Safinatun Naja 53 - Syarat Syarat Menqosor Shalat

Kitab Safinah Syarat Mengqosor Sholat

Fasal ini membahas tentang Syarat Syarat Menqosor Shalat dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

شروط القصر سبعة: أن يكون سفره مرحلتين وأن يكون مباحا والعلم بجواز القصر ونية القصر عند الاحرام وأن لا يقتدى بمتم فى جزء من صلاته

Syarat Mengqosor shalat

Syarat syarat qosor ada tujuh:

1. Bepergian sejauh dua marhalah

2. Bepergian yang ditempuh adalah bepergian yang mubah

3. Mengetahui diperbolehkannya diqosor

4. Berniat qosor

5. Shalat yang diqosor adalah shalat shalat ruba'iyah

6. Tetap berlangsungnya safar setelah selesai dari shalat

7. Tidak bermakmum kepada imam yang shalat secara itmam


Fasal ini menjelaskan tentang syarat-syarat qosor sholat.

Syarat-syarat qosor sholat ada 7 (tujuh), bahkan 11 (sebelas), yaitu:

1. Bepergian berlangsung sejauh 2 marhalah

Secara yakin meskipun disela-selai berhenti sebentar (spt; beristirahat) karena musafir mungkin menempuh dengan berjalan kaki, baik berhentinya tersebut di daratan atau lautan. Jarak 2 marhalah dengan mengendarai hewan beserta muatannya adalah perjalanan selama 2 hari atau 2 malam yang seukuran waktu biasanya, atau 1 hari dan 1 malam meskipun tidak seukuran waktu biasanya, yang mana lamanya ini mencakup juga lamanya istirahat, perjalanan, makan, minum, dan aktivitas kebiasaan lain pada umumnya. Ali Syabromalisi mengukur 2 marhalah dengan ukuran perjalanan yang ditempuh selama 22 ½ jam.

2. Bepergian yang ditempuh adalah bepergian yang mubah

Mubah (boleh) menurut dzon (sangkaan) musafir meskipun menurut kenyataannya bepergian tersebut tidak mubah seperti yang dilakukan oleh sebagian pemerintah, yakni pemerintah mengirim utusan untuk menyampaikan surat yang didalamnya ada perintah untuk membunuh secara dzalim atau merampok wilayah tertentu, sedangkan utusan tersebut tidak mengetahui isi surat, maka ia diperbolehkan mengqosor sholat karena bepergian yang ia lakukan adalah mubah menurut dzon (sangkaan)-nya. Begitu juga, diperbolehkan mengqosor bagi seseorang yang bepergian ke arah tertentu karena mengikuti orang lain dan ia sendiri tidak mengetahui alasan bepergian yang dilakukan oleh orang lain tersebut.

Yang dimaksud dengan mubah adalah hukum yang membandingi hukum haram sehingga mencakup wajib, seperti bepergian karena haji, dan sunah, seperti berziarah ke makam Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, dan makruh, seperti bepergian karena berdagang kain kafan atau bepergian sendirian, atau bepergian dengan ditemani satu teman saja tetapi hukum makruh dalam bepergian yang ditemani satu teman saja adalah lebih ringan kemakruhannya daripada bepergian sendirian. Akan tetapi, apabila musafir senang dengan ditemani Allah ta’ala sekiranya rasa senangnya tersebut seperti rasa senangnya seseorang bepergian bersama teman-temannya maka bepergian sendirian tidak dimakruhkan baginya. Begitu juga, apabila musafir memiliki hajat atau perlu menjauh dan menyendiri dari teman-temannya sampai batas dimana ia tidak akan mendapati pertolongan mereka maka bepergian sendirian baginya tidak dimakruhkan.

Adapun hukum mubah yang menyamai dua sisi hukum adalah seperti bepergian karena berdagang selain kain kafan, misalnya, musafir bepergian sendirian karena berdagang mencari rizki untuk menafkahi keluarga maka hukum bepergiannya tersebut mubah, dengan artian, bisa makruh dilihat dari sisi bepergian sendirian dan wajib dilihat dari sisi menafkahi keluarga.

Dengan demikian, tidak diperbolehkan mengqosor bagi musafir yang bermaksiat dengan kepergiannya meski dari segi bentuk, seperti shobi (bocah laki-laki) yang melarikan diri dari walinya maka ia tidak diperbolehkan mengqosor karena bepergiannya tersebut termasuk jenis bepergian maksiat sebab adanya larangan menurut syariat. Termasuk bepergian maksiat adalah bepergian yang meletihkan diri sendiri atau meletihkan hewan kendaraan sebab dipacu secara terus menerus tanpa ada tujuan yang dibenarkan syariat. Begitu juga, termasuk bepergian maksiat adalah bepergian untuk sebatas melihat-lihat keadaan fisik wilayah tertentu karena melihat-lihat ini bukan termasuk tujuan yang dibenarkan.

Macam-macam Musafir

Ketahuilah sesungguhnya musafir yang bermaksiat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

1) Musafir yang bermaksiat dengan bepergian meskipun dengan bepergiannya tersebut ia menyengaja maksiat dan selainnya, misal; musafir bepergian dengan tujuan merampok (begal) dan mengunjungi keluarga.

Musafir seperti ini, jika ia menghendaki bertaubat, maka awal kepergiannya itu adalah letak taubatnya. Lalu apabila sisa perjalanannya itu jauh dalam perjalanan memperoleh rukhsoh (kemurahan) yang

disyaratkan harus jauh, misal rukhsoh menqosor dan menjamak, atau sisa perjalanannya itu dekat dalam perjalanan memperoleh rukhsoh yang tidak disyaratkan harus jauh, misal rukhsoh diperbolehkan makan bangkai, maka ia diperbolehkan memperoleh masing-masing rukhsoh. Dan apabila sisa perjalanannya itu dekat dalam perjalanan memperoleh rukhsoh yang disyaratkan harus jauh, maka ia tidak boleh memperoleh rukhsoh tersebut.

2) Musafir yang bermaksiat di dalam perjalanannya, seperti musafir yang berzina atau minum khomr (di tengah jalan) padahal ia bepergian bermaksud untuk semisal berhaji. Maka ia tidak tercegah dari memperoleh rukhsoh, artinya, ia diperbolehkan memperoleh rukhsoh (semisal menjamak atau mengqosor).

3) Musafir yang bermaksiat dengan kepergiannya di dalam kepergiannya tersebut, misalnya; musafir mengadakan perjalanan karena melakukan ketaatan, kemudian ia merubah rencananya menjadi melakukan maksiat, maka apabila ia bertaubat maka ia boleh memperoleh rukhsoh secara mutlak meskipun sisa jarak perjalanannya itu sudah dekat.

Apabila musafir adalah orang kafir, kemudian ia masuk Islam di tengah-tengah perjalanan, maka ia boleh memperoleh rukhsoh meskipun sisa jarak perjalanannya kurang dari jarak diperbolehkannya mengqosor sholat karena bepergiannya tersebut bukan sebab maksiat meskipun ia berbuat durhaka sebab kekufurannya.

3. Mengetahui diperbolehkannya mengqosor.

Jadi, orang yang tidak mengetahui sama sekali demikian itu atau tidak mengetahui tentang sholat yang ia niati, maka ia tidak diperbolehkan mengqosor sebab kebodohannya. Selain itu, sholatnya dihukumi tidak sah secara pasti meski ia baru saja masuk Islam.

Sama seperti di atas, yaitu apabila musafir adalah orang yang menyangka kalau sholat rubaiah itu terdiri dari 2 rakaat, kemudian ia meniatkan sholat rubaiah tersebut sesuai dengan sangkaannya di tengah perjalanan, maka menurut pendapat muktamad sholatnya dihukumi tidak sah karena tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahui jumlah rakaat dari masing-masing sholat. Oleh karena sholatnya tidak sah, ia harus mengulangi sholat rubaiah tersebut secara qosor 2 rakaat.

4. Berniat qosor.

Termasuk niat qosor adalah seseorang berniat Dzuhur 2 rakaat, baik ia berniat tarokhus (memperoleh rukhsoh mengqosor) atau memutlakkan. Adapun apabila ia berniat Dzuhur 2 rakaat tanpa disertai tarokhus maka sholatnya batal sebab talaub (bercanda).

Termasuk niat qosor adalah masalah apabila musafir berkata, أُؤَدِّى صَلَاةَ السَّفَرِ (Aku melaksanakan sholat safar),” kemudian jika ia berniat itmam, artinya, tidak mengqosor atau ia memutlakkan maka ia mengitmam sholat karena niat qosor adalah perkara yang diniatkan sebagai niat yang pertama, sedangkan pada asalnya sholat itu seharusnya berstatus itmam.

Termasuk niat qosor adalah musafir berkata, “Aku berniat bahwa aku sholat Dzuhur secara diqosor.”

Ziyadi berkata, “Apabila ada seorang musafir berniat qosor sebagai makmum kepada imam yang juga musafir yang sholat secara itmam, maka sholat qosornya tersebut dihukumi sah karena imam-nya sendiri termasuk ahli (yang berhak diperbolehkan) mengqosor sekiranya makmum tersebut tidak mengetahui keadaan sebenarnya tentang imam-nya dan niat qosor-nya menjadi tersia-siakan. Apabila makmum mengetahui kalau imamnya ternyata sholat secara itmam maka sholat makmum tersebut tidak sah karena talaub (bercanda), seperti yang difatwakan oleh Syaikhuna Romli.”

Adapun niat mengqosor menjadi syarat dalam mengqosor sholat karena ia adalah khilaf asli atau tidak sesuai dengan hukum asal. Berbeda dengan itmam, maka ketika seseorang hendak sholat misal Dzuhur secara itmam maka ia tidak perlu berniat itmam karena itmam adalah status asal sholat.

Berniat mengqosor dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram sebagaimana niat asal sholat juga diharuskan dilakukan bersamanya.

Jadi, apabila musafir berniat mengqosor setelah takbiratul ihram maka tidak ada pengaruhnya, artinya, ia tetap melaksanakan sholat secara itmam, bukan qosor.

5. Sholat yang diqosor adalah sholat-sholat rubaiah

Yaitu sholat-sholat yang terdiri dari 4 (empat) rakaat. Mereka adalah Dzuhur, Ashar, dan Isyak. Menurut asalnya, sholat-sholat ini merupakan sholat-sholat maktubah (yang difardhukan) meskipun jatuh berstatus sebagai sholat sunah sehingga mencakup sholatnya shobi dan sholat mu’adah, artinya, diperbolehkan mengqosor sholat mu’adah jika memang sholat yang pertama telah diqosor. Ini adalah yang lebih utama daripada mengitmam sholat mu’adah ketika sholat pertama telah dilakukan secara qosor. Sebaliknya, apabila sholat pertama telah dilakukan secara itmam maka sholat mu’adah-nya wajib dilakukan juga secara itmam.

6. Tetap berlangsungnya safar sampai selesai dari sholat.

Oleh karena ini, apabila safar berakhir di tengah-tengah saat melakukan sholat, misalnya perahu yang dinaiki musafir telah sampai di wilayah mukimnya, atau ia ragu apakah perahunya sudah sampai di wilayah mukimnya atau belum, maka ia wajib meneruskan sholatnya tersebut secara itmam karena faktor yang menghasilkan rukhsoh telah tiada atau karena keraguan.

7. Tidak bermakmum kepada imam yang sholat secara itmam.

Baik imam tersebut adalah orang yang mukim atau musafir dan meskipun bermakmumnya tersebut di bagian sholat yang hanya sebentar, misal; makmum mendapati imam di akhir sholat sekalipun makmum telah berhadas setelah baru saja bermakmum. Oleh karena itu, apabila makmum yang mengqosor bermakmum kepada imam yang mengitmam meskipun hanya sebentar atau di dalam sholat Jumat atau Subuh maka wajib atas makmum tersebut untuk mengitmam sholatnya karena berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas yang ketika itu ia ditanya, “Mengapa musafir sholat dua rakaat ketika munfarid dan sholat empat rakaat ketika bermakmum kepada imam yang mukim?” ia menjawab, “Memang demikian itu adalah aturan syariatnya.”

Apabila musafir A bermakmum kepada musafir B dan musafir A ragu tentang apakah musafir B mengqosor sholatnya atau tidak, lalu musafir A berniat mengqosor, maka niat qosor-nya ini diperbolehkan jika memang terbukti kalau imam/musafir B mengqosor sholatnya karena menurut keadaan yang ada, seorang musafir biasanya akan mengqosor sholatnya. Akan tetapi, jika imam/musafir B terbukti melakukan sholatnya secara itmam atau tidak diketahui keadaan sebenarnya tentang apakah ia mengqosor atau tidak, maka wajib atas musafir A menyelesaikan sholatnya secara itmam.

Apabila musafir A mentakliq (menggantung) niat qosor-nya pada niat imam/musafir B semisal musafir A berkata, “Jika imam/musafir B mengqosor sholatnya maka aku mengqosor sholatku, dan jika ia tidak mengqosor sholatnya maka aku menyelesaikan sholatku secara itmam,” maka diperbolehkan bagi musafir A mengqosor sholatnya jika imam/musafir B tersebut juga mengqosor sholatnya karena demikian ini hanya mencari kejelasan tentang keadaan kenyataannya dan wajib atas musafir A menyelesaikan sholatnya secara itmam jika imam/musafir B terbukti menyelesaikan sholatnya secara itmam. Jika imam/musafir B tidak jelas niatnya, artinya, tidak diketahui apakah ia mengqosor atau itmam, maka wajib atas musafir A untuk mengitmam sholatnya demi ihtiyat (berhati-hati).

[TANBIH]

Selain syarat-syarat qosor sebagaimana yang telah disebutkan, masih ada 4 (empat) syarat lainnya, yaitu:

1. Musafir menyengaja tempat tujuan yang diketahui (maklum) dari arah rute perjalanannya sekiranya jauh perjalanannya tersebut diketahui telah mencapai 2 marhalah atau lebih, baik tempat tujuannya tersebut mu’ayyan (khusus), seperti Baitul Muqoddas, atau ghoiru mu’ayyan (tidak khusus), seperti Syam. Yang dimaksud dengan tempat tujuan yang diketahui bukan berarti tempat yang diketahui lokasinya secara pasti karena demikian ini tidak menjadi syarat. Melainkan, yang menjadi syarat adalah sekiranya musafir mengetahui jauhnya perjalanan yang akan ia tempuh di awal perjalanannya sekira ia akan menyengaja pergi sejauh 2 marhalah atau lebih, seperti ia berkata, “Aku pergi ke Syam.” Dari sini, dimengerti bahwa bagi musafir yang pergi karena mencari istri atau budak yang minggat disyaratkan harus tahu kalau ia tidak akan menemukan mereka di tempat yang jaraknya masih kurang dari 2 marhalah. Ketika istri minggat (tidak tahu tempat tujuan) dan ia menyengaja bahwa ketika ia selamat dari penganiayaan suami maka ia akan pulang, atau ketika budak minggat dan menyengaja bahwa ketika ia merdeka maka ia akan pulang, maka masing-masing dari mereka berdua tidak diperbolehkan mengqosor sebelum jarak yang ditempuhnya telah mencapai 2 marhalah dan boleh mengqosor jika jarak yang ditempuhnya telah mencapainya.

Apabila istri mengikuti suami, atau budak mengikuti tuan, atau prajurit mengikuti komandan, dan masing-masing dari suami, tuan, dan komandan pergi bermaksud memerangi kaum kafir, sedangkan masing-masing dari istri, budak, dan prajurit tidak mengetahui maksud dan tujuan panutannya tersebut, maka istri, budak, dan prajurit tersebut tidak boleh mengqosor sebelum mencapai 2 marhalah dan boleh mengqosor setelah mencapainya.

Apabila masing-masing dari istri, budak, dan prajurit menyengaja perjalanan sejauh 2 marhalah, sementara suami, tuan, dan komandan tidak menyengajanya, maka istri, budak, dan prajurit tersebut tidak boleh mengqosor karena niatnya tidak berarti, kecuali prajurit yang tidak tercatat namanya dalam daftar pasukan maka ia boleh mengqosor sendiri karena ia tidak berada di bawah kekuasaan dan perintah komandan itu, berbeda dengan prajurit yang tercatat namanya dalam daftar pasukan maka ia berada di bawah kekuasaan dan perintah komandan.

Haim, yaitu musafir yang tidak mengetahui ke arah mana ia pergi, tidak diperbolehkan mengqosor selama ia masih tidak mengetahui arah kepergiannya meskipun kebingungannya tersebut berlangsung hingga ia telah mencapai jarak yang jauh karena kepergiannya tersebut tergolong maksiat sebab meletihkan diri sendiri tanpa ada tujuan yang dibenarkan dihukumi haram, seperti yang dikatakan oleh Ziyadi.

2. Menjauhi perkara-perkara yang menafikan atau meniadakan niat qosor selama sholat qosor berlangsung. Perkara-perkara tersebut diantaranya seperti niat itmam, bingung antara akan mengqosor atau mengitmam, ragu tentang apakah sudah berniat qosor atau belum meskipun sesegera disusul dengan ingat telah berniat qosor. Sebaliknya, apabila musafir berniat itmam setelah ia berniat qosor, atau ia bingung antara akan berniat qosor atau itmam setelah ia berniat qosor bersamaan takbiratul ihram, atau ia ragu apakah ia telah berniat qosor atau belum, maka ia tidak boleh menyelesaikan sholatnya secara qosor.

3. Kepergian musafir dilakukan karena tujuan yang dibenarkan menurut syariat, seperti; berziarah, berdagang, berhaji, bukan karena tujuan sekedar keluar menjauhi rumah menuju kebun (piknik, tamasya), atau sekedar pergi melihat-lihat kondisi fisik kota tertentu, karena tujuan-tujuan ini tidak dibenarkan bagi asal kepergiannya. Berbeda dengan masalah apabila tempat tujuan memiliki dua rute, yaitu rute jauh (2 marhalah atau lebih) dan dekat (kurang dari 2 marhalah), kemudian musafir memilih rute jauh karena sekalian jalan-jalan maka demikian ini termasuk tujuan yang dibenarkan karena ia hanya berpindah dari rute dekat ke rute jauh sehingga ia tetap diperbolehkan mengqosor. Begitu juga, apabila ia memilih rute jauh karena ada tujuan baik menurut agama, seperti; berziarah, silaturrahmi, atau karena ada tujuan baik duniawi, seperti; medan jalan yang mudah dilewati dan aman, maka ia diperbolehkan mengqosor. Akan tetapi, apabila musafir memilih rute jauh dengan tujuan hanya agar diperbolehkan mengqosor atau tidak memiliki tujuan apapun atas pilihannya tersebut, maka ia tidak diperbolehkan mengqosor sholat karena ia memilih rute jauh tanpa didasari tujuan yang dibenarkan.

4. Telah melewati kota jika memang kota tersebut tidak memiliki batas tertentu kota atau telah melewati batas tertentu kota jika memang memilikinya. Pengertian batas tertentu kota adalah bangunan yang mengelilingi kota tertentu.

Kesimpulannya adalah bahwa permulaan safar dari musafir yang berasal dari keramaian adalah melewati batas-batas tertentu kota yang searah dengan tempat tujuan. Apabila tidak ditemukan adanya batas tertentu kota maka permulaan safar dari musafir adalah melewati khondaq/parit-parit, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Yakqub. Disebutkan di dalam kitab al-Qomus, “Kata الخَنْدَق sewazan dengan lafadz جَعْفَر, yaitu parit-parit yang mengelilingi kota-kota tertentu.” Apabila tidak ditemukan adanya khondaq, maka permulaan safar dari musafir adalah melewati qontoroh, yaitu bangunan tinggi (semacam gapuro) yang terletak di depan kota yang biasanya orang-orang keluar masuk kota melaluinya. Apabila tidak ditemukan apapun, artinya tidak ditemukan adanya batas tertentu kota, khondaq, atau qontoroh, maka permulaan safar dari musafir adalah melewati keramaian.

Adapun musafir yang dari kota perkemahan, maka permulaan safar baginya adalah melewati perkemahan tersebut beserta tempat-tempat di sekitarnya, seperti; tempat sampah, tempat bermain anak-anak; beserta melewati luasnya jurang jika musafir harus melakukan perjalanan di dalam luasnya jurang tersebut (karena kota perkemahan memang berada di tanah berjurang), dan beserta melewati turunan jika musafir harus melaluinya (karena kota perkemahan memang berada di dataran tinggi), dan beserta melewati tanjakan jika musafir harus melaluinya (karena kota perkemahan memang berada di dataran rendah). Menyertakan melewati luas jurang, turunan, dan tanjakan, sebagai awal permulaan safar adalah jika memang ketiga medan ini berukuran sedang, artinya, tidak sangat luas, tidak sangat turun, dan juga tidak sangat tinggi.

Adapun musafir yang melakukan perjalanan dari tempat yang tidak ada keramaian dan perkemahan penduduk disana, maka permulaan safar baginya adalah dengan melewati rumah tempat tinggalnya sendiri beserta sekelilingnya.

Tiga batasan awal permulaan safar di atas diperuntukkan bagi musafir yang mengadakan safar di daratan.

Adapun safar di laut yang tepi lautnya menurut ‘urf gandeng dengan kota, maka musafir tidak boleh tarokhus (dengan qosor atau jamak) kecuali ketika ia telah keluar dari kota tersebut dan kapal yang ia naiki telah berjalan atau sampan yang ia naiki telah berjalan menuju kapal untuk terakhir kalinya.

Apabila kapal memiliki sampan, maka musafir yang berada di kapal atau yang berada di sampan boleh bertarokhus meskipun sampan tersebut berjalan belum sampai pada kapal sekalipun secara nyata belum berjalan.

Adapun apabila sampan masih bolak-balik (pergi pulang) antara kapal dan kota maka musafir yang berada di sampan tersebut belum boleh bertarokhus.

Hal ini, maksudnya, diperbolehkan bertarokhus saat setelah naik kapal yang telah berjalan, adalah ketika kapal tidak berjalan berhadapan dengan kota, tetapi ketika kapal berjalan berhadapan dengan kota maka agar diperbolehkan bertarokhus, kapal tersebut harus telah berpisah dari keramaian kota karena ‘urf tidak menganggap seseorang itu sebagai musafir kecuali ketika ia telah naik kapal dan kapal telah berpisah dari keramaian kota. Safar dari musafir ini akan berakhir ketika ia telah sampai pada batasan yang disyaratkan harus dilewati.

Macam-macam Rukhsoh dalam Safar

[KHOTIMAH]

Nawawi menyebutkan di dalam kitab ar-Roudhoh dan Rofii di dalam kitab Syarah Soghir yang diberi judul al-Aziz;

Rukhsoh-rukhsoh yang berhubungan dengan safar jarak jauh ada 4 (empat), yaitu:

  1. Mengqosor
  2. Berbuka puasa
  3.  Mengusap muzah (sepatu) selama tiga hari
  4. Menjamak sebagaimana menurut pendapat adzhar.

Adapun rukhsoh-rukhsoh yang berhubungan dengan safar jarak dekat juga ada 4 (empat), yaitu:

  1. Meninggalkan sholat Jumat 
  2. Makan bangkai

    Tetapi dua rukhsoh ini diperbolehkan tidak hanya sebab bepergian saja.

  3. Tayamum. Rukhsoh ini juga tidak dikarenakan safar saja.
  4. Melakukan sholat sunah di atas kendaraan.
  5. Sampai sini perkataan Nawawi dan Rofii berakhir.

    Masih ada beberapa rukhsoh lain yang berhubungan dengan safar jarak dekat, di antaranya:

  6. Diperbolehkannya mengadakan safar bagi orang yang dititipi sambil membawa barang titipan.
  7. Diperbolehkannya suami pergi bersama salah satu dari istri-istrinya dengan cara diundi.

Tambahan 2 rukhsoh di atas disebutkan oleh Syarqowi.

Mengqosor atau Mengitmam?

[CABANG]

Mengqosor adalah lebih utama jika safar yang ditempuh oleh musafir telah mencapai 3 marhalah serta ia bukan orang yang terus menerus mengadakan safar dan juga bukan seorang nahkoda yang membawa keluarganya bersamanya di kapal yang dikemudi olehnya itu. Sebaliknya, apabila safar yang ditempuh musafir belum mencapai 3 marhalah, atau apabila ia adalah orang yang selalu mengadakan safar jarak jauh, atau apabila ia adalah seorang nahkoda yang membawa keluarganya bersamanya di kapal yang dikemudi olehnya itu, maka baginya itmam adalah yang lebih utama, bahkan dimakruhkan baginya mengqosor, sebagaimana keterangan yang dikutip oleh Mawardi dari Imam Syafii perihal hukum mengqosor bagi musafir yang safar-nya belum mencapai 3 marhalah, kecuali dalam sholat khouf, maka mengqosor adalah yang lebih utama.

Alasan mengapa mengqosor tidak lebih utama dalam safar yang kurang dari 3 marhalah adalah karena keluar dari perbedaan Abu Hanifah karena ia mewajibkan atas musafir mengitmam sholat ketika safar-nya belum mencapai 3 marhalah dan mewajibkan atasnya mengqosor ketika safar-nya telah mencapainya.

Alasan mengapa mengqosor tidak lebih utama bagi musafir yang menjadi nahkoda yang membawa keluarganya bersamanya di kapal yang dikemudi olehnya dan bagi musafir yang terus menerus mengadakan safar secara mutlak, seperti musafir yang berjalan kaki, adalah karena keluar dari perbedaan Imam Ahmad karena ia mewajibkan atas dua msuafir ini untuk mengitmam sholat.

Mengqosor terkadang dihukumi wajib, seperti masalah apabila musafir mengakhirkan sholat sampai waktu yang tersisa tidak cukup untuk digunakan melakukan sholat secara itmam, tetapi hanya cukup melakukannya secara qosor maka saat demikian ini diwajibkan mengqosor.

Mengqosor dan menjamak terkadang dihukumi wajib secara bersamaan, seperti masalah apabila musafir mengakhirkan Dzuhur dan Ashar secara jamak takhir, sedangkan waktu Ashar sudah mepet dan waktu yang tersisa tidak cukup untuk melakukan Dzuhur dan Ashar secara itmam, tetapi hanya cukup untuk melakukan keduanya secara qosor sekiranya waktu yang tersisa hanya cukup untuk melakukan 4 rakaat, maka mengqosor dan menjamak Dzuhur dan Ashar diwajibkan saat demikian ini.

Berpuasa bagi musafir adalah lebih utama daripada berbuka jika memang ia tidak berat melakukannya karena lebih cepat terbebas dari tanggungan, yakni, tanggungan puasa. Sebaliknya, jika ia berat melakukan puasa, misal ia mendapati sakit yang biasanya berat untuk ditahan, maka berbuka adalah lebih utama daripada berpuasa baginya.

Ketika musafir takut kehilangan fungsi anggota tubuh jika ia berpuasa maka ia wajib berbuka, tetapi apabila ia nekat berpuasa maka ia berdosa dan puasanya telah mencukupi, artinya, tidak perlu diqodho.

Diperbolehkannya berbuka bagi musafir adalah ketika ia mengharapkan bermukim di tempat tertentu agar mengqodho puasa. Jika tidak mengharapkan demikian, misalnya musafir selalu mengadakan safar dan tidak dimungkinkan baginya bermukim, maka ia tidak boleh berbuka, sebagaimana yang dinyatakan oleh pendapat muktamad, karena ia menghadapi aktivitas yang menggugurkan kewajiban secara utuh (terus menerus). Adapun Ibnu Hajar mengatakan bahwa musafir yang selalu mengadakan safar diperbolehkan berbuka agar ketika ia berbuka di hari-hari yang lama maka ia dapat mengqodho puasa di hari-hari yang lebih sebentar daripadanya, seperti yang dikutip oleh Syarqowi dan Ziyadi.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami