Safinatun Naja 30 - Syarat Syarat Takbiratul Ihram

Fasal ini membahas tentang syarat syarat takbiratul ihram dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin.

Syarat Syarat Takbiratul Ihram

(فَصْلٌ)

Penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus saja

Fasal ini menjelaskan tentang syarat-syarat takbiratul ihram.

Syarat-syarat takbiratul ihram ada 16, bahkan ada 17 yang apabila salah satu dari mereka tidak ada maka sholatnya tidak sah.

  1. Takbiratul Ihram harus terjadi dan dilakukan pada saat berdiri dalam sholat fardhu, maksudnya, pada saat berdiri setelah tubuh tegap dan sampai posisi yang mencukupi membaca al-Fatihah.
  2. Takbiratul Ihram diucapkan dengan menggunakan Bahasa Arab bagi musholli yang qodir (mampu) menggunakannya.
  3. Menggunakan lafadz jalalah الله. Oleh karena itu, tidak sah apabila musholli mengucapkan; اَلرَّحْمَنُ أَكْبَرُ
  4. Takbiratul Ihram menggunakan lafadz أَكْبَرُ. Oleh karena itu, tidak cukup dengan menggunakan; اَللهُ كَبِيْرٌ karena hilangnya sikap ta’dzim.
  5. Tertib antara dua lafadz اَللهُ dan أَكْبَرُ. Oleh karena itu, tidak mencukupi dengan mengatakan; أَكْبَرُ اللهُ karena dapat menyalahi takbir. Berbeda dengan salam, sekiranya dalam salam diperbolehkan tidak tertib, yaitu dengan mendahulukan khobar dan mengakhirkan mubtadak, karena tidak menyalahi salam. Apabila musholli membaca lafadz أَكْبَرُ dua kali, seperti ia mengatakan, أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ maka apabila ia menyengaja lafadz اَللهُ sebagai permulaan maka takbirnya sah, jika tidak menyengaja demikian maka tidak sah.
  6. Tidak membaca mad (panjang) huruf hamzah (أ) lafadz jalalah اَللهُ. Oleh karena itu, apabila musholli membacanya dengan mad maka sholatnya tidak sah karena ia telah merubah kalam khobar insyai menjadi istifham (menanyakan).

    Diperbolehkan menghilangkan membaca hamzah lafadz اَللهُ ketika dibaca washol lafadz sebelumnya, seperti; إِمَامَا اللهُ أَكْبَرُ atau مَأْمُوْمَا اللهُ أَكْبَرُ namun dihukumi khilaf aula.

    Berbeda dengan hamzah lafadz أَكْبَرُ, maka huruf hamzah darinya tidak diperbolehkan dihilangkan saat membacanya ketika diwasholkan dengan lafadz sebelumnya karena hamzahnya adalah hamzah qotok.

  7. Tidak membaca mad huruf ب lafadz أَكْبَرُ. Apabila musholli mengatakan اَللهُ أَكْبَارُ maka sholatnya tidak sah, baik dengan membaca fathah atau kasroh pada huruf hamzahnya, karena lafadz أَكْبَارُ dengan fathah pada huruf hamzah adalah bentuk jamak dari lafadz كبر seperti lafadz سبب yang memiliki bentuk jamak أسباب. Ia adalah nama gendang besar yang memiliki satu sisi. Lafadz كبر juga dijamakkan dengan bentuk إِكْبَار seperti lafadz جبل yang jamaknya جبال. Adapun lafadz إكبار dengan kasroh pada huruf hamzah maka berarti salah satu nama bagi istilah haid. Apabila musholli menyengaja membaca mad huruf hamzah seperti di atas maka ia kufur. Wa al’iyaadzu billah.
  8. Tidak mentasydid huruf ب. Apabila musholli mentasydid, dengan ia mengatakan اَللهُ أَكْبَّرُ maka sholatnya tidak sah.
  9. Tidak menambahi huruf و yang sukun atau berharokat di antara dua lafadz takbiratul ihram. Apabila musholli menambahkannya, seperti ia mengatakan; اَللهُ وَاكْبَرُ maka sholatnya tidak sah.
  10. Tidak menambah huruf و sebelum lafadz jalalah (الله). Apabila musholli mengatakan وَاللهُ أَكْبَرُ maka sholatnya tidak sah karena tidak ada lafadz yang menjadi ma'tufnya, berbeda dengan kalimah salam.
  11. Tidak waqaf (berhenti) diantara dua kalimah takbir, baik waqaf lama atau sebentar. Memisah antara keduanya dengan perabot ta'rif atau sifat yang tidak panjang hukumnya tidak apa apa, seperti; اَللهُ الْأَكْبَرُ, اَللهُ الْجَلِيْلُ الْأَكْبَرُ, اَللهُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ أَكْبَرُ. Berbeda apabila sifat memisah antara keduanya itu panjang, sekiranya tiga sifat atau lebih, maka batal sholatnya, seperti; اَللهُ الْجَلِيْلُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ أَكْبَرُ, اَللهُ الَّذِيْ لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ أَكْبَرُ. Apabila pemisah antara keduanya adalah dhomir atau nidak maka sholatnya juga tidak sah, seperti; اَللهُ هُوَ أَكْبَرُ, اَللهُ يَارَحْمَنُ أَكْبَرُ. Yang dimaksud sifat yang memisah antara keduanya adalah sifat maknawiah, bukan sifat nahwiah (na’at), oleh karena itu mencakup sifat seperti; عز dan جل. Mereka adalah dua sifat dari segi maknawiyah, bukan nahwiyah, karena عز danجل dari perkataan kami; الله عز وجل أكبر berkedudukan sebagai haal sehingga sah sah saja. Apabila musholli berkata اَللهُ جَلِيْلٌ أَكْبَرُ dengan menakirahkan lafadz جليل maka hukumnya tidak sah karena tidak menjadi sifat. Adapun apabila musholli berkata جَلِيْلٌ اللهُ أَكْبَرُ maka tidak apa apa karena lafadz جَلِيْلٌ tidak masuk dalam sholat, karena sholat masuk diawali dari lafadz اَللهُ.
  12. Musholli mendengar seluruh huruf-huruf takbiratul ihram ketika ia memiliki pendengaran yang sehat dan kondisi saat ia sholat tidak ada penghalang, seperti ramai atau lainnya. Namun, apabila ada penghalang maka ia mengeraskan suaranya dengan ukuran keras yang andaikan ia tidak tuli maka ia dapat mendengarnya. Musholli yang menderita sakit bisu (bukan bawaaan lahir) wajib menggerak-gerakkan lisan, kedua bibir, dan anak lidah saat bertakbir dan rukun qouli lainnya, seperti tasyahud, salam, dan dzikir-dzikir lainnya. Apabila ia menderita sakit bisu karena bawaan lahir maka tidak wajib atasnya menggerak-gerakkan lisan, kedua bibir dan anak lidah saat bertakbir dan rukun qouli lainnya.
  13. Masuknya waktu sholat, yaitu ketika bertakbiratul ihram melakukan sholat muaqqot, baik fardhu atau sunah. Begitu juga sholat dzu sabab.
  14. Melakukan takbiratul ihram dengan posisi menghadap Kiblat.
  15. Tidak merusak salah satu huruf dari huruf-huruf takbiratul ihram. Dimaafkan bagi musholli yang awam mengganti huruf hamzah lafadz أَكْبَرُ dengan huruf و, seperti yang difaedahkan oleh Syarqowi dan Bajuri. Ditambahkan oleh Bajuri bahwa dimaafkan bagi musholli yang awam membaca takbiratul ihram dengan tidak menjazmkan (mensukun) huruf raa (ر) lafadz أَكْبَرُ.
  16. Mengakhirkan membaca takbiratul ihram bagi musholli yang menjadi makmum agar imam membacanya terlebih dahulu. Apabila makmum menyertakan (membarengkan) sebagian dari takbiratul ihramnya dengan takbiratul ihram imam maka status makmumnya (qudwah) dan sholatnya tidak sah.
  17. Tidak adanya shorif (perkara yang mengalihkan). Dengan demikian, ketika masbuk (Musholli yang tidak mendapati bacaan fatihah bersama imam) yang mendapati imam dalam rukuk mengucapkan takbir satu kali dan ia menjatuhkan takbir tersebut di posisi yang mencukupi untuk membaca Fatihah dan ia hanya menyengaja takbir tersebut sebagai takbiratul ihram maka sholatnya sah. Berbeda apabila ia menyengaja takbir tersebut sebagai takbiratul ihram sekaligus takbir perpindahan rukun, atau sebagai takbir perpindahan saja, atau sebagai salah satu dari takbiratul ihram dan takbir perpindahan tetapi tidak jelas yang mana, atau memutlakkan, atau ragu apakah disengaja sebagai takbiratul ihram atau tidak, maka sholatnya tidak sah. Ketika seorang muballigh (Musholli yang menyuarakan keras bacaan takbir di belakang imam) sholat menyengaja takbirnya untuk i’lam (Memberitahu) saja atau memutlakkan maka sholatnya tidak sah. Tetapi apabila ia menyengaja takbiratul ihram sekaligus i’lam maka tidak apa-apa.

[CABANG]

Bajuri mengatakan, “Disunahkan tidak terlalu membaca qoshor (pendek) takbiratul ihram sekiranya sampai tidak bisa dipahami, dan tidak terlalu membaca mad (panjang). Melainkan sebaiknya dibaca sedang.”

Syibromalisi berkata, “Disunahkan tidak membaca mad pada takbiratul ihram. Disyaratkan panjang mad dalam takbiratul ihram tidak melebihi dari 7 alif. Jika sampai melebihinya maka sholatnya batal jika memang musholli tahu dan sengaja. Satu alif dikira-kirakan sepanjang dua harakat. Sedangkan dua harokat ini dikira-kirakan sepanjang menggerakkan dua jari-jari secara berturut-turut disertai dengan mengucapkan mad."

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami