meskipun anjing yang terlatih, [dan babi,] karena babi lebih buruk keadaannya daripada anjing karena tidak diperbolehkan sama sekali memelihara babi, padahal masih memungkinkan mengambil manfaat darinya, seperti babi dijadikan sebagai hewan pengangkut muatan. Berbeda dengan hasyarat, yakni hewan-hewan kecil di tanah, maka meskipun tidak boleh memeliharanya tetapi tidak memungkinkan dapat mengambil manfaat darinya, [dan peranakan dari salah satu anjing atau babi] dengan hewan lain dari keduanya (misal peranakan anjing dan babi), maka peranakan tersebut dihukumi najis mugholadzoh karena mengikuti hukum keduanya, atau peranakan dari anjing atau babi dengan hewan lain yang suci (misal peranakan anjing dan kambing atau peranakan babi dan kambing), maka peranakan tersebut dihukumi mugholadzoh karena memenangkan hukum najis anjing dan babi sebab anak diikutkan pada hukum manakah yang lebih buruk dari dua induk/asalnya dalam hal kenajisan, keharaman disembelih, keharaman dinikahi, keharaman dimakan, dan tidak sahnya dijadikan sebagai kurban dan akikah.

Hukum-hukum Peranakan

Jalal Suyuti telah menyebutkan hukum-hukum peranakan dalam semua bab fiqih melalui nadzom yang berbahar khofif yang polanya adalah Faa’ilatun Mustaf’ilun Faa’ilatun dua kali. Ia berkata:

Anak mengikuti nasab bapak dan ibu dalam segi status budak, merdeka,

zakat yang paling ringan, agama yang luhur, ** perihal beratnya balasan dan denda

perihal manakah yang lebih buruk dari dua asal (bapak/ibu) dari segi kenajisan, penyembelihan, ** perkawinan, memakan, dan kurban.

Dengan demikian, anak dari bapak yang mulia termasuk anak mulia meskipun ibunya tidak mulia, bukan sebaliknya. Anak dari ibu yang budak menjadi berstatus budak meskipun bapaknya itu

merdeka. Anak dari ibu yang merdeka menjadi berstatus merdeka meskipun bapaknya itu budak. Demikian ini berdasarkan pada umumnya

Mengecualikan dengan perkataan menurut umumnya adalah masalah-masalah berikut:

  1. Apabila tuan dari perempuan amat mewasiatkan anak yang dikandung oleh amat tersebut di setiap tahunnya atau dimutlakkan (tidak dibatasi waktu setiap tahun misalnya), kemudian ahli waris dari tuan tersebut memerdekakan amat itu setelah kematian tuan (mushi/orang yang berwasiat) meskipun sebelum ahli waris (musho-lah/orang yang diwasiati) menerima wasiat, maka anak dari amat tersebut menjadi budak milik ahli waris meskipun amat tersebut telah dinikahi oleh laki-laki lain yang merdeka.52 Oleh karena ini, dikatakan, “Kita memiliki perempuan merdeka yang tidak boleh dinikahi kecuali dengan syarat menikahi amat dan kita memiliki budak laki-laki (anak) antara dua laki-laki merdeka (tuan dan laki-laki lain itu).”
  2. Apabila laki-laki menjimak perempuan amat dengan sangkaan bahwa perempuan amat tersebut adalah istrinya yang merdeka, misalnya, karena laki-laki tersebut telah menikahi satu perempuan merdeka dan satu perempuan amat, kemudian terbukti yang merasakan rasa sakit hamil adalah perempuan amat, maka anak yang dilahirkan itu nanti dihukumi merdeka meskipun laki-laki yang menjimak dan perempuan yang dijimak sama-sama berstatus sebagai budak. Oleh karena ini, dikatakan, “Ini adalah (anak) yang merdeka dari dua pasangan yang sama-sama berstatus budak.”
  3. Apabila laki-laki tertipu oleh status merdeka dari seorang perempuan amat, kemudian terlahirlah anak dari perempuan amat tersebut sebelum si laki-laki mengetahui kalau perempuan amat tersebut sebenarnya adalah budak amat atau disertai ia mengetahui tentang demikian, maka anak yang terlahir dari perempuan amat tersebut berstatus merdeka karena sangkaan dari si laki-laki tentang sifat kemerdekaan perempuan amat ketika sperma keluar dan masuk ke dalam farjinya, baik si laki-laki itu adalah merdeka atau budak.
  4. Apabila laki-laki menyangka kalau perempuan amat itu adalah perempuan amat miliknya sendiri atau perempuan amat milik anaknya, kemudian ia menjimaknya dan terlahirlah seorang anak, maka anak ini berstatus merdeka.

Peranakan, misalnya, antara unta dan sapi dikeluarkan zakatnya sesuai dengan zakat yang teringan sehingga dalam contoh tersebut peranakan itu dizakati dengan diikutkan pada nisob sapi, yaitu 30 sapi, bukan diikutkan pada nisob unta. Dengan demikian, apabila anak-anak dari hubungan antara unta dan sapi telah mencapai 30 ekor, maka zakatnya adalah satu ekor tabik (anak sapi berusia 1 tahun lebih).

Anak dari hubungan antara laki-laki kafir dzimmi dan perempuan muslimah dihukumi muslim, begitu juga sebaliknya, artinya, anak dari hubungan antara laki-laki muslim dan perempuan kafiroh dzimmiah dihukumi muslim.

Anak dari hubungan antara hewan darat liar (alas) yang halal dimakan dagingnya dan hewan darat liar yang tidak halal dimakan dagingnya menetapkan kewajiban fidyah atas muhrim (orang yang ihram) jika ia memburunya.

Anak dari hubungan antara laki-laki kitabi dan perempuan majusiah atau sebaliknya, artinya anak dari hubungan antara laki-laki majusi dan perempuan kitabiah menetapkan kewajiban membayar diyat (denda) dengan jenis diyat ketika membunuh orang kitabi

Peranakan dari hubungan antara anjing dan kambing dihukumi najis. Begitu juga, bangkai peranakan antara ikan dan hewan lain yang halal dimakan dagingnya dihukumi najis

Anak dari hubungan antara orang yang halal sembelihannya dan pernikahannya seperti orang kitabi dan orang yang tidak halal sembelihannya dan pernikahannya seperti orang majusi dihukumi tidak halal sembelihannya dan pernikahannya.

Peranakan antara hewan yang halal dimakan dagingnya dan hewan yang tidak halal dimakan dagingnya dihukumi tidak halal memakan daging peranakan tersebut.

Peranakan antara hewan yang mencukupi untuk dijadikan sebagai kurban dan hewan yang tidak mencukupi sebagai kurban dihukumi tidak mencukupi berkurban dengan peranakan tersebut. Begitu juga, peranakan antara hewan yang mencukupi untuk dijadikan sebagai akikah dan hewan yang tidak mencukupi sebagai akikah dihukumi tidak cukup berakikah dengan peranakan tersebut.

Apabila ada anak terlahir dari hubungan antara manusia dan anjing/babi, baik anak tersebut laki-laki atau perempuan, dan anak tersebut memiliki bentuk seperti manusia meskipun hanya bagian atasnya saja, sedangkan bagian bawahnya berbentuk anjing/babi, maka anak tersebut dihukumi suci dalam perihal ibadah karena berdasarkan kemutlakan para ulama yang menyatakan tentang kesucian manusia. Selain itu, anak tersebut juga menerima perlakuan hukum-hukum syariat karena ia baligh dan berakal sebab memiliki akal menjadi dasar untuk menerima taklif (tuntutan hukum). Jadi, anak tersebut boleh melakukan sholat dan boleh mengimami makmum karena ia tidak menetapi kemurtadan. Ia juga diperbolehkan masuk masjid, bersosialisasi dengan masyarakat, tidak menajiskan jika disentuh disertai adanya basah-basah (antara diri penyentuh atau yang menyentuh), tidak menajiskan air sedikit dan cairan lain, (karena semua itu berhubungan dengan perihal ibadah). Ia dicegah menyandang status perwalian, seperti perwalian nikah dan qodho (memutuskan hukum) seperti budak murni, bahkan ia lebih utama untuk dilarang menyandangnya. Pernikahannya dan sesembelihannya dihukumi tidak halal. Menurut pendapat muktamad disebutkan bahwa tidak ada hubungan mewariskan dan menerima warisan antara dirinya dan manusia tulen. Sebagian ulama mengatakan bahwa ia boleh menerima warisan dari ibunya sendiri dan anak-anaknya, bukan dari bapaknya.55 Apabila ada orang lain membunuhnya maka orang lain tersebut tidak dikenai qisos. Ia dihukumi najis dalam perihal pernikahan karena salah satu dari kedua orang tuanya merupakan hewan yang tidak halal, baik yang salah satu dari keduanya tersebut jantan atau betina (yakni anjing/babi), meskipun ia dinikahkan kepada sesamanya, yaitu yang sama-sama dilahirkan dari hubungan antara manusia dan anjing/babi, dan meskipun antara ia sendiri dan yang hendak dinikahkan dengannya adalah seagama. Begitu juga, menurut pendapat muktamad ia tidak dihalalkan untuk mengambil gundik (mengambil selir atau istri simpanan) karena syarat kehalalan mengambil gundik adalah kehalalan pernikahan. Ibnu Hajar memperbolehkan baginya mengambil gundik sekiranya apabila ia kuatir berzina dan dengan demikian ia dihukumi najis ma’fu. Sedangkan pendapat yang muktamad menurut Romli adalah pendapat yang pertama, yaitu tidak dihalalkan baginya mengambil gundik.

Adapun apabila peranakan antara manusia dan anjing memiliki bentuk seperti anjing dan ia memiliki akal serta mampu berbicara, maka menurut pendapat muktamad hukum peranakan tersebut adalah najis. Perihal hukum-hukum najis mugholadzoh diberlakukan atasnya. Begitu juga, diberlakukan sama seperti peranakan itu sendiri adalah anaknya karena anaknya merupakan far’un bil wasitoh.

Ibnu Qosim berkata, “Peranakan (yang memiliki bentuk seperti anjing tersebut) tidak menerima taklif (tuntutan hukum syariat) meskipun ia dapat berbicara, mengalami tamyiz, dan telah mencapai usia baligh yang seperti balighnya manusia normal. Sama seperti peranakan tersebut, artinya sama-sama tidak menerima taklif, adalah peranakan dengan bentuk manusia yang terlahir dari hubungan antara dua mugholadzoh (seperti; anjing dan anjing, atau babi dan babi, atau anjing dan babi), karena bentuk (seperti manusia) saja tidak bisa menetapkan kesucian sebab lemahnya unsur bentuk. Jadi, ia dihukumi najis secara pasti.”

Qulyubi berkata, “Ketika peranakan (dengan bentuk manusia yang terlahir dari dua mugholadzoh) dapat berbicara dan memahami khitob maka menurut aturan qiyas ia menerima taklif karena dasar penetapan taklif adalah memiliki akal.” Adapun bangkainya dihukumi najis karena dilihat dari sisi dua indukannya.

Adapun peranakan dengan bentuk manusia yang terlahir dari hubungan antara mugholadzoh dan hewan lain selain manusia (spt; anjing dan kambing, babi dan sapi) maka ia dihukumi najis ma’fu secara pasti.

Anak yang terlahir dari hubungan antara manusia dan manusia dihukumi suci secara pasti meskipun anak tersebut berbentuk anjing. Ketika anak tersebut dapat berbicara dan memiliki akal maka sebagian ulama mengatakan bahwa ia menerima taklif karena dasar penetapan taklif adalah memiliki akal dan ia memilikinya.

Anak dengan bentuk manusia yang terlahir dari hubungan antara kambing dan kambing juga menerima taklif jika memang ia dapat berbicara dan memiliki akal. Ia boleh disembelih dan dimakan meskipun ia menjadi seorang khotib dan imam. Oleh karena ini, dikatakan, “Ada seorang khotib boleh disembelih dan dimakan.”

[MASALAH]

Apabila jad-yu, yaitu anak jantan dari kambing, menyusu anjing betina atau babi betina, kemudian jad-yu tersebut tumbuh besar dan gemuk berkat susu anjing atau babi tersebut, maka hukum jad-yu itu tidak najis menurut pendapat asoh.

[FAEDAH]

Sebagian ulama mengutip bahwa semua anjing dihukumi najis kecuali anjing Ashabul Kahfi karena ia adalah suci dan akan masuk ke dalam surga. Mengenai arti atau makna kesucian anjing Ashabul Kahfi belum jelas kepastiannya, artinya, apakah Allah memang dari dulu menciptakannya dalam kondisi suci atau pada awalnya Dia menciptakannya dalam kondisi najis kemudian sifat- sifat kenajisannya dihilangkan darinya? Bajuri berkata, “Dzohirnya menyebutkan pendapat yang kedua,” artinya pada awalnya anjing Ashabul Kahfi diciptakan oleh Allah dalam kondisi najis, kemudian sifat-sifat kenajisannya dihilangkan darinya.

Najis Mukhofafah

[Najis Mukhofafah adalah air kencing shobi (bocah lakilaki)], bukan shobiah (bocah perempuan) dan bocah khuntsa, yang lam yat’am لم يطعم yaitu dengan fathah pada huruf /ي /dan /ع,/ maksudnya yang belum makan dan minum [kecuali susu] untuk tagodzi (dikonsumsi), baik susu tersebut suci atau najis meskipun susu yang berasal dari hewan mugholadzoh (anjing/babi) dan meskipun harus membasuh mulutnya sebanyak 7 (tujuh) kali basuhan (dengan dicampuri debu pada salah satu basuhan tersebut).

Syarqowi berkata, “Termasuk susu adalah keju, zubdu, yaitu sari-sari murni yang diambil dan dikeluarkan dari susu sapi atau kambing, dan qisytoh atau kepala susu, baik kepala susu dari ibunya atau bukan. Termasuk susu juga adalah susu kental kecut yang ada asin-asinnya, dan makhid atau susu yang telah diambil sari patinya dengan cara dicampuri air dan diaduknya meskipun disertai dengan infahhah. Pengertian infahhah adalah perut pertama unta dan kambing jantan yang masih menyusu, tetapi maksud infahhah disini adalah kuning-kuning yang dikeluarkan dari perutnya tersebut. Termasuk susu juga adalah aqot atau iqot, yaitu sesuatu yang diambil dari susu yang telah disaring sari patinya yang kemudian dimasak hingga airnya difilter. Mengecualikan dari susu adalah samin atau mentega meskipun berasal dari susu ibunya. Adapun mencetaki shobi dengan semisal kurma dan memberinya semisal safuf (bubuk obat untuk kesehatan, seperti; untuk tujuan mengeluarkan angin dari perutnya) maka tidak apa-apa, artinya, air kencingnya tetap dihukumi mukhofafah.”

[dan shobi tersebut belum mencapai umur dua tahun] secara kurang lebihnya, sehingga tidak apa-apa jika umurnya lebih semisal dua hari, seperti yang dikatakan oleh Syarqowi.

Syeh Usman berkata dalam kitab Tuhfah al-Habib bahwa pendapat muktamad menyebutkan kalau lebih dua hari tersebut menyebabkan air kencing shobi tidak lagi disebut sebagai najis mukhofafah karena yang dimaksud dengan umur dua tahun adalah secara tahdidiah hilaliah atau hitungan pas bulan, seperti yang disebutkan oleh Syeh Ali Syabromalisi dan seperti yang dikutip dari Qulyubi.

Perkataan Mushonnif, “air kencing shobi dst.” memberikan pemahaman bahwa qoyid atau batasan najis mukhofafah adalah;

  1. Berupa air kencing.
  2. Air kencing keluar dari shobi atau bocah yang benar-benar laki-laki.
  3. Shobi belum mengkonsumsi apapun kecuali susu.
  4. Shobi belum mencapai umur dua tahun.

Najis Mutawasitoh

[Najis mutawasitoh adalah najis-najis lain,] maksudnya najis-najis selain mugholadzoh dan mukhofafah.

Perihal makna ‘سَائِر’

Abu Qosim Hariri berkata dalam kitab Durroh al-Gowwash, “Termasuk kesalah pahaman dan kekeliruan yang jelas adalah mereka mengatakan’قدم سائر الحاج واستوفى سائر الخراج’ Seluruh orang haji telah datang dan mereka telah memenuhi semua pajak). Dalam perkataan tersebut, mereka menggunakan lafadz ‘سائر‘dengan artian ‘الجميع ‘atau seluruh/semua. Padahal, lafadz ‘سائر‘menurut perkataan orang Arab berarti ‘الباقى ‘atau sisa atau lain. Termasuk menggunakan arti sisa adalah bahwa air yang tersisa di dalam wadah disebut dengan ‘سؤر‘suk-ru. Dalil tentang lafadz ‘سائر‘yang berarti sisa adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama kepada Ghoilan, yaitu saat ia telah masuk Islam dan ia telah memiliki 10 istri, ‘Pilihlah 4 (empat) perempuan dari 10 istrimu dan ceraikan ‘سائرهنّ‘, maksudnya ceraikan yang selain dari 4 perempuan yang kamu pilih. Menurut pendapat shohih disebutkan bahwa lafadz ‘سائر‘ digunakan untuk menunjukkan arti sisa, baik yang tersisa itu sedikit atau banyak, karena kesepakatan para ahli bahasa tentang makna hadis, ‘Ketika kamu minum maka ‘فسائروا‘ maksudnya, maka sisakan air di dalam wadah, bahwa yang dimaksud bukan disuruh minum sedikit dan menyisakan banyak. Adapun disunahkan untuk menyisakan air minum tersebut adalah karena takdib (berbuat sopan santun) sebab banyak makan dan minum menunjukkan sifat naham atau rakus dan tercela menurut orang Arab.” Kata naham atau ‘النَهَم‘ dengan dua fathah berarti rakus dalam makan.

Pengertian Najis

Ketahuilah. Sesungguhnya kata najasah menurut bahasa berarti sesuatu yang dianggap menjijikkan meskipun itu suci semisal air ludah, sperma, ingus. Haram memakan benda suci yang menjijikkan yang keluar dari lambung kecuali untuk tujuan kesehatan.

Adapun pengertian najasah menurut istilah adalah sesuatu yang dianggap menjijikkan yang dapat mencegah keabsahan sholat sekiranya tidak ada murokhis atau perkara yang memperbolehkan. Apabila ada murokhis, seperti yang dialami oleh faqid tuhuroini (orang yang tidak mendapati dua alat bersuci, yaitu air dan debu) dan ia menanggung najis, maka ia boleh sholat secara li hurmatil wakti dan ia berkewajiban i’adah (mengulangi sholatnya setelah ia mendapati salah satu dari air atau debu).

Najis-najis

Berdasarkan hitungan, najis-najis ada 20, yaitu:

Air kencing

meskipun dari seorang bocah. Termasuk air kencing adalah batu yang keluar seusai keluarnya air kencing jika memang batu tersebut diyakini berasal dari air kencing yang memadat. Oleh karena ini, batu tersebut dihukumi najis. Sebaliknya, jika batu tersebut tidak diyakini berasal dari pemadatan air kencing maka batu tersebut dihukumi mutanajis, bukan najis, artinya, batu tersebut hanya terkena najis dan dapat disucikan dengan dibasuh.

Madzi (‘المذى ‘dengan huruf /ذ/)

yaitu cairan yang berwarna kuning serta kental yang pada umumnya keluar ketika bangkitnya syahwat yang mana keluarnya tersebut tanpa disertai dengan rasa enak dan syahwat kuat, atau keluar setelah menurunnya atau mengendornya syahwat. Jadi, madzi hanya keluar dari orang-orang yang telah baligh. Bagi perempuan, kebanyakan madzi mereka keluar saat mereka bermain semi porno dan merasakan bangkitnya syahwat (terangsang). Terkadang madzi dapat keluar dari seseorang tanpa ia menyadarinya.

Wadi (‘ىِ دَ الو ‘dengan /د/)

yaitu cairan putih keruh dan kental yang terkadang keluar seusai kencing atau ketika mengangkat beban berat. Wadi tidak hanya keluar dari orang-orang yang telah baligh.

Kotoran

maksudnya tahi manusia atau tahi hewan lain meskipun dari ikan dan belalang. Diperbolehkan menggoreng ikan yang masih hidup. Begitu juga, diperbolehkan menelan ikan secara langsung jika ikan tersebut kecil dan kotoran di dalam perutnya dihukumi ma’fu. Disunahkan menyembelih sapi yang sudah tua umurnya.

Anjing

meskipun anjing yang terlatih untuk berburu, berjaga-jaga, atau tujuan lain.

[HIKMAH]

Anjing memiliki 10 (sepuluh) pekerti terpuji yang hendaknya dimiliki oleh setiap orang mukmin, yaitu:

  1. Anjing selalu dalam kondisi lapar. Ini merupakan sifatnya hamba-hamba yang sholih.
  2. Anjing hanya tidur sebentar di malam hari. Ini merupakan kebiasaan hamba-hamba yang bertahajud.
  3. Ketika anjing diusir seribu kali pun di setiap harinya, ia tidak akan meninggalkan pintu tuannya. Ini merupakan ciri-ciri hamba yang shiddiq (setia kepada Allah).
  4. Ketika anjing mati, ia tidak meninggalkan warisan. Ini merupakan ciri-ciri hamba yang zuhud.
  5. Anjing menerima di tempatkan di tempat terbawah. Ini merupakan ciri-ciri hamba yang ridho.
  6. Anjing selalu melihat setiap orang yang melihatnya agar ia dilempari secuil makanan. Ini merupakan akhlaknya para hamba yang miskin.
  7. Apabila anjing diusir dan dilempari debu, ia tidak akan marah dan dendam. Ini merupakan akhlaknya para hamba yang ‘asyiq (yang mencintai Allah).
  8. Ketika tempat tinggal anjing digusur, ia akan meninggalkannya dan mencari tempat lain. Ini merupakan salah satu perbuatan dari perbuatan-perbuatan hamba yang hamid (terpuji).
  9. Ketika anjing diberi makanan, ia akan memakannya dan tidak meminta makanan yang lain. Ini merupakan ciri-ciri hamba yang qona’ah (menerima apa adanya).
  10. Ketika anjing pergi dari satu tempat ke tempat lain, ia tidak mempersiapkan bekal. Ini merupakan ciri-ciri hamba yang bertawakal.

Bab

Allah telah berfirman, “Diharamkan atas kalian bangkai, darah,” maksudnya membunuh, “dan daging babi,” maksudnya memakannya.56 Dalam ayat tersebut, kata daging dikhususkan penyebutannya karena yang dicari dan diinginkan dari seekor babi adalah dagingnya, sedangkan yang lain mengikuti dagingnya.

Peranakan dari anjing dan babi dengan hewan lain

Dihukumi najis karena mengikuti pada keduanya atau karena mengunggulkan sifat kenajisannya jika tidak ditemukan bentuk anjing/babi pada peranakan tersebut. Adapun ketika bentuk anjing/babi ditemukan pada peranakan tersebut maka bentuknya lah yang diunggulkan, seperti rincian keterangan sebelumnya.

Sperma dari anjing, babi, dan peranakan keduanya

Dihukumi najis karena mengikuti pada asal sperma, yaitu tubuh, berbeda dengan sperma selain dari ketiga hewan tersebut, baik yang halal dimakan dagingnya atau tidak, maka tidak dihukumi najis.

Cairan luka

Cairan luka yang telah berubah rasanya, atau baunya, atau warnanya, karena ia adalah darah yang telah mengalami perubahan. Apabila cairan luka tidak mengalami perubahan pada rasa, atau bau, atau warna, maka dihukumi suci, seperti keringat, berbeda dengan pendapat Rofii. Begitu juga dihukumi najis adalah cairan luka yang belum berubah tetapi tercampur dengan cairan lain karena batasan agar dianggap ma’fu pada cairan luka yang semisal cairan penyakit cacar, nanah busuk, dan cairan lain adalah ketika tidak tercampur dengan cairan lain meskipun cairan lain tersebut berasal dari diri seseorang, seperti cairan air mata dan air ludah.

Shodid atau nanah busuk

yaitu cairan yang tercampuri darah.

Nanah

karena nanah adalah darah yang telah mengalami perubahan wujud.

Mirroh

(‘المرة‘ dengan kasroh pada huruf /م/(yaitu sesuatu yang berada di dalam kulit. Mirroh dihukumi najis. Adapun kulit itu sendiri dihukumi mutanajis yang dapat disucikan dengan cara dibasuh dengan air. Oleh karena ini, diperbolehkan memakan kulit apabila kulit tersebut berasal dari hewan yang halal dimakan dagingnya, seperti; karisy (‘الكرش‘ dengan fathah pada huruf /ك/dan kasroh pada huruf /ر /yang berarti babad), hati, dan tihal (‘الطحال‘ dengan kasroh pada huruf /ط/yang berarti limpa).

Termasuk tergolong mirroh adalah khurzah, yaitu sesuatu yang terdapat di dalam kulit sapi yang digunakan untuk obat-obatan. Khurzah dihukumi najis karena ia berasal dari pemadatan najis sehingga keadaannya menyerupai air najis yang berubah dan memadat menjadi garam.

Sama seperi khurzah dalam hal dihukumi najis adalah racun ular, racun kalajengking, dan racun-racun hewan lain. Oleh karena itu, ketika musholli sedang sholat, kemudian ia dipatuk ular, maka sholatnya menjadi batal karena racun ular tersebut terlihat di bagian yang dipatuk. Berbeda apabila musholli dipatuk kalajengking, maka menurut pendapat aujah, sholat musholli tersebut tidak batal karena kalajengking menembuskan jarumnya hingga ke bagian dalam daging dan menebar racun ke dalamnya, sedangkan bagian dalam daging tersebut merupakan bagian yang tidak wajib dibasuh.

Adapun infahhah maka apabila ia berasal dari hewan yang belum mengkonsumsi apapun kecuali susu maka dihukumi suci, jika tidak, artinya, berasal dari hewan yang telah mengkonsumsi selain susu maka dihukumi mutanajis. (Lihat maksud infahhah pada keterangan sebelumnya tentang Najis Mukhofafah).

Cairan yang memabukkan

baik itu khomr atau yang lainnya. Mengecualikan dengan kata cairan adalah benda padat yang juga bisa memabukkan, seperti daun ganja dan daun bius (‘البنج ‘dengan fathah pada huruf /ب/) yaitu sejenis tumbuhan berbiji yang dapat menyebabkan hilang akal dan gila, karena keduanya meskipun diharamkan dihukumi suci. Selain itu, dihukumi suci tetapi diharamkan adalah candu, zakfaron, anbar, buah pala yang berbentuk besar dan dapat dimakan. Adapun buah pala yang dijual oleh penjual minyak wangi maka ia bukanlah buah pala itu sendiri, tetapi isinya. Maka, mengkonsumsi banyak dari benda-benda suci ini dihukumi haram karena berbahaya bagi akal dan boleh mengkonsumsinya sedikit menurut ‘urf. Sebagian ulama membatasi sedikit dengan ukuran yang tidak sampai mempengaruhi hilang akal. Hendaknya menyembunyikan benda-benda suci tersebut dari orang-orang awam. Syaikhuna Yusuf al-Jawi meminta fatwa kepada Muhammad Sholih tentang hukum menjual candu, membelinya, memakannya, dan menghisap asapnya, apakah halal atau haram? Dan apakah boleh atau tidak memakan candu dan menghisap asapnya karena dhorurot semisal sakit dalam dan lainnya? Dan apakah candu itu najis atau suci? Lalu, Muhammad Sholih menjelaskan fatwanya dengan berkata, “Diharamkan mengkonsumsi candu ketika kapasitas ukuran yang dikonsumsi dapat menghilangkan akal kecuali jika memang terpaksa atau dhorurot yang mengharuskan mengkonsumsinya sekiranya tidak ditemukan obat halal selainnya. Adapun menjual candu kepada pembeli yang akan menggunakannya untuk keharaman maka hukum menjualnya adalah haram. Begitu juga, membelinya untuk tujuan penggunaan yang diharamkan maka dihukumi haram. Sebenarnya, secara dzatiah, candu itu adalah benda suci.”

Sesuatu yang diyakini keluar dari lambung, seperti muntahan meskipun belum berubah.

Apabila yang keluar dari lambung berupa bijian keras sekiranya jika ditanam dapat tumbuh maka dihukumi mutanajis (yang terkena najis dan bisa suci dengan dibasuh air), tetapi apabila bijian tersebut tidak bisa tumbuh jika ditanam maka dihukumi najis secara dzatiah.

Telur yang telah ditelan oleh hewan tertentu, kemudian telur itu keluar darinya, maka apabila sekiranya telur tersebut diengkrami dan dapat menetas maka telur tersebut dihukumi suci, tetapi apabila tidak dapat menetas maka dihukumi najis secara dzatiah.

Sesuatu yang keluar dari dada atau tenggorokan, yaitu lendir dahak atau yang disebut dengan nukho’ah, dan sesuatu yang keluar dari otak, yaitu lendir atau yang disebut dengan balghom, masing-masing dari keduanya dihukumi suci, seperti ingus dan ludah (bushoq/البصاق).

Lafadz 'البصاق' dengan huruf /ص/ atau 'البزاق' dengan huruf /ز/ atau 'البساق' dengan huruf /س/ dengan harakat seperti lafadz 'الغُرَاب' berarti cairan yang keluar dari mulut.

Adapun cairan yang masih ada di dalam mulut maka disebut dengan riq atau 'الرق'.

Begitu juga dihukumi suci adalah minyak anbar, parfum zabad, dan keringat. Begitu juga dihukumi suci adalah misik jika memang misik tersebut berasal dari kijang betina yang masih hidup meskipun hanya menurut dzon (sangkaan) atau berasal dari kijang betina yang telah disembelih.

Mufti Muhammad Sholih pernah ditanya tentang cairan yang keluar dari mulut orang tidur, apakah cairan tersebut najis atau tidak? Dan ketika cairan tersebut dihukumi najis, lantas bagaimana cara menghindarinya bagi orang yang terus menerus mengeluarkannya? Ia menjawab dengan perkataannya, “Sekiranya cairan tersebut tidak terbukti keluar dari lambung maka ia dihukumi suci. Sebaliknya, apabila cairan tersebut terbukti keluar dari lambung maka dihukumi najis. Orang yang terus menerus mengeluarkan cairan tersebut maka baginya cairan tersebut dihukumi ma’fu.”

Susu dari hewan yang tidak halal dimakan dagingnya selain manusia

seperti susu hewan keledai betina atau atan ('الأتان' dengan fathah pada huruf /ء/) yang mana susunya tersebut telah mengalami perubahan di dalam tubuh sebagaimana darah. Adapun susu hewan yang halal dimakan dagingnya dan susu manusia dihukumi suci.

Bangkai selain bangkai manusia, samak (ikan), dan belalang.

Yang dimaksud dengan samak 'السمك' adalah setiap hewan yang tidak dapat hidup di daratan, yakni hewan laut meskipun tidak disebut dengan nama samak.

Imriti berkata dalam nadzom Tahrir dengan pola bahar rojaz;

Setiap hewan di laut dihukumi halal ** meskipun hewan tersebut tofa (‘الطفا ‘atau telah mengapung), atau mati, atau ditewaskan di dalam laut

Apabila hewan air yang juga bisa hidup di daratan maka dihukumi tidak halal, ** seperti buaya secara mutlak dan katak.

Perkataan Imriti tofa/'الطفا' dengan huruf /ف /berarti mati di dalam air, kemudian mengapung atau tidak tenggelam.

Darah

Darah dihukumi najis, kecuali hati dan limpa maka masing- masing dari keduanya dihukumi suci selama tidak ditumbuk lembut dan menjadi darah, jika keduanya ditumbuk dan menjadi darah maka dihukumi najis, dan kecuali sperma dan susu yang keluar dengan warna darah. Telur yang belum rusak sekiranya tidak bisa lagi menetas maka dihukumi suci, tetapi apabila telur telah berubah menjadi madzar atau busuk, yakni putih-putihnya telah tercampur dengan kuning- kuningnya, maka secara pasti dihukumi najis

Usman Suwaifi berkata, “Lafadz ‘مَ د) ‘darah) bisa dibaca dengan tidak ditasydid pada huruf /م/atau dengan ditasydid padanya. Darah dihukumi najis meskipun darah tersebut berasal dari samak (hewan air). Disebutkan dalam kitab al- Ubab bahwa setiap samak yang diasinkan dan isi perutnya belum dikeluarkan dihukumi najis.”

Syarqowi berkata, “Perkataannya ‘دم‘ (darah), maksudnya, darah dihukumi najis meskipun mengalir dari hati atau limpa. Termasuk najis adalah darah yang masih tersisa pada daging dan tulang, tetapi ketika daging tersebut dimasak dengan air dan air tersebut menjadi berubah warnanya sebab darah yang tersisa pada daging maka air itu dihukumi suci, tidak najis, baik air itu sebagai warid (yang mendatangi daging) atau maurud (yang didatangi daging). Kesucian air ini jika memang daging itu belum dibasuh sebelum dimasukkan ke dalam panci, seperti daging kambing. Akan tetapi, apabila daging tersebut telah dibasuh terlebih dahulu dengan air sebelum dimasukkan ke dalam panci, seperti daging kerbau, kemudian air panci itu berubah sebab darah dagingnya, maka air panci itu dihukumi najis, karena syarat menghilangkan najis meskipun najis ma’fu adalah menghilangkan sifat-sifatnya. Oleh karena itu, wajib terlebih dahulu membasuh daging dengan air sebelum dimasukkan ke dalam panci sampai air basuhan itu menjadi bening atau tidak merah lagi. Demikian ini semua difaedahkan oleh Khodir.

Syaikhuna Atiah menetapkan bahwa dihukumi ma’fu darah yang masih tersisa pada daging selama darah tersebut tidak tercampur dengan air, tetapi jika telah tercampur maka tidak dima’fu, seperti yang terjadi di tempat-tempat pemotongan hewan selain kambing. Adapun kambing maka dagingnya tidak bisa tercampur dengan air. Rincian tercampur tidaknya darah dengan air ini berlaku pada selain air untuk memasak daging. Sedangkan air untuk memasaknya, seperti daging mengeluarkan air atau selainnya, maka tidak membahayakan, baik air tersebut warid atau maurud.

Jadi, rincian yang dinyatakan oleh Syeh Atiah adalah rincian tentang darah yang masih tersisa pada daging dan daging tersebut belum dimasukkan ke dalam panci yang berisi air. Adapun keterangan yang aku dengar dari Syaikhuna Hafani adalah keterangan yang dikatakan oleh Khodir.”

[Tatimmah]

Apabila air cukur rambut bercampur dengan darah maka air tersebut dihukumi tidak ma’fu, maksudnya, air yang digunakan untuk membersihkan setelah rambut dicukur. Adapun air pertama (yang bercampur dengan darah) yang digunakan untuk membasahi rambut agar mudah dicukur maka hukumnya dima’fu karena sulitnya mencukur rambut tanpa dibasahi terlebih dahulu.

Jirroh

('الجرة' dengan kasroh pada huruf /ج ,(/yaitu sesuatu yang dikeluarkan oleh unta atau hewan lainnya agar sesuatu tersebut dapat dimakan kembali. Adapun sesuatu yang dikeluarkan oleh hewan dari mulut ketika hewan tersebut merasa gemetaran yang mana sesuatu tersebut biasa disebut dengan qillah maka tidak dihukumi najis sebab keluarnya berasal dari mulut, bukan lambung.

Cairan bisul

cairan bisul yang berbau busuk dihukumi najis. Apabila cairan tersebut tidak berbau busuk maka cairan tersebut dihukumi suci, berbeda dengan pendapat Rofii yang mengatakan tetap dihukumi najis, baik berbau busuk atau tidak.

Asap najis

yaitu asap yang keluar dan yang terpisah dari najis yang dibakar api. Begitu juga dihukumi najis adalah kobarannya, yaitu kobaran api yang bening tanpa disertai adanya asap. Mengenai kenajisan asap dan kobarannya tersebut, yakni baik mereka terpisah dari dzat najis itu sendiri, seperti tahi kering, atau terpisah dari benda yang terkena najis, seperti kayu yang terkena najis air kencing.

Basah-basah pada vagina

Ketahuilah sesungguhnya basah-basah farji (vagina) dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

secara pasti dihukumi suci

yaitu basah- basah yang berada di bagian vagina yang terlihat saat perempuan jongkok.

menurut pendapat asoh dihukumi suci

yaitu basah-basah vagina perempuan yang dapat dikenai dzakar laki-laki yang menjimaknya.

najis

yaitu basah-basah yang berada di bagian vagina setelah/belakang bagian vagina pada nomer 2 (dua).

Pembagian basah-basah di atas hanya terkait pada farji manusia, bukan farji binatang karena binatang hanya memiliki satu lubang yang berfungsi untuk kencing/buang kotoran dan jimak, seperti yang dikatakan oleh Suwaifi.

[CABANG]

Masyimah atau ari-ari yang keluar secara bersamaan dengan anak dihukumi suci.

Syabromalisi berkata, “Menurut dzohirnya, tidak ada kewajiban apapun terkait ari-ari,” maksudnya, tidak ada kewajiban membasuh benda yang terkena ari-ari karena ari-ari dihukumi suci.

Hukum Kotoran Rasulullah

[FAEDAH]

Kotoran-kotoran yang berasal dari tubuh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dan tubuh para nabi yang lain dihukumi suci karena demi memuliakan derajat mereka. Bersamaan dengan dihukuminya suci tersebut, diperbolehkan beristinja dengan kotoran-kotoran mereka jika syarat-syarat kriteria batu dan benda lainnya terpenuhi sebagaimana menurut pendapat muktamad, artinya, jika kotoran mereka itu telah keras, kasar, dan dapat menghilangkan najis. Berbeda dengan air kencing mereka, maka tidak diperbolehkan beristinjak dengannya karena air kencing bersifat cair. Meskipun kotoran-kotoran mereka dihukumi suci, tetap tidak diperbolehkan memakannya kecuali karena bertujuan tabarruk (mengharap kebaikan). Diperbolehkan menginjak kotoran-kotoran mereka dengan kaki, baik menginjaknya tersebut terjadi pada zaman mereka diangkat sebagai nabi atau zaman setelahnya.

Bahkan, ada seorang wa’idz (ahli nasehat) sedang menyebutkan sifat-sifat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Termasuk sebagian dari nasehat yang ia katakan adalah, “Sesungguhnya air kencing Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama adalah lebih baik daripada sholat kalian.”

Mudabighi berkata, “Perkataan si wa’idz tersebut dapat dibenarkan atas dasar 2 (dua) faktor. Diantaranya; pertama, kemungkinan si wa’idz tersebut termasuk ahli mukasyafah yang Allah memperlihatkan kepadanya sifat riyak dalam sholat-sholat yang dilakukan oleh hadirin yang ia nasehati. Kedua, sesungguhnya air kencing Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dapat digunakan untuk obat dan air kencing beliau terbukti bermanfaat, sedangkan sholat yang para hadirin lakukan belum terbukti diterima.” (Oleh karena sholat yang para hadirin lakukan disertai dengan riyak dan sholat mereka belum terbukti diterima sedangkan air kencing Rasulullah telah terbukti bermanfaat dan ampuh maka benar jika dikatakan bahwa air kencing beliau adalah lebih baik daripada sholat mereka).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami