Safinatun Naja 52 - Syarat Syarat Jamak Takkhir

Fasal ini membahas tentang syarat syarat jamak takkhir dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

شروط جمع التأخير إثنان: نية التأخير وقد بقي من وقت الاولى ما يسعها ودوام العذر الى تمام الثانية

Syarat syarat jamak takkhir ada dua :

1. Berniat mengakhirkan shalat selama waktu shalat pertama masih cukup untuk melakukan shalat

2. Tetap berlangsungnya udzur.

Syarat-syarat Jamak Takhir

Fasal ini menjelaskan tentang syarat-syarat diperbolehkannya menjamak takhir.

Syarat-syarat diperbolehkannya menjamak takhir ada 2 (dua), yaitu:

1. Berniat Mengakhirkan shalat di waktu shalat pertamac selama masih cukup untuk melakukan shalat

Berniat mentakhir (mengakhirkan) sholat di saat waktu sholat pertama masih cukup untuk melakukan sholat pertama tersebut secara lengkap jika musholli ingin melakukannya secara lengkap dan masih cukup untuk melakukan sholat pertama secara qosor jika musholli ingin mengqosor-nya.

Misalnya; ketika musholli ingin mentakhir sholat Dzuhur sampai Ashar maka ia berniat, “Aku berniat mentakhir Dzuhur sampai Ashar untuk menjamakkan keduanya.” Dan ketika ia ingin mentakhir sholat Maghrib sampai Isyak, ia berniat, “Saya berniat mentakhir Maghrib sampai Isyak.”

2. Tetap berlangsungnya udzur

Yaitu bepergian, sampai selesai melakukan sholat kedua. Jadi, apabila musholli bermukim sebelum selesai dari sholat kedua maka sholat pertama-nya berstatus sebagai sholat qodho, bukan adak, baik dalam pelaksanaannya ia mendahulukan sholat pertama dan mengakhirkan sholat kedua, atau mengakhirkan sholat pertama dan mendahulukan sholat kedua, karena sholat pertama berlaku sebagai tabik (yang mengikuti) pada sholat kedua dalam segi adak sebab udzur, sedangkan apabila ia bermukim sebelum selesai dari sholat kedua maka berarti udzur telah hilang sebelum selesai darinya.

Mana Yang Lebih Utama antara Jamak atau Itmam

[TANBIH]

Ketahuilah sesungguhnya meninggalkan jamak adalah lebih utama karena keluar dari perbedaaan Abu Hanifah yang melarang melakukan jamak, dan karena di dalam menjamak terdapat perbuatan menyia-nyiakan salah satu dari dua waktu sholat, yaitu mengosongkan waktu tersebut dari aktivitas sholat yang seharusnya. Dikecualikan yaitu orang yang berhaji di Arofah dan Muzdalifah, dan orang yang dengan menjamak ia bisa sholat berjamaah, dan orang yang saat hadas langgeng-nya berhenti, dan orang yang terbuka auratnya, maka menjamak adalah lebih utama bagi mereka. Begitu juga, menjamak adalah lebih utama dilakukan bagi seseorang yang tidak menyukainya dan ia ragu tentang boleh tidaknya atau ia termasuk seorang panutan, dan lain-lain. Adapun bagi orang yang kuatir tidak bisa wukuf atau menyelamatkan tawanan jika ia tidak menjamak, maka ia wajib menjamak pada saat demikian ini, seperti yang dikatakan oleh Ziyadi.

[CABANG]

Syarqowi mengatakan, “Tidak diperbolehkan menjamak karena sakit, becek, dan gelap, sebagaimana yang dinyatakan oleh pendapat muktamad.”

Ziyadi berkata, “Boleh menjamak sebab sakit adalah pendapat yang dipilih dan lebih bijak, baik menjamak takdim atau takhir.”

Ulama mutaakhirun membatasi sakit yang memperbolehkan menjamak, sekiranya sakit tersebut mempersulit melakukan setiap kefardhuan di waktunya seperti kesulitan yang disebabkan hujan sekira pakaian akan menjadi basah kuyup.

Ulama lain mengatakan, “Batasan sakit yang memperbolehkan jamak disyaratkan sekiranya sakit tersebut menyebabkan kesulitan nyata lebih dari hanya sebatas kesulitan melakukan kefardhuan di waktunya, misalnya, sakit tersebut memperbolehkan duduk dalam sholat fardhu.” Pendapat ini adalah yang aujah.

[KHOTIMAH]

Disebutkan di dalam kitab Fathu al-Mu’in dengan mengutip dari kitab Tuhfah al-Muhtaj bahwa orang yang telah melakukan suatu ibadah yang masih diperselisihkan tentang sah tidaknya, tanpa ia bertaklid kepada ulama yang berpendapat tentang keabsahannya, maka ia wajib mengulangi ibadah tersebut karena melakukan ibadah tersebut tanpa bertaklid demikian tergolong ceroboh (menerjang batasan).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami