Safinatun Naja 50 - Bentuk Bentuk Berjamaah
(فَصْلٌ)
صورة القدوة تسع تصح فى خمس: قدوة رجل برجل وقدوة امرأة برجل وقدوة خنثى برجل وقدوة امرأة بخنثى وقدوة امرأة بامرأة وتبطل في أربع: قدوة رجل بامرأة وقدوة رجل بخنثى وقدوة خنثى بامرأة وقدوة خنثى بخنثى
Bentuk-bentuk jamaah ada 9 (sembilan). Di antara mereka, ada 5 (lima) yang dihukumi sah, yaitu:
1. Makmum laki-laki bermakmum kepada imam laki-laki.
2. Makmum perempuan bermakmum kepada imam laki-laki.
3. Makmum khuntsa bermakmum kepada imam laki-laki.
4. Makmum perempuan bermakmum kepada imam khuntsa.
5. Makmum perempuan bermakmum kepada makmum perempuan.
Sedangkan 4 (empat) bentuk lainnya dihukumi batal, yaitu:
1. Makmum laki-laki bermakmum kepada imam perempuan.
2. Makmum laki-laki bermakmum kepada imam khuntsa.
3. Makmum khuntsa bermakmum kepada imam perempuan.
4. Makmum khuntsa bermakmum kepada imam khuntsa.
Bentuk-bentuk Jamaah
Fasal ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk yang mungkin terjadi dalam jamaah.
Bentuk-bentuk jamaah ada 9 (sembilan). Di antara mereka, ada 5 (lima) yang dihukumi sah, yaitu:
1. Makmum laki-laki bermakmum kepada imam laki-laki.
2. Makmum perempuan bermakmum kepada imam laki-laki.
3. Makmum khuntsa bermakmum kepada imam laki-laki.
4. Makmum perempuan bermakmum kepada imam khuntsa.
5. Makmum perempuan bermakmum kepada makmum perempuan.
Sedangkan 4 (empat) bentuk lainnya dihukumi batal, yaitu:
1. Makmum laki-laki bermakmum kepada imam perempuan. Oleh karena itu, bentuk jamaah ini tidak dihukumi sah karena syarat bermakmum adalah bahwa imam tidaklah lebih rendah daripada makmum sendiri sebab sifat keperempuanan atau sifat kekhuntsa-an. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “Perempuan tidak boleh mengimami laki-laki.”
2. Makmum laki-laki bermakmum kepada imam khuntsa. Oleh karena itu, bentuk jamaah ini dihukumi tidak sah sebab status imam adalah lebih rendah daripada makmum.
3. Makmum khuntsa bermakmum kepada imam perempuan. Oleh karena itu, bentuk jamaah ini tidak dihukumi sah sebab status imam adalah lebih rendah daripada makmum dan karena perempuan tidak sah untuk menjadi imam kecuali bagi mereka yang sejenis dengannya secara yakin. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Tidaklah beruntung suatu kaum yang menjadikan seorang perempuan sebagai pemimpin mereka.”
4. Makmum khuntsa bermakmum kepada imam khuntsa. Oleh karena itu, bentuk jamaah ini tidak dihukumi sah karena masih ada kemungkinan bahwa makmum berstatus laki-laki dan imam berstatus perempuan. Dihukumi sah, tetapi makruh, laki-laki bermakmum kepada imam khuntsa yang jelas sifat kelaki-lakiannya dan khuntsa yang jelas sifat keperempuanannya bermakmum kepada imam perempuan.
Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathu al-Jawad, “Khuntsa yang bermakmum kepada perempuan dimungkinkan sifat kelaki-lakiannya. Khuntsa yang dimakmumi oleh laki-laki dimungkinkan sifat keperempuanannya. Sedangkan bentuk jamaah khuntsa bermakmum kepada khuntsa makadimungkinkan sifat keperempuanan khuntsa yang menjadi imam dan dimungkinkan sifat kelaki-lakian khuntsa yang menjadi makmum. Adapun yang dihukumi sah adalah perempuan bermakmum kepada imam laki-laki atau imam khuntsa atau imam perempuan, dan khuntsa bermakmum kepada imam laki-laki, dan laki-laki bermakmum kepada imam laki-laki.”
[FAEDAH]
Abu Bakar bin Abdurrahman as-Sibti berkata;
Khuntsa adalah seseorang yang memiliki kelamin laki-laki dan kelamin perempuan sehingga ia tidak diketahui statusnya apakah ia itu laki-laki atau perempuan.
Status khuntsa dapat diketahui melalui beberapa hal berikut:
1. Air kencing.
Maksudnya, apabila khuntsa mengeluarkan air kencingnya dari dzakar maka statusnya adalah laki-laki dan apabila ia mengeluarkan air kencingnya dari farji maka statusnya adalah perempuan. Dan apabila ia terus menerus mengeluarkan air kencingnya dari dzakar dan farji maka Imam Ibnu Shobagh dan Mahamili mengatakan bahwa statusnya sesuai dengan manakah yang lebih dulu dilalui air kencing, artinya, apabila air kencing yang keluar dari dzakar itu lebih dulu keluarnya daripada yang keluar dari farji maka statusnya adalah laki-laki dan apabila air kencing yangkeluar dari farji itu lebih dulu keluarnya daripada yang keluar dari dzakar maka statusnya adalah perempuan. Dan apabila tidak diketahui manakah yang lebih dulu keluarnya, maka status khuntsa disesuaikan dengan manakah air kencing yang paling akhir terputusnya, artinya, apabila air kencing yang keluar dari dzakar terputus lebih dulu daripada yang keluar dari farji maka statusnya adalah laki-laki dan apabila air kencing yang keluar dari farji terputus lebih dulu daripada yang keluar dari dzakar maka statusnya adalah perempuan.
Apabila air kencing yang keluar dari dzakar dan farji keluar secara bersamaan dan juga terputus secara bersamaan, maka untuk menentukan status khuntsa apakah perlu mempertimbangkan banyak tidaknya air kencing yang dikeluarkan? Ada dua jawaban mengenai pertanyaan ini, tetapi pendapat asoh menyatakan bahwa tidak perlu mempertimbangkannya.
2. Sperma, haid, dan hamil.
Maksudnya, apabila khuntsa mengeluarkan sperma atau haid dari farji maka statusnya adalah perempuan. Apabila ia mengeluarkan sperma dari dzakar dan haid dari farji maka statusnya adalah musykil (tidak diketahui status laki-laki dan perempuannya).
Apabila khuntsa mengalami hamil dan melahirkan maka secara yakin statusnya adalah perempuan. Tanda ini adalah yang paling unggul dibanding tanda-tanda lain dalam menentukan status khuntsa karena tanda ini dapat menentukan statusnya secara yakin.Apabila khuntsa kencing dari dzakar dan haid dari farji maka apakah yang dijadikan patokan untuk menentukan statusnya adalah saluran air kencingnya, ataukah dzakar dan farji saling berlawanan, ataukah dzakar dan farji digugurkan dan khuntsa tetap dalam status musykil? Jawaban dari pertanyaan ini terdapat dua wajah, tetapi pendapat adzhar menyebutkan bahwa khuntsa tetap dalam status musykil-nya.
3. Dikembalikan pada jawaban khuntsa jika statusnya belum diketahui ketika ditanya kepada siapakah ia condong.
Apabila ia menjawab, “Aku condong kepada perempuan,” maka statusnya adalah laki-laki dan apabila ia menjawab, “Aku condong kepada laki-laki,” maka statusnya adalah perempuan. Ketika ia telah menjawab pertanyaan tersebut dan telah dihukumi ketentuan statusnya, kemudian ia mencabut pernyataannya, maka pencabutan pernyataannya ini tidak dapat diterima, kecuali ketika ia memberitahukan kepada yang lain bahwa dirinya adalah laki-laki, kemudian ia melahirkan seorang anak, maka secara yakin statusnya adalah perempuan sehingga status laki-laki yang sebelumnya menjadi batal.
Adapun tumbuhnya jenggot, montoknya payudara, dan tidak memiliki tulang iga, tidak dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan status khuntsa sebagaimana dinyatakan oleh pendapat ashoh.
Sampi sinilah pernyataan Abu Bakar bin as-Sibti berakhir.
Muhammad Sibtu al-Mardini berkata bahwa khuntsa musykil dibagi menjadi dua, yaitu:
- Khuntsa musykil yang memiliki kelamin laki-laki, yakni dzakar dan dua buah pelir, dan kelamin perempuan.
- Khuntsa musykil yang memiliki lubang yang tidak menyerupai kelamin laki-laki dan perempuan dimana lubang tersebut berfungsi sebagai saluran keluarnya air kencing.
Khuntsa musykil yang nomer dua tidak dapat diketahui statusnya apakah ia adalah laki-laki atau perempuan selama ia masih bocah. Dan ketika ia telah baligh maka masih ada kemungkinan untuk diketahui statusnya.
Khuntsa musykil yang nomer satu terkadang dapat diketahui status kelaki-lakiannya atau keperempuanannya meskipun ia masih bocah dan terkadang tidak dapat diketahuinya.
[CABANG]
Nawawi berkata, “Terkadang sifat khuntsa terjadi pada hewan sapi. Sungguh ada beberapa orang mendatangiku. Mereka memberitahukan bahwa mereka memiliki sapi yang tidak memiliki kelamin betina dan jantan. Sapi tersebut hanya memiliki sebuahlubang yang terdapat di samping ambing susu. Air kencing keluar dari lubang itu. Mereka bertanya kepadaku, ‘Apakah diperbolehkan berkurban dengan sapi semacam itu?’ Aku menjawab, ‘Boleh dan mencukupi berkurban dengan sapi khuntsa semacam itu karena sapi tersebut kemungkinan jantan atau betina, sedangkan berkurban dengan sapi jantan atau sapi betina sudah dihukumi mencukupi. Lagi pula, sapi khuntsa tersebut tidak menderita cacat yang dapat mengurangi kapasitas dagingnya. Sungguh aku berfatwa demikian ini.”