Safinatun Naja 48 - Shalat Shalat Yang Diwajibkan Berniat Jamaah

Fasal ini membahas tentang perkara perkara yang membatalkan shalat dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

الذى يلزم فيه نية الامامة أربعة الجمعة والمعاداة والمنذورة جماعة والمقدمة فى المطر

Sholat yang di dalamnya diwajibkan atas imam untuk berniat imamah (berniat menjadi Imam) yang disertakan dengan takbiratuk ihram ada empat yang pertama adalah sholat-sholat yang tidak sah dilakukan sendirian yang kedua shalat mu'adah yang ketiga shalat mandzuroh yang keempat shalat yang dijamak sebab hujan

Sholat-sholat yang Diwajibkan Berniat Jamaah di dalamnya

Fasal ini menjelaskan tentang sholat-sholat yang diwajibkan berniat jamaah di dalamnya.

Mushonnif berkata;

Sholat yang di dalamnya diwajibkan atas imam untuk berniat imamah (berniat menjadi Imam) yang disertakan dengan takbiratuk ihram ada 4 (empat) sholat, yaitu sholat-sholat yang tidak sah dilakukan sendirian.

1. Sholat Jumat

Di dalam sholat Jumat, imam wajib berniat imamah. Apabila ia tidak berniat imamah yang disertakan dengan takbiratul ihram maka niat sholat Jumat-nya tidak sah, baik ia terhitung termasuk dari 40 orang atau terhitung lebih dari 40 orang, dan meskipun ia tidak termasuk orang yang diwajibkan sholat Jumat. Namun, apabila imam bukan orang yang diwajibkan sholat Jumat, kemudian ia meniatkan sholat selain sholat Jumat, maka ia tidak wajib berniat imamah.

2. Sholat Mu’adah (Sholat yang Diulangi)

Di dalam sholat mu’adah, imam wajib berniat imamah. Sholat mu’adah adalah sholat maktubah/wajib yang adak (bukan qodho) atau sholat sunah yang disunahkan berjamaah di dalamnya yang mana masing-masing dari keduanya dilakukan di waktu adak untuk yang kedua kalinya secara berjamaah demi mengharapkan pahala.

Ketika Zaid telah melakukan sholat A (spt; Dzuhur, Ashar, Tarawih, dll) secara sah yang meskipun dilakukan secara berjamaah, kemudian di waktu sholat A ia mendapati Umar yang sedang melakukan sholat A yang meskipun dilakukan secara sendirian, maka sunah bagi Zaid mengulangi melakukan sholat A bersama Umar.

Diharamkan memutus sholat mu’adah karena ia memiliki status hukum seperti sholat fardhu, kecuali apabila musholli meninggalkan sholat mu’adah sebelum ia memulai mendirikannya, atau apabila musholli bertayamum satu kali, kemudian ia melakukan satu sholat fardhu, setelah itu ia melakukan sholat mu’adah dengan tayamumnya tersebut, maka diperbolehkan baginya memutus sholat mu’adah dalam dua contoh pengecualian ini.

Dasar sholat mu’adah adalah perintah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dalam hadis Abu Daud dan selainnya yang mana hadis tersebut dishohihkan oleh Turmudzi,

إذا صليتما فى رحالكما ثم أتيتما مسجد جماعة فصلياها معهم فإنها لكما نافلة

“Ketika kalian berdua telah mendirikan sholat di tengah-tengah perjalanan, kemudian kalian mendatangi masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sholat berjamaah, maka ulangilah mendirikan sholat bersama mereka karena sholat yang kedua itu adalah sholat sunah bagi kalian.”

Hadis di atas berawal dari ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama telah selesai sholat Subuh. Beliau berkata kepada dua laki-laki yang tidak ikut sholat berjamaah bersama beliau, “Ketika kalian berdua telah mendirikan sholat di tengah-tengah perjalanan ...” Mereka menjawab, “Kami telah sholat di rumah.”

Bunyi sabda Rasulullah مسجد جماعة (kemudian kalian mendatangi masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sholat berjamaah) bukanlah sebuah qoyid/batasan, tetapi hanya menurut kebiasaan umumnya karena pada umumnya sholat jamaah sering dijumpai di masjid.

Bunyi sabda beliau ‘ﺻﻠﻴﺘﻤﺎ’ (Ketika kalian berdua telah mendirikan sholat) bisa saja mengandung pengertian bahwa mereka berdua pada awalnya telah sholat secara sendiri-sendiri atau secara berjamaah, baik jamaah pertama dan kedua itu sama atau salah satu dari dua jamaah itu lebih utama daripada yang lainnya, mungkin karena imamnya adalah lebih alim, atau lebih wirai, atau jumlah peserta jamaah lebih banyak, atau tempat jamaahnya lebih utama.

[KETAHUILAH]

Syarat-syarat i’adah atau mengulangi sholat ada 12 , yaitu:

  1. Sholat yang pertama adalah sholat maktubah/wajib yang adak (bukan qodho) atau sholat sunah yang disunahkan dilakukan secara berjamaah meskipun yang dinadzari semisal sholat Id yang dinadzari, kecuali sholat Witir di bulan Ramadhan, maka menurut pendapat muktamad tidak boleh diulangi karena berdasarkan hadis, “Tidak ada dua sholat Witir dalam satu malam.”
  2. Sholat yang pertama adalah sholat yang telah dilakukan secara sah meskipun masih harus diqodho semisal sholatnya mutayamim karena cuaca dingin atau sholatnya mutayamim di tempat yang kemungkinan besar masih didapati air. Dikecualikan yaitu sholatnya faqid tuhuroini, karena meskipun sholatnya dihukumi sah tetapi tidak boleh diulangi karena sholatnya tersebut tidak bisa dialihkan ke sholat sunah. Berbeda apabila sholat yang pertama dihukumi tidak sah maka hukum mengulanginya adalah wajib.
  3. Sholat pertama hanya dilakukan satu kali saja sebagaimana menurut pendapat muktamad. Muzanni mengatakan bahwa sholat pertama bisa diulangi sebanyak 25 kali. Ia pernah mengulangi sholatnya sebanyak 25 kali. Syeh Abu Hasan al-Bakri mengatakan bahwa sholat pertama boleh diulangi sebanyak berapapun selama waktu sholat belum habis.
  4. Berniat fardhiah, maksudnya, musholli berniat mengulangi sholat yang difardhukan agar sholat tersebut tidak menjadi sholat sunah dari awal melakukannya, bukan berniat mengulangi sholat karena melakukan kefardhuan, atau musholli berniat mengulangi sholat yang difardhukan atas mukallaf, bukan berniat mengulangi kefardhuan mukallaf. Oleh karena itu, apabila musholli mengulangi sholatnya dan berniat mengulangi kefardhuannya secara hakikat maka sholatnya menjadi batal.
  5. Sholat yang diulangi dilakukan secara berjamaah dari awal hingga akhir. Dengan demikian, status jamaah dalam sholat mu’adah adalah seperti toharoh yang harus ada dari awal sholat hingga akhirnya, tetapi jamaah sholat mu’adah cukup dimulai dengan musholli bermakmum kepada imam yang berposisi rukuk karena rukuk adalah awal sholat musholli. Oleh karena itu, sholat mu’adah belum mencukupi jika sebagian darinya dilakukan secara berjamaah dan sebagian yang lain darinya dilakukan secara sendirian, bahkan apabila musholli berpisah dari bermakmum kepada imam dengan berniat mufaroqoh (berpisah) meskipun ia segera berniat bermakmum kembali kepada imam jamaah lain, atau apabila musholli telah didahului beberapa rakaat oleh imam, maka sholat mu’adah-nya tidak sah. Dari deskripsi di atas, dapat dipahami bahwa apabila musholli bermakmum muwafik kepada imam di awal sholat mu’adah-nya, kemudian salam musholli terlambat dari salam imam sekiranya keterlambatan tersebut menyebabkan musholli dianggap telah terputus dari imamnya maka sholat mu’adah musholli dihukumi batal. Begitu juga apabila musholli yang melakukan sholat mu’adah berposisi sebagai imam, kemudian makmumnya lamban mendapati takbiratul ihram-nya maka sholat mu’adah-nya imam dihukumi batal. Apabila seseorang melihat jamaah sholat dan ia ragu apakah mereka sedang melakukan rakaat pertama atau kedua atau ketiga dst maka dilarang baginya melakukan sholat mu’adah dengan berjamaah bersama mereka. Apabila mu’id (Musholli yang melakukan sholat mu’adah.) bermakmum kepada imam, kemudian imam mengalami lupa semisal imam melakukan salam padahal ia belum bersujud maka mu’id boleh bersujud sendiri jika memang mu’id tidak akan terlambat lama dari imam yang sekiranya keterlambatan tersebut menyebabkan mu’id dianggap terputus dari imamnya. Apabila mu’id berjamaah, kemudian ia ragu apakah ia meninggalkan rukun atau tidak maka sholatnya tidak dihukumi batal meskipun keraguan tersebut berlangsung sampai imam mengucapkan salam karena masih ada kemungkinan bahwa mu’id akan ingat kalau dirinya tidak meninggalkan rukun apapun sebelum salamnya imam sehingga ia tidak perlu menambahi satu rakaat sendiri setelah salamnya imam. Berbeda apabila mu’id tahu kalau dirinya telah meninggalkan satu rukun sedangkan imam tidak meninggalkan rukun yang ditinggalkan oleh mu’id maka sholat mu’adah yang dilakukan mu’id menjadi batal seketika itu.
  6. Sholat mu’adah terjadi dilakukan di dalam waktu sholat pertama meskipun hanya satu rakaat saja menurut pendapat muktamad.
  7. Imam berniat imamah sebagaimana kewajiban berniat imamah dalam sholat Jumat.
  8. Sholat mu’adah dilakukan secara berjamaah bersama makmum yang menetapi pendapat tentang diperbolehkan atau disunahkannya mengulangi sholat. Dikecualikan yaitu apabila imam yang mu’id bermadzhab Syafii sedangkan makmum bermadzhab Hanafi atau Maliki yang keduanya berpendapat tentang batalnya sholat mu’adah maka tidak sah sholat mu’adah-nya imam. Berbeda apabila makmum yang mu’id bermadzhab Syafii sedangkan imam bermadzhab Hanafi atau Maliki maka sholat mu’adah-nya makmum dihukumi sah.
  9. Diperolehnya pahala jamaah pada saat bertakbiratul ihram dengan niatan jamaah, artinya, fadhilah jamaah diperoleh dari awal sholat. Oleh karena itu, apabila mu’id menyendiri dengan tidak berada di barisan shof jamaah padahal memungkinkan baginya untuk masuk ke barisan shof tersebut maka sholat mu’adah-nya tidak sah karena kemakruhan menyendiri yang menyebabkan hilangnya fadhilah jamaah. Begitu juga, jamaah yang terdiri dari mu’id-mu’id yang telanjang tidak sah melakukan sholat mu’adah karena keadaan mereka yang demikian itu tidak menghasilkan pahala/fadhilah jamaah, kecuali jika mereka adalah buta atau berada di tempat gelap.
  10. Berdiri di saat melakukan sholat mu’adah.
  11. Melakukan sholat mu’adah bukan karena keluar dari perbedaan pendapat para ulama. Apabila sholat mu’adah dilakukan dengan tujuan tersebut, misal; mu’id telah sholat pertama dengan mengusap sebagian kepala pada saat wudhu, atau ia sholat pertama di tempat pemandian, atau ia sholat pertama disertai badannya mengalirkan darah, padahal sholat yang pertama dihukumi batal menurut Malik, yang kedua dihukumi batal menurut Ahmad Hanbali, dan yang ketiga dihukumi batal menurut Abu Hanifah, maka disunahkan mengulangi sholat pertama di keadaan-keadaan tersebut meskipun dilakukan secara sendirian karena sholat mu’adah dalam keadaan-keadaan tersebut bukan sholat mu’adah yang dimaksud disini sehingga tidak disyaratkan harus dilakukan secara berjamaah.
  12. Sholat yang diulangi bukanlah sholat yang dilakukan pada saat keadaan genting (spt; takut saat peperangan) karena menurut pendapat aujah disebutkan bahwa sholat dalam keadaan genting tidak dapat diulangi karena perkara-perkara yang membatalkan sholat yang terjadi saat melakukan sholat tersebut berdasarkan hajat sehingga tidak dapat diulangi.

Allamah Abdul Wahab Tontowi al-Misri menadzomkan 7 (tujuh) syarat sholat mu’adah dengan bentuk nadzom yang berpola bahar kamil. Ia berkata;

شَرْطُ الْمُعَادَةِ أَنْتَكُوْنَ جَمَاعَةً ** فِى وَقْتِهَا وَالشَّخْصُ أَهْلُ تَنَفُّلِ

Syarat sholat mu’adah adalah (1) dilakukan secara berjamaah (2) di waktu sholat yang pertama (3) serta mu’id adalah orang yang ahli melakukan kesunahan.

مَعَ صِحَّةِ الْأُوْلَى وَقَصْدِ فَرِيْضَةٍ ** يـَنْوِي بِهَا صِفَةَ الْمُعَادِ الْأَوَّلِ

Selain itu, sholat mu’adah (4) dilakukan dalam kondisi yang mana sholat yang pertama telah dihukumi sah dan (5) dilakukan dengan niat fardhiah yang mana mu’id meniatkan sifat sholat yang pertama dengan niatan fardhiah tersebut.

فَضْلُ الْجَمَاعَةِ سَادِسٌ أَوْ غَيـْرُهُ ** قِيْلَ وَنـَفْلٌ مِثْلُ فـَرْضٍ وَاجْعَلِ

Keutamaan jamaah yang diperoleh dari awal sholat adalah syarat yang keenam. Selain dari yang telah disebutkan, artinya, syarat yang ketujuh yaitu bahwa sholat yang pertama adalah sholat maktubah yang adak atau sholat sunah yang disunahkan dilakukan secara berjamaah.

كَالْعِيْدِ لَا نَحْوِ الْكُسُوْفِ فَلَا تُعَدْ ** وَجَنَازَةٍ لَوْ كُرِّرَتْ لَمْ تُمْهَلْ

Seperti sholat Id, bukan seperti sholat Kusuf, maka sholat Kusuf tidak dapat diulangi. Disunahkan mengulang-ulang melakukan sholat jenazah tetapi tidak boleh menunda-nunda sebab menunggu.

مَعَ الْمُعَادَةِ إِنْ تـُعَدْ بـَعْدِيَّةً ** تُقْبَلُ وَلَا وِتـْرَ إِنْ صَحَّ فَعَوِّلِ

Berlaku pula sholat sunah ba’diah yang menyertai sholat mu’adah.Tidak sah mengulangi sholat Witir di bulan Ramadhan.

وَمَتَى رَأَيْتَ الخُْلْفَ بَـيْنَ أَئِمَّةٍ ** فِى صِحَّةِ الْأُوْلَى أَعِدْهَا تَجَمَّلْ

Ketika kamu mengetahui perbedaan pendapat di kalangan para imam madzhab tentang keabsahan sholat yang pertama, maka ulangilah sholat pertama tersebut.

لَوْ كُنْتَ فَرْدًا بـَعْدَ وَقْتِ أَدَائِهَا ** فَاتـْبَعْ فَقِيْهًا فِى صَلاَتِكَ تـَعْدِلِ

Apabila kamu telah melakukan sholat sendiri maka berjamaahlah bersama imam yang mengerti Fiqih.

Perkataan Tontowi yang berbunyi والشخص أهل تنفل maksudnya, syarat ketiga sholat mu’adah adalah bahwa mu’id termasuk orang yang berhak melakukan tambahan dengan cara mengulangi sholat pertamanya.

Berbeda dengan faqid tuhuroini, maka ia tidak boleh berbuat kesunahan dengan cara mengulangi sholat pertamanya.

Begitu juga, musholli yang jelas-jelas rusak sholat pertamanya, maka menurut pendapat shohih disebutkan bahwa sholat yang kedua tidak menggantikan sholat yang pertama, melainkan diwajibkan atasnya mengulangi sholat pertamanya. Menurut satu pendapat qiil disebutkan bahwa ia tidak wajib mengulangi sholat pertamanya karena sudah jelas bahwa dari dua sholat pertama dan kedua, sholat yang berstatus sebagai sholat fardhu adalah sholat yang kedua.

Perkataan Tontowi yang berbunyi أو غيره قبل ونفل مثل فرض maksudnya, selain syarat-syarat yang telah disebutkan, sholat yang pertama adalah sholat fardhu yang adak atau sholat sunah yang disunahkan dilakukan secara berjamaah selain sholat sunah Kusuf. Jadi, maksud ini menjelaskan syarat ketujuh dari syarat-syarat sholat mu’adah, bukan menjelaskan tentang perbedaan pendapat sebagaimana yang sering disalah pahami.

Perkataan Tontowi yang berbunyi وجنازة لو كررت لم تمهل maksudnya, sholat jenazah disunahkan terjadi secara diulang-ulang (dengan saling silih berganti) tetapi tidak boleh ditunda sebab menunggu.

Maksud diulang-ulang disini adalah misal; ada 20 peserta sholat jenazah. Kemudian 5 orang dari mereka melakukan sholat jenazah terlebih dahulu. Kemudian 5 orang berikutnya melakukan sholat jenazah, dan seterusnya.

Adapun seseorang mengulangi sholat jenazah maka tidak disunahkan sebab sholat jenazah tidak dapat dialihkan ke sholah sunah. Bersamaan dengan itu, apabila sholat jenazah diulangi maka sholat jenazah tersebut berstatus sebagai sholat sunah, seperti yang disebutkan dalam kitab Syarah Minhaj yang mengutip dari kitab al-Majmuk.

Syaubari mengatakan, “Sholat jenazah boleh diulang-ulang dua kali, tiga kali, atau lebih, tetapi sholat jenazah yang diulang- ulang tersebut berstatus sebagai sholat sunah yang tidak berpahala. Kaidah yang menurut ulama Fuqoha adalah bahwa setiap sesuatu yang dilarang maka tidak sah jika dilakukan. Akan tetapi, kasus pengulangan sholat jenazah ini termasuk pengecualian.”

Perkataan Tontowi yang berbunyi وَلَا وتر إِن صح maksudnya, sholat Witir yang dilakukan di bulan Ramadhan tidak sah diulangi meskipun sholat Witir tersebut disunahkan dilakukan secara berjamaah karena berdasarkan hadis, “Tidak ada dua sholat Witir dalam satu malam.”

Perkataan Tontowi yang berbunyi فعول maksudnya, berpegang teguhlah pada pendapat ini.

Perkataan Tontowi yang berbunyi تجمل adalah fi’il amar yang diathofkan pada lafadz أعد dengan membuang huruf athof. Maksudnya, berhiaslah dan berbuatlah kebaikan dengan mengulangi sholat karena mengulangi sholat pertama disunahkan karena keluar dari perbedaan di kalangan para imam madzhab meskipun kamu mengulanginya secara sendirian, tidak berjamaah.

Perkataan Tontowi yang berbunyi تَعْدِلُ maksudnya, maka kamu mendapat pencerahan dan mendapati kebenaran.

3. Sholat Mandzuroh Jamaah

Dalam sholat mandzuroh jamaah, yaitu sholat yang dinadzari akan dilakukan secara berjamaah, imam wajib berniat imamah yang disertakan dengan takbiratul ihram. Apabila ia tidak berniat imamah yang disertakan dengan takbiratul ihram dalam sholat mandzuroh jamaah maka sholat tersebut dihukumi sah sebagai sholat yang dilakukan secara sendirian, tetapi disertai dosa.

4. Sholat yang Dijamak Sebab Hujan

Dalam sholat yang dijamak sebab hujan, yaitu dengan jamak takdim, imam wajib berniat imamah. Selain sebab hujan, imam juga wajib berniat imamah dalam sholat yang dijamak takdim sebab salju atau es. Apabila ia tidak berniat imamah yang disertakan dengan takbiratul ihram dalam sholat jamak takdim tersebut maka sholatnya secara pasti dihukumi tidak sah.

Rukhsoh (kemurahan) menjamak takdim sholat di atas hanya berlaku bagi orang-orang yang hendak berjamaah yang jauh dari tempat jamaah serta mereka akan basah kuyup di tengah jalan sebab hujan yang saat itu terjadi. Berbeda dengan orang-orang yang hendak sholat sendiri-sendiri, maka mereka tidak diperbolehkan menjamak takdim sholat sebab hujan. Adapun orang yang dapat berjalan di bawah hujan dengan memakai semisal payung maka tidak diperbolehkan menjamak sholat karena tidak mungkin kalau ia akan basah kuyup. Begitu juga, orang yang pintu rumahnya berdampingan dengan masjid, maka ia tidak diperbolehkan menjamak sholat hanya karena hujan.

Akan tetapi, imam rotib (imam yang bertugas) diperbolehkan menjamak sholat sebab hujan karena mengikuti para makmum meskipun ia sendiri tidak akan basah kuyup sebab hujan tersebut. Berbeda dengan orang-orang yang tinggal di sekitar masjid, maka mereka tidak bisa disamakan dengan imam rotib, artinya, mereka tidak boleh menjamak sholat sebab hujan.

Hujan yang turun tidak disyaratkan harus berlangsung saat musholli datang dari rumah ke masjid, tetapi cukup bahwa hujan tersebut benar-benar akan terjadi di saat musholli tengah berada di masjid.

Kesimpulannya adalah bahwa syarat-syarat menjamak sholat sebab hujan ada 7 (tujuh), yaitu:

  1. Hujan terus berlangsung saat bertakbiratul ihram di dua sholat, yaitu sholat pertama (misal Dzuhur) dan kedua (misal Ashar) serta terus berlangsung selama waktu antara sholat pertama dan kedua.
  2. Para musholli melakukan sholat secara berjamaah. Disyaratkan para makmum tidak lamban sholatnya dari takbiratul ihram imam, tetapi apabila setelah mereka bertakbiratul ihram seusai takbiratul ihram imam, kemudian mereka masih mendapati waktu yang cukup untuk membaca Fatihah sebelum imam melakukan rukuk, maka sholat mereka dihukumi sah, jika mereka tidak mendapati waktu tersebut maka sholat mereka dihukumi tidak sah sebagaimana imam sebab tidak adanya kegiatan jamaah.
  3. Sholat dilakukan di musholla (tempat sholat) yang menurut‘urf dianggap jauh dari rumah tinggal.
  4. Dimungkinkan akan basah kuyup di tengah jalan sebab hujan.
  5. Tertib dalam menjamak takdim, artinya, jika menjamak takdim Dzuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isyak, maka melakukan Dzuhur atau Maghrib terlebih dahulu, kemudian baru Ashar atau Isya.
  6. Berturut-turut (muwalah) antara sholat pertama dan sholat kedua.
  7. Berniat menjamak.

Disebutkan dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Abbas rodhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama di Madinah menjamak sholat Dzuhur dan Ashar sebanyak 7 (tujuh) kali dan menjamak sholat Maghrib dan Isyak sebanyak 8 (delapan) kali. Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah menjamak sholat-sholat tersebut bukan karena sedang tertimpa keadaan takut dan sedang bepergian. Imam Malik dan Imam Syafii berpendapat bahwa Rasulullah menjamak sholat- sholat tersebut sebab adanya udzur, yaitu hujan.

Diperbolehkannya sholat yang dijamak sebab hujan adalah misalnya; para makmum telah berkumpul di musholla atau masjid guna mendirikan sholat Dzuhur secara berjamaah. Sholat akan didirikan pada jam 13.00 WIB. Ternyata, jam 12.45 WIB, hujan turun deras dan dimungkinkan berlangsung lama, sedangkan rumah tinggal para makmum jauh dari musholla atau masjid. Karena demikian, mereka diperbolehkan menjamak takdim sholat Dzuhur dan Ashar, tetapi mereka harus mendirikan sholat Dzuhur terlebih dahulu, kemudian disusul dengan mendirikan sholat Ashar. Selain itu, hujan masih saja berlangsung ketika mereka bertakbiratul ihram untuk mendirikan sholat Dzuhur dan masih berlangsung ketika mereka bertakbiratul ihram untuk mendirikan sholat Ashar dan masih berlangsung di waktu antara mendirikan sholat Dzuhur dan Ashar. Dan juga, antara mendirikan sholat Dzuhur dan Ashar tidak diperbolehkan terjeda lama, artinya, antara keduanya harus muwalah atau berturut-turut.

Tidak diperbolehkan menjamak sholat sebab hujan dengan bentuk jamak takhir karena terkadang hujan telah berhenti sebelum sholat itu dijamak sehingga akan menyebabkan mengeluarkan sholat dari waktunya tanpa adanya udzur yang mendasari.

Ketahuilah sesungguhnya berniat iqtidak (mengikuti) atau iktimam (menjadi makmum) atau makmum atau jamaah adalah wajib atas makmum jika memang ia menginginkan mutaba’ah (mengikuti imam) secara mutlak meskipun niatnya tersebut dilakukan di tengah- tengah sholat yang selain sholat empat yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Jumat, mu’adah, mandzuroh, dan mutaqoddimah sebab hujan. Adapun dalam empat sholat ini, maka makmum wajib berniat iqtidak dst bersamaan dengan takbiratul ihramnya, sebagaimana imam juga wajib berniat imamah yang bersamaan dengan takbiratul ihram dalam empat sholat tersebut.

Apabila makmum mengikuti imam dalam rukun fi’li (perbuatan) meskipun hanya satu rukun atau mengikutinya dalam salam yang mana mengikutinya tersebut dilakukan setelah penantian untuk mutaba’ah yang menurut ‘urf dianggap lama dan makmum sendiri belum berniat iqtidak dst atau ia ragu apakah sudah meniatkannya atau belum maka sholatnya dihukumi batal karena ia menghubungkan sholatnya sendiri dengan sholat imam tanpa adanya penghubung yang diyakini ada di antara keduanya.

Berbeda dengan masalah apabila makmum mengikuti imam dalam rukun qouli (ucapan) yang selain salam atau mengikutinya dalam rukun fi’li (perbuatan) secara kebetulan, artinya, tanpa didahului penantian yang lama, atau didahului penantian tetapi sebentar, atau didahului penantian yang lama tetapi penantian tersebut bukan karena menanti mutaba’ah, maka sholatnya dihukumi sah. Akan tetapi, apabila musholli berniat iqtidak dst di tengah- tengah sholatnya maka hukumnya sah tetapi makruh dan ia tidak mendapati fadhilah jamaah, bahkan menurut pendapat muktamad disebutkan bahwa rukun-rukun yang ia dapati bersama imam pun tidak ada fadhilahnya karena ia menjadikan dirinya sendiri sebagai musholli yang mengikuti imam setelah sebelumnya ia sholat sendirian. Yang lebih utama adalah musholli meringkas sholatnya menjadi dua rakaat saja, kemudian ia salam dari sholatnya. Setelah itu, ia sholat dengan bermakmum di belakang imam.

Sebagaimana bermakmum kepada imam di tengah sholat dihukumi makruh, memutus jamaah (menjadi sholat sendirian) juga dihukumi makruh jika memang tidak ada udzur. Berbeda apabila ada udzur, misalnya; imam yang memperlama rukun-rukun, maka memutus jamaah tidak dimakruhkan dan pahalanya masih tetap ada, karena mufaroqoh (berpisah dari imam) karena udzur tidak menghilangkan fadhilah jamaah.

Diperbolehkan bagi makmum berpindah dari satu jamaah ke jamaah yang lain kecuali dalam jamaah sholat Jumat karena apabila ia berpindah dari satu jamaah sholat Jumat ke jamaah sholat Jumat lain maka akan menyebabkan unsur mendirikan sholat Jumat satu setelah sholat Jumat lain.

Apabila buruh tahu kalau juragan akan mencegahnya melakukan jamaah, padahal syiar jamaah tergantung pada kehadirannya, maka ia diharamkan menyewakan jasa dirinya sendiri sebagai buruh setelah masuknya waktu sholat. Begitu juga, apabila buruh tahu kalau juragan akan mencegahnya dari jamaah maka ia diharamkan menyewakan jasa dirinya sendiri sebagai buruh setelah terbitnya fajar. Keharaman ini berlaku jika memang buruh tersebut tidak terpaksa, tetapi jika keadaannya terpaksa, artinya, ia harus bekerja sebagai buruh maka diperbolehkan.

Ketahuilah sesungguhnya berniat imamah (menjadi imam) atau jamaah disunahkan bagi imam di selain 4 (empat) sholat yang telah disebutkan, yaitu Jumat, mu’adah, mandzuroh, dan mutaqoddimah sebab hujan, agar ia memperoleh fadhilah jamaah dari awal mula adanya niat sebab fadhilah jamaah tidak akan diperolehnya kecuali dengan niat imamah atau jamaah.

Apabila imam berniat imamah atau jamaah di tengah sholat maka tidak dimakruhkan karena ia tidak berubah menjadi tabik (musholli yang mengikuti), berbeda dengan makmum.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami