Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 15 | Syarat Syarat Tayamum
Fasal ini membahas tentang Syarat-syarat Sah Tayamum dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan Terjemah Kitab Safinatun Naja dalam bahasa indoneisa. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Syarat-syarat Sah Tayamum
فَصْلٌ: شُرُوْطُ التَّيَمُّمِ عَشَرَةٌ: أَنْ يَكُوْنَ بِتُرَابٍ وَاَنْ يَكُوْنَ التُّرَابُ طَاهِرًا وَأَنْ لَايَكُوْنَ مُسْتَعْمَلًا وَأَنْ لَايُخَالِطَهُ دَقِيْقٌ وَنَحْوُهُ وَأَنْ يَقْصِدَهُ وَأَنْ يَمْسَحَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ بِضَرْبَتَيْنِ وَأَنْ يُزِيْلَ النَّجَاسَةَ أَوَّلًا وَأَنْ يَجْتَهِدَ فِى الْقِبْلَةِ قَبْلَهُ وَأَنْ يَكُوْنَ التَّيَمُّمُ بَعْدَ دُخُوْلِ الْوَقْتِ وَأَنْ يَتَيَمَّمُ لِكُلِّ فَرْضٍ.
Fasal: Syarat-syarat sah bertayamum ada sepuluh:
- Menggunakan debu
- Debunya harus suci
- Tidak musta'mal
- Tidak bercampur tepung dan semisalnya
- Bermaksud pada debu
- Mengusap wajah dan kedua tangan
- Menghilangkan najis
- Berijtihad menentukan arah kiblat
- Setelah masuknya waktu sholat
- Satu tayamum untuk satu fardhu.
Penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus saja
Fasal ini menjelaskan tentang syarat-syarat sah tayamum.
Syarat-syarat tayamum, maksudnya sesuatu yang harus ada dalam tayamum, ada 10 (sepuluh), yaitu:
Menggunakan Debu
Maksudnya, debu murni dengan segala jenisnya, seperti;
debu yang digunakan untuk pengobatan sekalipun, yaitu lumpur armani yang panas meskipun berwarna hitam selama belum menjadi pasir, debu bat-hak, yaitu debu yang berada di tempat aliran air, debu sabakh, yaitu debu yang tidak akan muncul selama tidak tertumpangi garam.
Intinya, semua debu yang disebut dengan debu maka sudah mencukupi dalam tayamum darimanapun itu berasal meskipun debu itu dari punggung anjing dengan catatan ketika tidak diketahui kenajisan debunya yang diambil.
Debunya suci
Syarat sah kedua dalam tayamum adalah debu suci karena berdasarkan Firman Allah ta’ala, “Maka bertayamumlah dengan debu yang toyyib, maksudnya yang suci
Tidak Mustakmal
Maksudnya, syarat sah ketiga dalam tayamum adalah bahwa debu yang digunakan bukanlah debu yang mustakmal, yakni debu yang telah digunakan dalam menghilangkan hadas dan menghilangkan najis mugholadzoh
Debu dianggap sebagai mustakmal dalam menghilangkan najis mugholadzoh adalah jika memang debu tersebut berada dalambasuhan yang ketujuh. Berbeda apabila debu tersebut dalam basuhan sebelum basuhan ketujuh maka dihukumi sebagai debu mutanajis yang jika dibasuh tidak dapat berubah menjadi debu mutohir (yang suci dan mensucikan).
Dalam tayamum, debu yang mustakmal dalammenghilangkan hadas adalah debu yang masih ada di anggota tubuh setelah anggota tubuh tersebut diusap atau debu yang rontok dari anggota tubuh yang sedang diusap pada saat tayamum setelah anggota tubuh tersebut diusap.
Adapun debu yang rontok dan belum mengenai anggota tubuh yang hendak diusap, melainkan debu tersebut menempel pada sesuatu yang bertemu dengan anggota tubuh tersebut (spt; kain) maka tidak disebut sebagai debu mustakmal, seperti sisa debu yang ada di tanah.
Begitu juga, apabila angin menghempas debu, kemudian debu tersebut mengenai wajah seseorang, lalu ia mengusap debu di wajahnya itu dengan kain, setelah itu ia mengembalikan debu yang di kain ke wajahnya lagi, maka sudah mencukupi. Dari sini, diketahui bahwa andai satu orang atau beberapa orang bertayamumdengan debu sedikit yang ada di satu kain maka hukumnya boleh selama debu di kain itu belum dirontoki oleh debu yang telah ada di wajah sebagaimana diperbolehkan berwudhu berulang kali dengan air dari satu wadah.
Apabila seseorang mengangkat salah satu kedua tangannya (sebut tangan A) dari tangan yang diusap (sebut tangan B) sebelummeratakan debu pada tangan B, kemudian ia kembali mengusap tangan B dengan tangan A karena untuk meratakan maka menurut pendapat ashoh diperbolehkan karena debu mustakmalnya berada di tangan B yang diusap. Adapun debu yang tersisa di tangan A yang mengusap maka hukumnya seperti debu yang dipukul oleh tangan sebanyak dua kali sehingga bukanlah debu mustakmal dengan dinisbatkan pada tangan yang diusap. Maksudnya, apabila seseorang masih belum mengusap secuil bagian pada tangan B maka ia boleh mengusap cuilan tersebut dengan debu yang masih ada di tangan A. Adapun apabila dinisbatkan pada selain yang diusap, seperti anggota tubuh lain atau tangan A maka tidak diperbolehkan mengusapnya dengan debu yang ada di telapak tangan A karena hadas telapak tangan A telah hilang dengan debu yang tersisa sehingga termasuk debu mustakmal.
Tidak Bercampur Tepung Dan Semisalnya
Maksudnya, debu yang digunakan untuk tayamum tidak tercampuri oleh gandum, zakfaran, gamping, dan mukholit (benda- benda lain yang dapat mencampuri) meskipun hanya sedikit karena dapat mencegah debu dari mengenai anggota tubuh yang diusap sebab tebalnya benda yang mencampuri tersebut. Al-Hisni mengatakan bahwa ukuran banyak dalam mukholit adalah sekiranya mukholit tersebut dapat terlihat sedangkan ukuran sedikitnya adalah sekiranya mukholit tidak terlihat.
Apabila debu bercampur dengan air mustakmal, kemudian berubah kering, maka debu tersebut boleh digunakan untuk bertayamum.
Bermaksud pada debu
Maksudnya, termasuk syarat sah tayamum adalah mutayamim (orang yang tayamum) menyengaja debu untuk memindahnya ke anggota tubuh yang diusap, kemudian ia bertayamum dengannya, meskipun memindah debu tersebut dilakukan oleh orang lain dengan izin dari mutayamim, atau meskipun mutayamim mengusapkan wajahnya atau kedua tangannya ke tanah, karena berdasarkan Firman Allah, “Bertayamumlah dengan debu yang toyib,” maksudnya sengajalah debu itu.
Apabila tidak ada proses memindah debu ke wajah, misalnya; angin menghamburkan debu hingga mengenai anggota- anggota tubuh tayamum, kemudian mutayamim menggerak-gerakkan anggota anggota tubuhnya tersebut agar mengenai debu dan ia berniat, maka tayamumnya belum mencukupi meskipun ia menyengaja tayamum dengan berdiri di tempat terhempas angin karena tidak adanya kesengajaan dari sisi mutayamim sendiri sebab tidak ada proses pemindahan debu yang membuktikan adanya kesengajaan itu.
Adapun menyengaja anggota tubuh maka menurut pendapat muktamad tidak disyaratkan. Apabila seseorang mengambil debu, lalu ia gunakan untuk mengusap wajahnya, kemudian ia ingat kalau sebelumnya ia telah mengusap wajahnya, maka sah jika ia mengusap kedua tangannya dengan debu yang ada di wajahnya itu. Begitu juga sebaliknya.
Mengusap Wajah dan Kedua Tangan
Syarat sah tayamum berikutnya adalah mutayamimmengusap wajah dan kedua tangan dengan dua kali pukulan. Dengan demikian, diwajibkan secara syar’i melakukan pukulan ke debu sebanyak dua kali meskipun secara logis masih memungkinkan bertayamum dengan satu kali pukulan ke debu melalui sarana kain atau selainnya, misalnya; mutayamim memukul debu dengan kain, kemudian ia meletakkan kain tersebut ke wajah dan kedua tangannya secara bersamaan, lalu ia mengurutkan usapan dengan cara pertama-tama ia mengusap wajahnya dengan satu bagian ujung kain, setelah itu ia mengusap kedua tangannya dengan bagian ujung satunya lagi, maka contoh demikian ini tidak mencukupi menurut syariat karena hanya terhitung melakukan satu kali pukulan. Jadi, dalam contoh ini masih disyaratkan lagi memindah debu yang kedua kali untuk mengusap meskipun hanya mengusap sedikit bagian dari tangan.
Yang dimaksud dengan memukul disini adalah memindah debu sehingga apabila ada seseorang mengambil debu dari udara maka sudah mencukupi.
Tidak bisa dikatakan, “Sebenarnya, memindah debu itu termasuk rukun, lantas bagaimana bisa memindah debu itu dijadikan sebagai salah satu syarat sah tayamum?” karena kita mengatakan bahwa rukun yang dimaksud adalah dzat memindah itu sendiri sedangkan syarat adalah persiapan memindah, bukan dzat memindah.
Menghilangkan Najis
Syarat sah tayamum berikutnya adalah mutayamimmenghilangkan najis terlebih dahulu. Jadi, disyaratkan bahwa mutayamim harus mendahulukan menghilangkan najis yang tidak dima’fu meskipun dari tubuh dan dari bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan, seperti; farji dan lainnya, bukan dari pakaian dan tempat.
Berbeda dalam masalah wudhu, maka tidak harus menghilangkan najis terlebih dahulu karena wudhu dilakukan untuk menghilangkan hadas sedangkan hilangnya hadas dapat diperoleh tanpa harus menghilangkan najis terlebih dahulu.
Selain itu, alasan mengapa dalam tayamum harus menghilangkan najis terlebih dahulu karena tayamum berfungsi untuk ibahah atau diperbolehkan melakukan sholat tertentu yang diikuti oleh selainnya padahal tidak ada unsur ibahah ketika najis masih ada sehingga tayamum dengan kondisi masih terkena najis adalah seperti tayamum sebelum masuknya waktu sholat.
Syarqowi berkata, “Apabila seseorang bertayamum sebelum menghilangkan najis maka menurut pendapat muktamad dalammadzhab, tayamumnya dihukumi tidak sah. Pendapat ini diikuti oleh Romli. Menurut qiil, tayamum demikian itu dihukumi sah dan pendapat ini diikuti oleh Ibnu Hajar. Berdasarkan khilaf atau perbedaan pendapat ini, andai ada mayit yang belum disunat dan dibawah kulfah/kulupnya terdapat najis, maka menurut Romli dinyatakan bahwa mayit tersebut dikuburkan tanpa disholati karena ia belum menghilangkan najis terlebih dahulu, sedangkan menurut Ibnu Hajar dinyatakan bahwa mayit tersebut disholati karena menurutnya tidak disyaratkan menghilangkan najis terlebih dahulu.”
[nextpage]Berijtihad Menentukan Arah Kiblat
Termasuk syarat sah tayamum adalah mutayamim berijtihad dalam menentukan arah Kiblat sebelum ia bertayamum. Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Minhaj al-Qowim, “Apabila mutayamimbertayamum sebelum berijtihad dalam menentukan arah Kiblat maka menurut pendapat aujah tayamumnya dihukumi tidak sah.” Akan tetapi, Syarqowi berkata, “Pendapat Ibnu Hajar tersebut adalah dhoif. Jadi, tayamum tetap dihukumi sah setelah masuknya waktu sholat meskipun sebelum berijtihad dalam menentukan arah Kiblat. Oleh karena ini, apabila mutayamim (yang tidak mengetahui arah kiblat) melakukan sholat 4 (empat) rakaat dengan menghadap ke 4 (empat) arah maka sholatnya dihukumi sah dan ia tidak wajib mengulangi sholatnya itu.”
Setelah Masuknya Waktu Sholat
Syarat sah tayamum kesembilan adalah tayamum dilakukan setelah masuknya waktu dimana melakukan sholat di dalam waktu tersebut dihukumi sah karena tayamum adalah toharoh dhorurot sedangkan tidak ada dhorurot sebelum masuk waktunya.
Waktu disini mencakup waktu jawaz, waktu udzur, waktu- waktu rowatib, dan waktu-waktu yang ditentukan, seperti sholat Id dan Kusuf.
Masuknya waktu sholat Istisqo dimulai saat kebanyakan orang telah berkumpul untuk mendirikannya jika memang sholat Istisqo hendak dilakukan secara berjamaah. Jika sholat Istisqoh hendak dilakukan secara tidak berjamaah maka waktunya masuk dimulai saat hendak mendirikannya.
Adapun sholat Kusuf maka waktunya masuk dimulai dengan terjadinya perubahan gerhana meskipun hendak didirikan secara berjamaah.
Perbedaan antara kedua waktu sholat tersebut adalah bahwa waktu sholat Kusuf akan terlewat sebab telah terang, berbeda dengan waktu sholat istisqo, maka tidak akan terlewat sebab telah turunnya hujan.
Waktu sholat Tahiyatul Masjid dimulai dengan masuknya seseorang ke dalam masjid.
Waktu sholat Jenazah dimulai saat basuhan wajib dalammemandikan jenazah telah selesai, yaitu basuhan pertama, dan dimulai saat mentayamumi jenazah telah selesai meskipun jenazahnya belum dikafani. Oleh karena ini, dikatakan, “Seseorang tidak sah tayamumnya sebelum ia mentayamumi selainnya, yaitu mayit.”
Waktu sholat sunah mutlak masuk kapan saja sesuai keinginan mutayamim kecuali pada saat waktu karohah (dimakruhkan melakukan sholat) jika memang ia ingin sholat pada waktu karohah tersebut. Adapun ketika seseorang bertayamum untuk melakukan sholat di luar waktu karohah atau ia memutlakkan maka tayamumnya dihukumi sah.
Waktu tayamum karena khutbah masuk dimulai dengan zawal, yaitu tergelincirnya matahari ke arah barat, seperti waktu tayamum karena sholat Jumat. Oleh karena itu, apabila seseorang bertayamum karena khutbah sebelum zawal maka tayamumnya tidak sah. Diperbolehkan bertayamum karena sholat Jumat sebelummelakukan khutbah karena waktu tayamum Jumat juga sudah masuk dan karena mendahulukan khutbah hanya menjadi syarat bagi keabsahan melakukan Jumat.
Diperbolehkan bagi khotib atau selainnya bertayamumsebelum genapnya syarat jumlah jamaah sholat Jumat, yaitu 40 orang.
Disyaratkan mengetahui atau menyangka (dzon) masuknya waktu meski melalui ijtihad. Oleh karena itu, apabila seseorang bertayamum seraya ragu tentang masuknya waktu maka tayamumnya tidak sah meskipun secara kebetulan tayamum tersebut dilakukan setelah masuknya waktu.
Satu Tayamum unutk Satu Fardhu.
Maksudnya, syarat sah tayamum yang terakhir adalah mutayamim bertayamum secara wajib untuk satu ibadah fardhu ‘ain. Oleh karena itu, ia tidak diperbolehkan menggunakan satu tayamumnya untuk melakukan dua ibadah fardhu, seperti; dua sholat fardhu, dua towaf fardhu, meskipun ia adalah seorang shobi, karena tayamum adalah toharoh dhorurot, maka diukur sesuai dengan kadarnya, yaitu satu ibadah fardhu ain.
Tidak boleh menjadikan satu tayamum untuk melakukan sholat Jumat beserta khutbahnya karena khutbah meskipun fardhu kifayah disamakan dengan fardhu-fardhu ain.
Adapun alasan mengapa satu tayamum boleh digunakan untuk melakukan dua khutbah padahal masing-masing dari keduanya adalah fardhu karena keduanya saling bergantungan sehingga seolah- olah seperti satu kesatuan utuh, maka dicukupkan satu tayamumuntuk melakukan dua khutbah. Bahkan menurut dzohirnya, dilarang melakukan dua tayamum untuk masing-masing dua khutbah karena tidak adanya dalil tentangnya.
Dengan satu kali tayamum, mutayamim boleh melakukan satu sholat fardhu dan sholat nawafil (sunah) sebanyak-banyaknya. Oleh karena sholat sunah itu banyak, maka andaikan satu tayamumdiwajibkan hanya untuk satu sholat sunah saja maka akan menyebabkan mutayamim akan enggan melakukannya dan waktu pun juga akan terbatas. Oleh karena ini, masalah ibadah sunah diringankan sebagaimana keringanan diperbolehkannya tidak berdiri meskipun mampu ketika melakukan sholat sunah dan keringanan diperbolehkannya tidak menghadap Kiblat saat sholat sunah di tengah-tengah bepergian.
Sama dengan nawafil adalah perempuan yang tamkin (membiarkan/melayani) laki-laki halalnya dan sholat jenazah karena kefardhu ainan sholat jenazah atas satu orang mukallaf bersifat ‘aridh, bukan asal. Artinya, mutayamim perempuan boleh menjadikan satu tayamumnya untuk satu fardhu dan tamkin sekehendaknya, dan mutayamim (laki-laki atau perempuan) boleh menjadikan satu tayamumnya untuk satu fardhu dan sholat jenazah sekendaknya.
Apabila perempuan telah bertayamum untuk tamkin maka tidak diperbolehkan baginya melakukan perkara-perkara lain kecuali yang setingkat dengan tamkin, seperti; menyentuh mushaf, berdiamdiri di masjid, i’tikaf, membaca al-Quran meskipun fardhu ain semisal belajar Surat al-Fatihah, sujud tilawah, dan sujud syukur. Dengan tayamumnya itu, ia tidak diperbolehkan melakukan sholat fardhu dan sholat sunah.
Apabila perempuan telah bertayamum untuk melakukan sholat jenazah maka diperbolehkan baginya melakukan sholat-sholat sunah yang setingkat dengan sholat jenazah atau melakukan perkara- perkara yang dibawah tingkatan sholat jenazah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya (yakni menyentuh mushaf dst) dan tidak diperbolehkan baginya melakukan sholat fardhu.
Dengan demikian, jumlah tingkatan ibadah ada tiga.47 Menyentuh mushaf dan setelahnya berada dalam satu tingkatan, bahkan andaikan seseorang bertayamum untuk melakukan masing- masing dari 3 tingkatan tersebut maka ia diperbolehkan melakukan perkara-perkara sisanya.
Ketika perempuan telah bertayamum untuk tamkin maka ia diperbolehkan tamkin untuk dijimak berulang kali. Apabila tayamumnya tersebut dilakukan sebab tidak adanya air, kemudian di tengah-tengah jimak, ia melihat air, maka tayamumnya batal dan ia diharamkan mentamkin laki-laki halalnya. Sedangkan laki-laki halalnya tersebut wajib mencabut dzakar dari farji perempuan itu. Berbeda dengan masalah apabila laki-laki halal melihat air, sedangkan ia sedang menjimak perempuan, maka laki-laki halal tersebut tidak wajib mencabut dzakar karena tayamumnya perempuan tidak batal sebab yang melihat air adalah pihak laki-laki, bukan pihak perempuan, karena apabila si A bertayamum karena tidak ada air, kemudian si B melihat air, maka tayamum si A tidak batal, seperti yang dikatakan oleh Syarqowi. Wallahu a’lam.