Safinatun Naja 46 - Kemakruhan Kemakruhan Shalat

Fasal ini membahas tentang perkara yang mewajibkan adus dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kemakruhan-kemakruhan Sholat

[KHOTIMAH]

Kemakruhan-kemakruhan dalam sholat ada 22 (Dua Puluh Satu), yaitu:

  1. Membiarkan kedua tangan berada di dalam lengan baju pada saat takbiratul ihram, rukuk, sujud, berdiri dari tasyahud, dan duduk tasyahud.
  2. Menolehkan wajah tanpa ada hajat. Adapun ketika ada hajat, seperti; menjaga keamanan harta, maka menolehkan wajah tidak dimakruhkan pada saat itu.
  3. Berisyarat dengan semisal mata, alis, atau bibir tanpa ada hajat meskipun dari musholli yang bisu. Sholat tidak dihukum batal sebab berisyarat seperti itu selama tidak ada unsur bercanda, sebaliknya, apabila ada unsur bercanda maka sholat dihukumi batal karenanya.

    Adapun ketika berisyarat karena hajat, misal; menjawab salam atau selainnya, maka tidak dimakruhkan.

  4. Mengeraskan bacaan di bagian sholat yang dianjurkan untuk memelankan bacaan atau sebaliknya, sekiranya tidak ada udzur. Apabila ada udzur, misalnya; suasana yang sangat ramai, kemudian perlu mengeraskan suara agar bacaan dapat dilakukan sesuai aturannya maka mengeraskan pada saat demikian ini tidak dimakruhkan.
  5. Ikhtishor atau meletakkan satu tangan atau keduanya pada pinggang (Jawa: methen-theng) selama tidak ada hajat semisal sakit lambung. Apabila ada hajat maka tidak dimakruhkan. Kemakruhan ini berdasarkan hadis Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallallahu ‘alaihi wa sallama melarang seorang laki-laki melakukan sholat dengan keadaan ikhtishor. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. Ikhtishor tidak hanya dimakruhkan bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan dan khuntsa.

    Begitu juga, ikhtishor dimakruhkan di luar sholat karena ikhtishor termasuk perilaku kebiasaan kaum kafir dengan dinisbatkan pada sholat, perilaku kebiasaan kaum sombong di luar sholat, dan perilaku kaum khuntsa dan perempuan saat merasa kagum. Lagi pula, ketika Iblis telah diturunkan dari surga, ia langsung bersikap ikhtishor.

    Kata ikhtishor yang ditafsiri dengan meletakkan salah satu tangan atau keduanya pada pinggang merupakan penafsiran yang masyhur.

    Terkadang kata ikhtishor ditafsiri dengan hanya memilih bacaan ayat sajdah. Ini juga dilarang. Azhari mengatakan, “Tafsiran hanya memilih ayat sajdah mengandung dua kemungkinan. Pertama; musholli benar-benar hanya memilih bacaan sajdah untuk dibaca, kemudian ia melakukan sujud tilawah. Kedua; musholli membaca Surat, ketika ia telah sampai pada ayat sajdah, ia melewatinya dan tidak melakukan sujud tilawah.”

    Disebutkan dalam kitab Mughni Muhtaj;

    Para ulama berselisih pendapat tentang penafasiran kata ikhtisor

    menjadi beberapa pendapat;

    Pendapat asoh menyebutkan bahwa ikhtisor adalah meletakkan salah satu tangan atau keduanya pada pinggang.

    Pendapat kedua menyebutkan bahwa ikhtisor adalah bersandar santai dengan tongkat.

    Pendapat ketiga menyebutkan bahwa ikhtisor adalah memilih satu Surat, kemudian hanya membaca ayat terakhirnya saja.

    Pendapat keempat menyebutkan bahwa ikhtisor adalah menyederhanakan sholat sehingga sholat tidak memenuhi batasan- batasannya (syarat dan rukun).

    Pendapat kelima menyebutkan bahwa ikhtisor adalah memilih bacaan berupa ayat-ayat sajdah saja, kemudian musholli melakukan sujud tilawah.

    Pendapat keenam menyebutkan bahwa ikhtisor adalah musholli hanya memilih ayat sajdah saja, kemudian ketika ia telah sampai pada ayat tersebut, ia tidak melakukan sujud tilawah.

  6. Cepat-cepat dalam melakukan sholat, maksudnya, musholli melakukan gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan sholat dengan cepat, tidak pelan-pelan. Dimakruhkan juga cepat- cepat menghadiri sholat karena sesungguhnya disunahkan berjalan menuju masjid dengan pelan-pelan dan tenang. Dimakruhkan juga cepat-cepat demi mendapati takbiratul ihram atau selainnya bersama imam. Akan tetapi, Apabila musholli akan mendapati jamaah hanya dengan cara cepat- cepat maka disunahkan, atau apabila ia akan mendapat sholat Jumat dengan cara cepat-cepat maka diwajibkan.
  7. Memejamkan (kelopak) mata jika memang musholli takut akan bahaya, baik musholli adalah orang yang buta atau dapat melihat karena kelopak mata akan bersujud bersamanya. Jika ia tidak takut bahaya maka tidak dimakruhkan memejamkannya. Terkadang memejamkan mata diwajibkan ketika shof-shof sholat terdiri dari orang- orang yang sholat dalam keadaan telanjang. Terkadang memejamkan mata juga disunahkan ketika misal musholli sholat menghadap tembok yang terukir atau dihiasi yang dapat mengganggu pikirannya.
  8. Menempelkan lengan atas dengan bagian lambung pada saat rukuk dan sujud.
  9. Menempelkan perut dengan paha pada saat rukuk dan sujud.
  10. Jongkok seperti jongkoknya anjing, yaitu menempelkan kedua pantat pada lantai dengan mengangkat kedua betis dan meletakkan kedua tangan di atas lantai. Ini merupakan salah satu dari bentuk jongkok seperti jongkoknya anjing.

    Bentuk lainnya adalah musholli meletakkan ujung jari-jari dua kaki dan kedua lutut di atas lantai dan meletakkan kedua pantat di atas kedua tumit. Bentuk ini adalah yang disunahkan di setiap duduk yang disertai bergerak setelahnya karena berdasarkan perbuatan shohih dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Akan tetapi, duduk iftirosy adalah yang lebih utama daripada bentuk ini karena duduk iftirosy adalah yang sering dan paling masyhur.

  11. Naqrotul ghurob, maksudnya menghantam lantai dengan dahi ketika melakukan sujud disertai tumakninah. Apabila tidak disertai tumakninah maka sujudnya belum mencukupi.
  12. iftirosy seperti iftirosy-nya binatang buas saat melakukan sujud, yaitu meletakkan kedua dzirok (bagian siku sampai ujung jari tangan) di atas lantai.
  13. Mubalaghoh atau terlalu menundukkan kepala pada saat rukuk.
  14. Memperpanjang bacaan tasyahud awal bagi selain makmum, sekiranya musholli membaca bacaan yang melebihi dari bacaan tasyahud awal, meskipun bacaan lebihnya itu adalah bersholawat atas keluarga Nabi atau bacaan doa. Adapun apabila bacaan lebih tersebut tidak sampai melebihi bacaan tasyahud awal maka tidak dimakruhkan.
  15. Idhtibak meskipun bagi musholli yang selain laki-laki. Pengertian idhtibak adalah meletakkan bagian tengah selendang di bawah pundak kanan dan meletakkan dua ujung selendang di atas tangan kiri.
  16. Tasybik jari-jari tangan. Pengertian tasybik adalah memasukkan sebagian jari-jari tangan ke jari-jari tangan satunya. Adapun di luar sholat, melakukan tasbik di dalam masjid sambil menunggu didirikannya sholat meskipun tidak sambil menghadap kiblat juga dimakruhkan. Apabila tidak di dalam masjid maka tidak dimakruhkan.

    Syaikhuna Muhammad Hasbullah berkata, “Tasybik dapat menyebabkan ngantuk.”

  17. Tafarqu' jari-jari tangan. Lafadz ﺗَـَﻔْﺮﻗُﻊ adalah bentuk masdar dari lafadz تفرقع dengan mengikuti wazannya lafadz تدخرج (تفعلل). Disebutkan di dalam kitab Qomus, pengertian tafarquk adalah mengibaskan jari-jari dan memukulkannya pada sesuatu agar mengeluarkan suara.
  18. Isbal, yaitu merendahkan sarung di atas lantai.
  19. Meludah di arah depan dan kanan, bukan kiri, karena adanya hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, “Ketika salah satu dari kalian sedang berada di dalam sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (berdialog) dengan Tuhan-nya Yang Maha Luhur dan Agung. Oleh karena itu, janganlah ia meludah di arah depan dan kanan, tetapi jika meludah maka meludahlah ia di arah kiri.”

    Meludah disini dihukumi makruh jika memang sholat yang dilakukan tidak di dalam masjid. Apabila di dalam masjid, maka musholli diharamkan meludah disana jika memang tempat yang dikenai ludah bersambung dengan sebagaian dari masjid, tetapi ia hendaklah meludah di ujung pakaian yang sebelah kiri, kemudian melipatnya.

  20. Menahan pakaian atau rambut bagi musholli laki-laki (dengan cara semisal dikucir atau diikat) pada saat hendak sujud, bukan bagi musholli perempuan atau khuntsa, bahkan terkadang wajib atas musholli perempuan dan khuntsa untuk menahan rambutnya. Oleh karena ini, Qulyubi mengatakan bahwa diwajibkan atas musholli perempuan dan khuntsa untuk menahan (mengikat) rambut jika memang sholat bisa menjadi sah hanya dengan cara menahan rambut tersebut. Tidak dimakruhkan apabila rambut tersebut masih dalam kondisi tertahan (terikat).

    Kemakruhan menahan pakaian atau rambut bagi musholli laki-laki disini tidak mempertimbangkan sholat yang sedang ia lakukan, artinya, baik sholat itu ada sholat jenazah atau sholat selainnya, baik ia sholat dengan berdiri atau duduk, karena adanya hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, “Aku diperintahkan melakukan sujud dengan bertumpu pada 7 (tujuh) tulang tubuh dan diperintahkan untuk tidak menahan baju dan juga rambut.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku diperintahkan untuk tidak أَكْفِتُ atau mengumpulkan (menahan) rambut dan pakaian.” Lafadz أَكْفِتُ dengan kasroh pada huruf ف dan dengan huruf ت termasuk bab lafadz ضرب يضرب. Lafadz أَكْفِتُ berarti أَجْمَعُ (Saya telah mengumpulkan)

    Termasuk sikap menahan menahan rambut dan pakaian adalah musholli sholat dengan rambut yang digelung atau diikat di bawah serbannya, atau ia sholat dengan pakaian atau lengan baju yang terangkat.

    Apabila si A melihat si B sedang sholat dengan rambut atau pakaian yang ditahan, meskipun si A juga sedang sholat disampingnya, maka disunahkan bagi si A untuk melepas rambut atau pakaian si B yang ditahan tersebut selama tidak dikuatirkan terjadi fitnah atau cekcok. Tetapi, apabila si A melepas lengan baju si B yang ditahan (dilingkis) dan ternyata di dalam lengan baju tersebut ada harta si B dan kemudian jatuh rusak, maka si A menanggungnya (dhomin).

    Termasuk menahan pakaian adalah mengikat perut dengan sabuk, maka hukumnya adalah makruh kecuali ada hajat, semisal; aurat musholli akan terlihat jika ia tidak memakai sabuk.

    Adapun ‘adzbah, yaitu ujung serban, maka dimakruhkan memasukkannya (nylempitne) ke dalam serban saat sholat, melainkan disunahkan membiarkan ujung serban jatuh turun (nglembreh). Begitu juga, dimakruhkan memasukkan ujung serban ke dalam serban di luar sholat karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak suka (ujung) serban yang dimasukkan.” Tetapi, memasukkan ujung serban ke dalam serban di dalam sholat adalah lebih makruh daripada demikian itu di luar sholat.

  21. Meletakkan (telapak) tangan di mulut tanpa ada hajat. Apabila ada hajat, misal; musholli menguap, maka tidak dimakruhkan meletakkan (telapak) tangan di mulut, bahkan malah disunahkan. Kesunahannya adalah (telapak) tangan kiri lah yang diletakkan di mulut. Yang lebih utama adalah bagian luarnya, seperti yang difatwakan oleh Syaikhuna Abdul Ghoni.
  22. Talatsum bagi musholli laki-laki dan tanaqub bagi musholli selain laki-laki. Pengertian talatsum adalah menutupi mulut dengan kain (masker). Pengertian tanaqub adalah menutupi bagian yang melebihi bagian mulut. Kemakruhan disini berdasarkan adanya larangan melakukan talatsum dan berdasarkan qiyas dalam tanaqub, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Minhaj al-Qowim.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami