Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 26 | Rukun Rukun Sholat

Terjemah Kitab Safinatun NajaImage by © LILMUSLIMIIN

Pada fasal sebelumnya kita telah membahas tentang pembagian aurat pada halaman Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 25 | Pembagian Aurat Mari kita lanjutkan pada fasal selanjutnya yang akan membahas tentang rukun rukun shalat dari Terjemah Kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin.

Rukun Rukun Sholat

فَصْلٌ: اَرْكَانُ الصَّلَاةِ سَبْعَةَ عَشَرَ: اَلْأَوَّلُ: النِّيَّةُ, الثَّانِى تَكْبِيْرَةُ الْاِحْرَامِ اَلثَّالِثُ الْقِيَامُ عَلَى الْقَادِرِ فِى الْفَرْضِ، اَلرَّابِعُ قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ، اَلْخَامِسُ الرُّكُوْعُ, اَلسَّادِسُ الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ, وَالسَّابِعُ اَلْإِعْتِدَالُ، الثَّامِنُ الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ، التَّاسِعُ السُّجُودُ مَرَّتَيْنِ, اَلْعَاشِرُ الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ الْحَادِى عَشَرَ اَلْجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ, اَلثَّانِى عَشَرَ اَلطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ, الثَّالِثَ عَشَرَ التَّشَهُّدُ الْأَخِرُ الرَّابِعَ عَشَرَ الْقُعُوْدُ فِيْهِ اَلْخَامِسَ عَشَرَ الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّادِسَ عَشَرَ التَّرْتِيْبُ

Fasal: Rukun rukun sholat itu ada 17:

  1. Niat
  2. Takbirotul ihram
  3. Berdiri bagi yang mampu
  4. Membaca surat al fatihah
  5. Rukuk 
  6. Tumakninah saat rukuk
  7. I'tidal
  8. Tumakninah saat i'tidal
  9. Sujud dua kali
  10. Tumakninah saat sujud
  11. Duduk antara dua sujud
  12. Tumakninah saat duduk antara dua sujud
  13. Tasyahud akhir
  14. Duduk saat tasyahud akhir
  15. Membaca sholawat kepada nabi
  16. Mengucapkan salam
  17. Tartib

Penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus saja

Fasal ini menjelaskan tentang rukun-rukun sholat.

Rukun-rukun sholat ada 17. Jumlah 17 ini menurut penghitungan ulama yang menjadikan tumakninah-tumakninah yang berada di 4 (empat) tempat dalam sholat sebagai hitungan tersendiri, seperti dalam kitab ar-Roudhoh.

Sebagian ulama ada yang menghitung rukun-rukun sholat menjadi 18 rukun dengan menambahkan satu rukun berupa niat keluar dari sholat, seperti Abu Sujak. Menurut pendapat shohih, niat keluar dari sholat adalah suatu kesunahan.

Sebagian ulama lain ada yang menjadikan rukun-rukun sholat berjumlah 18 juga, tetapi tidak menambahinya dengan rukun niat keluar dari sholat, melainkan menambahi rukun yang berupa muwalah (berturut-turut), seperti dalam kitab as-Sittin. Menurut pendapat mu’tamad, muwalah dalam sholat adalah syarat rukun.

Sebagian ulama lain menjadikan rukun-rukun sholat berjumlah 14, yaitu dengan menjadikan tumakninah-tumakninah sebagai satu rukun dengan alasan persamaan jenis.

Sebagian ulama ada yang menjadikan rukun-rukun sholat berjumlah 15 dengan menambahkan rukun berupa menyertakan niat dengan takbiratul ihram, seperti dalam kitab at-Tahrir. Menurut pendapat mu’tamad, menyertakan niat dengan takbiratul ihram bukan termasuk rukun, melainkan ia adalah haiah atau pertingkah dari niat sendiri.

Sebagian ulama, seperti al-Ghazali, menjadikan rukun-rukun sholat berjumlah 19, yaitu dengan menjadikan khusyuk termasuk salah satunya.

Sebagian ulama lain ada yang menjadikan rukun-rukun sholat berjumlah 20, yaitu dengan menambahkan diri (dzat) musholli sebagai salah satunya. Pendapat yang benar adalah tidak menganggap diri musholli sebagai salah satu rukun sholat dikarenakan diri musholli memiliki bentuk nyata yang memungkinkan untuk dilogika dan dideskripsikan tanpa susah payah.

Hal ini berbeda dengan puasa yang mana para ulama menghitung shoim (orang yang berpuasa) sendiri sebagai rukun dikarenakan puasa tidak memiliki bentuk yang dapat diinderawi secara nyata.

Sebagian ulama memasukkan faqdu shorif (tidak adanya sesuatu yang membatalkan sholat) sebagai salah satu rukun sholat.

Berdasarkan hitungan jumlah rukun dengan menambahkan tambahan-tambahan yang telah disebutkan dari awal sebagai termasuk rukun-rukun sholat menurut masing-masing ulama, maka rukun-rukun sholat secara total berjumlah 23 rukun. Pendapat yang mu’tamad adalah yang tertulis dalam kitab Minhaj dan lainnya, yaitu menjadikan rukun-rukun sholat berjumlah 13 dengan pertimbangan menjadikan tumakninah sebagai hai'ah atau pertingkah yang mengikuti rukun, bukan rukun tersendiri.

Secara garis besar, rukun-rukun sholat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu rukun af’aal (perbuatan) dan aqwal (ucapan).

Rukun-rukun af’aal ada 8 (delapan), yaitu (1) niat, (2) berdiri, (3) rukuk, (4) i’tidal, (5) sujud, (6) duduk antara dua sujud, (7) duduk akhir, dan (8) tertib. Sedangkan rukun-rukun aqwaal ada 5 (lima), yaitu (1) takbiratul ihram, (2) al-Fatihah, (3) tasyahhud, (4) sholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wa sallama, dan (5) salam.

Muhammad al-Baqri berkata, “Sesungguhnya sholat diserupakan dengan manusia. Syarat adalah seperti nyawa manusia. Rukun adalah seperti kepalanya. Sunah ab’aad adalah seperti anggota-anggota tubuhnya. Dan sunah hai-at adalah seperti rambut yang menghiasinya.

Niat

Rukun sholat yang pertama adalah niat dengan hati. Oleh karena itu, tidak diwajibkan mengucapkan niat dengan lisan, tetapi hukum mengucapkannya dengan lisan adalah sunah agar lisan dapat membantu hati.

Dalam niat, hal yang menjadi patokan adalah apa yang ada di hati, bukan lisan. Oleh karena itu, apabila ada musholli hendak sholat Dzuhur, kemudian lisannya mengucapkan niat Ashar karena keceplosan sedangkan hatinya berniat Dzuhur, maka niatnya tetap sah. Berbeda dengan kasus sebaliknya, yaitu apabila musholli ingin sholat Dzuhur, kemudian lisannya mengucapkan Dzuhur sedangkan hatinya mengucapkan Ashar, maka niat sholat Dzuhurnya tidak sah.

Diwajibkan menyertakan niat dengan takbiratul ihram karena takbiratul ihram adalah perkara wajib yang pertama kali dalam sholat.

Ketahuilah sesungguhnya para ulama mengkategorikan istilah muqoronah (menyertakan niat bersamaan dengan takbiratul ihram) menjadi 4 macam, yaitu:

  1. Muqoronah Haqiqiah Wa Istikhdhor Haqiqian
  2. Muqoronah Urfiah Wa Istikhdhor Urfian Ijmalyaini.
  3. Muqoronah Haqiqiah Ba’da Istikhdhor Haqiqi.
  4. Muqoronah Urfiah Ba'da Urfi.

Pengertian Istikhdhor Haqiqi adalah menghadirkan dzat sholat di dalam hati, artinya, menghadirkan rukun-rukun sholat yang berjumlah 13 yang mana niat merupakan salah satunya dan menghadirkan sesuatu yang wajib dijelaskan dalam niat secara rinci. Gambaran dari istikhdhor haqiqi ini adalah menyengaja secara khusus dzat dari setiap rukun. Sedangkan hai-ah atau keadaan dzat tersebut diadakan di depan setiap rukunnya.

Pengertian muqoronah haqiqiah adalah musholli menyertakan apa yang dihadirkan ini (dalam istikhdor haqiqi) dengan bagian pertama dari bagian-bagian takbiratul ihram dan melanggengkan penyertaan tersebut sampai akhir takbiratul ihram.

Pengertian istikhdhor urfi adalah musholli menghadirkan hai-ah atau pertingkah sholat di dalam hati secara global, artinya ia menyengaja berbuat sholat dan menentukan sholatnya, seperti Dzuhur dan Ashar, dan menentukan kefardhuannya.

Pengertian muqoronah urfiah adalah musholli menyertakan apa yang dihadirkan ini (dalam istikhdor urfiah) secara global, yaitu menyertakannya dengan bagian manapun dari bagian-bagan takbiratul ihram.

Nawawi dalam kitab al-Majmuk dan selainnya memilih pendapat yang telah dipilih oleh Imam Haromain dan al-Ghazali bahwa muqoronah urfiah ijmaliah ba’dal istikhdhor urfi sudah cukup, artinya musholli tidak menyengaja rukuk dengan dzatnya dan tidak menyengaja qiroah dengan dzatnya, dan seterusnya, karena muqoronah haqiqiah sangat sulit bagi manusia pada umumnya.

Takbiratul Ihram

Rukun sholat yang kedua adalah takbiratul ihram.

Kata تكبيرة الاحرام tersusun atas mengidhofahkan sabab (sebab) pada musabbab (yang disebabi) karena dengan takbiratul ihram, sesuatu yang sebelumnya halal menjadi haram, seperti makan dan berbicara.

Ketika takbiratul ihram, musholli berkata الله أكبر. Diperbolehkan menambahinya dengan tambahan yang tidak menghilangkan nama takbir, tetapi hukumnya khilaf aula, seperti menambahi menjadi الله الأكبر dengan tambahan ال atau tambahan sifat lain dan menjadi, الله الجليل الأكبر. begitu juga diperbolehkan menambahinya dengan sifat sifat lain selain dalam contoh tersebut selama tambahan tersebut tidak panjang dalam memisahkan lafadz الله dan أكبر, seperti الله عز وجل أكبر atau nidak seperti الله يا رحمن أكبر atau الله يا رحيم أكبر atau الله يا أكبر.

[nextpage]

Berdiri

Rukun sholat yang ketiga adalah berdiri bagi orang yang mampu dalam sholat fardhu. Pengertian berdiri disini adalah tegaknya tulang-tulang punggung musholli meskipun kepalanya ditundukkan, bahkan menundukkan kepada dihukumi sunah.

Kewajiban berdiri sebagai rukun sholat adalah meskipun musholli harus memerlukan mu’in (jasa orang lain) yang harus ia sewa, dengan catatan upah yang akan ia bayarkan berasal dari harta yang lebih dari harta yang diwajibkan dalam zakat fitrah. Kewajiban menyewa mu’in disini adalah di setiap kali bangun untuk setiap rakaatnya. Apabila musholli harus menyewa mu’in di seluruh sholatnya maka tidak diwajibkan atasnya menyewa mu’in tersebut. Atau meskipun musholli harus menggunakan tongkat (Arab: Ukazah).

Perbedaan antara dua contoh di atas, yaitu kewajiban berdiri dengan menyewa mu’in dan kewajiban berdiri dengan tongkat, adalah bahwa menggunakan mu’in hanya diwajibkan di awal berdiri saja, sedangkan menggunakan tongkat diwajibkan di seluruh aktifitas berdiri dalam sholat, meskipun tongkat yang ia gunakan harus melalui peminjaman atau penyewaan yang ia mampu, seperti kasus dalam membeli air wudhu, bukan melalui penghibahan tongkat atau penghibahan harganya, maka tidak diwajibkan atas musholli untuk menerima penghibahan tongkat tersebut untuk dapat berdiri dalam sholat.

Asal kewajiban rukun berdiri adalah sabda Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama kepada Imran bin Hushoin yang sedang menderita sakit bawasir, “Sholatlah dengan berdiri. Apabila kamu tidak mampu maka dengan duduk. Kemudian apabila kamu tidak mampu lagi maka dengan tidur miring.” Tiga cara keadaan ini (berdiri, duduk, tidur miring) diriwayatkan oleh Bukhori. Imam Nasai menambahkan keadaan keempat, yaitu “apabila kamu tidak mampu maka dengan tidur berbaring. Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya.”

Disebutkan dalam kitab al-Misbah bahwa istilah bawasir’ (ada yang menyebutnya dengan istilah warom) adalah penyakit bengkak yang menyerang bagian tubuh yang mana bengkak tersebut menerima cairan yang berasal dari pantat, dua buah pelir, bibir vagina, dan lain-lain. Apabila bengkak tersebut berada di pantat maka tidak disertai dengan mengembangnya otot-otot.

Ketahuilah sesungguhnya Sayyidina Imran termasuk salah satu sahabat besar Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama. Ada yang mengatakan bahwa ketika ia sakit, para malaikat secara terangterangan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian ketika ia telah sembuh berkat doa Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama maka para malaikat pun tidak menampakkan diri mereka lagi. Oleh karena tidak bisa melihat malaikat lagi, Imran pun mengeluh kepada Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama perihal terhalangnya mereka darinya. Rasulullah menjelaskan, “Para malaikat terhalang darimu karena kesembuhanmu dari sakit.” Imran berkata, “Kalau begitu berdoalah kepada Allah agar mengembalikan sakitku.” Atas permintaannya, penyakit pun kembali menimpa Imran. Kemudian para malaikat kembali lagi menemuinya. Sebagai bentuk karomah baginya, doa pun dikabulkan ketika disertai menyebut namanya.

[CABANG]

Apabila musholli tiba-tiba tidak mampu berdiri di tengahtengah sholat maka ia cukup melakukan berdiri yang ia mampui, sebagaimana apabila di tengah-tengah sholat, tiba-tiba musholli menjadi mampu berdiri padahal sebelumnya tidak, maka ia cukup melakukan berdiri yang ia mampui.

Bagi aajiz (musholli yang tiba-tiba tidak mampu berdiri, ia diwajibkan membaca al-Fatihah pada saat ia turun (tidak berdiri) karena aktivitas sebelumnya (berdiri) lebih sempurna daripada aktivitas setelahnya (turun dari berdiri).

Berbeda dengan qoodir (musholli yang tiba-tiba mampu berdiri), maka bacaan al-Fatihah sebelum (ia berdiri) tidak mencukupinya karena ia telah mampu melakukan bacaan al-Fatihah dalam aktivitas (berdiri) yang lebih sempurna daripada sebelumnya. Apabila qoodir telah membaca sedikit al-Fatihah sebelum mampu berdiri maka ia wajib mengulanginya ketika ia telah mampu berdiri.

Apabila musholli mampu berdiri setelah membaca al-Fatihah maka wajib baginya berdiri tanpa tumakninah agar ia melakukan rukuk dari berdiri. Alasan tumakninah tidak diwajibkan adalah karena ia bukan tujuan pokoknya (melainkan tujuan pokoknya adalah berdiri).

Apabila musholli mampu berdiri pada saat ia melakukan rukuk dan sebelum tumakninah maka ia wajib menegakkan tubuh sampai batas rukuk agar bisa tumakninah terlebih dahulu. Apabila ia menegakkan tubuh, kemudian langsung rukuk saja secara sengaja dan tahu maka sholatnya batal.

Apabila musholli mampu berdiri pada saat rukuk setelah tumakninah maka rukuknya telah sempurna.

Apabila musholli tiba-tiba mampu berdiri pada saat i’tidal sebelum tumakninah, maka ia harus berdiri dan tumakninah terlebih dahulu. Begitu juga, apabila ia tiba-tiba mampu berdiri pada saat i’tidal setelah tumakninah dan ia menginginkan qunut di i’tidal dari rakaat akhir Subuh maka ia berdiri dan tumakninah terlebih dahulu. Akan tetapi apabila ia tidak menginginkan qunut maka ia boleh berdiri. Apabila ia langsung qunut dalam keadaan duduk dengan sengaja dan tahu maka sholatnya batal karena ia melakukan qunut dengan duduk padahal ia mampu untuk berdiri. Batalnya sholat ini apabila duduknya lama, jika tidak lama maka tidak apa-apa.

Pernyataan bahwa kewajiban berdiri dalam sholat adalah bagi qoodir (musholli yang mampu) mengecualikan aajiz (musholli yang tidak mampu), baik ketidak-mampuannya secara hissi, seperti duduk, atau secara syar’i, seperti musholli perlu mengobati sakit matanya dengan cara membaringkan tubuh, maka tidak diwajibkan atasnya berdiri saat sholat. Dalam hal tujuan mengobati tersebut harus berdasarkan atas resep dan saran dari dokter yang adil. Sedangkan apabila musholli adalah seorang dokter maka cukup berdasarkan atas pengetahuannya sendiri.

Sama seperti ketidak-mampuan secara syar’i adalah penumpang kapal dimana apabila ia sholat dengan berdiri maka ia takut mabuk laut atau tenggelam maka ia boleh sholat dengan duduk dan tidak diwajibkan baginya mengulangi sholat. Berbeda dengan kasus apabila ia sholat di dalam kapal dengan duduk karena sesak atau tidak muat kapalnya maka kelak ia wajib mengulangi sholatnya tersebut.

Batasannya (dhobit) adalah bahwa setiap hal yang dapat menghilangkan kekhusyukan musholli atau kesempurnaannya atau setiap hal yang menghasilkan beban berat yang tidak kuat ditanggung pada umumnya, maka hal tersebut memperbolehkan meninggalkan berdiri saat sholat fardhu, baik sholat fardhu ain atau fardhu kifayah, oleh karena ini mencakup sholat yang dinadzari (mandzuroh), sholat mu’adah, sholatnya anak kecil (shobi) meskipun tidak diwajibkan niat atasnya.

Mengecualikan dengan pernyataan “saat sholat fardhu” adalah saat sholat sunah. Oleh karena itu diperbolehkan bagi qoodir melakukan sholat sunah dengan duduk atau tidur miring, tetapi ketika ia tidur miring maka ia wajib melakukan rukuk dan sujud secara sempurna, yaitu dengan duduk untuk melakukan keduanya, bukan berisyarat, karena tidak ada dalil yang memperbolehkan.

Adapun ketika musholli melakukan sholat sunah dengan berbaring padahal ia mampu untuk tidur miring maka sholat sunahnya tidak sah, meskipun ia melakukan rukuk dan sujud secara sempurna, karena tidak adanya dalil yang memperbolehkan.

Ketahuilah sesungguhnya berdiri adalah rukun yang paling utama, kemudian sujud, kemudian rukuk, kemudian i’tidal. Memanjangkan (melakukan dengan lama) dalam berdiri adalah lebih utama, kemudian dalam sujud, kemudian dalam rukuk, kemudian dalam i’tidal.

Membaca Surat al-Fatihah

Rukun sholat yang keempat adalah membaca al-Fatihah, baik dengan cara hafalan, dituntun oleh orang lain, melihat pada mushaf, atau dengan cara yang lain meskipun harus dengan menggunakan perantara lampu bagi musholli yang sholat di tempat yang gelap.

Membaca al-Fatihah wajib dilakukan di setiap rakaat sholat, baik berupa sholat sirriah atau jahriah, baik musholli adalah sebagai imam, atau makmum, atau munfarid (sendirian).

Kewajiban membaca Fatihah dalam sholat berdasarkan pada hadis yang terdapat di dua kitab Shohih, “Tidaklah sah sholat orang yang belum membaca al-Fatihah.”

Baghowi berkata dalam kitab al-Mashoobih, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama bahwa beliau bersabda, Barang siapa melaksanakan sholat sedangkan ia tidak membaca al-Fatihah maka sholatnya tidak sempurna (3 x diucapkan).’ Kemudian dikatakan kepada Abu Hurairah, Kalau sebagai makmum yang berada di belakang imam, bagaimana membaca al-Fatihah-nya?’ Abu Hurairah menjawab, Bacalah al-Fatihah di dalam hatimu karena aku mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama mengatakan; Allah berfirman, Aku telah membagi sholat antara Diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Bagi hamba-Ku, ia memperoleh apa yang ia minta.’ Ketika hamba mengucapkan العالمين رب الله الحمد maka Allah berfirman, Hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika hamba mengucapkan, الرحيم الرحمن maka Allah berfirman, Hamba-Ku telah memuja-Ku.’ Ketika hamba mengucapkan الدين يوم مالك maka Allah berfirman, Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.’ Ketika hamba mengucapkan إيّاك نعبد وإيّاك نستعين maka Allah berfirman, Ini adalah hubungan antara diri-Ku dan hamba-Ku. Baginya memperoleh apa yang ia minta. ketika hamba mengucapkan

اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضآلين

maka Allah berfirman, Ini adalah untuk hamba-Ku. Baginya memperoleh apa yang ia minta.’ Hadis ini riwayatkan oleh Bukhori dan Muslim.

Apabila musholli tidak mampu membaca Fatihah maka wajib atasnya membaca ayat-ayat lain dari al-Quran yang seukuran dengan kuantitas Fatihah meskipun terpisah-pisah sebagaimana menurut pendapat mu’tamad. Kemudian apabila ia tidak mampu membaca ayat-ayat lain dari al-Quran maka wajib atasnya membaca dzikir atau doa yang sama kuantitasnya dengan Fatihah. Dalam bacaan dzikir atau doa ini, disyaratkan harus berjumlah 7 (tujuh) jenis, contoh;

سُبْحَانَ اللهِ ١ وَالحَْمْدُ للهِ ٢ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ٣ وَ اللهُ أَكْبـَرُ ٤ وَلاَ حَوْلَ وَلَا قـُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ ٥

Contoh di atas adalah dzikir dengan 5 jenis. Kemudian ditambah dengan;

وَمَا شَاءَ اللهُ كَانَ ٦ وَمَا لَمْ يَشَأِ اللهُ لَمْ يَكُنْ ٧

Dengan demikian jumlahnya mencapai 7 (tujuh) jenis. Namun, as- Suwaifi mengatakan, “Contoh-contoh di atas berjumlah 6 (enam), bukan 7 (tujuh). Kemudian ia menambahi 6 tersebut dengan basmalah apabila musholli hafal, jika tidak hafal maka ia menambahinya dengan dzikir yang lain.” Setelah menentukan 7 jenis dzikir, kemudian ia mengulang-ulangi mereka atau menambahi hingga mencapai kadar ukuran yang sama dengan kuantitas Fatihah.

Doa dihukumi sama seperti dzikir. Yang mu’tabar, doa-doa yang dibaca sebagai ganti al-Fatihah adalah doa-doa yang berhubungan dengan perkara-perkara akhirat. Apabila musholli tidak hafal doa-doa akhirat maka ia berdoa dengan doa-doa yang berkaitan dengan duniawi.

Dalam berdoa, musholli diwajibkan menggunakan Bahasa Arab, jika tidak mampu menggunakannya maka ia menerjemahkan doa dengan bahasa manapun (seperti Jawa, Indonesia, dan lain-lain).

Dalam membaca doa, musholli diwajibkan mendahulukan menerjemahkan doa akhirat daripada doa duniawi yang berbahasa Arab. Apabila ia hanya mengetahui doa duniawi, maka ia membaca doa tersebut dan dihukumi sudah mencukupi.

Termasuk doa yang berhubungan dengan perihal akhirat adalah;

اللهم اغفرلي وارحمني وسامحني وارض عني

Ya Allah! Ampunilah aku. Sayangilah aku. Maafkanlah aku. Dan ridhoilah aku.

Termasuk doa yang berhubungan dengan perihal dunia adalah;

اللهم ارزقني زوجة حسناء أو وضيفة

Ya Allah! Berilah aku rizki istri yang cantik atau yang kaya.

Kemudian apabila musholli tidak mampu membaca dzikir atau doa maka ia wajib berdiri seukuran lamanya membaca Fatihah. Ia tidak boleh menerjemahkan Fatihah dan ayat-ayat lain dari al- Quran yang sebagai ganti dari Fatihah ke bahasa lain

Berbeda dengan takbir, maka ketika musholli tidak mampu mengucapkannya dengan Bahasa Arab maka ia menerjemahkannya ke bahasa lain.

Bagi musholli yang hanya berdiri seukuran lamanya membaca Fatihah tidak diwajibkan menkomat-kamitkan atau menggerak-gerakkan lisannya, kecuali bagi musholli yang bisu bukan bawaan lahir.

[nextpage]

Rukuk

Rukun sholat yang kelima adalah rukuk.

Dalam rukuk, minimal musholli yang berdiri membungkukkan punggung sampai kedua telapak tangannya mencapai kedua lutut secara yakin. Yang dimaksud dengan telapak tangan disini adalah bagian dalamnya. Tidak cukup jika jari-jari tangan yang hanya sampai pada kedua lutut.

Rukuk yang paling sempurna memiliki 4 tahap, yaitu;

  1. Meratakan punggung, leher, dan kepala sekiranya seperti papan datar rata yang tidak melengkung sama sekali.
  2. Meluruskan kedua lutut.
  3. Menggenggam kedua lutut dengan kedua telapak tangan.
  4. Meregangkan jari-jari tangan mengarah ke arah Kiblat dengan bentuk regangan yang sedang, bukan berlebihan dan dirapatkan.

Adapun rukuk musholli yang duduk maka minimal adalah mensejajarkan dahi dengan bagian depan lututnya. Sedangkan yang paling sempurna baginya adalah mensejajarkan dahi dengan tempat sujud tanpa saling bersentuhan. Apabila dahi menyentuh tempat sujud maka disebut dengan sujud, bukan rukuk.

Ketahuilah sesungguhnya ketika melakukan rukuk diwajibkan tidak menyengaja selainnya. Musholli disunahkan membaca;

سُبْحَانَ رَ بِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ

Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung. Aku mensucikan-Nya bersamaan dengan memuji-Nya.

Paling sedikit dibaca satu kali. Apabila hanya membaca satu kali saja maka hukumnya khilaf al-aula. Musholli yang menjadi imam sebaiknya membacanya sebanyak 3 kali meskipun makmum tidak ridho (Jawa: Nggrundel). Adapun apabila ia membacanya lebih dari 3 kali, sedangkan makmum tidak ridho, maka hukumnya makruh. Apabila makmum ridho maka sebaiknya imam melengkapi bacaan tasbih di atas sebanyak 5 kali hingga 11 kali. Musholli yang sholat sebagai munfarid (sendirian) atau sebagai imam dari para makmum yang terbatas jumlahnya serta yang ridho dengan dipanjangkannya sholat sebaiknya menambahi doa;

اَللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ خَشَعَ لَكَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّيْ وَعُظْمِيْ وَعَصَبِيْ وَشَعْرِيْ وَبَشَرِيْ وَمَا اِسْتَـقَلَّتْ بِهِ قَدَمِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Ya Allah! Kepada-Mu lah aku rukuk. Dengan-Mu lah aku beriman. Kepada-Mu lah aku pasrah. Pada-Mu, khusyuk pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, sarafku, rambutku, kulitku. Semua dalam diriku adalah milik Allah Yang merajai seluruh alam.

Membaca tasbih dengan sebanyak 3 kali disertai dengan membaca doa di atas adalah lebih utama daripada menambahi bacaan tasbih lebih dari 3 kali disertai dengan tidak membaca doa tersebut.

Di dalam kitab al-Mashoobih disebutkan bahwa Anas berkata bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama selalu memperbanyak membaca di dalam sujud dan rukuknya;

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبـَّنَا وَبحَِمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ

Maha Suci Allah. Ya Allah Ya Tuhan kami. Aku mensucikan-Mu serta memuji-Mu. Ya Allah. Ampunilah aku.

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama berkata dalam rukuk dan sujudnya;

سُبـُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوْحِ

Allah adalah Dzat Yang Maha Suci, Mulia, Raja seluruh malaikat dan ruh.

Tumakninah dalam Rukuk

Rukun sholat yang ke-enam adalah tumakninah di dalam rukuk. Menambahi gerakan turun tidak dapat menggantikan status tumakninah. Minimal dalam tumakninah adalah anggota-anggota tubuh menetap tenang dan diam dengan posisi rukuk sekiranya antara naik dan turun dapat dibedakan atau terpisah oleh jeda.

I’tidal

Rukun sholat yang ketujuh adalah i’tidal meskipun saat melakukan sholat sunah. I’tidal adalah musholli kembali ke posisi sebelum ia rukuk, yaitu posisi berdiri atau duduk

Ketika melakukan i’tidal maka diwajibkan atas musholli tidak menyengaja melakukan perbuatan selainnya. Bangun dari rukuk merupakan pendahuluan bagi i’tidal sebagaimana turun juga pendahuluan bagi rukuk dan sujud. Ada yang mengatakan bahwa yang menjadi rukunnya adalah bangun dari rukuk dan i’tidalnya.

Ketika musholli bangun dari rukuk maka ia disunahkan membaca;

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حمَِدَهُ

Allah menerima pujian bagi-Nya dari hamba yang memuji-Nya.

Begitu juga, ketika ia i’tidal disunahkan membaca;

ربـَّنَا لَكَ الحَمْدُ مِلْءُ السَّمَوَاتِ وَمِلْءُ اْلأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بـَعْدُ

Ya Tuhan kami. Bagi-Mu lah pujian yang banyak, yang indah, dan yang terus bertambah, yaitu pujian yang memenuhi langit, bumi, dan segala sesuatu yang Engkau kehendaki setelah langit dan bumi.

Di dalam kitab tahkik bacaan ditambahkan setelah lafadz رَبـَّنَا لَكَ الْحَمْدُ dengan bacaan حَمْدًا كَثِيْرًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Bagi musholli yang sedang i’tidal (di akhir rakaat sholat Subuh dan sholat Witir) yang tidak ingin membaca doa qunut hendaknya menambahi bacaan;

أَهْلُ الثـَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبِيْدٌ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنـَعْتَ وَلَا يـَنـْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Ahli pujaan dan pujian adalah ucapan yang paling berhak dikatakan oleh hamba. Kita semua bagi-Mu adalah para hamba. Tidak ada yang dapat mencegah apa yang telah Engkau berikan. Tidak ada yang dapat memberi apa yang telah Engkau cegah. Tidak ada yang dapat memberikan kemuliaan kecuali Engkau.

Tumakninah dalam I’tidal

Rukun sholat yang kedelapan adalah tumakninah di dalam i’tidal.

Apabila musholli bersujud, kemudian ia ragu apakah ia telah menyempurnakan i’tidalnya atau belum, maka ia wajib kembali melakukan i’tidal, kemudian tumakninah, kemudian bersujud.

[nextpage]

Sujud Dua Kali

Rukun sholat kesembilan adalah sujud dua kali. Rukun ini dilakukan di setiap rakaat sholat.

Disunahkan ketika bersujud membaca;

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ

Maha Suci Tuhanku Yang Maha Luhur. Aku mensucikannya serta memuji-Nya.

Diriwayatkan dari Utbah bin Amir bahwa ketika diturunkan ayat;

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ

Maka bertasbilah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Maha Agung,

maka Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama bersabda, “Jadikanlah ayat tersebut (bacaan) di dalam rukukmu.” Kemudian ketika diturunkan ayat;

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Luhur,

maka Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama bersabda, “Jadikanlah ayat tersebut (bacaan) di dalam sujudmu.”

Asal kesunahan membaca tasbih dalam sujud dapat diperoleh dengan membacanya satu kali. Minimal yang paling sempurna adalah 3 kali, lalu 5 kali, lalu 7 kali, lalu 9 kali, lalu 11 kali. Musholli tidak boleh membaca tasbih lebih dari 3 kali kecuali apabila ia berstatus sebagai munfarid atau imam dari makmum yang jumlahnya terbatas yang rela kalau imam memperpanjang sujud dengan bacaan tasbih yang lebih tersebut (ridho bit tathwil), atau sebagai makmum.

Musholli yang sebagai munfarid, atau imam dari makmum yang ridho bit tathwil, atau makmum, hendaknya menambahi tasbih dalam sujud dengan membaca;

اَللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَـبَارَكَ اللهُ أَحْسَنَ الْخَالِقِيْنَ

Ya Allah. Kepada-Mu, aku bersujud. Kepada-Mu, aku beriman. Kepada-Mu, aku pasrah. Diriku bersujud kepada Allah yang telah menciptakanku, membentuk jasadku, memberikan pendengaranku dan penglihatanku sebagai makhluk yang terbaik (manusia). Tabaarakallah.

Di dalam kitab Roudhoh ditambahkan bacaan وقوته بحوله setelah lafadz تبارك.

Disunahkan memperbanyak doa di dalam sujud karena ada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, “Hal yang paling mendekatkan hamba dengan Tuhannya (rahmat dan ampunan-Nya) adalah ketika ia bersujud. Oleh karena itu perbanyaklah berdoa [di dalam sujud kalian maka nyata jelas dikabulkan doa itu untuk kalian.”

Al-Baghowi berkata dalam kitab al-Mashoobih dari riwayat Bukhori dan Muslim bahwa Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama berdoa di dalam sujudnya;

اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ دِقَّهُ وَجُلَّهُ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ

Ya Allah. Ampunilah dosaku seluruhnya, baik yang kecil ataupun besar, baik yang awal ataupun yang akhir, dan baik yang dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Aisyah berkata, “Aku kehilangan Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama di suatu malam. Kemudian aku mencarinya. Ternyata aku mendapatinya sedang berada di masjid. Ia sedang bersujud membaca;

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سُخْطِكَ وَبمُِعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِيْ ثـَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثـْنـَيْتَ عَلَى نـَفْسِكَ

Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung dengan keridhoan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan penjagaan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung dengan-Mu dan dari-Mu. Aku tidak akan bisa menghitung pujian untukmu sebagaimana Engkau memuji Dzat-Mu sendiri.

Disunahkan membuka kedua mata ketika bersujud.

Tumakninah dalam Sujud

Rukun sholat yang kesepuluh adalah tumakninah dalam sujud. Tumakninah ini merupakan salah satu dari 7 syarat sujud yang akan dijelaskan oleh mushonnif rodhiyallahu anhu.

Duduk di antara Dua Sujud

Rukun sholat yang kesebelas adalah duduk antara dua sujud di setiap rakaat sholat meskipun sholat sunah, baik musholli sholat dengan duduk atau tidur miring. Oleh karena itu, posisi tubuh yang masih belum disebut dengan posisi duduk belum mencukupi.

Minimal dalam duduk adalah tubuh musholli tegak duduk. Duduk antara dua sujud merupakan maksud dari kata النحر ,menurut Athok, dalam Firman Allah; وانحر (QS. Al-Kautsar: 4) Athok mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk melakukan an-Nahr, yaitu sekiranya musholli menegakkan tubuh dengan posisi duduk di antara dua sujud sampai nahrnya (bagian atas dada) kelihatan.

Syibromalisi mengatakan bahwa Ibnu Muqri menetapkan tidak adanya kewajiban i’tidal dan duduk di antara dua sujud dalam sholat sunah.

Duduk antara dua sujud yang paling sempurna untuk dilakukan adalah bahwa musholli menyertakan bacaan;

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُـرْ نيِ وَارْفَـعْ نِيْ وَارْزُقْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ عَنِّيْ

Kata رب اغفر لى berarti tutupilah dosa-dosaku yang telah dan akan terjadi.

Kata وارحمنى berarti rahmatilah aku dengan rahmat yang luas.

Kata واجبرنى berarti buatlah aku kaya dan berilah aku harta yang banyak. Kata جبر termasuk dari bab قتل dalam segi tasrifan.

Kata وارفعنى berarti angkatlah derajatku di dunia dan akhirat.

Kata وارزقنى berarti berilah aku rizki banyak.

Diperbolehkannya berdoa meminta rizki yang banyak adalah apabila orang yang berdoa memaksudkan rizki yang diminta berasal dari rizki yang halal, atau dimutlakkan. Apabila rizki yang diminta adalah rizki yang haram maka berdoa memintanya pun juga diharamkan.

Kata واهدنى berarti berilah aku petunjuk untuk melakukan amal-amal sholih.

Kata وعافنى berarti selamatkanlah aku dari mara bahaya dunia dan akhirat.

Kata واعف عنى berarti leburlah dosa-dosaku.

Musholli tetap mengucapkan doa di atas dengan dhomir mutakallim wahdah meskipun ia sholat berstatus sebagai imam, karena membedakan antara dhomir mutakallim wahdah dengan mutakallim ma’al ghoir hanya berlaku di dalam doa qunut.

Suwaifi berkata dalam kitab Tuhfah al-Habib, “Disunahkan bagi musholli yang sebagai munfarid atau sebagai imam dari makmum yang terbatas jumlahnya yang ridho bit tathwil untuk menambahi doa Robbi ighfir li .... dengan doa;

Ya Tuhanku! Berilah kami hati yang takut kemusyrikan, dan yang baik, bukan yang kafir dan celaka.

Apabila musholli memperlama waktu duduk antara dua sujud melebihi waktu membaca doa yang dianjurkan di dalamnya, yaitu memperlama hingga sampai lamanya waktu membaca minimal tasyahud maka sholatnya batal, sebagaimana dihukumi batal sholatnya apabila ia memperlama i’tidal melebihi waktu membaca doa yang dianjurkan di dalamnya, yaitu memperlama hingga sampai lamanya waktu membaca al-Fatihah, kecuali i’tidal yang memang dianjurkan untuk memperlama, seperti i’tidal pada rakaat akhir dari sholat-sholat lainnya karena memang adanya anjuran umum (fil jumlah) untuk memperlamakan rakaat akhir dengan qunut, dan memperlama i’tidal dalam sholat tasbih. Suwaifi melanjutkan, “fil jumlah” berarti adanya anjuran memperlama i’tidal dalam selain contoh ini.” Demikian dikatakan oleh Rohmani.

Adapun batalnya sholat sebab memperlama rukun duduk di antara dua sujud dan i’tidal yang melebihi waktu membaca doa yang dianjurkan adalah karena dua rukun tersebut merupakan rukun qoshir atau pendek, oleh karena ini tidak boleh diperlamakan atau dipanjangkan.

Apabila musholli tidur dengan keadaan menetapkan pantat dalam sholat maka sholatnya tidak batal dengan catatan apabila tidak lama tidurnya. Begitu juga sholatnya tidak batal apabila tidur lamanya terjadi dalam rukun yang dianjurkan untuk dilamakan. Apabila tidurnya lama dan terjadi dalam rukun yang qoshir maka sholatnya batal karena faktor-faktor yang menyebabkan tidur terjadi secara ikhtiar (ada kiat usaha dari musholli). Oleh karena itu tidur ini diposisikan sebagai tidur orang yang memang sengaja tidur (’aamid).

Tumakninah dalam Duduk di antara Dua Sujud

Rukun sholat yang kedua belas adalah tumakninah di dalam duduk antara dua sujud.

[FAEDAH]

Ketahuilah sesungguhnya semua isim bilangan yang berupa susunan dimabnikan fathah pada lafadz pertamanya dan keduanya. Contoh;

أحد عشر

Contoh tersebut dimabnikan fathah di setiap lafadznya, sehingga harus dibaca;

أَحَدَ عَشَرَ

Dikecualikan yaitu lafadz;

اثني عشر dan اثنتي عشرة

maka lafadz yang pertama dii’robi seperti isim tasniah. Adapun lafadz kedua dimabnikan fathah.

Abdullah al-Fakihi berkata dalam kitab Syarah Milhah al-I’rob, “Dan dikecualikan juga lafadz ثماني عشرة maka kamu diperbolehkan menfathah huruf ي dan mensukunnya. Sedikit sekali yang memperlakukannya dengan membuang huruf ي disertai dengan mengkasroh huruf ن dan menfathahnya.”

Lafadz pertama dari semua isim bilangan yang berupa susunan dima’rifatkan dengan ditambahi al (ال) jika memang ingin dima’rifatkan, terutama, ketika menjadi mubtada, seperti yang tertulis dalam kitab matan ini, sebagaimana dikatakan oleh Abu Qosim al-Hariri dalam kitab Syarah Milhah al-I’rob juga, “Huruf ي dari lafadz ثماني عشر difathahkan. Sebenarnya sebagian ulama mensukun huruf ي tersebut. Ketika kamu hendak mema’rifatkan jenis isim bilangan yang berupa susunan maka kamu memasukkan al (ال) pada lafadz yang pertama, contoh رَأَيْتُ الْاَحَدَ عَشَرَ رَجُلًا.

Alasan mengapa lafadz yang pertama dari isim bilangan ini dimabnikan adalah karena ia seperti bagian kalimat menurut pendapat yang dikatakan oleh ar-ridho. Sedangkan lafadz kedua dimabnikan karena ia mengandung makna huruf athof, yaitu huruf athof wawu (و) seperti yang dikatakan oleh al-Asymuni.

[nextpage]

Tasyahud Akhir

Rukun sholat yang ketiga belas adalah tasyahud akhir yang dilakukan sebelum rukun salam. Pernyataan rukun dengan istilah tasyahud akhir menunjukkan bahwa ia wajib dilakukan meskipun sholat yang dilakukan tidak memiliki tasyahud awal, seperti Subuh dan Jumat. Atau pernyataan dengan istilah akhir memang mengikuti alasan yang umum dinyatakan oleh para ulama Fiqih, yaitu bahwa sebagian besar sholat memang memiliki dua tasyahud.

Ketahuilah sesungguhnya bacaan tasyahud memiliki 4 jumlah (kalam), yaitu;

  1. اَلتَّحِيَّاتُ للهِ
  2. سَلَامٌ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
  3. اَلسَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
  4. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Syarat-syarat tasyahud ada 9 (sembilan), yaitu;

  1. Musholli membuat dirinya sendiri mendengar bacaan tasyahud.
  2. Membaca tasyahud dalam posisi duduk, kecuali apabila ada udzur.
  3. Menggunakan Bahasa Arab saat membaca tasyahud bagi musholli yang mampu meskipun harus melaui belajar terlebih dahulu.
  4. Tidak adanya hal yang menghalang-halangi, seperti saat membaca Fatihah.
    1. Muwalah, yaitu tidak memisah antara kalimat-kalimat tasyahud dengan kalimat lain meskipun berupa dzikir atau ayat al-Quran. Dikecualikan yaitu memisahnya dengan kalimat وحده لاشريك له setelah lafadz إلا الله karena kalimat tersebut ada dalam satu riwayat. Begitu juga boleh menambahi huruf ي dalam lafadz اَيُّهَا النَّبِيُّ sehingga menjadi يَا اَيُّهَا النَّبِيُّ dan menambah huruf م dalam lafadz السلام عليك menjadi السلام عليكم.
  5. Mempertahankan huruf-huruf bacaan tasyahud sesuai dengan makhroj dan sifat-sifatnya. Tidak boleh mengganti bacaan minimal tasyahud dengan lafadz lain meskipun bersinonim, seperti mengganti lafadz النبي dengan الرسول atau sebaliknya, mengganti lafadz أشهد dengan lafadz أعلم ,mengganti lafadz محمد dengan أحمد ,dan lain-lainnya.
  6. Mempertahankan kalimah-kalimah bacaan tasyahud.
  7. Mempertahankan tasydid-tasydid yang ada dalam bacaan tasyahud. Oleh karena itu wajib membaca dengan tasydid atau hamzah dalam lafadz ايها النبي baik dalam keadaan washol atau waqof. Apabila musholli meninggalkan keduanya maka tidak sah bacaan tasyahudnya. Apabila ia membaca idzhar huruf ن yang seharusnya diidghomkan ke dalam huruf ل dalam lafadz أن لا إله إلا الله maka tasyahudnya batal karena ia telah menghilangkan sifat satu tasydid darinya. Apabila ia adalah orang yang bodoh maka dimaafkan karena masalah idghom ini tidak ia ketahui, seperti yang dikatakan oleh Syarqowi dan seperti yang dikutip oleh Suwaifi dari Romli.

    Menghilangkan satu tasydid dari lafadz محمدا رَسُوْلُ الله dapat membatalkan bacaan tasyahud, tetapi Syeh Muhammad al- Fadholi mengatakan kalau kasus ini dimaafkan bagi orang awam, sedangkan dalam kasus pertama, yaitu menghilangkan tasydid dalam lafadz أن لا إله إلا الله tidak dapat dimaafkan sekalipun bagi musholli awam.

    Suwaifi mengatakan bahwa pendapat mu’tamad menyebutkan bahwa menghilangkan tasydid dalam lafadz محمدا رسول الله tidak membatalkan bacaan tasyahud, seperti yang dinyatakan oleh Syabromalisi bahwa Bazi memperbolehkan memilih antara membaca idghom dan idzhar pada nun atau tanwin ketika bertemu dengan huruf ل atau huruf ر karena tanwin dalam lafadz أن محمدا عبده ورسوله dibaca idzhar maka membaca idzhar dalam محمدا رسول الله tidak apa apa.

    Adapun meninggalkan tasydid dan idzhar secara bersamaan, baik saat waqof atau wasol, maka dapat membatalkan bacaan tasyahud, berbeda dengan pendapat Qulyubi yang mengatakan diperbolehkannya menghilangkan tasydid dan idzhar dalam keadaan waqof.

  8. Tertib; dengan catatan apabila tanpa tertib bisa merubah makna, contoh التحيات عليك السلام. apabila tanpa tertib tidak menyebabkan berubah makna seperti musholli mengatakan:

    السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّـهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبـَرَكَاتُهُ التَّحِيَّاتُ للهِ اَلسَّلَامُ عَلَيْـنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالـِحِينَ

    maka tidak disyaratkan tertib.

Duduk Tasyahud Akhir

Rukun sholat yang keempat belas adalah duduk karena tasyahud akhir, juga karena membaca sholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wa sallama, dan karena salam yang pertama. Dengan demikian, huruf فى dalam lafadz القعود فيه bermakna huruf ل yang berarti لأجل التشهد. Peralihan makna seperti ini berdasarkan pada meniru Firman Allah yang menceritakan perkataan Zulaikha;

فذالكن الذي لمتنني فيه

Lafadz yang bergaris bawah berarti;

لأجل حبي يوسف عليه السلام

Begitu juga berdasarkan pada hadis;

أن إمرأة دخلت النار فى هرة

Dikatakan oleh Ibnu Hisyam dalam kitab al-Mughni, lafadz yang bergaris bawah berarti لأجل هرة

Disebutkan dalam kitab al-Misbah bahwa pengertian الجلوس (duduk) adalah duduk yang berasal dari perpindahan dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah. Sedangkan pengertian القعود duduk adalah duduk yang berasal dari perpindahan dari atas ke bawah. Berdasarkan pengertian duduk yang pertama, maka bisa dikatakan kepada orang yang berdiri atau yang sujud اجلس duduklah!) Sedangkan berdasarkan pengertian yang kedua maka hanya bisa dikatakan kepada orang yang berdiri (bukan yang sujud) اقعد (duduklah!).

Membaca Sholawat

Rukun sholat yang kelima belas adalah membaca sholawat atas Nabi shollallahu alaihi wa sallama pada saat duduk setelah membaca tasyahud.

Syarqowi mengatakan bahwa minimal dalam membaca sholawat adalah pernyataan;

اَللَّهُمَّ صَلِ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِه

Begitu juga cukup dengan pernyataan;

(صلى الله على النبي) (صلى الله على رسوله) (صلى الله على محمد)

Bukan dengan pernyataan;

(صلى الله عليه) (صلى الله على الماحى) (صلى الله على أحمد)

karena di dalam sholawat disini dituntut untuk lebih berhati-hati. Oleh karena itu lafadz-lafadz yang menunjukkan arti samar tidak mencukupi. Berbeda dengan khutbah sholat Jumat, maka sholawat disana lebih luas kebebasannya daripada sholawat dalam sholat. Pernyataan sholawat yang paling lengkap dan sempurna adalah sholawat ibrahimiah. Oleh karena itu apabila ada orang yang bersumpah akan bersholawat dengan pernyataan sholawat yang paling sempurna dan lengkap maka sumpahnya sudah gugur dengan membaca sholawat ibrahimiah. Sampai sinilah perkataan Syarqowi berakhir.

Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Minhaj al-Qowim, “Di dalam sholat harus menggunakan pernyataan sholawat tertentu, bukan dalam khutbah karena khutbah merupakan bab Fiqih yang lebih luas masalah-masalahnya, karena diperbolehkan dalam khutbah melakukan perbuatan yang fatal dan banyak (sekiranya kalau dilakukan dalam sholat maka sholatnya batal). Berbeda dengan bab sholat. Syarat-syarat membaca sholawat adalah seperti syarat-syarat tasyahud. Oleh karena itu apabila musholli mengganti lafadz الصلاة dengan lafadz السلام atau الرحمة maka belum mencukupi bacaan sholawatnya.”

Yang dimaksud dengan pernyataan (sighot) sholawat adalah pernyataan amr (perintah) atau maadhi (menggunakan fi’il madhi). Dikecualikan yaitu pernyataan yang menggunakan fi’il mudhorik dengan waqik mutakallim atau isim faa’il, seperti أصلى dan أنا مصل maka belum mencukupi bacaan sholawatny

Al-Baqri dan ulama fudhola lain berkata, “Yang lebih lengkap dalam sholawat sholat adalah menyertakan lafadz yang menunjukkan arti kepemimpinan, seperti; sayyid atau سيد karena menunjukkan sikap beradab. Abdul Aziz dalam kitab Fathu al-Muin berkata, Mendoakan dengan lafadz السلام telah disebut dalam pernyataan bacaan tasyahud akhir. Oleh karena itu, dalam sholawat yang tanpa menyertakannya disini tidak bisa disebut dengan sikap menyendirikan الصلاة tanpa السلام. Maksudnya; oleh karena itu, sholawat disini tidak dihukumi makruh atau khilaf aula gara-gara menyendirikan الصلاة tanpa السلام karena lafadz السلام telah disebutkan oleh musholli dalam tasyahud akhir. Selain itu, hukum makruh dan khilaf aula tentang menyendirikan الصلاة dari السلام adalah ketika dalam hal ghoirul warid (yang memang asalnya sampai pada kita tanpa menggunakan السلام).

Syarqowi berkata, “Tidak disyaratkan antara sholawat dan tasyahud akhir harus muwalah karena sholawat merupakan rukun tersendiri sehingga tidak apa-apa jika disela-selai dengan dzikir di antara keduanya.”

[nextpage]

Salam

Rukun sholat yang keenam belas adalah mengucapkan salam yang pertama. Syarat-syarat salam dalam sholat ada 10, yaitu;

  • menyertakan huruf al (ال). Oleh karena itu tidak cukup hanya mengucapkan سلام عليكم karena tidak ada dalil yang menyebutkannya
  • menggunakan huruf kaaf khitob. Oleh karena itu tidak cukup mengucapkan salam dengan السلام عليه atau السلام عليهم atau عليها atau عليهنّ.
  • Menyertakan mim jamak. Oleh karena itu tidak cukup mengucapkan salam dengan السلام عليكما atau السلام عليك.
  • Mengucapkan salam dengan menggunakan Bahasa Arab. Apabila tidak mampu dengannya maka musholli menerjemahkan salam dan melafadzkannya. Maka tidak cukup mengucapkan salam dengan lafadz atau terjemahan yang bersinonim seperti الامان عليكم.
  • Musholli mendengar ucapan salamnya sendiri sekiranya tidak ada penghalang yang menghalangi pendengaran (seperti ramai, dan lain-lain). Apabila ia membisikkan salam tanpa dirinya mendengarnya maka salamnya tidak dianggap dan wajib diulangi. Apabila ia mengucapkan salam yang belum mencukupi menurut syariat disertai dengan ia berniat keluar dari sholat maka sholatnya batal karena ia berniat keluar dari sholat sebelum mengucapkan salamnya.
  • Muwalah atau berturut-turut antara dua kalimah salam, yaitu kalimah السلام dan عليكم.Apabila musholli tidak muwalah antara mereka, sekiranya ia diam lama atau pendek dengan tujuan memutus, maka salamnya batal. Begitu juga batal salamnya apabila musholli memisah antara dua kalimah salam dengan perkataan lain, seperti pemisahan dengannya yang terjadi dalam membaca Surat al-Fatihah.
  • Mengucapkan salam di saat musholli dalam posisi duduk atau gantinya. Maka tidak sah salam yang diucapkan saat ia masih dalam posisi berdiri.
  • Mengucapkan salam di saat musholli menghadap ke arah Kiblat dengan dadanya. Apabila dada musholli menyimpang dari arah Kiblat sebelum ia menyelesaikan salamnya maka sholatnya batal. Berbeda dengan mengucapkan salam disertai menolehkan wajah maka tidak apa-apa, bahkan malah disunahkan menolehkannya ke arah kanan pada saat salam yang pertamasampai orang yang berada di belakang musholli bisa melihat pipinya yang kanan dan disunahkan menolehkannya ke arah kiri pada saat salam kedua sampai orang di belakangnya melihat pipinya yang kiri.
  • Ketika mengucapkan salam, musholli tidak menyengaja melakukan selainnya. Ia bisa menyengaja tahallul saat salam, atau menyangaja tahallul disertai dengan khobar, atau penyengajaannya dimutlakkan. Apabila musholli menyengaja khobar saja maka tidak sah salamnya.
  • Musholli tidak menambah-nambahi pernyataan salam lebih dari yang sampai pada kita dengan tambahan yang dapat merubah makna, seperti ia mengucapkan; السلام وعليكم yaitu dengan menambahkan huruf wawu (و) antara mubtadak dan khobar. ATAU ia mengurangi pernyataan salam dengan pengurangan yang dapat merubah makna, seperti ia mengucapkan; السام عليكم (Celaka atasmu)
  • Apabila ia mengucapkan; السلام التام عليكم atau السلام الحسن عليكم maka tidak apa apa.

    Begitu juga kalau misalkan ia mengucapkan salam dengan; السلم عليكم dengan dibaca as-silmu atau as-salamu dan dimaksudkan pada arti السلام maka sudah mencukupi. Akan tetapi apabila musholli menyengaja selain arti السلام yang berarti الصلح (perdamaian atau kesejahteraan) atau memutlakkan maka sholatnya batal dengan catatan apabila ia mengajak lawan bicara (mukhotobah) dan menyengaja. apabila ia menggabungkan antara lam dan tanwin maka tidak apa apa. begitu juga musholli boleh mengatakan; والسلام عليكم dengan huruf wawu pada mubtada. selain itu cukup pula dengan mengucapkan; عليكم السلام tetapi hukumnya makruh. Dengan demikian tidak disyaratkan harus adanya tertib antara dua kalimah salam.

    Tertib

    Rukun sholat yang terakhir adalah tertib pada rukun-rukun yang telah disebutkan, dan menjadikan masing-masing rukun sesuai dengan tingkatan urutannya yang mana menjadikannya secara demikian ini menunjukkan suatu perbuatan, dan menjatuhkan masing-masingnya sesuai dengan tingkatan urutannya yang mana menjatuhkannya secara demikian ini menunjukkan bentuk sholat, sedangkan bentuk sesuatu itu termasuk bagian dari sesuatu itu sendiri (yang sehingga tertib sholat itu disebut sebagai bagian dari sholat itu sendiri. Oleh karena ini, tertib dimasukkan sebagai salah satu rukun sholat.)

    Dalil kewajiban tertib dan rukun sebelumnya (yaitu salam) adalah mengikuti Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama (ittibak) serta adanya hadis;

    صَلُّوْا كَمَا رَأَيـْتُمُوْنيِ أُصَلِّي

    Sholatlah seperti kalian melihatku sedang sholat

    Tertib dapat digambarkan dalam rukun antara niat dan takbir, antara berdiri dan membaca Fatihah, dan antara duduk, membaca tasyahud, dan membaca sholawat, tetapi gambaran tertibnya dilihat dari segi permulaan (ibtidak), bukan akhir (intihak), karena adanya kewajiban menghadirkan niat sebelum takbir, mendahulukan berdiri daripada membaca Fatihah, dan mendahulukan duduk daripada membaca tasyahud dan sholawat, seperti yang dijelaskan oleh Syaikhuna Muhammad Hasbullah, dan juga tersebut dalam kitab Tuhfatul Habib. Namun, apabila dilihat dari segi rukun dan tempatnya, maka rukun niat, takbir, berdiri, membaca Fatihah, duduk, membaca tasyahud dan bersholawat tidak memiliki tingkatan urutan, melainkan mereka merupakan rukun-rukun yang dikecualikan dalam kewajiban tertib.

    Apabila seorang musholli meninggalkan tertib secara sengaja, misalnya, dengan mendahulukan rukun fi’li satu daripada rukun fi’li lain, seperti ia bersujud sebelum rukuk, atau mendahulukan rukun fi’li satu daripada rukun qouli, seperti rukuk sebelum membaca Fatihah, atau mendahulukan rukun qouli satu daripada rukun fi’li atau qouli, seperti mendahulukan salam sebelum sujud, atau mendahulukan salam sebelum tasyahud, maka semuanya menyebabkan sholatnya batal.

    Adapun mendahulukan rukun qouli (selain salam) satu daripada rukun fi’li dan qouli, seperti mendahulukan tasyahud daripada sujud atau mendahulukan membaca sholawat daripada tasyahud maka tidak apa-apa, tetapi rukun yang didahulukan tidak dianggap dan wajib untuk diulangi dan dilakukan sesuai pada urutannya.

    Adapun apabila musholli meninggalkan tertib karena lupa maka rukun setelah matruk (rukun yang dilakukan tidak sesuai pada tempat atau urutannya) sampai ia ingat dihukumi laghwun (tidak dianggap) karena matruk tersebut dilakukan tidak sesuai pada tempatnya. Apabila ia ingat matruk sebelum sampai pada rukun matruk di rakaat berikutnya maka ia wajib kembali melakukan matruk tersebut. Apabila ia mengakhirkan untuk kembali ke matruk maka sholatnya batal. Apabila ia tidak ingat matruk sampai ia melakukan rukun matruk di rakaat berikutnya maka rakaat berikutnya itu menggantikan rakaat sebelumnya dimana ia meninggalkan tertib. Setelah itu ia menambal satu rakaat.

    Musholli melakukan sujud sahwi dalam semua kasus meninggalkan tertib karena lupa. Termasuk contoh kasusnya adalah apabila ia salam tidak pada tempatnya karena lupa maka ia nanti sujud sahwi karena kesalahannya tersebut. Adapun apabila musholli meninggalkan salam atau baru ingat kalau ia meninggalkannya sebelum ada pemisah waktu yang lama maka ia segera melakukan salam tersebut dan tidak perlu sujud sahwi. Syarqowi memberikan faedah bahwa apabila pemisah waktunya terjadi dalam waktu yang lama sebab diam lama yang andaikan dilakukan secara sengaja itu tidak membatalkan maka ia tidak perlu sujud sahwi.

    [KHOTIMAH]

    Ketika Musholli melakukan suatu rukun maka ia wajib menyengaja melakukan rukun tersebut, bukan menyengaja hal lain. Oleh karena itu, apabila musholli seharusnya membaca Fatihah, kemudian ia membungkukkan tubuh dan menjadikan bungkukan tersebut sebagai bentuk melakukan rukuk maka rukuknya tersebut tidak mencukupi, karena ia telah mengalihkan rukuk pada hal yang tidak wajib sehingga ia wajib menegakkan tubuhnya terlebih dahulu dan baru melakukan rukuk. Atau misalnya apabila ia bangun dari rukuk karena kaget maka i’tidalnya tidak mencukupi sehingga ia wajib kembali ke rukuk, kemudian baru menyengaja bangun melakukan i’tidal.

    Next Post Previous Post
    No Comment
    Add Comment
    comment url
    Ikuti Kami