Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 27 | Perkara perkara yang Mu’tabar (harus ada) dalam Niat
Pada fasal sebelumnya kita telah membahas tentang rukun rukun sholat pada halaman Terjemah Kitab Safinatun Naja Fasal 26 | Rukun Rukun Sholat Mari kita lanjutkan pada fasal selanjutnya yang akan membahas tentang perkara-perkara yang harus ada dalam niat dari Terjemah Kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. Aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin.
Perkara-perkara yang Mu’tabar (harus ada) dalam Niat
فَصْلٌ: النِّيَّةُ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ: اِنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ فَرْضًا وَجَبَ قَصْدُ الْفِعْلِ وَالتَّعْيِيْنُ وَالْفَرْضِيَّةُ وَإِنْ كَانَتْ نَافِلَةً مُؤَقَّتَةً كَرَاتِبَةٍ اَوْ ذَاتِ سَبَبٍ وَجَبَ قَصْدُ الْفِعْلِ وَالتَّعْيِيْنُ وَاِنْ كَانَتْ نَافِلَةً مُطْلَقَةً وَجَبَ قَصْدُ الْفِعْلِ فَقَطْ. اَلْفِعْلُ أُصَلِي وَالتَّعْيِيْنُ ظُهْرًا أَوْ عَصْرًا وَ الْفَرْضِيَّةُ فَرْضًا
Fasal: Niat ada tiga tingkatan:
- Jika shalat tersebut adalah shalat fardhu, maka wajib berniat melakukan perbuatan, menentukan jenis shalat, dan meniatkan kefardhuannya.
- Jika shalat tersebut adalah shalat sunnah yang diwaktu-waktu seperti shalat sunnah rawatib atau yang memiliki sebab, maka wajib berniat melakukan perbuatan dan menentukan jenis shalat.
- Jika shalat tersebut adalah shalat sunnah yang mutlaq, maka wajib berniat melakukan perbuatan saja.
Penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus saja
[Fasal ini] menjelaskan tentang perkara-perkara yang mu’tabar (harus ada) dalam niat.
Syehk salim berkata
Niat memiliki 3 tingkatan.
Perihal Hukum-hukum Isim Adad dan Isim Ma’dud
Keluar dari materi niat
Lafadz ثلاث atau isim ‘adad (bilangan) dalam teks harus terbebas dari taa marbutoh (ة) karena ma’dud (درجات) memiliki bentuk mufrod yang muannas dan ma’dud sendiri disebutkan. Berbeda apabila ma’dud tidak disebutkan maka tidak wajib menghilangkan taa marbutoh dari isim adad-nya, melainkan boleh memasukkannya dan juga boleh tidak memasukkannya, tetapi yang lebih utama adalah tidak memasukkan taa marbutoh pada isim adad pada saat ma’dud tidak disebutkan, seperti yang dikatakan oleh Bajuri.
[CABANG]
Ketahuilah sesungguhnya ketika kamu mengidhofahkan isim adad pada isim ma’dud maka apabila isim adad berupa mufrod (tunggal) bagi isim ma’dud yang mudzakar maka huruf haa (ة) ditetapkan ada di akhir isim adad. Sedangkan apabila isim ma’dud berupa muannas maka huruf haa dihilangkan dari isim adad, seperti yang dikatakan oleh al-Hariri dalam kitab Syarah Milhah al-I’rob;
Tetapkanlah huruf haa bersama dengan (ma’dud) yang mudzakar | * | dan buanglah huruf haa bersama dengan (ma’dud) yang muannas |
kamu berkata kepadaku "خمسة أثواب جدد"a dan "وازمم له تسعا من النوق"
Al-Fakihi mengatakan dalam Syarahnya atas Milhah al-I’rob yang berjudul Kasyfu an-Niqoob bahwa dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa titik tekan dalam memudzakarkan dan memuannaskan isim adad adalah ketika isim ma’dud dalam keadaan mufrod, bukan jamak. Oleh karena itu dapat dikatakan "ثلاثة اصتبلات" dan "ثلاثة حمامات" dengan masing-masing isim adad ditambahi dengan huruf taa (ة). Tidak boleh menghilangkan huruf taa tersebut dan diucapkan ثلاث berbeda dengan pendapat al-Kisai dan para ulama Baghdad yang memperbolehkan tidak memberi taa.
Ibnu Malik berkata dalam kitab al-Khulasoh;
Huruf taa (ة) ditetapkan dalam isim adad ثلاثة sampai عشرة apabila isim ma’dudnya mudzakar.
Sedangkan apabila isim ma’dud berupa muannas maka huruf taa tidak ditetapkan dalam isim adad. Apabila isim ma’dud disertai dengan huruf taa dan memiliki bentuk jamak taksir qillah dan katsroh maka isim adad pada umumnya hanya diidhofahkan kepadanya yang memiliki bentuk jamak qillah.
Lafadz "ثلاثة" dibaca i’rob nashob berkedudukan sebagai maf’ul muqoddam dari lafadz "قل" karena lafadz "قل" mengandung arti lafadz "اُذْكُرْ" dan tidak dapat menashobkan mufrod kecuali mufrod tersebut berarti mendatangkan arti jumlah. Lafadz "بالتاء" berta’alluk (berhubungan) dengan lafadz "قل" .Begitu juga lafadz "العشرة" bertaalluq dengannya. Huruf laam "ل" berarti "إلى" dan makna ghoyahnya adalah mencakup.
Atau lafadz "ثلاثة" dibaca i’rob rofak berkedudukan sebagai mubtadak. Lafadz "بالتاء" menjadi na’atnya, artinya yang disertai dengan huruf taa (مصحوبة باتاء). Lafadz "قل" adalah khobar mubtadak. Sedangkan al-‘aaid atau dhomir yang kembali ke mubtadak dibuang. takdirnya "قلة"
Mumayyiz (berupa isim ma’dud) dari isim adad "ثلاثة" dan saudara-saudaranya sampai "عشرة" hanya dii’robi jer (dengan susunan idhofah) tetapi dengan 4 (empat) syarat;
- Mumayyiz atau isim ma’dud tidak berkedudukan sebagai isim maushuf (yang disifati). Contoh; أثواب خمسة
- Mumayyiz atau isim ma’dud tidak berkedudukan sebagai sifat, seperti; خمسة أثواب .Susunan atau tarkib yang paling baik ketika mumayyiz menjadi sifat adalah dengan menjadikannya athof bayan karena bentuk jamidnya. Adapun tidak diwajibkan untuk dijadikan sebagai athof bayan adalah karena masih memungkinkan mentakwil lafadz "أثواب" dengan isim musytaq, seperti misalnya dikatakan; مسماة بأثواب
- Isim adad tidak diidhofahkan ke mustahiknya, contoh, خمسة زيد
- Tidak menginginkan hakikat dari isim adad, seperti; ثلاثة نصف ستة
Apabila mumayyiz (isim ma’dud) berupa isim jenis atau isim jamak maka dijerkan dengan huruf jer min (من) Contoh;
فخذ أربعة مِنَ الطيرِ
مررت بثلاثة مِنَ الرهط
Terkadang dijerkan dengan mengidhofahkan isim adad. Contoh;
وكان فى المدينة تِسْعَةُ رهط
Apabila mumayyiz bukan isim jenis atau isim jamak maka ia dijerkan dengan mengidhofahkan isim adad pada mumayyiz dan bentuk mumayyiz saat itu seharusnya berupa jamak taksir qillah yang mana wazan-wazannya adalah;
أَفْعِلَةٌ وَأَفـْعَلُ وَأَفـْعَالُ وَفِعْلَةٌ
Adapun apabila mumayyiz berupa jamak mudzakar salim atau jamak muannas salim maka sebenarnya hukum keduanya adalah sebagai jamak qillah kecuali dalam susunan isim adad dan ma’dud, maka keduanya dihukumi sebagai jamak katsroh sehingga tida dapat dijadikan sebagai ma'dud dari isim adad.
Terkadang isim adad diidhofahkan pada isim mufrod yang berupa lafadz "مائة" seperti ثلاثمائة, ثبعمائة
Isim adad diidhofahkan pada jamak mudzakar salim dan jamak muannas salim dalam tiga masalah;
- Ketika hukum taksir kalimah tidak diberlakukan, seperti; خمس صلوات
- Berdampingan dengan kalimah yang tidak diberlakukan taksirnya, seperti; سبع سنبلات dalam Surat Tanzil. Allah tidak menfirmankan dengan سبع سنابل karena lafadz سبع سنبلات berdekatan dengan lafadz سبع بقرات.
- Sedikitnya penggunaan taksir, contoh; ثلاث ساعات
Diperkenankan memilih jamak muannas salim di keadaan nomer 2 dan 3, sedangkan dalam keadaan nomer 1 diwajibkan tidak memberlakukan taksir atau wajib menggunakan bentuk jamak muannas salim.
Isim adad diidhofahkan pada bentuk jamak taksir katsroh dalam dua masalah, yaitu;
- Ketika bentuk qillah dari bentuk katsroh tidak diberlakukan, seperti ثلاث جوار, أربعة رجال
- Ketika bentuk katsroh memiliki bentuk qillah juga, tetapi hukumnya langka (syadz) secara qiyas karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidahnya atau secara simai sekiranya bentuk qillahnya jarang dipakai oleh orang-orang Arab, kemudian kelangkaan ini distatuskan sebagai hal yang tidak ada.
Contoh pertama atau yang bentuk qillah tidak diberlakukan, ثلاث قروء karena bentuk jamak dari lafadz قرء yang berupa أقرء adalah langka atau jarang.
Contoh yang kedua adalah ثلاثة شسوع karena bentuk jamak yang berupa أشساعا sedikit penggunaannya. Lafadz شسوع dengan huruf ش dan س adalah bentuk jamak dari mufrod lafadz شسع. dengan kasroh di huruf awal dan sukun di huruf kedua. Ia berarti salah satu tali kulit sandal.
Tingkatan-Tingkatan Niat dalam Sholat Fardhu
Kembali ke materi
Kemudian Mushonnif menjelaskan 3 tingkatan niat dengan perkataannya;
Apabila sholat yang dilakukan adalah sholat fardhu, meskipun fardhu kifayah, seperti sholat jenazah, sholat qodho dari sholat wajib (faaitah), sholat mu’aadah (karena melihat asal sholatnya), atau mandzuroh (sholat yang dinadzarkan), maka wajib ada tiga perkara dalam niat, yaitu;
- Niat qosdu al-fi’li atau menyengaja melakukan sholat yang dihadirkan oleh musholli dengan tujuan agar niat qosdu tersebut membedakan sholat dari perbuatan-perbuatan selain sholat. Tidak wajib mengidhofahkan atau menyandarkan niat qosdu al-fi’li kepada Allah (لِلّٰهِ) karena yang namanya ibadah tiada lain adalah karena-Nya. Akan tetapi menyandarkan niat qosdu al-fi’li kepada Allah disunahkan agar makna ikhlas benar-benar nyata.
Disunahkan berniat اِسْتِقْبَالَ القبلة، مُسْتـَقْبِلَ الْقِبـْلَة (dengan menghadap Kiblat atau seraya menghadap Kiblat) dan meniatkan jumlah raka'at seperti ركعتين. Namun apabila musholli meniatkan sholat dzuhur dengan tiga raka'at atau lima raka'at maka sholatnya tidak sah.
- Menentukan sholat atau takyin, artinya menentukan apakah sholat Dzuhur, atau Ashar, atau Maghrib atau lainnya. Tujuan takyin ini adalah agar membedakan sholat yang ia lakukan dari sholat lainnya.
- Berniat fardhiyah, maksudnya melihat sifat kefardhuan dan menyengajanya. Oleh karena itu, musholli melihat dan menyengaja kalau sholat yang ia lakukan itu fardhu. Tujuan tingkatan niatan ini adalah agar membedakan sholat fardhu yang ia lakukan dari sholat sunah.
Berniat fardhiah tidak diwajibkan dalam sholatnya shobi (anak kecil yang belum baligh) karena sholatnya sudah dipastikan akan berstatus sebagai sholat sunah. Berbeda dengan sholat mu’adah, maka niat fardhiah di dalamnya masih diperselisihkan (ada yang mengatakan wajib meniatkannya dan ada yang mengatakan tidak wajib). Shobi wajib berniat fardhiah dalam sholat jenazah karena tujuan sholatnya adalah agar menggugurkan tanggungan kewajiban mensholati jenazah dari orang-orang mukallaf, maka niat fardhiah dalam sholat jenazah yang dilakukan oleh shobi harus ada.
Dalam sholat mu’adah dan mandzuroh diwajibkan niat fardhiah, tetapi niat sifat nadzar dalam sholat madzuroh diposisikan di tempat niat fardhiah itu
Tingkatan-Tingkatan Niat dalam Sholat Sunah
Apabila sholat yang dilakukan adalah sholat sunah yang muaqqotah (dibatasi oleh waktu lain), seperti sholat rowatib, atau sholat sunah yang dzatu sabab (memiliki sebab), seperti sholat istisqo, maka wajib ada dua tingkatan dalam niat, yaitu;
- Niat menyengaja melakukan sholat (قصد الفعل)
- Menentukan sholat atau takyin. Dengan demikian, musholli menentukan qobliah dan ba’diah dalam sholat Dzuhur, Maghrib, dan Isyak karena masing-masing dari tiga sholat ini memiliki sholat sunah qobliah dan ba’diah. Berbeda dengan sholat sunah dalam sholat Subuh dan Ashar, maka hanya memiliki qobliah saja, sehingga musholli tidak perlu mentakyin.
Begitu juga, musholli wajib mentakyin fitri dan adha dalam sholat sunah Id. Oleh karena itu, tidak cukup kalau ia hanya berniat melakukan sholat sunah Id saja (tanpa meniatkan fitri atau adha).
Musholli juga wajib mentakyin syamsan (matahari) atau qomaron (bulan) dalam sholat kusuf (gerhana).
Dalam sholat sunah muaqqotah atau dzatu sabab tidak disyaratkan meniatkan sifat nafliah (kesunahan) karena nafliah sudah melekat pada dzat sholat sunah itu sendiri. Akan tetapi, meniatkan nafliah disini dihukumi sunah. Berbeda dengan meniatkan fardhiah maka fardhiah tidak melekat pada, misalnya, sholat Dzuhur, karena sholat Dzuhur terkadang fardhu dan terkadang tidak, seperti sholat Dzuhur yang dilakukan oleh shobi.
Apabila sholat sunah yang dilakukan adalah sholat sunah mutlak, artinya tidak dibatasi oleh waktu dan sebab, maka dalam niat hanya diwajibkan menyengaja melakukan sholat (قصد الفعل)
Disamakan dengan sholat sunah mutlak adalah sholat sunah yang dzu sabab atau memiliki sebab tetapi dapat dicukupi oleh sholat lain, seperti sholat tahiyatul masjid, sunah wudhu, istikhoroh, sholat ihram, towaf, sholat masuk ke dalam rumah, sholat keluar darinya, dan lain-lain.
Sholat sunah mutlak tidak membutuhkan mentakyin karena ia dimaksudkan pada kemutlakan. Dengan demikian, sholat sunah mutlak merupakan sholat yang dikecualikan dari sholat sunah yang memiliki sebab.
Ketahuilah sesungguhnya tidak diperbolehkan menjamak (dengan artian menggabungkan) dua sholatan dengan satu niatan, meskipun sholat yang dijamakkan adalah sholat sunah maqsud. Adapun sholat sunah ghoiru maqsud, seperti tahiyyatul masjid, istikhoroh, sholat sunah ihram, towaf, sunah wudhu, atau mandi, maka diperbolehkan menjamaknya dengan sholat lain dengan satu niatan, baik dijamakkan dengan sholat sunah atau fardhu. Bahkan niat sholah sunah ghoiru maqsud tersebut dapat dihasilkan dan berpahala meskipun tidak diniatkan, seperti yang dikatakan oleh Syarqowi.
Perihal Hukum hukum lafadz فقط
[TANBIH]
Huruf ف dalam perkataan mushonif فقط adalah
- Faa jawab bagi syarat yang terbuang menurut ulama jumhur.
- Faa zaidah atau tambahan yang lazimah atau tetap menurut Ibnu Hisyam
- Faa athof menurut Ibnu Sayid dan yang dipilih oleh Ibnu kamal damamini.
Sedangkan قط adalah isim dengan makna lafad حسب yang berarti merasa cukup dengan sesuatu. berdasarkan arti ini maka dikaktakan رَأَيْتُهُ مَرَّة قَط saya melihatnya sekali saja. Demikian yang tertulis dalam kitab Al-Misbah.
Lafadz قَطْ dimabnikan sukun dan beri’rob rofak dari segi mahal (tempat). Ia berkedudukan sebagai mubtadak yang khobarnya dibuang. Taqdir yang sesuai dengan pernyataan mushonnif adalah; فحسبها قصد الفعل Kecukupan niat (dalam sholat sunah mutlak) hanyalah menyengaja berbuat (qosdul fi’li). Atau lafadz ‘قط ‘berkedudukan sebagai khobar yang mubtadaknya dibuang. Taqdirnya adalah; فقصده الفعل حسبها Penyengajaan musholli untuk berbuat sudah mencukupi dalam niat.
Atau lafadz قَطْ adalah salah satu dari bentuk isim fi’il yang berarti mencukupi yang dimabnikan sukun. Dibawahnya tersimpan dhomir yang kembali pada قصد الفعل.
Di dalam keterangan yang diungkapkan oleh Kalam Sa’dudin at-Taftazani terdapat pernyataan pendapat, “Lafadz قَطْ berarti إنتهى (Selesailah!). Dengan demikian ia termasuk salah satu isim fi’il amar yang dimabnikan sukun. Dibawahnya tersimpan dhomir أنت (kamu).” Pendapat ini diikuti oleh Ishomudin. Akan tetapi Nuruddin dalam kitab Syarah al-Masalik tidak menyetujui pendapat Sa’dudin.
Roudani mengatakan, “Umumnya, ketika lafadz قَطْ berarti حسب maka ia dimabnikan sukun. Terkadang ia juga dimabnikan kasroh. Dan terkadang ia dii’robi pula.”
Adapun lafadz قَطْ yang merupakan dzorof zaman yang menunjukkan arti istighroq (menghabiskan) waktu lampau, maka ia khusus masuk dalam kalimah nafi. Contoh : مَا فَعَلْتُ ذَلِكَ قَطُّ artinya adalah مَا فَعَلْتُهُ فِيْمَا انْقَطَعَ مِنْ عُمْرِي Aku tidak pernah melakukan hal demikian itu sama sekali selama hidupku
Adapun orang-orang awam berkata; لا افعله قطّ Perkataan mereka ini lahn (keliru) atau salah karena waktu lampau itu terputus dari waktu sekarang (hal) dan yang akan datang (istiqbal).
Lafadz قَطَُّ dimabnikan karena ia menyimpan makna lafadz مُذْ (semenjak/sejak) dan اِلَى (sampai/hingga), karena maknanya adalah; مُذْ اَنْ خُلِقْتُ اِلَى الْان Sejak saya diciptakan hingga sekarang.
Arti di atas adalah bagi lafadz قَطُّ dengan fathah pada huruf ق dan tasydid pada huruf ط yang didhommahkan menurut bahasa yang paling fasih. Terkadang huruf ق didhommahkan karena diikutkan pada dhommahnya huruf ط sehingga menjadi قُطُّ. Begitu juga terkadang huruf ط tidak ditasydid dengan keadaan didhommah atau disukun sehingga menjadi قَطُ atau قَطْ. Demikian ini dijelaskan oleh Ibnu Hisyam dalam kitab al-Makna.
Deskripsi Tingkatan-tingkatan Niat Sholat
Setelah menyebutkan tingkatan-tingkatan niat sholat, mushonnif memberikan contoh tentangnya dengan perkataannya:
Contoh menyengaja berbuat (قصد الفعل) adalah perkataan musholli أُصَلِّى Apabila ia berniat: نَوَيْتُ أُصَلِّى الظُّهْرَ اَللهُ أَكْبَرُ نَوَيْتُ
Saya berniat sholat dzuhur. Allahu Akbar. Saya berniat.
maka sholatnya batal karena perkataan نَوَيْتُ setelah takbiratul ihram adalah perkataan lain dan ia muncul setelah sholat sudah sah (selesai dari takbiratul ihram), maka ia menyebabkan batalnya sholat.
Contoh takyin adalah perkataan musholli ظُهْرًا atau عَصْرًا.
Contoh berniat fardhiah adalah perkataan musholli فَرْضًا.