Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 17 | Perkara-perkara yang Membatalkan Tayamum

Ilustrasi tayamum Image by Freepik

Fasal ini membahas tentang Perkara-perkara yang Membatalkan Tayamum dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Perkara-perkara yang Membatalkan Tayamum

(فَصْلٌ) مُبْطِلَاتُ التَّيَمُّمِ ثَلَاثَةٌ: مَا أَبْطَلَ الْوُضُوْءَ وَالرِّدَّةُ وَتَوَهُّمُ الْمَاءِ إِنْ تَيَمَّمَ لِفَقْدِهِ.

Perkara perkara yang membatalkan tayamum ada tiga: yang pertama semua perkara yang membatalkan wudhu yang kedua murtad yang ketiga keraguraguan tentang adanya air.


Penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus saja

[Fasal ini] menjelaskan tentang perkara-perkara yang membatalkan tayamum

[Perkara-perkara yang membatalkan tayamum] setelah keabsahannya [ada 3 (tiga)], yaitu:

Semua perkara yang membatalkan wudhu

Lafadz ما adalah isim maushul atau isim nakiroh maushufah. Takdirnya adalah الوضوء أبطل الذى atau الوضوء أبطل شيئ

Murtad

meskipun secara hukum semisal ada shobi (bocah) mempraktekkan perbuatan kufur yang pernah ia lakukan maka ia dihukumi murtad secara hukum, oleh karena itu tayamum shobi tersebut dihukumi batal.

Alasan mengapa tayamum menjadi batal sebab riddah adalah karena tayamum merupakan toharoh dhoifah (toharoh lemah) karena ia berfungsi istibahah sholat atau agar diperbolehkan untuk melakukan sholat sedangkan sholat sendiri bisa batal sebab riddah.

Berbeda dengan wudhu dan mandi, yakni dengan dinisbatkan pada orang yang selamat anggota-anggota tubuhnya, maka wudhu atau mandi tidak batal sebab riddah meskipun riddah terjadi di tengah-tengah saat melakukan salah satu dari keduanya. Jadi, apabila seseorang berwudhu atau mandi, kemudian ia murtad di tengah-tengah wudhu atau mandi, kemudian ia masuk Islam lagi dengan segera, maka ia boleh menyelesaikan wudhu atau mandinya tersebut tanpa mengulangi dari awal, tetapi ia wajib memperbaharui niat untuk membasuh anggota tubuh yang belum terbasuh.

Adapun wudhu atau mandinya sohibu dhorurot maka dihukumi seperti tayamum, yakni batal sebab riddah. Demikian ini menurut pendapat muktamad.

Keragu-raguan/tawahhum tentang adanya air

meskipun keraguan tersebut hilang dengan segera karena mutayamim berkewajiban mencarinya terlebih dahulu, [jika memang ia bertayamum karena tidak adanya air], misalnya; mutayamim melihat fatamorgana, yaitu sesuatu yang seperti

air yang terlihat di tengah-tengah siang hari, atau ia melihat segerombolan orang yang memiliki air dan mereka memperbolehkan air tersebut untuk dipakai, lalu pada saat mutayamim ragu, tidak ada faktor penghalang untuk menggunakan air tersebut, seperti; binatang buas, dahaga, atau yang lainnya, maka keraguan tersebut menyebabkan tayamumnya menjadi batal. Berbeda dengan masalah apabila dalam kondisi tersebut terdapat faktor penghalang dan mutayamim mengetahui adanya faktor penghalang tersebut sebelum ia ragu tentang adanya air atau bersamaan dengan saat ia ragu tentangnya, maka tayamumnya tidak dihukumi batal sebab keraguan tersebut.

Syarat keraguan tentang adanya air yang dapat membatalkan tayamum adalah sekiranya ketika ragu tentangnya, mutayamim masih berada dalam batas jarak wilayah meminta tolong atau sekurangnya serta waktu sholat masih lama sekiranya masih tersisa waktu yang memungkinkan untuk berjalan menuju tempat air, bersuci dengannya, dan melakukan sholat

Yang dimaksud dengan tawahhum adalah sesuatu yang mencakup keraguan.

Syarat batalnya tayamum sebab melihat fatamorgana adalah jika mutayamim tidak yakin pada awal melihatnya bahwa fatamorgana itu memang fatamorgana. Sama dengan rincian hukum melihat fatamorgana adalah ketika seseorang melihat mendung yang terus menerus menutupi. Berbeda dengan masalah apabila seseorang telah sholat dalam kondisi telanjang, kemudian ia ragu tentang adanya penutup aurat, maka sholatnya tersebut tidak batal sebab tidak ada kewajiban atasnya mencari penutup aurat tersebut

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami