Safinatun Naja 56 - Syarat Syarat Dua Khutbah Jumat

Fasal ini membahas tentang syarat syarat dua khutbah Jumat dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

شروط الخطبتين عشرة: الطهارة عن الحدثين الأصغر والأكبر والطهارة عن النجاسة فى الثوب والبدن والمكان وستر العورة والقيام على القادر والجلوس بينهما فوق طمأنينة الصلاة والموالاة بينهما وبين الصلاة وأن تكون بالعربية وأن يسمعها أربعين وأن تكون كلها فى وقت الظهر

Syarat syarat dua khutbah ada sepuluh:

1. Suci dari dua hadas 

2. Suci dari najis pada pakaian badan dan tempat

3. Menutup aurat

4. Berdiri bagi yang mampu

5. Duduk di antara dua khutbah

6. Muwalah di antara dua khutbah

7. Muwalah di antara dua khutbah dan shalat

8. berbahasa Arab

9. Khotib memperdengarkan dua khutbah kepada 40 peserta jumatan

10. Di waktu Dzuhur

Syarat-syarat Dua Khutbah Jumat

Fasal ini menjelaskan tentang syarat-syarat khutbah Jumat.

Syarat-syarat dua khutbah Jumat ada 10 (sepuluh), bahkan lebih.

1. Suci dari dua hadas

Maksudnya, khotib disyaratkan suci dari hadas kecil dan besar. Apabila ia berhadas di tengah-tengah khutbah maka ia wajib mengulanginya dari awal meskipun ia segera bersuci dan ukuran waktu jeda hanya sebentar karena dua khutbah merupakan satu ibadah secara utuh sehingga tidak bisa diteruskan dengan 2 kali bersuci.6 Dikecualikan yaitu apabila khotib berhadas di tengah-tengah khutbah, kemudian salah satu dari hadirin menggantikannya sebagai khotib kedua, maka khotib kedua ini tidak perlu mengulangi khutbah dari awal, tetapi ia cukup meneruskan apa yang telah dilakukan oleh khotib pertama. Akan tetapi, khotib kedua tidak boleh meneruskan apa yang telah dilakukan oleh khotib pertama jika khotib pertama mengalami ayan sebelum menyelesaikan dua khutbahnya.

Apabila khotib berhadas di antara dua khutbah dan sholat, kemudian ia segera bersuci, maka tidak apa-apa, artinya, tidak membatalkan dua khutbah.

2. Suci dari Najis

Maksudnya, syarat dua khutbah Jumat yang kedua adalah bahwa khotib harus suci dari najis di pakaian, tubuh, dan tempat. Begitu juga, sesuatu yang tersambung dengan pakaian, tubuh, dan tempat harus suci dari najis, seperti pedang atau tongkat. Jadi, apabila pedang atau tongkat yang dibawahnya terdapat najis atau yang diletakkan di atas najis, maka khotib tidak boleh menggenggam pedang atau tongkat tersebut. Khotib tidak boleh menggenggam sisi mimbar yang di bagian selain sisi mimbar tersebut terdapat najis atau di bagian mimbar tersebut terdapat ‘aj gading gajah. Oleh karena itu, apabila khotib menggenggam tempat najis dengan tangannya maka khutbahnyamenjadibatalsecaramutlakdanapabila ia menggenggam tempat suci dari tempat najis maka jika tempat suci ikut tertarik saat tempat najis ditarik maka khutbahnya menjadi batal dan jika ia tidak tertarik maka khutbah tidak batal.

[FAEDAH]

Muhammad bin Yakqub berkata di dalam al-Qomus العاج adalah tulang gajah. Termasuk keistimewaan ‘aj adalah bahwa apabila tanaman atau pohon diasapi dengan asap ‘aj maka ulat tidak akan mendekati tanaman atau pohon tersebut. Perempuan yang mengkonsumsi ‘aj seukuran 2 dirham setiap hari dengan dicampur air atau madu, ketika ia dijimak setelah tujuh hari, ia akan hamil.”

Ahmad al-Fuyumi berkata dalam al-Misbah al-Munir, “’Aj atau العاج berarti gading gajah betina.”

Al-Lais berkata, “Selain taring (gading) gajah tidak disebut dengan ‘aj. Arti lain dari ‘aj adalah (kulit) punggung buaya.” Berdasarkan perkataan al-Lais ini, hadis yang mengatakan bahwa Fatimah rodhiallahu ‘anha mengenakan gelang-gelang yang terbuat dari ‘aj, maksudnya adalah ‘aj yang berarti kulit punggung buaya, bukan gading gajah karena gading gajah dihukumi sebagai bangkai, berbeda dengan kulit punggung buaya (yang bisa suci dengan disamak). Hadis tersebut merupakan hujjah atau dalil yang dipedomani oleh ulama yang mengatakan tentang kesucian ‘aj.

3. Menutup Aurat

Maksudnya, syarat dua khutbah Jumat yang ketiga adalah menurut aurat. Perlu diketahui bahwa menutup aurat disini disyaratkan atas khotib, bukan para pendengar khutbah karena mereka tidak disyaratkan menutupnya.

Selain itu, para pendengar khutbah tidak disyaratkan harus suci (dari hadas dan najis). Mereka tidak disyaratkan harus berada di tempat sholat saat khotib berkhutbah. Mereka tidak disyaratkan harus paham atas khutbah yang mereka dengar. Demikian ini dikutip oleh Ziyadi dari Ibnu Hajar. Mereka tidak disyaratkan niat khutbah. Bajuri berkata, “Niat khutbah hanya disyaratkan atas khotib karena dua khutbah menduduki dua rakaat sebagaimana menurut pendapat yang dikatakan. Oleh karena ini, ketika khotib berkhutbah maka seolah-olah ia sedang melakukan dua rakaat. Berbeda dengan para pendengar khutbah, mereka tidak dianggap sebagai seolah-olah sedang melakukan dua rakaat. Menurut dzohir, khutbah yang dilakukan oleh khotib yang tidak mampu menutup aurat tetap dihukumi sah, sedangkan khutbah yang dilakukan oleh khotib yang tidak mampu suci dari hadas dan najis tidak dihukumi sah.”

4. Berdiri

Syarat dua khutbah Jumat yang keempat adalah berdiri bagi khotib yang mampu.

Rofii berkata, “Sesungguhnya para ulama menyebut berdiri dalam pembahasan dua khutbah Jumat sebagai syarat dan dalam sholat sebagai rukun.”

Imam Haromain berkata, “Tidak ada larangan menyebut berdiri sebagai rukun di satu tempat dan sebagai syarat di tempat lain.”

Sebagianulamamenjelaskanperbedaaninidengan perkataannya, “Tujuan berdiri dan duduk dalam sholat adalah sebagai bentuk khidmat (mengabdikan diri kepada Allah) sehingga keduanya disebut sebagai dua rukun dalam sholat. Sedangkan tujuan pokok dari khutbah adalah menasehati, bukan berdiri untuk menasehati, sehingga menyebut berdiri sebagai syarat dalam khutbah adalah yang lebih dibenarkan.” Demikian ini disebutkan oleh Ziyadi.

5. Duduk antara Dua Khutbah

Syarat dua khutbah Jumat yang kelima adalah bahwa khotib duduk di antara dua khutbah dengan duduk yang melebihi tumakninah dalam sholat.

Pengertian pernyataan duduk yang melebihi tumakninah dalam sholat adalah irtiqok dan wushul, artinya, khotib sampai pada posisi duduk di antara dua khutbah hingga seukuran lamanya tumakninah dalam sholat. Jadi, yang dimaksud dengan pernyataan tersebut bukan khotib duduk di antara dua khutbah dengan duduk yang lamanya melebihi lamanya tumakninah dalam sholat karena di dalam duduk disini tidak disyaratkan demikian ini, tetapi yang disyaratkan adalah asal tumakninah itu saja.

Syarqowi berkata, “Minimal duduk di antara dua khutbah Jumat adalah sekiranya duduk tersebut seukuran dengan tumakninah dalam sholat sebagaimana duduk di antara dua sujud. Disunahkan bahwa khotib duduk di antara dua khutbah Jumat seukuran lamanya membaca Surat al-Ikhlas dan khotib disunahkan membacanya saat duduk tersebut. Apabila khotib tidak duduk di antara dua khutbah maka dua khutbah yang telah ia lakukan dianggap sebagai satu khutbah sehingga ia wajib duduk dan melakukan khutbah lagi sebagai khutbah kedua. Barang siapa berkhutbah Jumat dengan posisi duduk karena udzur, ia wajib memisah antara dua khutbah-nya dengan diam yang lamanya melebihi diam karena bernafas. Lafadz العلي dengan kasroh pada huruf ع berarti payah (capek), maksudnya, yang melebihi lamanya diam karena bernafas.”

Suwafi berkata, “Sama dengan khotib yang berkhutbah dengan posisi duduk karena udzur adalah khotib yang berkhutbah dengan posisi berdiri dan ia tidak mampu duduk atau khotib yang berkhutbah dengan posisi tidur miring, maka masing-masing memisah antara dua khutbah dengan diam. Sikap yang lebih utama bagi khotib yang tidak mampu duduk adalah mencari orang lain agar menggantikannya berkhutbah. Apabila khotib tidak duduk maka khutbahnya tidak sah karena yang namanya syarat akan menjadi batal sebab tidak terlaksana meskipun dikarenakan lupa.”

6. Muwalah antara Dua Khutbah

Syarat dua khutbah Jumat yang keenam adalah muwalah (berturut-turut) antara dua khutbah.

7. Muwalah antara Dua Khutbah dan Sholat

Maksudnya, syarat dua khutbah yang ketujuh adalah muwalah (berturut-turut) antara dua khutbah dan sholat. Selain itu, disyaratkan juga muwalah di antara rukun-rukun dua khutbah. Pengertian muwalah disini adalah sekira khotib tidak memisah di tiga tempat ini dengan selang waktu yang lama menurut ‘urf. Lama disini adalah seukuran lamanya melakukan dua rakaat yang paling ringan dan yang telah mencukupi. Jika khotib memisah antara tiga tempat, yakni rukun-rukun, dua khutbah, dan sholat, dengan selang waktu yang lamanya kurang dari lamanya dua rakaat tersebut maka khutbah tetap dihukumi sah. Diperbolehkan menyela-nyelakan nasehat di antara rukun-rukun dua khutbah meskipun nasehat tersebut berlangsung lama. Begitu juga, diperbolehkan menyela-nyelakan bacaan ayat al-Quran di antara rukun-rukun dua khutbah meskipun bacaan tersebut berlangsung lama dengan catatan bahwa ayat yang dibaca itu mengandung nasehat. Berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa rukun-rukun dua khutbah menjadi terputus sebab bacaan ayat al-Quran tersebut. Mungkin ia lupa kalau Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama pernah membaca Surat Qof dalam khutbahnya. Demikian ini difaedahkan oleh Bajuri.Suwaifi berkata, “Apabila khotib mengetahui kalau dirinya telah meninggalkan satu rukun tertentu, tetapi ia tidak tahu apakah rukun yang ditinggalkannya itu ada di khutbah pertama atau kedua, maka apakah diwajibkan atas khotib mengulangi dua khutbahnya atau hanya mengulangi khutbah baru keduanya saja? Jawaban dari permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat, tetapi yang aqrob (lebih mendekati kebenaran) adalah bahwa yang harus dilakukan oleh khotib adalah duduk, kemudian ia melakukan khutbah baru kedua, karena adanya kemungkinan bahwa;

  • Mungkin rukun yang ditinggalkannya itu ada di khutbah pertama sehingga duduk awalnya tidak dianggap dan khutbah pertama terselesaikan dengan khotib melakukan khutbah baru kedua, jadi khutbah pertama dan kedua yang awal dihitung sebagai satu khutbah, kemudian ia duduk, lalu ia berkhutbah baru kedua.
  • Mungkin rukun yang ditinggalkannya itu ada di khutbah kedua sehingga duduk baru setelahnya tidak apa-apa karena intinya duduk barunya tersebut dilakukan setelah khutbah. Lagi pula, apa yang khotib akan lakukan setelah mengulangi duduk dihukumi boleh sebab ia telah melakukan rukun-rukun khutbah kedua yang awal dan ia mengganti rukun yang ia tinggalkan dari khutbah kedua dengan rukun baru dari khutbah baru kedua.

Apabila khotib setelah ia selesai dari dua khutbah ragu tentang apakah ia telah meninggalkan rukun tertentu dalam dua khutbahnya maka keraguan tersebut tidak berpengaruh, artinya, dua khutbah sebelumnya tetap dihukumi sah, sebagaimana ketika ia telah menyelesaikan sholat,kemudian ia raguapakah iatelah meninggalkan rukun tertentu dalam sholat atau tidak, maka sholatnya tetap dihukumi sah.”

8. Berbahasa Arab

Syarat khutbah Jumat yang kesembilan adalah bahwa dua khutbah Jumat disampaikan khotib dengan menggunakan Bahasa Arab meskipun peserta Jumatan bukan kaum yang berbahasa Arab yang tidak memahami khutbah yang disampaikan. Ini dikarenakan oleh keadaan bahwa mereka tahu kalau khotib sedang menasehati mereka secara global, maksudnya selain dalam contoh ini. Jadi, patokan hukum disini terbatas pada rasa tahu dari para peserta Jumatan yang berdasarkan qorinah atau indikator bahwa khotib sedang menasehati mereka meskipun mereka tidak mengetahui nasehat apa yang disampaikan kepada mereka.

Salah satu dari mereka diwajibkan belajar Bahasa Arab. Apabila tidak ada seorang pun dari mereka mempelajarinya maka mereka semua berdosa dan khutbah Jumat yang mereka lakukan dihukumi tidak sah sebelum belajar terlebih dahulu sehingga mereka wajib sholat Dzuhur, bukan sholat Jumat. Semua ini, maksudnya hukum dosa karena tidak ada seorang pun dari mereka yang belajar Bahasa Arab, hukum khutbah mereka tidak sah, dan hukum wajib mendirikan sholat Dzuhur, terbatas pada keadaan masih adanya kesempatan dan kemungkinan untuk belajar Bahasa Arab.

Syarqowi mengatakan bahwa apabila tidak memungkinkan belajar Bahasa Arab maka salah satu dari mereka berkhutbah dengan bahasa yang ia kehendaki, tetapi dengan syarat bahwa bahasa yang ia gunakan tersebut benar-benar dimengerti dan dipahami oleh para peserta Jumatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh pendapat muktamad. Berbeda dengan Bahasa Arab, artinya, para peserta Jumatan tidak disyaratkan paham khutbah yang berbahasa Arab karena Bahasa Arab disini adalah hukum asal kewajiban sedangkan bahasa selainnya hanya sebagai ganti darinya.

Suwaifi mengatakan bahwa apabila tidak ada kesempatan atau tidak memungkinkan belajar Bahasa Arab maka salah satu dari mereka berkhutbah dengan bahasanya sendiri meskipun para peserta Jumatan tidak memahami bahasanya itu dikarenakan semisal bahasa mereka tidak sama dengan bahasanya, sekalipun ia mampu menggunakan bahasa mereka secara baik. Jadi, ia tidak diwajibkan berkhutbah dengan menggunakan bahasa para peserta Jumatan.

Apabila tidak ada seorang pun dari mereka pandai menerjemahkan khutbah berbahasa Arab ke bahasa yang ia kehendaki maka mereka semua tidak diwajibkan mendirikan sholat Jumat karena tidak terpenuhinya syarat Jumat.

Suwaifi juga berkata dengan mengutip dari Barmawi bahwa disyaratkannya berbahasa Arab dalam rukun-rukun khutbah adalah ketika ada seorang ‘arabi (yang berbahasa Arab) di antara mereka. Jika tidak ada satu ‘arabi pun maka dua khutbah Jumat cukup dilakukan dengan menggunakan bahasa lain, kecuali dalam rukun membaca ayat al-Quran, maka diwajibkan menggunakan Bahasa Arab, sebagaimana diwajibkan menggunakan Bahasa Arab dalam membacaal-Fatihahdidalamsholatdantidakboleh menerjemahkannya ke bahasa lain.

9. Khotib Memperdengarkan Dua Khutbah kepada 40 Peserta Jumatan

Maksudnya, khotib harus memperdengarkan dua khutbah-nya kepada 40 peserta Jumatan, yaitu para peserta yang dengan mereka, sholat Jumat dihukumi menjadi sah.

Termasuk dari mereka adalah imam, artinya, apabila khotib yang juga berperan sebagai imam terhitung termasuk 40 maka khotib tersebut wajib memperdengarkan khutbah-nya kepada dirinya sendiri secara nyata, sekiranya ia mengeraskan suaranya sampai para peserta lain dapat mendengarnya. Adapun mendengar yang dialami oleh para peserta tidak diwajibkan secara nyata-nyata mendengar, tetapi hanya secara quwwah, yakni sekiranya apabila mereka mau fokus maka mereka dapat mendengar. Oleh karena ini, apabila ada keramaian yang mencegah mereka dari mendengar khutbah maka tidak membatalkan khutbah. Berbeda dengan tuli, jauh, tidur berat, meskipun hanya dialami oleh sebagian dari 40 peserta maka khutbah dihukumi tidak sah. Adapun ngantuk, maka tidak membatalkan khutbah.

Syarqowi berkata, “Apabila imam yang berperan khotib itu tuli maka tidak membatalkan khutbah karena ia mengetahui apa yang ia katakan meskipun ia tidak mendengarnya.” (Ini berlaku saat imam yang berperan khotib tersebut tidak termasuk hitungan 40. Wallahu a’lam.)

Ziyadi berkata, “Hukum sebenarnya adalah apa yang telah dinyatakan oleh pendapat asoh menurut Nawawi, Rofii, dan lainnya, yaitu khotib wajib secara nyata memperdengarkan khutbah kepada para peserta Jumatan, bukan secara quwwah, sehingga sholat Jumat tidak diwajibkan atas kaum yang sebagian warga mereka ada yang tuli dan sholat Jumat menjadi tidak sah sebab adanya keramaian yang mencegah mereka dari mendengar salah satu rukun khutbah, sebagaimana menurut pendapat muktamad.”

Dikutip dari Ajhuri bahwa 40 peserta Jumatan disyaratkan mendengar rukun-rukun khutbah secara bersamaan dalam satu waktu karena tujuannya adalah dzuhur syiar (memperlihatkan syiar), sedangkan tujuan ini tidak dapat dihasilkan kecuali dengan 40 peserta dalam satu waktu.

Oleh karena ini, Syaikhul Islam berfatwa bahwa apabila 20 peserta pertama mendengar rukun-rukun khutbah, kemudian mereka pergi, setelah itu 20 peserta kedua datang dan imam mengulangi memperdengarkan rukun-rukun khutbah kepada 20 peserta kedua ini, lalu 20 peserta pertama datang lagi, maka khutbah belum mencukupi mereka.

Disunahkan bagi peserta pendengar khutbah untuk diam sambil memperhatikan.

Rahmani berkata, “Para pendengar khutbah dimakruhkan berbicara saat khotib sedang berkhutbah. Berbeda dengan tiga Imam Fiqih lain, maksudnya, mereka berpendapat bahwa diharamkan berbicara saat khotib sedang berkhutbah. Kalangan Syafiiah yang menetapkan kemakruhan berbicara ini berdasarkan alasan bahwa perintah dalam Firman Allah, "Ketika dibacakan al-Quran maka dengarkanlah dan diamlah."

QS. Al-A’rof: 204

Dimaksudkan pada hukum sunah karena ayat ini diturunkan di dalam masalah khutbah, sedangkan ayat tersebut disebut dengan al-Quran karena ayat tersebut mengandung lafadz al-Quran. Apabila pendengar khutbah terpaksa harus berbicara saat khotib sedang berkhutbah maka ia diwajibkan berbicara atau disunahkan, seperti; berbicara karena mengajari perkara wajib kepada orang lain atau melarangnya dari perkara haram. Berbicara

tidak dimakruhkan sebelum berkhutbah, setelahnya, atau di antara dua khutbah, meskipun tidak ada hajat berbicara. Wajib menjawab salam saat khotib sedang berkhutbah meskipun mengawali salam dimakruhkan pada saat itu.”

10. Waktu Dzuhur

Maksudnya, semua dua khutbah harus terjadi di waktu Dzuhur karena ittibak, seperti keterangan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori.

Selain syarat-syaratdua khutbah Jumatyang telah disebutkan, masih ada 5 (lima) syarat lagi, yaitu:

  1. Khotib adalah laki-laki tulen.
  2. Dua khutbah dilakukan di tempat yang masih termasuk dalam garis batas kota/desa.
  3. Dua khutbah dilakukan sebelum melaksanakan 2 rakaat sholat.
  4. Dua khutbah didengar oleh 39 peserta.
  5. Khotib dapat membedakan manakah yang fardhu dalam dua khutbah dan manakah yang sunah di dalamnya, sebagaimana ini juga disyaratkan dalam sholat.

Adapun tertib dalam rukun-rukun dua khutbah tidak termasuk syarat, tetapi hanya sebatas kesunahan.

Doa-doa Setelah Sholat Jumat

[FAEDAH]

Disebutkan di dalam hadis bahwa barang siapa membaca Surat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas sebanyak tujuh kali-tujuh kali setelah salam sholat Jumat dan sebelum memindah kaki (dari posisi tasyahud) maka dosanya yang lalu dan yang mendatang diampuni dan ia diberi pahala sebanyak makhluk yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Riwayat Ibnu Sina tidak menyebutkan Surat al-Fatihah dan ditambahi pernyataan, “dan ia dijauhkan dari keburukan sampai hari Jumat berikutnya.”

Dalam riwayat lain ditambahkan pernyataan, “dan sebelum ia berbicara maka ia dijaga agamanya, dunianya, keluarganya, dan anaknya.” Demikian ini disebutkan oleh Ibnu Hajar.

Dikutip dari Ziyadi bahwa cara melakukan bunyi hadis di atas adalah musholli mengawali membaca al-Fatihah, kemudian al-Ikhlas, kemudian al-Falaq, kemudian an-Naas.

Dikutip oleh Qulyubi dari gurunya bahwa hadis di atas mengandung perintah tertentu sehingga janji-janji yang dinyatakan dalam hadis tersebut tidak akan diperoleh sebab tidak melakukan aturan sesuai perintah yang ada. Oleh karena itu, apabila musholli telah memindah kaki kanannya menghadap ke orang lain maka ia telah kehilangan janji-janji yang disebutkan dalam hadis tersebut.

Bunyi hadis قبل أن يثني رجله berarti sebelum musholli memindah kakinya dari posisi tasyahud.

Bunyi hadis ما تقدم من ذنبه وما تأخر berarti bahwa dosa-dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil yang telah terkumpul hingga menjadi dosa-dosa besar, seperti yang dikutip oleh al-Manawi dari Abu As’ad Qusyairi.

Setelah itu, musholli membaca di bawah ini sebanyak 4 (empat) kali:

يَا غَنِيُّ يَا مُبْدِئُ  يَا مُعِيْدُ يَا رَحِيْمُ يَا وَدُوْدُ أَغْنِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Diriwayatkan bahwa barang siapa senantiasa membaca doa tersebut maka Allah akan memberinya kecukupan dan rizki dari arah-arah yang ia tidak sangka-sangka.

Syarqowi mengutip dari Syaikhuna Syeh al-Hafani bahwa doa di atas disebutkan dalam hadis shohih yang diriwayatkan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.

[FAEDAH]

Diriwayatkan dari seorang wali qutub, Abdul Wahab Syakroni, semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengan perantaranya, bahwa barang siapa senantiasa membaca dua bait berikut di setiap hari Jumat maka Allah pasti mencabut nyawanya dengan menetapi keislaman. Dua bait tersebut adalah:

Dikutip dari sebagian ulama bahwa dua bait tersebut dibaca sebanyak 5 (lima) kali setelah sholat Jumat.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami