Safinatun Naja 23 - Syarat-Syarat Sah Sholat

Fasal ini membahas tentang syarat syarat sah sholat dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Syarat syarat sah sholat

(فَصْلٌ)

شروط الصلاة ثمانية: طهارة الحدثين وطهارة عن النجاسة فى الثوب والبدن والمكان وستر العورة واستقبال القبلة ودخول الوقت والعلم بفرضيتها وأن لايعتقد فرضا من فروضها سنة واجتناب المبطلات

Syarat syarat sah sholat ada delapan: yang pertama adalah bersih dari dua hadas yang kedua adalah bersih dari najis yang ada pada pakaian, badan dan tempat yang ketiga adalah menutup aurat yang keempat adalah menghadap qiblat yang kelima adalah masuk waktu yang keenam adalah mengetahui kefarduan sholat yang ketujuh adalah tidak meyakini fardu dari fardu fardu sholat sebagai sunnah dan yang kedelapan adalah menjauhi perkara perkara yang membatalkan sholat

Penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus saja

[Fasal ini] menjelaskan tentang syarat-syarat sah sholat. Adapun penjelasan tentang syarat-syarat wajib sholat maka belum dijelaskan oleh mushonnif karena dua alasan;

Pertama; karena penjelasan tentang syarat-syarat wajib sholat memang sudah maklum

Kedua; karena perkara-perkara yang menjadi syarat-syarat wajib sholat tidak dikhususkan hanya pada ibadah sholat, melainkan perkara-perkara tersebut juga menjadi syarat-syarat wajib bagi ibadah lain.

Insya Allah, aku akan menjelaskan syarat-syarat wajib sholat nantinya sebagai bentuk melengkapi faedah.

Mushonnif berkata bahwa syarat-syarat sah sholat ada 8 (delapan).

Pengertian syarat sah sholat adalah sesuatu yang menjadi dasar keabsahan sholat dan tidak termasuk bagian dari sholat itu sendiri. Delapan syarat tersebut adalah:

Suci dari Dua Hadas

Maksudnya, syarah sah sholat yang pertama adalah suci dari dua hadas, yakni hadas besar dan kecil, bagi orang yang mampu suci dari keduanya. Oleh karena itu, apabila seseorang sholat dengan keadaan tidak suci dari hadas, meskipun ia lupa, maka sholatnya tidak sah.

Dalam kasus orang yang sholat dan ia lupa kalau ia menanggung hadas, maka ia hanya diberi pahala atas kesengajaannya melakukan sholat, bukan perbuatan melakukan sholat. Bagi orang sholat yang lupa hadas kecil, perbuatan sholat yang berupa qiroah atau membaca (al-Fatihah, Surat) dan lainlainnya, yaitu perbuatan sholat yang tidak tergantung pada wudhu, maka perbuatan sholat tersebut berpahala. Bagi orang sholat yang lupa hadas besar, maka menurut pendapat aqrob, perbuatan sholat yang berupa membaca, seperti di atas, tidak berpahala.

Adapun bagi faqidut tuhuroini (orang yang tidak mendapati dua alat bersuci, yaitu debu dan air), maka tidak disyaratkan atasnya suci dari hadas, tetapi ia wajib mengulangi sholatnya ketika ia sudah mendapati alat bersuci.

Suci dari Najis

Syarat sah sholat yang kedua adalah suci dari najis yang tidak dima’fu pada pakaian, tubuh, dan tempat.

Maksud pakaian disini adalah setiap benda yang dipakai oleh musholli meskipun benda tersebut tidak ikut bergerak ketika musholli bergerak dalam sholat, dan benda yang bersambung dengan benda yang dipakai itu

Maksud tubuh disini mencakup bagian dalam hidung, mulut, dan mata.

Maksud tempat disini adalah tempat yang bersentuhan dengan tubuh musholli dan benda yang dipakai olehnya.

Ketahuilah sesungguhnya najis dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:

  1. Najis yang tidak dima’fu pada pakaian dan air. Najis ini sudah maklum (seperti tahi, air kencing, telek, dan lain-lain).
  2. Najis yang dima’fu pada pakaian dan air. Najis ini adalah najis yang tidak terlihat oleh mata biasa.
  3. Najis yang hanya dima’fu pada pakaian, bukan air, yaitu najis berupa darah sedikit. Alasan mengapa darah sedikit tidak dima’fu pada air adalah karena mudahnya menjauhkan air darinya. Sedangkan alasan darah sedikit dima’fu pada pakaian adalah karena umumnya darah mengenai pakaian, dan apabila baju sering dibasuh karenanya maka baju akan mudah usang.

    Termasuk dari najis ini adalah bekas istinjak. Dengan demikian, ia dima’fu pada badan dan juga pakaian, bahkan apabila dari tempat bekas istinjak mengalirkan keringat, kemudian mengalir melewati tempat yang sejajar dengan farji, kemudian mengenai pakaian maka tetap dima’fu pada pakaian dan badan, bukan pada air.

  4. Najis yang dima’fu pada air, bukan pakaian. Najis ini adalah bangkai binatang yang tidak mengalirkan darah, seperti kutu. Karena tidak dima’fu pada pakaian, maka apabila musholli melakukan sholat dengan membawa bangkai binatang tersebut maka sholatnya batal.

    Termasuk dari najis yang dima’fu pada air, bukan pakaian adalah lubang saluran kotoran burung, karena ketika pada lubang tersebut terdapat najis, kemudian burung terjatuh ke dalam air sedikit, maka air tidak menjadi najis. Berbeda dengan lubang saluran kotoran manusia yang terdapat najisnya, maka apabila terjatuh pada air sedikit maka air menjadi najis.

[KHOTIMAH]

Syihab ar-Romli berkata dalam mensyarahi nadzom Ibnu Imad bahwa tolak ukur tentang sedikit banyaknya najis berdasarkan hukum adah atau pendapat masyarakat pada umumnya. Maka najis yang dapat mengotori dan sulit untuk dihindari menurut adah maka najis tersebut dihukumi sebagai najis sedikit. Sedangkan najis yang melebihi najis sedikit tersebut maka dihukumi sebagai najis banyak. Alasan mengapa tolak ukur tentang sedikit banyaknya najis didasarkan hukum adah adalah karena asal kema’fuan ditetapkan oleh adanya kesulitan ikhtiroz (menghindar). Sebaiknya pelajarilah juga penjelasan tentang perbedaan najis sedikit dan banyak menurut ar-Romli.

Ada yang mengatakan bahwa najis banyak adalah najis yang mencapai ukuran yang jelas dapat dilihat oleh orang yang melihatnya tanpa ia perlu memberikan perhatian dan fokus saat melihat najis tersebut.

Ada yang mengatakan bahwa najis banyak adalah najis yang melebihi ukuran mata uang dinar.

Ada yang mengatakan bahwa najis banyak adalah najis yang seukuran setapak tangan dan selebihnya.

Ada yang mengatakan bahwa najis banyak adalah najis yang seukuran lebih dari setapak tangan.

Ada yang mengatakan bahwa najis banyak adalah najis yang seukuran dirham bigholi dan selebihnya.

Ada yang mengatakan bahwa najis banyak adalah najis yang melebihi ukuran dirham bigholi.

Ada yang mengatakan bahwa najis banyak adalah najis yang melebihi ukuran kuku.

Demikian di atas adalah keterangan dari Syihab ar-Romli.

Kata ‘bigholi’ ada yang mengatakan merupakan nisbat pada seorang raja. Dirham bigholi sama dengan 8 (delapan) daniq.4 Berbeda dengan dirham tobri, maka ia sama dengan 4 (empat) daniq dan berbeda dengan dirham gholi, maka ia sama dengan 6 (enam) daniq.

Menutup Aurat

Maksudnya, syarat sah sholat yang ketiga adalah menutupi aurat dengan penutup suci yang dapat menutupi warna kulit, sekiranya tidak terlihat warna putihnya atau hitamnya oleh orang yang melihatnya ketika keduanya berada dalam satu majlis bercakap- cakap.

Syarat menutup aurat ini dibebankan atas musholli yang mampu menutupinya, meskipun harus dengan cara meminjam atau menyewa. Oleh karena menutup aurat adalah syarat, maka apabila musholli sholat di tempat sepi dan gelap, padahal ia mampu menutup aurat, maka sholatnya tidak sah.

Dalam menutup aurat, hal yang wajib adalah menutupinya agar tidak terlihat dari arah atas dan samping. Oleh karena itu, apabila aurat musholli terlihat olehnya sendiri atau oleh yang lainnya dari sisi kerah baju, mungkin karena saking lebarnya, saat ia rukuk atau sujud, maka sholatnya batal, meskipun auratnya tidak terlihat secara nyata. Begitu juga, apabila bagian bawah baju itu pendek, sekiranya ketika musholli rukuk maka bagian bawah baju tersebut naik, kemudian aurat terlihat, maka sholatnya pun juga batal ketika musholli tidak segera menutupnya sebelum rukuk.

Adapun menutup aurat agar tidak terlihat dari arah bawah maka tidak wajib. Oleh karena itu, apabila musholli sholat di tempat yang tinggi, sedangkan di tempat bawah ada orang yang melihat auratnya dari sisi arah bawah, maka sholatnya tidak batal.

Syibromalisi berkata dalam Khasyiah ‘Ala Nihayah Lir Romli, “Disunahkan bagi musholli, ketika sholat, untuk memakai baju yang paling bagus dari baju-baju yang ia miliki dan menambahinya dengan pakaian-pakaian lain yang biasa ia gunakan untuk berhias, meskipun lebih dari dua pakaian, dan mengenakan celana.

Diriwayatkan dari Malik bin Atahiah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Sesungguhnya bumi memintakan ampunan untuk musholli yang mengenakan celana.”

Penutup aurat yang lebih utama adalah dengan mengenakan baju gamis serta celana, kemudian baju gemis serta sarung, kemudian selendang.

Menghadap Kiblat

Syarat sah sholat yang keempat adalah menghadap secara yakin ke bangunan Ka’bah (Kiblat) bagi musholli yang sholat di daerah yang dekat dengannya dan menghadap secara sangkaan (dzon) ke bangunan Ka’bah bagi musholli yang sholat di daerah yang jauh darinya, bukan menghadap ke bangunannya secara yakin, menurut pendapat shohih.

Perbedaan Cara Menghadap Kiblat

Menghadap Kiblat yang disyaratkan dalam sholat adalah dengan dada pada saat musholli berdiri atau duduk, bukan wajahnya. Sedangkan pada saat rukuk dan sujud maka menghadap Kiblat yang disyaratkan adalah dengan sebagian besar dari bagian tubuh. Adapun musholli yang melaksanakan sholat dengan cara tidur miring (mudtojik) maka menghadap Kiblat yang disyaratkan atasnya adalah dengan wajah dan bagian tubuh depan. Bagi musholli yang sholat dengan cara berbaring maka menghadap Kiblat yang disyaratkan adalah dengan wajah, bagian tubuh depan, bagian lekuk dua telapak kaki, serta diwajibkan atasnya menaikkan sedikit kepala apabila memungkinkan.

Syarat sah menghadap Kiblat dengan hanya bagian dada (pada saat berdiri dan duduk, seperti rincian yang telah disebutkan) adalah maksud dari kata النحر dalam Firman Allah ta’ala menurut pendapat al-Kalibi;

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Al-Kalibi berkata dalam mengartikan kata ‘وانحر” ,‘menghadaplah Kiblat dengan nahrmu, maksudnya dengan dadamu.”

Dalil Syarat Menghadap Kiblat dalam Sholat

Dalil disyaratkan menghadap Kiblat sebelum ijmak adalah Firman Allah dalam Surat al-Baqoroh: 149;

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Dan hadapkanlah dirimu ke arah masjidil haram

Maksudnya adalah hadapkanlah dirimu dalam sholat ke arah Masjid al-Haram dan bangunan (Ka’bah)nya.

Syarqowi berkata "yang dimaksud dengan جهة (dalam ayat) menurut ahli bahasa dzat atau bendanya. Sedangkan mengucapkan kata جهة dengan diartikan selain dzat maka berdasarkan arti majaz, seperti yang telah dikatakan juga oleh Az-Ziyadi. Yang dimaksud dengan kata المسجد الحرام dalam ayat di atas adalah ka'bah. Berbeda dengan kata المسجد الحرام yang digunakan selain ayat di atas, maka maksudnya adalah seluruh tanah haram."

Disebutkan dalam kitab al-Misbah, “Firman Allah yang berbunyi;

فـَثَمَّ وَجْهُ الله

Disanalah wajah Allah yang kalian diperintahkan untuk menghadap ke arah-Nya, maka diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ayat ini diturunkan dalam menjelaskan sholat di atas kendaraan. Diriwayatkan dari Athok bahwa ayat ini diturunkan dalam menjelaskan cara menghadap dalam sholat ketika Kiblat tidak diketahui arahnya.”

Kondisi-kondisi yang Memperbolehkan Tidak Menghadap Kiblat

Diperbolehkan tidak menghadap Kiblat saat sholat ketika mengalami dua kondisi atau keadaan, yaitu:

  1. Ketika mengalami ketakutan yang sangat. Oleh karena itu, ketika terjadi peperangan yang sengit sehingga tidak memungkinkan bagi orang-orang muslim untuk meninggalkan peperangan sama sekali karena sedikitnya pasukan mereka dan banyaknya musuh, ATAU ketika peperangan tidak terlalu sengit tetapi orang-orang muslim kuatir musuh akan menguasai dan mengocar-kacirkan mereka jika mereka menghadap Kiblat, maka dalam dua keadaan seperti, mereka diperbolehkan sholat sebisa mungkin meski tanpa menghadap Kiblat, dengan catatan mereka tidak ada kesempatan mengakhirkan sholat dengan cara menghadap Kiblat.
  2. Kondisi ketika melaksanakan sholat sunah pada saat mengalami perjalanan yang diperbolehkan. Tidak disyaratkan apakah perjalanan itu jauh. Minimalnya adalah perjalanan menuju tempat yang tidak terdengar suara azan sholat Jumat di sana. Dengan demikian, diperbolehkan bagi musafir melaksanakan ibadah sholat sunah sambil naik kendaraan atau berjalan dengan cara menghadap ke arah tempat tujuannya, bukan ke arah Kiblat, pada saat melakukan perjalanan jauh atau dekat.

    Bagi musafir yang menaiki kendaraan hewan, meskipun saat melewati jalan turunan, ia tidak diwajibkan meletakkan dahinya di atas pelana kendaraannya disaat rukuk dan sujud, melainkan ia berisyarat dengan menundukkan kepala, dengan catatan bahwa isyarat dengan menundukkan kepala pada saat sujud adalah lebih rendah daripada isyarat pada saat rukuk. Tidak diwajibkannya meletakkan dahi dalam kasus ini adalah ketika memang musafir tidak mampu melakukan rukuk dan sujud secara sempurna dan tidak memungkinkan baginya menghadap ke arah Kiblat di seluruh aktivitas sholatnya. Sedangkan apabila ia mampu menyempurnakan rukuk dan sujud, serta memungkinkan baginya menghadap Kiblat di seluruh aktivitas sholatnya, maka ia wajib meletakkan dahi di atas pelana ketika rukuk dan sujud.

    Apabila musafir di atas mudah untuk melakukan rukunrukun sholat selain rukuk dan sujud, maka tidak diwajibkan atasnya kecuali hanya menghadap ke arah Kiblat pada saat takbiratul ihram saja dengan catatan kalau memang mudah. Tetapi apabila menghadap Kiblat pada saat takbiratul ihram juga sulit, maka tidak ada kewajiban atasnya menghadap Kiblat dalam sholat.

    Adapun musafir yang berjalan kaki, maka ketika ia sholat sunah, ia berjalan dengan tidak menghadap Kiblat pada saat melakukan 4 (empat) rukun, yaitu berdiri, i’tidal, membaca tasyahud, dan salam. Sedangkan ia harus menghadap Kiblat dalam 4 (empat) rukun lain, yaitu ketika takbiratul ihram, rukuk, sujud, dan duduk antara dua sujud yang mana 4 rukun ini harus dilakukan secara sempurna, bukan hanya dengan cara berisyarat. Oleh karena itu, tidak cukup baginya berisyarat sebagai ganti dari rukuk dan sujud.

Tingkatan-Tingkatan Menghadap Kiblat

Ketahuilah sesungguhnya tingkatan-tingkatan (menghadap) Kiblat ada 4 (empat), yaitu:

  1. Mengetahui arah Kiblat dengan melihat secara nyata.
  2. Mengetahui arah Kiblat dengan adanya berita dari ahli yang terpercaya kalau, misalnya, arahnya itu di arah ini misalnya. Termasuk tingkatan menghadap Kiblat ini adalah arah Kiblat yang diketahui dengan alat bantu kompas (baitul ibroh).
  3. Mengetahui arah Kiblat dengan cara ijtihad. Imam Nawawi mengatakan dalam kitab Idhoh bahwa tidak sah mengetahui arah Kiblat dengan cara ijtihad kecuali berdasarkan bukti- buktinya yang sangat banyak. Bukti yang paling kuat adalah dengan hitungan sudut dan yang paling lemah adalah dengan arah angin
  4. Mengetahui arah Kiblat dengan cara taqlid (mengikuti) pendapat dari mujtahid (orang yang berijtihad dalam mengetahui arah Kiblat, seperti dalam tingkatan nomer 3) yang dapat diterima pendapatnya. Muqollid (orang yang bertaqlid) haruslah berpedoman pada berita mujtahid, dengan catatan apabila muqollid tahu kalau mujtahid memberitahu arah Kiblat kepadanya berdasarkan pada pengetahuan tertentu, seperti misalnya; muqollid bertanya kepada mujtahid, “Darimana kamu tahu kalau arah Kiblat itu di arah yang ini?” kemudian mujtahid menjawab, “Aku telah menelitinya dari hitungan sudut,” atau, “Aku telah melihat sendiri Kiblat di arah ini."

    Adapun apabila mujtahid menjawab, “Aku mengetahui arah Kiblat yang berada di arah ini berdasarkan ijtihadku,” maka muqollid tidak boleh mengikuti pendapatnya tersebut, melainkan wajib atas muqollid melakukan ijtihad sendiri.

    Begitu juga wajib ijtihad sendiri apabila ada orang berkata kepadanya, “Kiblat itu berada di arah ini,” tetapi orang tersebut tidak diketahui apakah ia seorang yang tahu (berdasarkan pengetahuan tertentu) atau seorang mujtahid.

Mengetahui Masuknya Waktu Sholat

Syarat sah sholat yang kelima adalah mengetahui masuknya waktu sholat secara yakin atau dzon (sangkaan) yang berasal dari ijtihad. Barang siapa melaksanakan sholat tanpa mengetahui terlebih dahulu masuknya waktu sholat, sekiranya ia menerjang dan langsung saja sholat, maka sholatnya tersebut tidak sah, meskipun sholatnya dilakukan bertepatan pada waktunya. Alasan ketidak-absahan sholat ini dikarenakan tidak terpenuhinya syarat, yaitu harus mengetahui masuknya waktu sholat terlebih dahulu.

Kesalahan Hasil Ijtihad dalam Mencari Tahu Masuknya Waktu Sholat

Berbeda dengan kasus apabila musholli melaksanakan sholat atas dasar mengetahui masuknya waktu sholat tersebut melalui ijtihad, kemudian kenyataannya adalah sholat tersebut dilakukan sebelum masuk waktunya, maka rincian hukumnya adalah;

  1. apabila musholli memiliki sholat faitah (hutang sholat) yang sejenis dengan sholat yang kenyataannya dilakukan sebelum waktunya tersebut maka sholat faitah itu terlunasi.
  2. apabila ia tidak memiliki sholat faitah, maka sholat yang kenyataannya dilakukan sebelum waktunya itu menjadi sholat sunah mutlak.

Apabila musholli setiap harinya melaksanakan sholat Subuh dengan berpedoman pada ijtihad selama beberapa waktu dalam mengetahui masuknya waktu sholat, kemudian kenyataannya adalah bahwa sholat Subuh yang ia laksanakan setiap hari itu dilakukan sebelum masuk waktunya, maka ia hanya diwajibkan mengqodho sholat Subuh pada hari terakhir ia melaksanakannya, karena sholat Subuh yang ia lakukan di hari tertentu menjadi ganti dari sholat Subuh di hari sebelumnya. Adapun sholat Subuh yang dilakukan di hari pertama berubah menjadi sholat sunah mutlak. Sementara itu, sholat adak dihukumi sah meskipun dengan niatan qodho, atau sebaliknya, dengan catatan jika musholli benar-benar tidak tahu keadaan sebenarnya.

Apabila musholli menyangka kalau waktu sholat telah habis karena adanya mendung atau lainnya, kemudian ia sholat dengan niatan qodho, setelah selesai sholat, ternyata diketahui kalau waktu sholat belum habis, ATAU apabila musholli menyangka kalau waktu sholat belum habis, kemudian ia sholat dengan niatan adak, setelah selesai sholat, ternyata diketahui kalau waktu sholat telah habis, maka sholat dalam dua kasus ini hukumnya sah dengan catatan musholli tidak tahu dan tidak sengaja, karena menurut bahasa, arti adak digunakan untuk arti qodho, dan sebaliknya. Tetapi apabila ia tahu dan sengaja, maka sholatnya tidak sah karena ia tidak serius dalam melaksanakan sholat. Apabila di awal sholat, ia menyengaja memaksudkan arti adak dan qodhok dengan artian menurut bahasa maka tidak apa-apa karena arti dua kata tersebut menurut bahasa adalah sama, yaitu berarti melaksanakan.

Tingkatan-tingkatan dalam Mengetahui Masuknya Waktu Sholat

Ketahuilah bahwa tingkatan-tingkatan dalam mengetahui masuknya waktu sholat ada 3 (tiga), yaitu:

  1. Musholli mengetahui sendiri masuknya waktu sholat, atau ia mengetahuinya melalui berita atau kabar yang disampaikan oleh orang yang terpercaya dalam pemeriksaan dan penelitiannya tentang masuknya waktu sholat, atau ia mengetahuinya dengan melihat mazawil5 yang sah atau alat-alat lain yang sah yang berfungsi untuk mengetahui waktu atau jam-jam mutakhir, atau kompas waktu yang ia ketahui. Termasuk tingkatan ini adalah bahwa musholli mengetahui masuknya waktu sholat dengan berpedoman pada adzan muadzin yang tahu masuknya waktu sholat.
  2. Musholli mengetahui masuknya waktu sholat dengan cara ijtihad melalui aktivitas membaca al-Quran, pelajaran, belajar ilmu, menjahit, suara ayam jago, atau himar yang teruji. Pengertian ijtihad melalui perkara-perkara tersebut adalah bahwa musholli berangan-angan (memprediksi) pada saat melakukan salah satu perkara tersebut, misalnya; dalam hal menjahit, musholli berangan-angan apakah masuknya waktu sholat itu ketika aku selesai menjahit dengan ayunan jahitan yang cepat atau pelan, atau dalam hal suara ayam jago, apakah masuknya waktu sholat itu sebelum biasanya ayam berkokok atau tidak, dan seterusnya. Tidak diperbolehkan bagi musholli melaksanakan sholat dengan cara berpedoman pada suara ayam dalam mengetahui masuknya waktu sholat tanpa melakukan ijtihad.
  3. Musholli mengetahui masuknya waktu sholat dengan bertaqlid kepada mujtahid lain yang mengetahui masuknya waktu sholat. Oleh karena itu, musholli tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid lain ketika ia mampu melakukan ijtihad sendiri dengan catatan apabila ia adalah orang yang tidak buta, tetapi apabila musholli adalah orang yang buta, maka ia boleh bertaqlid kepada mujtahid lain, meskipun musholli yang buta tersebut mampu berijtihad, karena ia dihukumi sebagai orang yang tidak mampu melakukan ijtihad sebab butanya.

Mengetahui Kefardhuan Sholat

Syarat sah sholat yang keenam adalah mengetahui kefardhuan sholat sekiranya musholli mengetahui kalau sholat yang difardhukan itu adalah fardhu. Syarat ini berlaku bagi musholli yang ‘aami atau bukan ‘aami. Syarqowi mengatakan, “Mengetahui kefardhuan adalah syarat setiap ibadah. Oleh karena itu, lebih baik

tidak perlu menyebutkan perihal mengetahui kefardhuan termasuk sebagai salah satu syarat sholat.”

Tidak Meyakini Fardhu-fardhu Sholat sebagai Kesunahan

Syarat sah sholat yang ketujuh adalah musholli tidak meyakini perkara yang fardhu ain dari fardhu-fardhu sholat sebagai perkara yang sunah. Syarat ini berlaku bagi musholli yang ‘aami, yaitu orang yang belum mengetahui satu pemahaman (fiqih) yang dapat ia gunakan untuk mengetahui pemahaman-pemahaman (fiqih) lainnya.

Menjauhi Perkara-perkara yang Membatalkan Sholat

Syarat sah sholat yang kedelapan adalah menghindari perkara-perkara yang dapat membatalkan sholat, seperti; memanjangkan rukun yang pendek secara sengaja dan perkara- perkara lain yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, dalam keterangan Mushonnif.

Adapun mushonnif tidak menyebutkan Islam dan Tamyiz sebagai termasuk syarat-syarat sah sholat karena keduanya telah diketahui dalam bagian syarat suci dari dua hadas, karena syarat bersuci adalah niat, sedangkan syarat niat adalah Islam dan tamyiz. Begitu juga, tamyiz dapat diketahui dari disyaratkannya mengetahui masuknya waktu sholat.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami