Safinatun Naja 58 - Memandikan Jenazah

Fasal ini membahas tentang Tata cara memandikan jenazah dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

اقل الغسل تعميم البدنه بالماء. وأكمله أن يغسل سوأتيه وأن يزيل القذر من أنفه وأن يوضئه وأن يدلك بدنه بالسدر وأن يصب الماء عليه ثلاثا

Paling minimal memandikan mayit adalah meratakan air ke seluruh tubuhnya 

Paling sempurnanya memandikan jenazah adalah:

1. Membersihkan Qubul dan dzuburnya

2. Membuang kototran dari hidungnya

3. Mewudhukannya

4. Memandikannya dengan sabun dan

5. Menyiramkan air kepadanya sebanyak tiga kali

Memandikan Jenazah

Fasal ini menjelaskan tentang memandikan jenazah.

Paling minimal memandikan jenazah

Dalam memandikan jenazah, minimal hanya meratakan air ke seluruh tubuhnya satu kali karena orang hidup saja hanya diwajibkan meratakan air ke seluruh tubuh satu kali saat mandi besar, apalagi memandikan jenazah.

Sebelum memandikan, tidak disyaratkan menghilangkan najis terlebih dahulu dari tubuh mayit.

memandikan jenazah bisa dianggap cukup hanya dengan satu kali basuhan air yang meratai tubuhnya jika basuhan satu kali tersebut sudah membersihkan tubuhnya, jika belum bisa membersihkannya maka wajib menambahi basuhan berikutnya hingga tubuhnya bersih.

Disunahkan mengganjilkan hitungan basuhan air jika tubuh mayit dapat bersih dengan basuhan genap.

Dalam memandikan jenazah, diwajibkan melibatkan perbuatan kita, artinya, kita benar-benar memandikannya secara nyata sekalipun mayit tersebut adalah orang kafir atau belum mukallaf. Jadi, apabila mayit terbasuh air sebab ia mati tenggelam atau dimandikan oleh malaikat maka demikian ini belum menggugurkan kewajiban memandikan yang dibebankan atas kita. Apabila mayit dimandikan oleh makhluk jin, atau apabila ia bisa mandi sendiri karena mendapat karomah dari Allah, sebagaimana yang terjadi pada mayit Sayyidi Ahmad al-Badawi, Semoga Allah memberi pertolongan kepada kita melalui perantaranya, maka demikian itu sudah mencukupi, artinya, sudah menggugurkan kewajiban memandikan yang dibebankan atas kita. Begitu juga, apabila mayit dimandikan oleh mayit lain karena diberi suatu karomah maka demikian ini sudah mencukupi.

Orang junub tidak dimakruhkan memandikan jenazah.

Ghosil (orang yang memandikan jenazah) tidak wajib berniat memandikan karena tujuan dari memandikan jenazah sendiri adalah nadzofah (membersihkan) sedangkan nadzofah tidak diharuskan tergantung pada niat, tetapi ia disunahkan berniat memandikan demi tujuan keluar dari perbedaan pendapat ulama. Jadi, ghosil berniat;

نَوَيْتُ الْغُسْلَ أَدَاءً عَنْ هَذَا الْمَيّتِ

Aku berniat memandikan jenazah ini.

Atau;

نويت الغسل استباحت الصلاة على هذا الميت

Aku berniat memandikan jenazah ini agar diperbolehkan mensholati mayit ini

Berbeda dengan berniat wudhu, maka orang yang mewudhukan mayit wajib berniat wudhu. Oleh karena ini, dikatakan, “Kita (kalangan syafiiah) memiliki suatu perkara yang wajib tetapi niatnya sunah dan memiliki sesuatu yang sunah tetapi niatnya wajib,” maksudnya, memandikan jenazah adalah perkara yang wajib tetapi berniat memandikannya dihukumi sunah dan mewudhukan mayit adalah perkara yang sunah tetapi berniat mewudhukannya dihukumi wajib.

Apabila mayit sulit dimandikan karena tidak ada air atau semisal mayit mati karena terbakar atau teracuni yang andaikan dimandikan maka tubuhnya akan rusak dan terlepas, maka mayit ditayamumi.

Ketika mayit adalah laki-laki maka yang lebih utama untuk memandikannya adalah laki-laki. Dan ketika mayit adalah perempuan maka yang lebih utama untuk memandikannya adalah perempuan.

Laki-laki boleh memandikan jenazah perempuan halalnya, seperti istri yang bukan ditalak roj’i dan budak amat selama budak amat tersebut bukan budak amat yang dinikahi, tidak sedang mengalami masa iddah, dan tidak sedang menjalani masa istibrok.

Istri yang bukan ditalak roj’i boleh memandikan suaminya meskipun ia telah menikah dengan orang lain, semisal; ia melahirkan kandungan setelah suami pertamanya meninggal dunia, kemudian ia menikah dengan laki-laki lain, maka baginya diperbolehkan memandikan jenazah suami pertamanya dan meminta tolong kepada suami keduanya karena masih adanya hak zaujiah (hak atas dasar hubungan nikah), tetapi tanpa istri itu menyentuh kulit suami keduanya dan tanpa suami keduanya itu menyentuh istrinya agar masing-masing wudhunya tidak batal.

Mereka yang lebih utama dalam memandikan jenazah laki-laki adalah mereka yang lebih utama untuk menjadi imam dalam mensholatinya. Mereka adalah para laki-laki ahli waris yang dari hubungan nasab, kemudian yang dari hubungan perwalian, kemudian imam (pemimpin pemerintahan), kemudian naib-nya, kemudian para laki-laki yang dari hubungan sanak saudara (kerabat).

Apabila para laki-laki yang hadir itu sama dalam tingkatan, misal; para laki-laki yang hadir saat itu adalah mereka yang sama dari hubungan nasab, maka didahulukan siapakah yang lebih alim Fiqih di antara mereka agar memandikannya. Adapun dalam mensholatinya, maka didahulukan siapakah yang lebih tua, lalu siapakah yang lebih dekat hubungan kerabatnya dengan mayit.

Jadi, ketika para laki-laki yang hadir saat itu sama dalam tingkatan, maka yang lebih alim Fiqih adalah lebih utama untuk memandikan jenazah laki-laki daripada yang lebih tua dan daripada yang lebih dekat hubungan kerabatnya dengan mayit. Sebaliknya, yang lebih tua dan yang lebih dekat hubungan kerabatnya dengan mayit adalah lebih utama untuk mensholati daripada yang lebih alim Fiqih.

Adapun yang lebih utama untuk memandikan jenazah perempuan adalah para perempuan yang masih memiliki hubungan kerabat dengannya. Yang lebih utama dari mereka adalah para perempuan kerabat yang masih mahram dengannya. Setelah para perempuan kerabat, ada perempuan yang memiliki hubungan perwalian dengan mayit, kemudian perempuan lain (ajnabiah), kemudian suami, kemudian para laki-laki yang masih mahram dengan mayit.

Apabila ada dua orang yang sama dalam tingkatan maka diambil keputusan dengan cara diundi di antara mereka berdua untuk menentukan siapakah yang lebih utama untuk memandikan atau mensholati.

Mayit laki-laki kecil (soghir) yang belum mencapai usia yang menimbulkan syahwat boleh dimandikan oleh para laki-laki lain dan para perempuan lain. Begitu juga, mayit khuntsa yang sudah dewasa (kabir) boleh dimandikan oleh mereka jika memang tidak ditemukan mahramnya.

Dalam memandikan jenazah, apabila mayit adalah perempuan janda maka diwajibkan mendatangkan air sampai pada bagian farji yang terlihat saat ia jongkok untuk memenuhi hajat (spt; buang air besar atau kecil).

Apabila mayit adalah laki-laki yang belum dikhitan maka diwajibkan mendatangkan air sampai bagian bawah qulfah dan diharamkan mengkhitannya meskipun mayit tersebut berdosa sebab ia menunda-nunda untuk berkhitan. Akan tetapi, apabila membasuh bagian bawah qulfah dirasa sangat sulit sekiranya di bagian tersebut

terdapat najis yang sangat sulit untuk dihilangkan maka mayit dikuburkan tanpa disholati seperti mayit yang faqit tuhuroini sebagaimana pendapat yang dikatakan oleh Romli. Pada saat demikian ini, ia tidak boleh ditayamumi karena syarat tayamum adalah menghilangkan najis terlebih dahulu. Ibnu Hajar berkata bahwa ia boleh ditayamumi karena dhorurot.

Bajuri berkata, “Sebaiknya bertaklid (mengikuti) pendapat Ibnu Hajar di atas karena mengubur mayit tanpa mensholatinya terlebih dahulu merupakan suatu bentuk sikap menghina mayit, seperti yang dikatakan oleh Syeh Muhammad al-Fadholi.”

Apabila mayit bukan orang yang sedang ihram maka dimakruhkan memotong kukunya dan rambutnya karena bagian-bagian tubuh mayit berstatus muhtaromah (dimuliakan). Namun, apabila air tidak bisa mengenai kulit mayit kecuali dengan cara dipotong kukunya dan rambut kepalanya, semisal rambutnya itu gimbal sebab digimbal sendiri atau ada luka dikepalanya hingga darah luka tersebut mengeras, maka diwajibkan memotongnya. Begitu juga, apabila bagian bawah kuku mayit sulit dibasuh sebab misal kukunya panjang maka kukunya tersebut wajib dipotong.

Kewajiban dalam memotong kuku dan rambut mayit pada saat dirasa sulit membasuhkan air, seperti contoh di atas, sama-sama berlaku bagi mayit yang ihram atau bukan. Apabila mayit adalah orang yang ihram maka kewajiban fidyah dibebankan atas orang yang memotongkannya.

Ketika kuku atau rambut mayit dipotong maka disunahkan potongan keduanya ikut dimasukkan ke dalam kain kafan dan diwajibkan potongan keduanya ikut dimasukkan ke dalam kuburan. Jadi, wajib mengubur potongan kuku dan rambut bersama mayit

Paling sempurnanya memandikan jenazah.

Secara lengkap dalam memandikan jenazah, ghosil (orang yang memandikan) membasuh qubul dan dubur mayit dengan kain yang diikat-ikatkan pada tangan kirinya dan ia membersihkan kotoran dari hidung mayit. Setelah itu, ia mewudhukan mayit sebelum dimandikan dengan cara sebagaimana mandinya orang yang masih hidup disertai mengkumurkan dan mengistinsyaqkan tiga kali-tiga kali, tetapi ghosil sedikit menundukkan kepala mayit agar air tidak masuk ke dalam perut.

Ghosil menggosok tubuh mayit dengan sidr (السدر) atau selainnya semisal sabun, asynan, dan sebagainya.

Dikatakan di dalam kitab al-Misbah, “Ketika lafadz السدر disebutkan dalam masalah mandi maka yang dimaksud adalah daun gilingan.”

Ghozali berkata dalam kitab at-Tafsir, " السدر dibagi menjadi dua. Pertama, tanaman yang tumbuh di aryaf, yaitu tanah yang memiliki banyak pepohonan dan tanam-tanaman yang memiliki dedaunan yang dapat dimanfaatkan untuk mandi dan memiliki buah yang enak. Kedua, tanaman yang tumbuh di gurun dan daunnya tidak dapat dimanfaatkan untuk mandi dan buahnya terasa sepat.”

Setelah itu, ghosil menuangkan air pada tubuh mayit sebanyak tiga kali. Kesunahannya adalah bahwa air basuhan pertama disertai dengan semisal sidr, air basuhan kedua berupa air murni yang membersihkan sidr tersebut, dan air basuhan ketiga berupa air murni dengan sedikit campuran kapur barus sekiranya kapur barus tersebut tidak sampai merubah sifat-sifat air karena bau kapur barus berfungsi untuk menjaga jasad mayit dari binatang melata. Dimakruhkan tidak menggunakan kapur barus dalam basuhan.

Mengecualikan dengan sedikit campuran kapur barus adalah campuran banyaknya karena dapat merubah banyak air kecuali apabila kapur barus tersebut dimasukkan ke dalam air dalam keadaan padat maka diperbolehkan secara mutlak meskipun sampai merubah air karena perubahan demikian ini bukan karena tercampur, tetapi mujawir (bersampingan, artinya, tidak larut).

Tiga basuhan ini dihitung sebagai basuhan pertama karena hitungan basuhan didasarkan pada air murni. Setelah itu, disunahkan melakukan basuhan kedua dan ketiga dengan cara yang sama, artinya, basuhan kedua dan ketiga terdiri dari air basuhan yang diserta sidr, air murni yang membersihkan sidr tersebut, dan air murni dengan sedikit campuran kapur barus. Jadi, total basuhan air

adalah sebanyak 9 (sembilan) kali, tetapi ibroh atau dasar hitungan 3 (tiga) hanya berdasarkan pada basuhan air murni.

Jadi, basuhan lengkap yang minim adalah sebanyak 3 (tiga) kali. Basuhan lengkap yang maksimal adalah sebanyak 9 (sembilan) kali. Dan basuhan lengkap yang sedang adalah sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) kali.

Kesimpulan penjelasan tentang memandikan jenazah adalah bahwa ghosil membasuhi jasad mayit dengan air yang asin, karena air tawar menyebabkan mempercepat busuk, dan yang dingin karena dapat mengencangkan jasad, kecuali apabila ada hajat, semisal ghosil merasa kedinginan, maka air dingin dipanaskan sedikit, atau semisal air yang dingin itu dalam kondisi kotor. 

memandikan jenazah dilakukan di tempat sepi atau tertutup yang tidak diperbolehkan masuk kecuali ghosil, orang yang membantunya, dan wali mayit; yaitu para ahli waris terdekat.

Tempat yang lebih utama untuk memandikan jenazah adalah tempat yang ada atap (genteng) karena tempat semacam ini akan lebih tertutup.

Saat dimandikan, mayit dipakaikan baju gamis bekas yang tipis. Dengan ini, mayit akan lebih tertutup.

Mayit diletakkan di tempat tinggi semisal meja atau dipan agar ia tidak terkena percikan air.

Ghosil mendudukkan mayit di tempat tinggi tersebut dengan pelan dan ia sedikit mendoyongkan jasadnya ke belakang. Ghosil meletakkan tangan kanannya di atas pundak mayit sambil meletakkan jempol/ibu jari tangan kanannya tersebut di cekungan tengkuk mayit agar kepala mayit tidak condong ke belakang.

Setelah itu, ghosil menyandarkan punggung mayit pada lutut kanannya. Ia menjalankan tangan kirinya di atas perut mayit dengan sedikit menekannya secara maju mundur agar kotoran dapat dikeluarkan.

Lalu, ghosil memiringkan setengah jasad mayit, artinya, posisi kepala sampai dada mayit menyamai posisi berbaring. Kemudian, ghosil membasuh qubul dan dubur mayit dengan tangan kirinya yang telah diikat-ikat kain. Setelah itu, ghosil melepas ikatan kain di tangannya dan menggantinya dengan ikatan kain baru yang telah dibasuh dengan air dan asynan. Lalu, ia membersihkan gigi-gigi mayit dan dua lubang hidungnya.

Setelah selesai, ghosil mewudhukan mayit disertai berniat wudhu. Lalu, ia membasuh kepala mayit dan jenggotnya dengan air dan sidr. Ia menyisir pelan rambut mayit yang gimbal dengan sisir yang gigi-giginya lebar.

Apabila ada rambut-rambut mayit yang rontok, disunahkan mengembalikan rontokan tersebut di kain kafan bersama mayit atau di kuburan. Adapun mengubur rontokan rambut mayit, meskipun tidak di kuburan, hukumnya adalah wajib sebagaimana diwajibkan mengubur rontokan rambut hayyi (orang yang masih hidup) ketika hayyi tersebut langsung mati setelah rambutnya rontok.

Kemudian ghosil membasuh separuh tubuh kanan mayit, lalu separuh tubuh kiri mayit. Setelah itu, ia memiringkan mayit ke arah kiri agar ia membasuh bagian kanan sekitar tengkuk mayit. Lalu ia memiringkan mayit ke arah kanan agar ia membasuh bagian kiri sekitar tengkuk mayit. Air yang digunakan untuk membasuh bagian sekitar tengkuk ini adalah air yang disertai sidr. Lalu ghosil menghilangkan bekas air sidr ini dengan air murni yang disiramkan ke tubuh mayit dari bagian tengah kepala sampai telapak kaki hingga merata. Setelah itu, ghosil menyiramkan air murni dengan sedikit campuran kapur barus ke tubuh mayit dari tengah kepala juga sampai telapak kaki secara merata. Basuhan ini, maksudnya, basuhan dengan air sidr, basuhan air murni, dan basuhan air murni dengan sedikit campuran kapur barus, dihitung sebagai satu kali basuhan memandikan.

Disunahkan bagi ghosil untuk tidak melihat bagian tubuh mayit selain aurat kecuali hanya seperlunya saja. Adapun melihat aurat mayit maka diharamkan atasnya.

Disunahkan menutup wajah mayit dengan semacam kain, yaitu dari awal mengangkat mayit ke tempat dimandikan.

Disunahkan pula untuk tidak menyentuh bagian tubuh mayit selain aurat kecuali dengan perantara kain.

Apabila mayit telah dimandikan, kemudian ada najis keluar dari tubuhnya, maka najis tersebut wajib dihilangkan, seperti yang dikatakan oleh Qulyubi, agar mensholatinya dihukumi sah.

Tidak diperbolehkan mentayamumi mayit yang ditubuhnya terdapat najis yang sulit untuk dihilangkan dan tidak boleh mensholatinya.

[TANBIH]

Perkataan Mushonnif yang berbunyi أن يصب الماء, apabila lafadz يصب termasuk dari bab قتل maka lafadz يصبّ termasuk muta’adi atau membutuhkan maf’ul bih dan ini yang dimaksud dalam fasal memandikan jenazah disini. Lafadz يصبّ tersebut berarti يريق (menuangkan). Apabila lafadz يصبّ termasuk bab ضرب maka lafadz يَصِبُّ termasuk lazim atau tidak membutuhkan maf’ul bih dan ia berarti يسكب (tumpah).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami