Safinatun Naja 55 - Rukun-rukun Dua Khutbah Jumat

Fasal ini membahas tentang rukun rukun dua khutbah Jumat dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

أركان الخطبتين خمسة: حمد الله فيهما والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فيهما والوصية بالتقوى فيهما وقراءة أية من القرأن في إحداهما والدعاء للمؤمنين والمؤمنات فى الاخيرة

Rukun rukun dua khutbah ada lima:

1. Memuji Allah pada dua khutbah

2. Bersholawat pada khutbah

3. Berwasiat pada khutbah

4. Membaca ayat Al-Quran pada salah satu khutbah

5. Mendoakan orang mu'min dan muninat di akhir (kutbah ke dua)

Rukun-rukun Dua Khutbah Jumat

Fasal ini menjelaskan tentang rukun-rukun dua khutbah Jumat.

Secara global, rukun-rukun dua khutbah Jumat ada 5 (lima). Adapun secara rinci, ada 8 (delapan) karena ada 3 rukun pertama yang sama-sama dilakukan di khutbah pertama dan khutbah kedua.

1. Memuji Allah.

Rukun khutbah yang pertama adalah memuji Allah di dalam khutbah pertama dan kedua. Dalam memuji Allah, disyaratkan menggunakan lafadz الله dan lafadz حمد.

Jadi, dalam memuji diwajibkan menggunakan lafadz yang bercabang dari lafadz الحمد, seperti الحمد لله (Segala pujian hanya milik Allah), atau احمد الله (Aku memuji Allah), atau أنا حامد الله (Aku adalah orang yang memuji Allah), atau لله الحمد (Hanya milik Allah-lah segala pujian). Oleh karena itu, dalam memuji Allah tidak dicukupkan dengan menggunakan lafadz yang selain dari cabangan lafadz الحمد seperti lafadz الشكر dan cabangannya semisal الشكر لله.

Karena disyaratkan harus menggunakan lafadz الله, tidak cukup memuji Allah dengan berkata الحمد للرحمان atau الحمد للخالق karena di dalam lafadz الله dengan dinisbatkan pada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya terdapat keunggulan yang sempurna sebab lafadz الله memiliki keistimewaan sempurna sendiri. Ini terbukti, ketika seseorang mengucapkan lafadz الله dari ucapannya tersebut dapat dipahami sifat-sifat kesempurnaan Allah yang lain, berbeda dengan ketika mengucapkan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang lain.

2. Bersholawat

Rukun khutbah yang kedua adalah bersholawat kepada Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama di khutbah pertama dan kedua.

Dalam bersholawat, disyaratkan harus menggunakan lafadz الصلاة dan cabangannya, seperti; الصلاة على محمد atau أصلى على محمد atau نصلى على محمد atau أنا مصل على محمد.

Adapun dalam lafadz محمد tidak harus menggunakan lafadz tersebut, tetapi dicukupkan juga dengan lafadz أحمد atau النبي الماحى atau النبي الحاشى atau yang lain. Tidak cukup kalau semisal lafadz محمد didhomirkan meskipun ada marjik (lafadz yang dirujuki), semisal berkata الصلاة عليه.

3. Berwasiat

Maksudnya, rukun khutbah yang ketiga adalah berwasiat atau memerintah bertakwa di dalam khutbah pertama dan kedua.

Ziyadi berkata, “Pengertian takwa adalah mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.”

Menurut Ibnu Hajar, dalam berwasiat takwa, khotib dicukupkan dengan memerintah salah satu dari mentaati perintah-perintah Allah atau menjauhi larangan-larangan-Nya. Jadi, ketika khotib berwasiat takwa dengan berkata, “Marilah kita mentaati perintah-perintah Allah,” atau ia berkata, “Jauhilah larangan-larangan Allah,” maka sudah mencukupi.

Adapun menurut Romli, diharuskan disertai dorongan melakukan ketaatan.

Dalam berwasiat takwa, tidak cukup kalau khotib hanya sekedar menakut-nakuti para pendengar dari dunia dan tipu dayanya karena demikian ini juga maklum bagi kaum kafir.

Dalam berwasiat takwa, tidak disyaratkan menggunakan lafadz الوصية dan cabangannya, tetapi cukup dengan menggunakan lafadz yang mewakilinya, seperti أطيع الله (Taatlah kepada Allah!)

Alasan mengapa tidak disyaratkan harus menggunakan lafadz الوصية dan cabangannya adalah karena tujuan dari berwasiat takwa adalah menasehati dan mendorong para pendengar untuk melakukan ketaatan. Sementara itu, untuk menghasilkan tujuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan lafadz selain dari الوصية dan cabangannya.

4. Membaca Ayat al-Quran

Rukun khutbah yang keempat adalah membaca satu ayat al-Quran di salah satu dari dua khutbah karena ittibak, maksudnya, membaca satu ayat yang memahamkan. Karena yang disyaratkan adalah membaca, maka tidak cukup kalau khotib hanya melihat ayat saja tanpa membaca, seperti yang dikatakan oleh Hisni.

Ziyadi berkata, “Satu ayat tersebut adalah ayat yang menunjukkan pengertian janji Allah, atau ancaman-Nya, atau hukum, atau kisah. Cukup juga dengan hanya membaca setengah dari satu ayat yang panjang karena ini lebih utama daripada satu ayat utuh yang pendek. Tidak cukup kalau ayat yang dibaca adalah ayat yang mengandung pengertian memuji Allah atau menasehati para pendengar untuk memuji-Nya, seperti khotib membaca Firman Allah;

الحمد لله الذي خلق السموات والأرض وجعل الظلمات والنور

Segala pujian hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya.

QS. Al-Anam: 1

dikarenakan satu perkara tidak bisa digunakan untuk melakukan dua kefardhuan (rukun memuji Allah dan membaca ayat), melainkan hanya dapat digunakan untuk melakukan satu kefardhuan. Apabila khotib membaca beberapa ayat yang mencakup semua rukun khutbah selain bersholawat atas Rasulullah dikarenakan tidak ada satu ayat yang mencakup semuanya maka belum mencukupi sebab demikian itu tidak bisa disebut sebagai khutbah.”

Setelah selesai membaca satu ayat yang memahamkan, khotib disunahkan membaca Surat Qof di dalam khutbah Jumat. Demikian ini dijelaskan dalam kitab Fathu al-Muin.

Maksudnya, Surat Qof tersebut adalah sebagai ganti dari satu ayat yang memahamkan, bukan khotib membaca satu ayat memahamkan dan setelah itu ia membaca Surat Qof.

Menurut keterangan yang disampaikan oleh Bajuri, “Disunahkan khotib membaca Surat Qof di setiap khutbah Jumat karena adanya hadis yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama membaca Surat Qof di setiap Jumat di atas mimbar. Adapun asal kesunahannya dapat diperoleh dengan membaca beberapa ayat saja dari Surat Qof.”

Pernyataan Mushonnif yang berbunyi, “Membaca satu ayat al-Quran di salah satu dari dua khutbah,” maksudnya, yang lebih utama adalah bahwa khotib membaca ayat al-Quran di khutbah pertama agar ayat tersebut menjadi pembanding doa untuk mukminin dan mukminat di khutbah kedua sehingga akan ada keseimbangan antara masing-masing dari dua khutbah, maksudnya, masing-masing khutbah akan menjadi memiliki 4 (empat) rukun. Apabila khotib tidak pandai membaca sedikit pun ayat al-Quran dan tidak ada orang lain yang pandai membaca al-Quran selainnya, maka khotib mengganti membaca ayat al-Quran dengan membaca dzikir atau doa. Apabila khotib juga tidak mampu membaca dzikir atau doa maka ia berdiri saja seukuran lamanya membaca ayat al-Quran.

5. Berdoa.

Maksudnya, rukun khutbah yang kelima adalah berdoa dengan doa kebaikan akhirat untuk para mukminin dan mukminat di khutbah yang kedua, baik untuk mereka secara umum atau secara khusus, tetapi yang lebih utama adalah dengan secara umum. Boleh saja jika khotib mendoakan mereka secara khusus, artinya, mereka yang didoakan hanyalah mereka yang mendengar khutbah (para peserta Jumatan) semisal khotib berkata رحمكم الله (Semoga Allah merahmati kalian). Dicukupkan khotib berdoa اللهم أجرنا من النار (Ya Allah. Selamatkanlah kami dari neraka.), jika ia memaksudkan kata kami dengan para hadirin.

Syarqowi berkata, “Mengikutkan mukminat dalam berdoa hukumnya sunah dan tidak termasuk salah satu rukun sehingga apabila khotib berdoa hanya untuk mukminat (tanpa menyertakan mukminin) maka belum mencukupi, berbeda apabila ia hanya berdoa untuk mukminin maka sudah mencukupi.”

Tidak diperbolehkan berdoa dengan kalimat, “Ya Allah. Ampunilah seluruh dosa dari seluruh kaum muslimin,” karena wajib meyakini bahwa ada sebagian dari mukminin yang akan masuk ke dalam neraka meskipun itu hanya satu orang saja, sedangkan kalimat doa tersebut menafikan atau meniadakan keyakinan ini. Berbeda dengan kalimat, “Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa dari seluruh kaum muslimin,” atau, “Ya Allah. Ampunilah seluruh dosa dari kaum muslimin,” yakni, dengan membuang kata “seluruh” di salah satunya, seperti keterangan yang dikatakan oleh Syabromalisi.

Adapun mendoakan presiden secara khusus maka diperbolehkan ketika tidak berlebihan dalam mensifati dan tidak keluar dari batas sewajarnya, misalnya khotib berkata, “Presiden yang adil yang memberikan hak kepada yang berhak serta yang tidak berbuat dzalim,” maka doa semacam ini dimakruhkan jika memang tidak kuatir akan timbulnya fitnah atau bahaya ketika tidak didoakan semacam itu. Jika kuatir akan timbulnya demikian maka diwajibkan berdoa semacam itu seperti dalam masalah sebagian memenuhi hak sebagian yang lainnya. Dalam kekuatiran timbulnya fitnah tidak disyaratkan harus ada sangkaan kuat atas timbulnya, tetapi cukup merasa ada sangkaan atasnya.

Adapun mendoakan kesalehan dan hidayah untuk para imam muslimin (para tokoh muslimin) dan para pejabat pemerintahan, hukumnya adalah sunah.

Usman Suwaifi berkata,“Dimakruhkan bagi khotib mengangkat kedua tangan saat berkhutbah.”

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami