Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 13 | Perkara Yang Diharamkan Sebab Hadas

Fasal ini membahas tentang Perkara-perkara Yang Diharamkan Sebab Hadas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kitab safinatun naja perkara Yang Diharamkan Sebab HadasImage by © LILMUSLIMIIN

Perkara-perkara Yang Diharamkan Sebab Hadas

(فَصْلٌ) مَنِ انْتَقَضَ وُضُوْءُهُ حَرُمَ عَلَيْهِ اَرْبَعَةُ اَشْيَاءَ: الصَّلَاةُ وَ الطَّوَافُ وَ مَسُّ الْمُصْحَفِ وَ حَمْلُهُ. وَ يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ سِتَّةُ أَشْيَاءَ: الصَّلَاةُ وَ الطَّوَافُ وَ مَسُّ الْمُصْحَفِ وَ حَمْلُهُ وَ اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ وَ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ. وَ يَحْرُمُ بِالْحَيْضِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ: الصَّلَاةُ وَ الطَّوَافُ وَ مَسُّ الْمُصْحَفِ وَ حَمْلُهُ وَ اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ وَ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَ الصَّوْمُ وَ الطَّلَاقُ وَ الْمُرُوْرُ فِي الْمَسْجِدِ إِنْ خَافَتْ تَلْوِيْثَهُ وَ الْإِسْتِمْتَاعُ بِمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَ الرُّكْبَةِ.

Barang siapa telah batal wudhunya maka diharamkan atasnya 4 (empat) perkara, yaitu: Shalat, thawaf, menyentuh mushaf dan membawa mushaf. Dan haram bagi orang yang terkena junub 6 perkara, yaitu: Shalat, thawaf, menyentuh mushaf, membawa mushaf, diam di masjid dan membaca Alquran. Dan haram bagi orang haidh 10 perkara, yaitu: Shalat, thawaf, menyentuh mushaf, membawa mushhaf, diam di masjid, membaca Alquran, puasa, talak, lewat di dalam masjid jika takut akan mengotorinya dan bersenang-senang dengan bagian tubuh antara lutut dan pusar.


Penjelasan dari kitab syarah kasyifatus saja karangan imam Nawai Al Bantani :

Fasal ini menjelaskan tentang perkara-perkara yang diharamkan sebab hadas kecil (asghor), sedang (mutawasit), dan besar (akbar).

[nextpage]

Perkara-perkara yang Diharamkan Sebab Hadas Kecil (Asghor)

Barang siapa telah batal wudhunya maka diharamkan atasnya 4 (empat) perkara, yaitu;

Shalat

(Orang yang telah batal wudhunya atau yang tengah menanggung hadas kecil tidak diperbolehkan melakukan sholat) sekalipun itu sholat sunah, sholat jenazah, karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, “Allah tidak akan menerima sholat yang dilakukan oleh salah satu dari kalian ketika ia telah menanggung hadas sampai ia berwudhu terlebih dahulu,” maksudnya, Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian ketika hadas ditanggungnya sampai ia berwudhu terlebih dahulu agar Dia menerima sholatnya.

Dikecualikan yaitu faqid tuhuroini (orang yang tidak mendapati dua alat toharoh, yaitu air dan debu), maka ia melakukan sholat fardhu (tanpa bersuci, dalam hal ini, tanpa berwudhu), bukan sholat sunah, karena lihurmatil waqti. Dan ketika ia telah mendapati salah satu dari air atau debu, ia mengqodho sholatnya itu.

Masuk dalam makna sholat adalah khutbah Jumat, Sujud Tilawah, dan Sujud Syukur, (artinya, ketika seseorang telah menanggung hadas dan belum berwudhu, ia tidak diperbolehkan melakukan khutbah Jumat dst.)

Towaf

(Orang yang telah batal wudhunya atau yang tengah menanggung hadas kecil tidak diperbolehkan melakukan) towaf, baik towaf fardhu atau sunah, seperti; towaf qudum, karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Hakim, “Towaf menduduki kedudukan sholat. Hanya saja, Allah memperbolehkan berbicara di dalam towaf (bukan sholat). Barang siapa berbicara (saat towaf) maka janganlah ia berbicara kecuali kebaikan.”

Menyentuh Mushaf

(Orang yang telah batal wudhunya atau yang tengah menanggung hadas kecil tidak diperbolehkan menyentuh mushaf. Pengertian mushaf adalah setiap benda yang diatasnya tertulis al- Quran untuk tujuan dirosah (dipelajari yang mencakup dibaca) sekalipun benda tersebut adalah kayu, papan, kulit binatang, atau kertas.

Dikecualikan yaitu tamimah atau azimat. Pengertian tamimah adalah setiap benda yang didalamnya terdapat sedikit tulisan al-Quran untuk tujuan tabarruk (mengharap keberkahan) dan dikalungkan di atas, misalnya, kepala. Maka orang yang telah batal wudhunya tidak diharamkan menyentuh dan membawa tamimah selama tamimah tersebut menurut urf-nya tidak disebut sebagai mushaf. Ketika seluruh al-Quran ditulis maka tidak bisa disebut sebagai tamimah meskipun bentuknya diperkecil sekali dan meskipun tidak ada tujuan menjadikan tulisan seluruh al-Quran tersebut sebagai tamimah. Jadi, tidak ada ibroh (ketetapan hukum) bagi tujuannya tersebut.

Ibnu Hajar berkata, “Ibroh (ketetapan hukum) terkait tujuan dirosah dan tabarruk tergantung pada kondisi tulisan dan penulis, baik penulis tersebut menulis al-Quran untuk dirinya sendiri atau ia memang sukarela menuliskannya untuk orang lain tanpa adanya upah dan perintah. Jika ada upah dan perintah, maka ibroh-nya tergantung pada kondisi pemberi perintah dan penyewanya.”

Nawawi berkata dalam kitabnya at-Tibyan Fi Adabi Hamalati al-Quran, “(Diharamkan atas muhdis atau orang yang menanggung hadas untuk menyentuh mushaf), baik menyentuh tulisan mushaf itu sendiri, atau pinggirnya, atau sampulnya. Diharamkan atas muhdis menyentuh kantong, sampul, dan peti kecil yang di dalamnya terdapat mushaf. Hukum keharaman ini adalah pendapat madzhab yang dipilih. Menurut qiil, tidak diharamkan atas muhdis menyentuh kantong, sampul, dan peti kecil tersebut. Qiil ini adalah pendapat dhoif. Apabila seseorang menulis al-Quran di atas papan maka hukum papan tersebut adalah seperti hukum mushaf, baik sedikit atau banyak tulisannya, bahkan apabila ia hanya menulis sebagian ayat al-Quran dengan tujuan dirosah maka diharamkan atasnya yang sedang menanggung hadas untuk menyentuhnya.”

Nawawi juga berkata dalam kitabnya at-Tibyan, “Lafadz المصحف memiliki tiga bahasa, yaitu dengan dhommah, fathah, dan kasroh pada huruf م. Yang masyhur adalah yang dengan dhommah dan kasroh, sedangkan yang dengan fathah telah disebutkan oleh Abu Hafs an-Nuhas dan selainnya.”

Syabromalisi berkata, “Menurut pendapat dzohir, menyentuh mushaf disertai menanggung hadas bukan termasuk dosa besar. Berbeda dengan melakukan sholat, towaf, sujud tilawah, dan sujud syukur, disertai menanggung hadas maka termasuk dosa besar.”

Membawa Mushaf

(Orang yang telah batal wudhunya atau yang tengah menanggung hadas kecil tidak diperbolehkan membawa mushaf), kecuali apabila mushaf yang dibawanya bersamaan dengan barang- barang lain, maka ia diperbolehkan membawa mushaf karena diikut sertakan pada barang-barang lain tersebut, dengan catatan, jika memang ia tidak menyengaja mushaf saja sekiranya ia tidak menyengaja apapun atau ia hanya menyengaja barang-barang lain tersebut, dan juga, atau ia menyengaja mushaf dan barang-barang lain tersebut menurut pendapat mu’tamad. Berbeda, apabila ia hanya menyengaja mushaf, atau ia menyengaja salah satu dari mushaf atau barang-barang lain tersebut tanpa menentukan mana yang sebenarnya dimaksud, maka diharamkan atasnya membawa mushaf.

Dalam masalah orang yang menanggung hadas kecil yang membawa mushaf beserta barang-barang lain, seperti yang baru saja disebutkan, tidak disyaratkan barang-barang lain tersebut adalah wadah bagi mushaf. Diperbolehkannya membawa mushaf dalammasalah ini adalah sekiranya ia tidak dianggap sebagai penyentuh mushaf, misalkan, ia memberi cantolan pada barang-barang lain itu, kemudian ia membawanya, karena menyentuh mushaf saja atas orang yang menanggung hadas kecil dihukumi haram meskipun disertai penghalang dan meskipun tanpa tujuan tertentu.

Nawawi berkata dalam kitabnya at-Tibyan, “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa wajib menjaga mushaf dan memuliakannya. Para ashab kami dan lainnya berkata, ‘Andaikan seorang muslimmenjatuhkan mushaf di tempat sampah, naudzu billah, maka ia telah kufur.’ Mereka juga berkata, ‘Diharamkan bantalan dengan mushaf, bahkan diharamkan bantalan dengan buku ilmu agama.’ Seseorang disunahkan berdiri karena memuliakan mushaf, yakni ketika mushaf dibawakan kepadanya . Oleh karena berdiri untuk menghormati para ulama dan para kyai saja disunahkan, maka berdiri karena memuliakan mushaf tentu lebih utama untuk dihukumi sunah.”

[nextpage]

Perkara-perkara yang Diharamkan Sebab Hadas Sedang (Ausat)

Diharamkan atas orang junub, yaitu orang yang menanggung hadas sedang, 6 (enam) perkara, yaitu;

Shalat

Maksudnya, orang junub diharamkan melakukan sholat karena berdasarkan hadis, “Allah tidak akan menerima sholat yang tidak disertai suci dan tidak akan menerima sedekah dari harta haram.” Dalam hadis, lafadz الغلول dengan dhommah pada huruf غ berarti الحرم atau haram.

Nawawi berkata, “Ketika orang junub tidak mendapati air dan debu maka ia melakukan sholat karena lihurmatil waqti yang sesuai dengan keadaannya. Ia diharamkan membaca al-Quran di luar sholat. Sedangkan ketika di dalam sholat, ia diharamkan membaca bacaan al-Quran yang melebihi Surat al-Fatihah. Pertanyaannya, apakah ia diharamkan membaca Surat al-Fatihah? Jawaban dari pertanyaan ini terdapat dua wajah. Pertama, menurut pendapat shohih yang dipilih, ia tidak diharamkan membaca Surat al-Fatihah di dalam sholat, bahkan ia wajib membacanya karena sholat tidak akan sah tanpa disertai membaca Surat-al-Fatihah dan karena sebagaimana ia diperbolehkan sholat karena dhorurot padahal disertai menanggung jinabat maka ia diperbolehkan membaca Surat al-Fatihah. Pendapat kedua, ia tidak diperbolehkan membaca Surat al-Fatihah di dalam sholat, tetapi ia menggantinya dengan dzikir- dzikir sebagaimana yang dibaca oleh musholli yang tidak hafal sama sekali ayat al-Quran, oleh karena orang junub yang tidak mendapati air dan debu ini adalah orang yang tidak mampu menurut syariat maka ia menjadi seperti orang yang tidak mampu menurut kenyataannya. Yang benar adalah pendapat yang pertama.”

Towaf

Maksudnya, orang junub tidak diperbolehkan towaf karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Hakim, “Towaf di Ka’bah adalah sholat,” maksudnya seperti sholat dalam hal kewajiban menutup aurat dan bersuci.

Menyentuh Mushaf

Orang junub tidak diperbolehkan menyentuh mushaf. Nawawi berkata, “Ketika orang junub atau muhdis (orang yang menanggung hadas) menulis mushaf di kertas, maka apabila ia sambil membawa dan menyentuh kertas pada saat menulis maka hukumnya adalah haram, tetapi apabila ia tidak membawa dan menyentuh kertas pada saat menulis maka terdapat tiga wajah pendapat; yaitu pendapat pertama yang shohih menyebutkan boleh bagi orang junub dan muhdis, pendapat kedua menyebutkan boleh bagi muhdis saja, dan pendapat ketiga menyebutkan boleh bagi orang junub saja.”

Membawa Mushaf

Orang junub tidak diperbolehkan membawa mushaf karena membawanya lebih parah daripada menyentuhnya. Jadi, bagi orang junub, membawa mushaf adalah haram berdasarkan pengqiyasan aulawi.

Nawawi berkata, “(Diharamkan atas orang junub membawa mushaf), baik membawanya disertai penghalang berupa sampulnya atau lainnya.”

Orang junub diperbolehkan menggendong orang lain yang membawa mushaf. Dalam masalah ini, tidak berlaku rincian-rincian yang telah disebutkan dalam hal membawa mushaf beserta barang- barang lain, karena dengan menggendong orang lain tersebut, orang junub tidak bisa dianggap sebagai pembawa mushaf meskipun ia qosdu atau menyengaja mushaf. Jadi, dalam kasus ini, tidak ada ibroh bagi qosdunya itu.

Apabila seseorang membawa mushaf beserta buku lain dalam satu jilidan maka hukum membawanya adalah seperti hukummembawa mushaf bersamaan dengan barang-barang lain dalam hal rincian yang telah disebutkan sebelumnya dengan dinisbatkan pada perbuatan membawa. Adapun menyentuh, maka diharamkan menyentuh jilidan yang menghadap ke mushaf, bukan jilidan lain yang tidak menghadapnya. Alasan diharamkan menyentuh jilidan mushaf tersebut, padahal jilidan tersebut adalah penghalang, lagi pula menyentuh dari belakang mushaf sama sekali tidak berpengaruh sebagaimana menyentuh alat kelamin dari balik penghalang tidak membatalkan wudhu, adalah karena dalam menetapkan keharaman menyentuh disini terdapat unsur mengagungkan mushaf. Oleh karena ini, diharamkan menyentuh mushaf dari balik penghalang karena menunjukkan sikap lebih mengagungkannya. Adapun batalnya wudhu sebab menyentuh alat kelamin adalah karena dapat membangkitkan syahwat, sedangkan syahwat sendiri tidak bisa muncul disertai adanya penghalang, sehingga menyentuh alat kelamin disertai adanya penghalang tidak memberikan pengaruh terhadap batalnya wudhu.

Tidak wajib melarang anak kecil (shobi) yang tamyiz meskipun ia sedang menanggung junub dari membawa dan menyentuh mushaf karena ada tujuan belajar dan karena sulitnya anak kecil tersebut untuk selalu menetapi suci dari hadas. Jadi, ketidak wajiban melarangnya disini adalah ketika membawa dan menyentuhnya tersebut bertujuan untuk dirosah

Syabromalisi berkata, “Berbeda dengan masalah memberikan kuasa kepada anak kecil (shobi) untuk melakukan sholat, towaf, dan lain-lainnya disertai ia menanggung hadas, (maka wajib dilarang).”

Diharamkan memberikan kuasa kepada anak kecil (shobi)yang belum tamyiz untuk mendekati semisal mushaf meskipun hanya sebagian ayat karena mengandung unsur ihanah atau menghina.

(Faedah) Nawawi berkata dalam kitabnya at-Tibyan, “Orang kafir tidak boleh dilarang atau dicegah dari mendengarkan al-Quran karena berdasarkan Firman Allah, ‘Dan jika seorang di antara kaummusyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Firman Allah.’39 Orang kafir dilarang atau dicegah dari menyentuh mushaf. Pertanyaannya, apakah diperbolehkan mengajarinya al-Quran? Jawaban dari pertanyaan ini, para ashab kami berkata, ‘Apabila tidak diharapkan keIslamannya maka tidak boleh mengajarinya al-Quran. Dan apabila diharapkan keislamannya maka ada dua wajah pendapat; pendapat pertama yang paling ashoh menyebutkan boleh mengajarinya karena mengharapkan keislamannya, dan pendapat kedua menyebutkan tidak boleh mengajarinya sebagaimana tidak boleh menjual mushaf kepadanya meskipun diharapkan keislamannya.’ Adapun ketika kami melihat orang kafir belajar al-Quran, maka apakah ia dicegah atau tidak? Jawaban dari pertanyaan ini juga terdapat dua wajah pendapat.

Berhenti Sebentar di Masjid (al-Lubts)

Orang junub tidak diperbolehkan berhenti sebentar (al- Lubts) di masjid. Lafadz اللبث dengan dhommah atau fathah pada huruf ل adalah bentuk masdar dari lafadz لبث ,yaitu termasuk dari bab lafadz سمع يسمع. Maksudnya, orang junub yang muslim, yang baligh, yang selain nabi tidak diperbolehkan al-lubts di masjid. Pengertian masjid adalah setiap bidang tanah atau bangunan yang diwakafkan untuk sholat. Keharaman al-lubts atas orang junub adalah meskipun berhentinya seukuran dengan lamanya tumakninah.

Berbeda dengan ‘ubur atau melewati masjid, maka tidak diharamkan atasnya. Pengertian ‘ubur adalah masuk dari pintu tertentu dan keluar dari pintu lain. Berbeda dengan masalah apabila masjid hanya memiliki satu pintu saja, maka orang junub tidak diperbolehkan memasukinya.

Adapun taroddud (mondar-mandir) di masjid bagi orang junub adalah haram karena seperti berdiam diri.

Allah berfirman, “Janganlah kamu mendekati sholat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu mengetahui apa yang kamu katakan dan janganlah kamu mendekati sholat sedangkan kamu dalam keadaan sebagai orang junub sampai kamu mandi (terlebih dahulu), kecuali mereka yang hanya melewati jalan,” maksudnya, janganlah kamu mendekati tempat sholat pada saat kamu dalam keadaan mabuk dan janganlah kamu mendekati tempat sholat pada saat kamu dalam keadaan junub.

Namun, orang junub diperbolehkan al-lubts di dalam masjid karena dhorurot, seperti; ia tidur di masjid, kemudian ia bermimpi basah dan kesulitan keluar dari sana karena takut dengan ‘asas atau orang-orang yang sedang ronda di malam hari (semisal; takut disangka oleh mereka sebagai pencuri) atau dengan yang lainnya, tetapi ia wajib tayamum jika memang mendapati debu yang selain debu masjid. Adapun debu masjid, yaitu debu yang termasuk dari sifat kewakafan masjid sekiranya masjid masih berlantai tanah, maka diharamkan bertayamum dengannya tetapi sah tayamumnya. Arti kata ‘asas adalah penjaga yang berkeliling ronda di malam hari.

Andaikan suami menjimak istrinya di masjid tetapi dengan cara jimak sambil berjalan maka tidak diharamkan sebab tidak ada aktifitas berhenti sebentar atau berdiam diri. Adapun apabila mereka berdua berdiam diri di dalam masjid karena udzur maka suami tidak boleh menjimak istri.

Termasuk bagian dari masjid adalah loteng, serambi, jendela atap, tembok, dan bangunan di bawah tanah masjid. Dikecualikan dengan masjid adalah musholla atau tempat sholat hari raya, madrasah; yakni tempat yang digunakan untuk proses belajar mengajar oleh syeh dan para santri, dan pondokan; yakni rumah yang dibangun untuk ditempati oleh para fakir dan para santri atau rumah yang dibangun sebagai tempat ibadah oleh para sufi, atau yang dimaksud dengan pondokan adalah tsughur, yaitu tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan musuh.

Adapun anak kecil (shobi) yang junub, maka diperbolehkan bagi wali memberinya kuasa untuk berdiam diri di dalam masjid sebagaimana diperbolehkan bagi wali memberinya kuasa untuk membaca al-Quran.

Adapun Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, maka beliau diperbolehkan berdiam diri di masjid dalam kondisi junub karena termasuk salah satu dari keistimewaan-keistimewaan beliau dan karena keberadaan beliau di masjid sangat dibutuhkan untuk menyebar luaskan Sunah, dan karena dzat beliau adalah lebih utama daripada dzat masjid. Akan tetapi, belum pernah terjadi kalau beliau berdiam diri di masjid dalam kondisi junub.

Adapun orang kafir, ia tidak dilarang untuk berdiam diri di dalam masjid dalam kondisi junub karena ia tidak meyakini keharamannya meskipun sebenarnya diharamkan atasnya karena ia dituntut atas cabang-cabang syariat.

Tidak diperbolehkan atas orang kafir untuk masuk ke dalammasjid meskipun ia tidak dalam kondisi junub kecuali dengan izin dari orang muslim yang baligh serta adanya hajat atau keperluan darinya untuk masuk ke sana. Termasuk kategori hajat atau keperluan adalah ikut duduk bersama qodhi atau mufti di dalammasjid atau meramaikan masjid.

Membaca Al-Quran

Orang junub diharamkan membaca al-Quran dengan 7 (tujuh) syarat, yaitu;

1. Membaca dengan cara dilafadzkan, atau bagi orang junub yang bisu dengan cara berisyarat yang memahamkan, karena isyarat dari akhros (orang bisu) dianggap (mu’tad biha) kecuali dalam tiga bab, yaitu;

a.Sholat; oleh karena itu, ketika akhros sholat, kemudian ia berisyarat dengan isyarat yang memahamkan, maka sholatnya tidak batal.

b. Melanggar sumpah; oleh karena itu, ketika seseorang telah bersumpah untuk tidak akan berbicara sama sekali, padahal ia mampu berbicara, lalu ia berubah menjadi bisu, lalu ia berisyarat dengan isyarat yang memahamkan, maka ia tidak dihukumi telah melanggar sumpahnya

c. Syahadah atau bersaksi; oleh karena itu, ketika akhros bersyahadah dengan cara berisyarat maka syahadahnya tidak dapat diterima

Isyarat dari natiq (orang yang dapat berbicara) tidak dianggap (mu’tad biha) kecuali dalam 3 (tiga) bab, yaitu:

a. Akad aman bagi natiq kafir

b. Iftak atau berfatwa, misal; natiq ditanya, “Apakah kamu berwudhu dengan air ini?” Kemudian natiq berisyarat dengan menganggukkan kepala (Iya) atau menggelengkannya (tidak).

c. Meriwayatkan hadis, misal; natiq ditanya, “Apakah kami meriwayatkan hadis ini darimu?” natiq menjawab dengan berisyarat menganggukkan kepala (Iya) atau menggelengkannya (tidak).

Dikecualikan dengan pernyataan membaca dengan cara dilafadzkan adalah membaca al-Quran dengan cara dibatin, maka tidak diharamkan atas orang junub

2. Orang junub yang membaca al-Quran dapat mendengar suara bacaannya sendiri. Oleh karena itu, dikecualikan ketika ia melafadzkan bacaan al-Quran, tetapi ia tidak mendengar suara bacaannya sendiri, sekiranya pendengarannya berkemampuan sedang dan tidak ada manik atau penghalang (spt; ramai, gaduh, dll).

3. Orang junub adalah orang muslim. Oleh karena itu, dikecualikan ketika orang junub adalah orang kafir, maka ia tidak dilarang membaca al-Quran dalam kondisi junub karena ia tidak meyakini keharaman membacanya meski ia kelak akan disiksa sebab telah membaca al-Quran dalamkondisi junub.

4. Orang junub adalah orang yang mukallaf (baligh dan berakal). Oleh karena itu, dikecualikan dengannya yaitu anak kecil (shobi) dan gila (Majnun)

5. Bacaan yang dibaca adalah al-Quran, sekiranya ketika orang junub membacanya, ia bisa disebut sebagai pembaca al- Quran. Jadi, dikecualikan dengannya yaitu Taurat, Injil, dan tilawah yang dimansukh meskipun hukumnya masih tetap, seperti ayat rajam;

6. Orang junub membaca al-Quran dengan bermaksud qiroah (membaca) saja, atau bermaksud qiroah dan dzikir, atau bermaksud salah satu dari qiroah atau dzikir tetapi tidak ditentukan manakah yang sebenarnya ia maksud.

Apabila ia membaca satu ayat al-Quran dengan bermaksud ihtijaj atau mengambil dalil maka diharamkan.

Apabila orang junub membaca al-Quran dengan bermaksud dzikir saja atau ia memutlakkan, artinya, ia membaca al- Quran dengan menggerak-gerakkan lisan tanpa memaksudkan salah satu dari qiroah atau dzikir, maka tidak diharamkan karena demikian itu tidak disebut sebagai quran (membaca) karena adanya shorif (perkara yang mengalihkan) kecuali dengan disertai maksud tertentu. Sebaliknya, apabila tidak ada shorif maka bisa disebut dengan quran meskipun tanpa disertai maksud tertentu.

7. Hukum membaca al-Quran yang dilakukan oleh orang junub adalah sunah. Berbeda, ketika hukum membacanya adalah wajib, baik di dalam sholat atau di luarnya.

Adapun bacaan al-Quran yang wajib di dalam sholat adalah seperti; faqid at-tuhuroini (orang yang tidak mendapati dua alat bersuci, yaitu air dan debu). Oleh karena itu, bagi si faqid, tidak ada bedanya antara ia menyengaja qiroah atau memutlakkan karena ketika dimutlakkan, bacaannya tetap disebut sebagai quran sebab adanya kewajiban sholat atasnya (lihurmatil waqti), sehingga manik (yakni jinabat) tidak dianggap atau tidak mu’tabar.

Adapun bacaan al-Quran yang wajib di luar sholat adalah seperti; seseorang telah bernadzar akan membaca Surat Yaasin di waktu tertentu, lalu ternyata ia menanggung jinabat pada waktu tersebut dan dalam kondisi sebagai faqid at-tuhuroini, maka ia wajib membaca Surat Yaasin sebab dhorurot, tetapi dengan maksud qiroah (quran), bukan memutlakkan, dan tidak ada hukum keharaman atasnya. Contoh ini tidaklah sama dengan rincian hukum keharaman dalam membaca al-Fatihah atas orang junub di luar sholat sebab ada faktor bernadzar.

[nextpage]

Perkara-perkara yang Diharamkan Sebab Hadas Besar

Perkara-perkara yang diharamkan sebab haid dan nifas ada 10 (sepuluh), yaitu;

Shalat

Maksudnya, perempuan haid atau nifas diharamkan melakukan sholat ketika ia adalah perempuan yang sengaja dan tahu tentang keharamannya. Apabila ia melakukan sholat maka sholatnya tersebut tidak sah secara mutlak, artinya, meskipun ia bodoh tentang keharamannya atau lupa melakukannya. Ia tidak diwajibkan mengqodho sholat fardhu yang ditinggalkannya saat haid atau nifas, tetapi jika ia mengqodhonya maka dimakruhkan dan sholat fardhu tersebut berubah menjadi sholat sunah mutlak yang tidak berpahala menurut pendapat mu'tamad.

Perbedaan antara mengapa perempuan haid tidak diwajibkan mengqodho sholat sedangkan ia diwajibkan mengqodho puasa adalah karena sholat terjadi berulang-kali (setiap hari 5 kali misalnya) sehingga ia merasa kesulitan dan berat untuk mengqodhonya, tidak seperti puasa (yang hanya terjadi di bulan Ramadhan) sehingga mengqodhonya tidak dirasa berat. Oleh karena alasan inilah, Aisyah rodhiallahu ‘anha berkata, “Kami diperintahkan untuk mengqodho puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqodho sholat.”

Towaf

Maksudnya, perempuan haid atau nifas tidak diperbolehkan melakukan towaf, baik towaf yang termasuk dalam nusuk atau manasik (haji atau umrah) atau yang tidak termasuk di dalamnya, karena towaf dilakukan hanya di dalam masjid.

Apabila kamu bertanya, “Ketika masuk ke dalam masjid diharamkan atas perempuan haid atau nifas maka towaf lebih utama untuk diharamkan juga atasnya. Lantas apa tujuan menyebutkan towaf sebagai perkara tersendiri yang diharamkan atasnya?” Aku menjawab, “Tujuannya menyebutkan towaf disini adalah agar tidak terjadi kesalah pahaman bahwa ketika perempuan haid atau nifas diperbolehkan melakukan wukuf, padahal wukuf adalah rukun haji yang paling kukuh, maka towaf seharusnya lebih diperbolehkan atasnya.”

Menyentuh Mushaf

Maksudnya, perempuan haid atau nifas tidak diperbolehkan menyentuh mushaf, bahkan tidak diperbolehkan sekalipun menyentuh sisi tepi mushaf, bagian antara baris atas dan baris bawah, dan kertas putih yang berada di antara mushaf dan jilidannya yang bersambung dengannya.

Diharamkan atas perempuan haid atau nifas menyentuh mushaf sekalipun disertai dengan haa-il (penghalang) yang tebal sekiranya menurut ‘urf ia masih bisa disebut sebagai penyentuh mushaf karena dapat mengurangi sikap ta’dzim pada mushaf.

Yang dimaksud dengan menyentuh disini adalah menyentuh dengan bagian anggota tubuh manapun, tidak terkhusus pada bagian dalam telapak tangan.

Nawawi berkata;

Ketika muhdis (disini orang yang menanggung hadas kecil), junub, atau perempuan haid, menyentuh atau membawa kitab-kitab Ilmu Fiqih atau selainnya, sedangkan di dalam kitab-kitab tersebut terdapat ayat al-Quran, atau baju yang dibordir atau disulam dengan bentuk tulisan al-Quran, atau dirham/dinar yang diukir dengan bentuk ukiran ayat al-Quran, atau menyentuh tembok, manisan, atau roti yang diukir dengan bentuk ukiran ayat al-Quran, maka menurut madzhab yang shohih menyebutkan bahwa semua itu diperbolehkan karena semua yang disentuh atau dibawa tersebut tidak bisa disebut sebagai mushaf. Akan tetapi, menurut satu wajh pendapat, hukumnya adalah haram.

Aqdhol Qudhot, yakni Abu Hasan Mawardi, berkata dalamkitabnya al-Hawi, “Diperbolehkan menyentuh pakaian-pakaian yang dibordir atau disulam dengan bentuk tulisan al-Quran, tetapi secara pasti tidak diperbolehkan memakainya tanpa ada khilaf pendapat ulama, karena tujuan memakainya adalah untuk tabarruk atau mengharapkan keberkahan al-Quran.”

Pendapat yang dikatakan oleh Mawardi ini adalah dhoif dan tidak ada satu ulama pun yang sependapat dengannya. Bahkan, Syeh Abu Muhammad al-Juwaini dan selainnya mantap dengan diperbolehkannya memakai pakaian-pakaian tersebut. Pendapat mereka inilah yang dibenarkan. Wallahu a’lam.

Adapun buku-buku Tafsir dan Fiqih, apabila tulisan ayat al- Quran adalah lebih banyak daripada tulisan selainnya maka diharamkan menyentuh dan membawanya. Sebaliknya, apabila tulisan selain ayat al-Quran adalah yang lebih banyak, maka hukum menyentuh dan membawanya terdapat tiga wajh pendapat; pertama dan yang paling ashoh adalah tidak diharamkan, kedua; diharamkan, dan ketiga; apabila al-Quran ditulis dengan tulisan yang dapat dibedakan, semisal; dari segi kerapatannya, atau ada yang merah dan ada yang hitam, atau yang lainnya, maka diharamkan, sebaliknya apabila al-Quran ditulis dengan tulisan yang tidak dapat dibedakan maka tidak diharamkan. Pengarang kitab Tatimmah dari ashab kami berkata, “Ketika tidak diharamkan maka hukumnya dimakruhkan.”

Adapun kitab-kitab hadis Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, maka apabila di dalamnya tidak terdapat ayat-ayat al-Quran maka tidak diharamkan menyentuhnya. Tetapi yang lebih utama adalah menyentuh kitab-kitab hadis dalam kondisi suci dari hadas. Apabila di dalamnya terdapat ayat-ayat al-Quran maka menurut madzhab tidak diharamkan, tetapi dimakruhkan. Menurut satu wajh pendapat menyebutkan diharamkan. Pendapat wajh inilah yang banyak tertulis di dalam kitab-kitab Fiqih.

Adapun ayat al-Quran yang telah dimansukh tilawahnya, seperti;

الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما

dan semisalnya maka tidak diharamkan menyentuh dan membawanya. Ashab kami berkata, “Begitu juga tidak diharamkan menyentuh dan membawa kitab Taurat dan Injil.” Sampai sinilah keterangan dari Nawawi berakhir.

Membawa Mushaf

Maksudnya, perempuan yang haid atau nifas tidak diperbolehkan membawa mushaf. Apabila ia meletakkan tangannya di atas al-Quran dan Tafsir maka hukum meletakkannya tersebut sama rinciannya dengan hukum membawanya, yaitu apakah tafsir tersebut lebih banyak daripada al-Qurannya ataukah sebaliknya.

Nawawi berkata, “Ketika muhdis (disini orang yang telah batal wudhunya), atau junub, atau perempuan haid, membalikkan kertas-kertas mushaf dengan kayu atau yang lain, maka hukumnya terdapat dua wajh pendapat dari kalangan ashab kami. Pendapat pertama yang paling adzhar menyebutkan diperbolehkan. Para ulama Irak dari ashab kami memutuskan dan memastikan pendapat pertama ini karena mereka tidak disebut sebagai orang yang menyentuh dan yang membawa. Pendapat kedua menyebutkan diharamkan. Pendapat kedua ini dipilih oleh Rofii karena mereka dianggap sebagai orang-orang yang membawa kertas mushaf, sedangkan membawa kertasnya adalah seperti membawa mushaf secara keseluruhan itu sendiri. Adapun ketika mereka melipat lengan baju gamisnya di tangan, kemudian dijadikan sebagai landasan untuk membolak-balikan kertas mushaf, maka secara pasti diharamkan tanpa ada khilaf pendapat di kalangan ulama. Sungguh keliru pendapat yang dikatakan oleh sebagian ashab kami, “Hukummembolak-balikkan kertas mushaf dengan lengan baju yang dilipatkan pada tangan terdapat dua wajh pendapat. Pendapat yang benar adalah memastikan keharamannya,” karena membalikkan kertas mushaf terjadi dengan tangan, bukan dengan lengan baju.”

Syarqowi berkata, “Diperbolehkannya membalikkan kertas mushaf dengan kayu adalah ketika tidak ada unsur membawa, artinya, sekiranya kayu tersebut tidak ditekan pada kertas. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini, kertas satu terpisah dari kertas berikutnya, atau kertas berposisi tegak kemudian diturunkan dengan kayu. Yang dimaksud bukanlah kondisi kayu masuk di antara kertas- kertas mushaf, kemudian kayu memisahkan kertas satu dari kertas berikutnya, karena demikian ini masih disebut sebagai membawa.”

Berdiam Diri di dalam Masjid

Maksudnya, perempuan haid atau nifas tidak diperbolehkan al-lubts di dalam masjid. Maksud al-lubts adalah berdiam diri. Begitu juga, ia tidak diperbolehkan mondar-mandir di masjid. Keharaman ini berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haid dan orang junub.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah rodhiallahu anha.

Termasuk masjid adalah ruang udaranya (Jawa; awang- awang) dan bagian yang bersambung dengan masjid, seperti; jendela atap, batang pohon yang keluar dari batas masjid tetapi akar pohon di dalam masjid, bukan sebaliknya, serambi, bukan harim serambi. Serambi masjid adalah bagian halaman yang membentang sedangkan harimnya adalah bagian siku yang berada di sekitar atau kanan kiri serambi.

(Faedah) Diperbolehkan tidur di masjid bagi orang yang bukan junub meskipun bagi seorang duda, yaitu orang yang tidak memiliki istri. Sungguh ada dasar diperbolehkannya tidur di masjid, yaitu bahwa para sahabat sifat, yaitu para sahabat yang ahli zuhud, yang fakir, dan yang mengembara, pernah tidur di masjid pada zaman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.

Namun, tidur di masjid dihukumi haram ketika mempersempit orang-orang yang sedang sholat. Dalam keadaan seperti ini, diwajibkan membangunkan orang yang sedang tidur di dalamnya.

Disunahkan membangunkan orang yang sedang tidur di tempat bagian shof pertama masjid atau di tempat depan orang-orang yang sholat.

Seharusnya aktifitas memberikan sedekah tidak dilakukan di dalam masjid. Ketika seseorang melihat orang lain bersedekah di dalamnya, maka wajib atasnya mengingkari dan mencegah jika memang ia mampu dan kuasa.

Dimakruhkan meminta-minta di dalam masjid, bahkan diharamkan jika sampai mengganggu orang-orang yang sedang sholat. Begitu juga dimakruhkan berjalan di depan shof-shof orang- orang yang sholat atau berjalan melangkahi leher mereka.

Adapun memberi peminta-minta di masjid maka hukumnya sunah.

Diharamkan atas seseorang menari-nari di dalam masjid meskipun ia bukan pemudi.

Diharamkan melompat-lompat di dalam masjid meskipun disertai dengan berdzikir karena melompat-lompat dapat merusak tikar masjid dan menyakiti orang lain. Pengertian melompat-lompat adalah memindah-mindah kaki dari satu tempat ke tempat yang lain. Pengertian tikar adalah alas lantai yang kasar.

Membaca al-Quran

Maksudnya, perempuan haid atau nifas tidak diperbolehkan membaca al-Quran.

Nawawi berkata di dalam kitabnya at-Tibyan;

Orang junub dan perempuan haid diharamkan membaca al- Quran) meskipun hanya satu ayat atau lebih sedikit.

Diperbolehkan bagi orang junub dan perempuan haid membatin al-Quran di dalam hati tanpa melafadzkannya. Diperbolehkan juga bagi mereka melihat mushaf dan membatin al- Quran di dalam hati.

Para ulama muslim telah bersepakat tentang diperbolehkannya membaca tahlil, tahmid, takbir, sholawat atas Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dan dzikir-dzikir lain bagi orang junub dan perempuan haid.

Para ashab kami berkata, “Begitu juga, ketika orang junub dan perempuan haid berkata kepada orang lain;

خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ

dengan memaksudkan selain al-Quran maka diperbolehkan, dan ayat-ayat lain yang bisa digunakan untuk sekiranya berdialog antar sesama.” Mereka juga berkata, “Diperbolehkan bagi orang junub dan perempuan haid membaca ketika tertimpa musibah;

إِنَّا للَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِ عُوْنَ

dengan tanpa memaksudkan al-Quran dalam bacaan tersebut.”

Para ashab kami dari Khurasan berkata, “Diperbolehkan bagi orang junub dan perempuan haid membaca ketika naik kendaraan;

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ

Lafadz ‘المقرنين ‘berarti orang-orang yang kuat. Dan boleh bagi mereka ketika berdoa membaca;

رَبـَّنَا آتِنَا فيِ الدُّنـْيَا حَسَنَةً وَفيِ الآْ خِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Akan tetapi, dengan catatan bahwa mereka tidak memaksudkan al- Quran dalam bacaannya.

Imam Haromain berkata, “Apabila orang junub membaca, بسم الله dan, الحمد لله ,maka jika ia memaksudkan al-Quran maka ia berdosa dan jika ia memaksudkan dzikir atau tidak memaksudkan apapun maka tidak berdosa. Diperbolehkan bagi orang junub dan perempuan haid membaca ayat yang telah dimansukh tilawahnya, seperti;

الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما ألبتة نكالاً من الله

Sampai sinilah keterangan dari Nawawi berakhir.

Berpuasa

Maksudnya, perempuan haid atau nifas tidak diperbolehkan berpuasa. Ketika ia berniat puasa maka puasa diharamkan atasnya. Berbeda apabila ia tidak berniat puasa, tetapi ia enggan makan dan minum, maka tidak diharamkan atasnya karena demikian itu tidak disebut sebagai puasa.

Menurut pendapat aujah, puasa tidak diwajibkan sama sekali atas perempuan haid dan nifas. Adapun kewajiban mengqodhonya merupakan perintah baru.

Menurut qiil, awalnya puasa diwajibkan atas perempuan haid atau nifas, kemudian kewajiban tersebut digugurkan.

Talak

Maksudnya, diharamkan menjatuhkan talak kepada istri yang dalam kondisi haid dan keharamannya termasuk dosa besar, kecuali dalam 7 (tujuh) contoh berikut, maka tidak diharamkan menjatuhkan talak kepadanya;

1. Ketika suami berkata, “Kamu tertalak di saat akhir sebagian waktu dari masa haidmu,” atau, “Kamu tertalak di saat yang bersamaan dengan akhir haidmu,” atau,” Kamu tertalak di saat akhir haidmu.” Begitu juga, apabila kata tertalak selesai diucapkan di akhir haid maka tidak diharamkan menjatuhkan talak kepada istri pada saat haid sebab pentalakan tersebut bersambung langsung dengan memasuki masa iddah.

2. Istri yang ditalak pada saat haid bukanlah istri yang pernah dijimak karena tidak berlaku masa iddah baginya sehingga tidak diharamkan mentalaknya pada saat haid. Berbeda dengan istri yang ditinggal mati suaminya sebelum dijimak maka wajib atasnya berlaku masa iddah.

3. Istri yang ditalak saat haid sedang mengandung anak dari suami yang mentalaknya sehingga hukum mentalaknya tidak diharamkan karena masa tertalak bersambung langsung dengan memasuki masa iddah.

4. Talak yang dijatuhkan berbanding dengan ‘iwadh atau gantian dari istri ketika istri tersebut tidak hamil karena sikap dimana ia memberikan harta kepada suaminya menunjukkan bahwa ia benar-benar butuh untuk ditalak. Dikecualikan dengan kata ‘iwadh dari istri adalah masalah apabila suami mentalak istrinya atas dasar permintaan istri sendiri tanpa adanya ‘iwadh atau dengan adanya ‘iwadh tetapi dari orang lain selain istri, maka diharamkan mentalak istri pada saat haid dalam dua masalah ini.

5. Talak terjadi di dalam masa sumpah ilak atas dasar istri sendiri meminta di talak pada saat haid setelah istri meminta suami untuk menjimaknya pada saat suci, tetapi suami enggan menjimaknya, maka menjatuhkan talak kepada istri tersebut pada saat haid tidak diharamkan karena istri sangat butuh sekali untuk ditalak.

6. Ketika istri yang tengah haid ditalak oleh hakim di tengahtengah terjadinya perselisihan antara istri tersebut dan suaminya. Maka talak yang dijatuhkan oleh hakim tersebut tidak diharamkan sebab istri sangat membutuhkan untuk ditalak.

7. Apabila tuan berkata kepada perempuan amatnya, “Jika suamimu mentalakmu hari ini maka kamu merdeka.” Ternyata, suami amat tersebut tahu atau mendengar perkataan tuan dan tuan sendiri tidak mencabut perkataannya itu. Kemudian suami mentalak amat atau amat meminta suaminya untuk mentalak. Maka talak yang dijatuhkan kepada amat yang sedang haid itu tidak diharamkan sebab menyelamatkan diri dari status budak. Lagi pula, bagi amat sendiri, menyandang status sebagai budak adalah lebih berat daripada menunggu lamanya masa iddah. Selain itu, jarangjarang tuan mau memerdekakannya dengan cara demikian atau dikuatirkan tuan keburu mati sehingga menyebabkan amat tetap dalam statusnya sebagai budak

Hikmah mengapa menjatuhkan talak kepada istri yang sedang haid diharamkan adalah karena menyakiti istri dengan memperpanjang masa tarobbus-nya karena sisa masa haid tidak terhitung termasuk iddah.

Allah berfirman, “Ketika kamu mentalak para perempuan maka talaklah mereka karena iddah mereka,” maksudnya, ketika kamu hendak menjatuhkan talak kepada para istri yang pernah dijimak yang mengalami masa iddah selama beberapa masa suci maka talaklah mereka di awal waktu yang mana mereka mulai memasuki masa iddah di waktu tersebut, sekiranya talak dijatuhkan pada masa suci yang mana istri belum dijimak di masa suci tersebut.

Yang dimaksud dengan waktu yang mana istri mulai memasuki masa iddah di waktu tersebut adalah waktu yang mencakup waktu-waktu iddahnya sehingga apabila ada seorang perempuan ditalak di tengahtengah masa iddah talak roj’i maka menjatuhkan talak kepadanya itu tidak diharamkan sebab perempuan tersebut tengah menjalani masa iddahnya.

Melewati Masjid

Maksudnya, perempuan haid atau nifas tidak diperbolehkan lewat di dalam masjid karena beratnya hadas yang ditanggungnya. Oleh karena alasan ini, maka dapat dibedakan dari orang junub yang tidak diharamkan atasnya sekedar lewat di dalam masjid.

Keharaman lewat di dalam masjid atas perempuan haid atau nifas adalah dengan catatan jika ia kuatir mengotori masjid dengan darahnya. Apabila ia merasa aman tidak akan mengotorinya maka diperbolehkan baginya kalau hanya sekedar lewat di dalam masjid, tetapi dimakruhkan jika memang ia tidak punya hajat melewatinya. Berbeda dengan orang junub, karena hukum melewati masjid tanpa didasari hajat adalah khilaf al-aula. Sedangkan apabila perempuan haid atau nifas memiliki hajat yang dibenarkan, seperti; mencari jalan pintas, maka melewati masjid baginya tidak dimakruhkan dan juga tidak khilaf al-aula.

Mengecualikan dengan masjid adalah madrasah, pondokan, tempat sholat hari raya (bukan masjid), dan tempat yang milik orang lain, maka tidak diharamkan atas perempuan haid atau nifas melewati tempat-tempat tersebut kecuali ketika benar-benar yakin atau menyangka akan mengotorinya dengan darah, bukan ketika salah sangka. Perbedaannya adalah bahwa keharaman dalammelewati masjid bersifat dzatiah sedangkan keharaman dalam melewati tempat-tempat tersebut adalah ‘ardhiah.

Sama seperti perempuan haid dalam boleh tidaknya melewati masjid adalah daim al-hadas (orang yang langgeng menanggung hadas) seperti; perempuan istihadhoh, orang beser air kencing atau madzi, orang yang memiliki luka yang ternodai darah, maka jika dikuatirkan akan mengotori masjid dengan darah, air kencing, madzi, maka diharamkan melewatinya, jika tidak dikuatirkan maka dimakruhkan kecuali ada hajat. Begitu juga najis- najis lain yang dapat mengotori sekalipun menempel di sandal atau baju, oleh karena itu, tidak diperbolehkan membawa masuk najis yang menempel, misal, di sandal ke dalam masjid, kecuali dengan dua syarat, yaitu aman tidak akan mengotori dan ada hajat seperti; takut kehilangan sandal, dll

Istimtak

Maksudnya, perempuan haid atau nifas tidak diperbolehkan istimtak, yaitu mubasyaroh (bersentuhan secara langsung), baik disertai dengan syahwat atau tidak, pada bagian antara pusar dan lutut dengan cara jimak, baik bersentuhan yang disertai adanya penghalang atau tidak, atau dengan cara selain jimak sekiranya tidak ada penghalang. Dalam mubasyaroh, bagian yang saling bersentuhan harus bagian yang jika disentuh dapat membatalkan wudhu agar mengecualikan gigi dan rambut karena tidak diharamkan atas perempuan haid saling mubasyaroh dengan suaminya dalam rambut atau gigi.

Kesimpulannya adalah bahwa tubuh perempuan yang sedang haid dengan dinisbatkan pada istimtak dan mubasyaroh dibagi menjadi dua, yaitu;

1. Bagian antara pusar dan lutut; maka diharamkan atas lakilaki bermubasyaroh dengan perempuan pada bagian tersebut secara mutlak, artinya, baik dengan jimak atau dengan menyentuh ketika perempuan mengenakan baju. Berbeda dengan istimtak dengan cara selain jimak dan menyentuh pada bagian tubuh antara pusar dan lutut, seperti; melihatnya dengan syahwat, maka tidak diharamkan. Adapun mubasyaroh pada bagian di luar antara pusar dan lutut, maka apabila dilakukan dengan cara jimak maka diharamkan, sebaliknya, apabila dilakukan dengan cara selain jimak maka tidak diharamkan.

2. Bagian tubuh selain bagian antara pusar dan lutut; maka tidak diharamkan istimtak padanya secara mutlak. Diharamkan atas perempuan haid menyentuhkan bagian antara pusar dan lututnya dengan bagian manapun dari tubuh laki-laki sekalipun selain antara pusar dan lutut laki-laki tersebut, karena bagian tubuh yang dilarang untuk disentuh oleh laki-laki maka dilarang pula atas perempuan untuk menyentuh laki-laki dengan bagian tubuh tersebut.

Termasuk perkara yang diharamkan atas perempuan haid adalah bersuci karena hadas dengan maksud beribadah yang disertai tahu akan keharamannya sebab talaub (bercanda). Apabila yang dimaksudkan adalah nadzofah (bersih-bersih), seperti; mandi-mandi dalam haji, maka tidak dilarang.

Tidak diharamkan atas perempuan haid dan nifas untuk menghadiri muhtadhir (orang yang sekarat mati). Ini adalah menurut pendapat muktamad. Berbeda dengan pendapat yang tertulis dalamkitab al-Ubab dan ar-Roudh yang menyebutkan bahwa diharamkan atas perempuan haid atau nifas menghadiri muhtadhir karena mereka hanya akan menyakitinya sebab keberadaan mereka mencegah hadirnya malaikat rahmat di sampingnya. Demikian ini disebutkan oleh Suwaifi dengan mengutip dari Romli.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami