Safinatun Naja 49 - Syarat-syarat Qudwah (Bermakmum)

Fasal ini membahas tentang perkara perkara yang membatalkan shalat dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

شروط القدوة أحد عشر ان لايعلم بطلان صلاة امامه بحدث أوغيره, وأن لايعتقد وجوب قضائها عليه وأن لا يكون مأموما ولا أميا وأن لايتقدم عليه في الموقف وان يعلم انتقالات امامه وان يجتمعا في مسجد او فى ثلاث ما ئة ذراع تقريبا وأن ينوي القدوة أوالجماعة وأن يتوافق نظم صلاتهما وان لا يخالفه فى سنة فاحشة المخالفة وأن يتابعه

Syarat Syarat bermakmum ada 11 yang pertama Makmum tidak mengetahui bahwa shalat imamnya dihukumi batal sebab hadas atau selainnya yang kedua Makmum tidak meyakini kalau sholat yang sedang dilakukan imam bukanlah sholat yang wajib imam qodho yang ketiga Imam bukanlah musholli yang tengah menjadi makmum yang keempat Imam bukanlah orang yang ummi. yang kelima Makmum tidak taqoddum (mendahului) posisi imam yang keenam Makmum mengetahui atau menyangka pergerakan- pergerakan imamnya. yang ketujuh Imam dan makmum berkumpul dalam satu masjid atau dalam jarak sekitar tiga ratus hasta yang kedelapan Makmum berniat qudwah atau berjamaah yang kesembilan Adanya kecocokan antara rangkaian sholat imam dan rangkaian sholat makmum. yang kesepuluh Makmum tidak mukholafah (berbeda) dari imam yang kesebelas Makmum menyusul Imam

Syarat-syarat Qudwah (Bermakmum)

Fasal ini menjelaskan tentang syarat-syarat muktabaroh atau yang harus ada dalam berqudwah.

Syarat-syarat berqudwah (atau bisa dibaca berqidwah) ada 11 (sebelas), yaitu:

1. Makmum tidak menyangka dengan sangkaan kuat bahwa sholat imamnya dihukumi batal sebab hadas atau selainnya. 

Oleh karena itu, tidak sah bermakmum kepada imam yang sholatnya disangka batal, seperti;

  • Musholli yang bermadzhab Syafii bermakmum kepada imam yang bermadzhab Hanafi yang menyentuh farjinya, apalagi dengan sengaja, maka hukum bermakmumnya Syafii tersebut dihukumi tidak sah karena melihat sisi sangkaan Syafii yang menganggap batalnya wudhu sebab menyentuh farji, bukan melihat sisi sangkaan Hanafi yang sebagai imam dan yang menganggap kalau menyentuh farji tidak membatalkan wudhu.
  • Ada dua mujtahid (sebut mujtahid A dan B) yang saling berbeda pilihan tentang dua wadah air yang mana wadah pertama berisi air suci sedangkan wadah kedua berisi air mutanajis, kemudian masing-masing dua mujtahid berwudhu, atau mandi, atau mensucikan wadah, atau mencuci baju dengan masing-masing air di wadah yang dipilih, maka dari itu, mujtahid A tidak boleh bermakmum kepada mujtahid B sebab masing-masing dari mereka berdua menyangka kenajisan wadah temannya.
  • Adapun apabila wadah air suci lebih dari satu, misalnya, wadah air suci ada dua, yaitu wadah A dan B dan wadah air mutanajis ada satu, yaitu wadah C, dan jumlah mujtahid juga banyak, misal 3 (yaitu mujtahid 1,2 dan 3), kemudian masing-masing dari mereka bersuci dengan air yang disangka suci yang berdasarkan ijtihad, lalu masing-masing dari mereka menjadi imam sholat, maka saling bermakmum kepadanya dihukumi sah dan wajib mengulangi sholat yang dilakukan di belakang imam yang sholatnya diyakini batal, yaitu imam yang kedua dari dua imam.

Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathu al-Jawad, “Cara menentukan kalau sholat imam kedua dari dua imam (musholli 1 dan 2) dihukumi batal adalah bahwa salah satu dari dua wadah (wadah A dan B) berisi air najis, ketika musholli 1 bermakmum kepada musholli 2 maka hukum bermakmum disini dihukumi sah karena kemungkinan kesucian wadah yang digunakan oleh musholli 2 sekalipun menurut sangkaan musholli 1, sedangkan ketika musholli 2 bermakmum kepada musholli 1 maka dipastikan bahwa sholat musholli 1 dihukumi batal sebab ketika bermakmumnya musholli 1 kepada musholli 2 dihukumi sah maka wadah air yang digunakan musholli 1 (yang saat itu sebagai imam) tidak dimungkinkan suci menurut sangkaannya.”

Hukum di atas, maksudnya, hukum kepastian batalnya sholat imam kedua dari dua imam, berlaku dalam masalah dimana jumlah mujtahid lebih dari dua. Oleh karena ini, apabila jumlah mujtahid ada lima dan jumlah wadah air juga ada lima, sementara itu, wadah yang berisi air najis hanya ada satu, lalu masing-masing dari lima mujtahid melakukan sholat sebagai imam dan juga makmum serta masing-masing dari mereka tidak menyangka suci tidaknya air yang digunakan oleh masing-masing temannya atau masing- masing dari mereka menyangka kesucian air yang digunakan oleh teman-temannya yang bukan terakhir, maka masing- masing dari mereka yang menjadi makmum di sholat yang terakhir wajib mengulangi sholatnya.

Usman Suwaifi berkata dalam kitab Tuhfah al-Habib, “Ketika lima mujtahid mengawali sholat dengan sholat Subuh, maka mereka wajib mengulangi sholat Isyak kecuali imamnya, maka imamnya tersebut mengulangi sholat Maghrib.”

Ada 5 mujtahid (sebut musholli 1,2,3,4, dan 5) dan 5 wadah air (sebut A,B,C,D, dan E) dengan satu wadah yang berisi air najis. Lalu, masing-masing dari 5 mujtahid menggunakan air yang berada di masing- masing wadah yang dipilih. Apabila mereka mengawali sholat Subuh maka;

Sholat Subuh;

Imam : Musholli 1

Makmum : Musholli 2,3,4,5 Sholat Dzuhur;

Imam : Musholli 2

Makmum : Musholli 1,3,4,5 Sholat Ashar;

Imam : Musholli 3

Makmum : Musholli 1,2,4,dan 5 Sholat Maghrib;

Imam : Musholli 4

Makmum : Musholli 1,2,3,5 Sholat Isyak;

Imam : Musholli 5

Makmum : Musholli 1,2,3,4

Dengan kondisi dimana mereka tidak menganggap suci tidaknya air yang digunakan oleh masing-masing musholli atau mereka tidak menganggap kesucian air yang digunakan oleh imam di sholat Isyak, maka musholli 1,2,3,dan 4 wajib mengulangi sholat Isyak. Sedangkan musholli 5 wajib mengulangi sholat Maghrib karena ia sendiri yang menganggap kesucian air yang ia gunakan di sholat Isyak.


Sama dengan masalah perbedaan pilihan di antara para mujtahid tentang suci tidaknya air dalam dua wadah adalah masalah ketika salah satu dari si A dan si B mendengar suara kentut yang membatalkan wudhu tetapi masing-masing dari mereka tidak tahu betul siapa yang sebenarnya kentut, apakah si A atau si B. Masing-masing dari mereka pun juga saling mengingkari. Maka ketika orang lain (sebut si C) bermakmum kepada si A dan juga si B maka si C wajib mengulangi sholat yang dilakukan di belakang si B.

Apabila diketahui atau dianggap bahwa imam yang bermadzhab Hanafi, misalnya, meninggalkan basmalah, sekiranya imam tersebut diam setelah bertakbiratul ihram dengan diam yang lamanya seukuran lamanya membaca basmalah maka tidak sah bermakmum kepadanya.

2. Makmum tidak meyakini kalau sholat yang sedang dilakukan imam bukanlah sholat yang wajib imam qodho.

Suwaifi berkata bahwa yang dimaksud dengan meyakini disini adalah dzon gholib (sangkaan kuat), bukan keyakinan yang sebagaimana diistilahkan oleh ulama Ushul, yaitu kemantapan yang sesuai dengan kenyataan.

Oleh karena demikian syaratnya, maka tidak sah bermakmum kepada imam yang sholatnya wajib diulangi, misalnya; imam adalah mutayamim (orang yang bertayamum) dengan debu sebab cuaca dingin yang tidak memungkinkan baginya menggunakan air dalam bersuci, atau imam adalah orang mukim yang bertayamum dengan debu di tempat yang pada umumnya masih besar kemungkinannya mendapati air, atau imam adalah faqid tuhuroini (orang yang tidak mendapat dua alat suci, yaitu air dan debu); karena sholat imam semacam ini tidak dianggap sah menurut syariat.

Dihukumi sah bermakmum kepada imam perempuan yang mustahadhoh ghoiru muthayyiroh, atau imam mutayamim yang tidak wajib mengulangi sholatnya, atau imam yang berwudhu dengan mengusap muzah, atau imam yang sholat dengan tidur miring dan berbaring meskipun ia melakukan rukun-rukun sholat dengan cara berisyarat, atau imam yang masih shobi (bocah) meskipun semua imam-imam ini adalah seorang budak, atau imam yang beseran, atau imam yang mustajmir (yang beristinjak dengan batu/peper). Adapun imam perempuan yang mustahadhoh mutahayyiroh, maka makmum tidak sah bermakmum kepadanya meskipun makmum tersebut juga perempuan yang mustahadhoh mutahayyiroh karena perempuan seperti ini wajib mengulangi sholatnya.

3. Imam bukanlah musholli yang tengah menjadi makmum

Maksudnya, ia sedang bermakmum kepada imam lain. Oleh karena itu, musholli tidak sah bermakmum kepada imam yang menjadi makmum karena makmum pada dasarnya mengikuti orang lain (imam) yang hukum lupanya musholli sama dengan hukum lupanya makmum, sedangkan yang namanya imam seharusnya istiqlal atau merdeka/menyendiri dan menanggung kelalaian makmumnya sehingga antara iqtidak (bermakmum) tidak dapat dikombinasikan dengan istiqlal.

Sebagaimana musholli tidak sah bermakmum kepada imam yang juga menyandang status makmum, musholli tidak sah bermakmum kepada imam yang masih diragukan status kemakmumannya, misalnya; ada dua laki-laki yang sedang sholat, kemudian musholli ragu dan bingung manakah di antara keduanya yang menjadi imam, jadi, musholli tidak sah bermakmum kepada salah satu dari dua laki-laki tersebut sebelum ia berijtihad terlebih dahulu. Apabila musholli berijtihad untuk menentukan siapa sebenarnya yang menjadi imam dari dua laki-laki tersebut, kemudian ijtihad-nya menghasilkan kesimpulan bahwa si A adalah orang yang faqih atau yang bertayamum dalam bersuci, sedangkan si B bukan demikian, maka dihukumi sah jika musholli bermakmum kepada si A. Akan tetapi, apabila ternyata si A adalah yang menjadi makmum maka musholli wajib mengulangi sholat, sebaliknya, jika ternyata si A yang menjadi imam maka musholli tidak wajib mengulangi sholat.

4. Imam bukanlah orang yang ummi.

Jadi, musholli tidak sah bermakmum kepada imam yang ummi, baik imam ummi tersebut dimungkinkan belajar terlebih dahulu atau tidak yang sekiranya ia telah mengerahkan kemampuannya untuk belajar terlebih duhulu tetapi Allah belum memberinya pemahaman, serta baik imam ummi tersebut diketahui keadaan ummi-nya atau tidak. Alasan tidak sah bermakmum kepada imam ummi adalah karena pada dasarnya, dengan bacaan keras, imam menanggung bacaan makmum masbuk, sedangkan ketika imam sendiri tidak bagus dalam bacaan maka ia tidak layak dan berhak menanggung.

Syeh Sulaiman Bujairami berkata, “Apabila imam memelankan bacaan dalam sholat jahriah (sholat yang bacaannya dibaca keras). Kemudian ada makmum bermakmum kepadanya. Setelah salam, makmum wajib menanyakan kepada imam tentang apakah imam termasuk ummi atau tidak. Maka apabila terbukti kalau imam adalah orang yang ummi atau tidak bagus bacaannya maka makmum wajib mengulangi sholat. Dan apabila terbukti kalau imam adalah orang yang bukan ummi meskipun bukti ini dinyatakan dengan jawaban imam yang ketika ditanya, Saya lupa mengeraskan bacaan, atau, Saya memelankan bacaan karena memelankan tersebut diperbolehkan, kemudian makmum membenarkan jawabannya maka makmum tidak wajib mengulangi sholat. Dan apabila imam tidak terbukti apakah ia adalah orang yang ummi atau tidak maka makmum juga tidak wajib mengulangi sholat.”

Begitu juga, musholli yang mampu membaca 7 (tujuh) ayat al-Quran yang sebagai ganti dari Fatihah tidak sah bermakmum kepada imam yang hanya mampu berdzikir karena perbedaan antara keduanya.

Adapun apabila makmum ummi bermakmum kepada imam ummi yang masing-masing dari keduanya tidak mampu mengucapkan huruf yang sama dan di tempat yang sama, maka hukum bermakmum kepadanya ini dihukumi sah karena adanya persamaan antara keduanya dan kecocokan huruf yang tidak mampu dibaca, misalnya; makmum dan imam tidak mampu membaca huruf /ر/ dalam lafadz ﺻﺮاط, lalu makmum mengganti huruf /ر/ tersebut menjadi /غ/ dan imam menggantinya menjadi /ل/, atau sebalinya.

Adapun apabila makmum tidak mampu membaca huruf ر dalam lafadz غير dan imam tidak mampu membaca huruf ر dalam lafadz ﺻﺮاط atau apabila makmum tidak mampu membaca huruf ر sedangkan imam tidak mampu membaca huruf س maka tidak sah hubungan makmum dan imam antara keduanya.

5. Makmum tidak taqoddum (mendahului) posisi imam

Maksudnya, posisi makmum tidak lebih maju secara yakin daripada posisi imam. Apabila makmum berdiri dengan bertumpu pada kedua tumitnya, kemudian salah satu tumitnya lebih maju daripada posisi imam, maka tidak apa- apa sebagaimana ketika makmum bertumpu pada satu tumit yang lebih belakang daripada posisi imam, bukan bertumpu pada satu tumit lagi yang lebih maju daripada posisi imam.

Patokan posisi bagi musholli yang berdiri adalah dengan kedua tumit, yaitu bagian belakang kedua telapak kaki, meskipun jari-jari kaki lebih maju daripada kedua tumit imam dengan catatan selama makmum tidak bertumpu dengan jari-jari kakinya (Jawa; jinjit).

Patokan posisi bagi musholli yang duduk adalah dengan kedua pantat.

Patokan posisi bagi musholli yang tidur miring adalah dengan lambung.

Patokan posisi bagi musholli yang berbaring adalah dengan kepala jika memang ia bertumpu dengannya, jika tidak bertumpu dengannya maka patokan posisinya adalah dengan bagian tubuh yang digunakan bertumpu, seperti punggung dan selainnya.

Patokan posisi bagi musholli yang terpotong kakinya adalah dengan sesuatu yang ia gunakan bertumpu, seperti kedua kaki/tongkat yang digunakan bertumpu.

Patokan posisi bagi musholli yang disalib adalah dengan pinggang jika memang yang disalib hanya makmum, bukan imam.

Patokan posisi bagi musholli yang digantung dengan tali adalah dengan pundak jika memang yang digantung hanya makmum, bukan imam.

Adapun apabila yang disalib atau yang digantung adalah imam dan makmum, atau hanya imam saja, maka tidak sah bermakmum kepada imam tersebut karena ia berkewajiban mengulangi sholat.

Apabila makmum mendahului posisi imam, seperti yang telah disebutkan patokannya, maka sholat makmum menjadi batal, kecuali dalam sholat syiddah khouf (sholat yang dilakukan dalam keadaan yang mengkhawatirkan, seperti; saat perang dan selainnya).

Apabila makmum ragu apakah ia mendahului posisi imam atau tidak, misalnya karena mereka sholat di tempat gelap, maka sholat makmum sah secara mutlak, artinya, baik makmum tersebut datang dari arah depan imam atau dari belakangnya, karena menurut asalnya tidak ada perkara yang

merusak sholat. Berbeda dengan sebagian ulama yang merinci masalah ini, artinya, apabila makmum datang dari arah belakang imam maka sholatnya sah dan apabila ia datang dari arah depannya maka sholatnya tidak sah karena menurut asalnya makmum tersebut mendahului posisi imam.

Apabila posisi makmum sejajar dengan posisi imam maka hukum iqtidak (bermakmum) tetap dihukumi sah tetapi dimakruhkan dan menyebabkan menghilangkan fadhilah jamaah. Oleh karena itu, makmum disunahkan lebih ke belakang daripada imam seukuran 3 dzirok dan sekurangnya karena bersikap adab dan ittibak.

Apabila makmum berposisi di belakang imam sejarak lebih dari 3 dzirok maka dapat menghilangkan fadhilah jamaah.

Apabila makmum laki-laki hanya satu maka disunahkan berdiri di sebelah kanan imam dan lebih ke belakang sedikit untuk memperlihatkan bahwa tingkatan imam itu lebih tinggi daripada tingkatan makmum.

Kemudian apabila ada makmum laki-laki kedua datang maka ia disunahkan berdiri di sebelah kiri imam jika memungkinkan, jika tidak memungkinkan maka ia berdiri tepat di belakang imam.

Setelah makmum kedua bertakbiratul ihram, maka ketika makmum pertama berada di sebelah kanan dan makmum kedua di sebelah kiri, maka imam maju atau makmum pertama dan kedua mundur. Ketika makmum pertama berada di sebelah kanan dan makmum kedua di belakang imam tepat maka makmum pertama yang berada di sebelah kanan imam mundur pada saat ia berdiri, bukan pada saat selainnya dan ini merupakan sikap yang lebih utama.

Lalu apabila makmum kedua berdiri di sebelah kiri imam maka imam memegang kepala makmum kedua dan meluruskannya dengan makmum pertama yang berada di sebelah kanan imam. Sama halnya ketika salah satu dari makmum pertama atau kedua melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesunahan maka disunahkan bagi imam menuntun makmumnya itu melakukan kesunahan dengan cara memberikan perintah dengan gerakan tangannya atau selainnya jika memang percaya kalau makmum tersebut akan mengikuti perintahnya. Begitu juga, makmum disunahkan menuntun dengan tangan atau selainnya kepada imam yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesunahan. Ini merupakan pengecualian dari kemakruhan bergerak sedikit, baik yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesunahan itu adalah orang bodoh atau tidak.

Apabila ada dua makmum laki-laki datang secara bersamaan atau secara urut maka mereka dianjurkan berdiri di belakang imam tepat. Begitu juga, apabila ada satu perempuan atau banyak datang maka ia atau mereka berdiri di belakang imam tepat.

Apabila satu makmum laki-laki dan satu makmum perempuan datang maka makmum laki-laki tersebut berdiri di sebelah kanan imam dan makmum perempuan tersebut berdiri di belakang makmum laki-laki.

Apabila dua makmum laki-laki dan satu makmum perempuan datang maka dua makmum laki-laki tersebut berdiri di belakang imam dan satu makmum perempuan tersebut berdiri di belakang dua makmum laki-laki.

Apabila satu makmum laki-laki, satu makmum perempuan, dan satu makmum khuntsa datang maka satu makmum laki- laki tersebut berdiri di sebelah kanan imam, sedangkan satu makmum khuntsa berdiri di belakang imam dan satu makmum laki-laki itu, dan satu makmum perempuan berdiri di belakang satu makmum khuntsa.

Ketika golongan makmum telah banyak, disunahkan golongan makmum laki-laki dewasa berdiri di belakang imam dengan membentuk shof pertama. Setelah shof pertama penuh, golongan makmum anak kecil laki-laki berdiri di shof kedua. Urutan dalam memposisikan golongan makmum ini dilakukan ketika golongan makmum anak kecil laki-laki tidak lebih dulu daripada golongan makmum laki- laki dewasa dalam memposisikan diri di shof pertama. Apabila golongan makmum anak kecil laki-laki lebih dulu di shof pertama daripada golongan makmum laki-laki dewasa maka golongan makmum anak kecil laki-laki lebih berhak diposisikan di shof pertama daripada golongan makmum laki-laki dewasa karena mereka sejenis dengan golongan makmum laki-laki dewasa, berbeda dengan golongan makmum khuntsa dan perempuan. Setelah itu, golongan makmum perempuan diposisikan di shof ketiga meskipun shof kedua tidak penuh.

Apabila makmum terdiri dari para perempuan, imam perempuan disunahkan berdiri di tengah-tengah mereka. Apabila mereka diimami oleh imam yang bukan perempuan, baik laki-laki atau khuntsa, maka imam tersebut lebih maju posisinya daripada mereka.

Seperti perempuan adalah laki-laki telanjang yang mengimami para makmum laki-laki telanjang yang yang tidak buta di tempat yang terang. Maka ia berdiri di depan mereka dan mereka berdiri di belakangnya dengan membentuk satu shof saja jika memungkinkan agar mereka tidak saling melihat aurat satu sama lainnya. Apabila mereka terdiri dari para makmum telanjang yang buta atau apabila jamaah didirikan di tempat gelap maka imam berposisi lebih maju (bukan di depan) daripada mereka.

Dimakruhkan bagi makmum berdiri sendiri dengan tidak ikut masuk ke dalam shof yang terdiri dari para makmum yang sejenis dengannya, (misalnya makmum laki-laki sejenis dengan para makmum laki-laki, makmum perempuan sejenis dengan para makmum perempuan, dst). Akan tetapi, hendaknya ia masuk ke dalam shof jika memang ia mendapati tempat luang tanpa harus mendesak sekiranya shof masih muat dimasuki olehnya. Apabila shof sudah tidak muat dimasuki olehnya, ia bertakbiratul ihram sendiri di shof sendiri, kemudian pada saat berposisi berdiri, ia menarik salah satu makmum dari shof depannya agar makmum tersebut berbaris membentuk shof bersamanya. Disunahkan bagi makmum yang ditarik ke belakang menuruti perintahnya agar makmum tersebut bisa berdiri berbaris bersamanya dengan membentuk shof baru supaya makmum itu memperoleh fadhilah atau keutamaan sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

Makmum sendiri diharamkan menarik ke belakang makmum lain dari shof depan sebelum makmum sendiri tersebut bertakbiratul ihram karena dapat menyebabkan makmum yang ditarik itu menjadi sendirian di shof belakang.

6. Makmum mengetahui atau menyangka pergerakan- pergerakan imam agar ia bisa mengikutinya.

Bentuk mengetahui atau menyangka tersebut dapat dihasilkan dengan misalnya makmum melihat imam secara langsung, atau makmum melihat pergerakan sebagian shof, atau makmum mendengar suara imam, atau makmum mendengar suara muballigh imam, baik muballigh tersebut sedang ikut sholat atau tidak, meskipun muballigh tersebut adalah shobi (anak kecil) atau orang fasik sekiranya hati makmum membenarkan muballigh tersebut sebagaimana disebutkan dalam pendapat yang muktamad.

Ibnu Hajar berkata, “Muballigh imam disyaratkan adalah orang yang adil riwayah karena selainnya tidak boleh dijadikan sebagai pedoman.”

Selain itu, bentuk mengetahui atau menyangka pergerakan- pergerakan imam dapat dihasilkan dengan sekiranya makmum diberi instruksi oleh orang lain.

Apabila makmum tidak mengetahui pergerakan-pergerakan imam maka dirinci sebagai berikut:

  • Apabila imam telah melakukan dua rukun fili (perbuatan) sebelum makmum mengetahui pergerakan- pergerakannya, misal; imam telah rukuk, itidal, dan turun untuk melakukan sujud, sedangkan sampai sini makmum sendiri belum mengetahui pergerakan- pergerakannya; maka sholat makmum dihukumi batal.
  • Sebaliknya, apabila imam belum melakukan dua rukun fili sebelum makmum mengetahui pergerakan- pergerakannya, misal; imam telah rukuk, itidal, kemudian makmum mengetahui pergerakan-pergerakan imam, lalu imam turun hendak melakukan sujud; maka sholat makmum tidak dihukumi batal.

[FAEDAH]

Isnawi berkata, “Ada seorang musholli yang boleh menjadi imam, tetapi tidak boleh menjadi makmum, yaitu musholli yang buta dan juga tuli. Ia sah-sah saja menjadi imam karena yang namanya imam sholat itu memiliki kebebasan untuk melakukan gerakan-gerakan sholat sendiri tanpa harus mengikuti siapapun. Dan ia tidak boleh menjadi makmum karena tidak ada cara baginya untuk mengetahui atau menyangka pergerakan- pergerakan imam sebab buta dan tuli, kecuali apabila ia berada di samping makmum yang terpercaya sekiranya makmum tersebut memberinya kode semisal sentuhan tubuh di setiap kali imam melakukan pergerakan.”

7. Imam dan makmum berkumpul dalam satu masjid.

Perkumpulan antara keduanya disyaratkan sekiranya makmum bisa mendatangi imam meskipun dengan cara mendesak-desak atau beralih dari arah Kiblat dan membelakanginya. Gambaran perkumpulan seperti ini tidak masalah jika jamaah dilakukan di dalam masjid meskipun jarak antara makmum dan imam itu jauh dan terhalang oleh bangunan-bangunan yang masih tembus ke masjid. Apabila bangunan-bangunan yang menghalangi itu memiliki pintu- pintu yang menutupi jalan tembus ke arah masjid dan pintu- pintu tersebut dikunci sekiranya memang dari awal pembangunan pintu-pintu tersebut tidak dipaku, meskipun di waktu berikutnya dipaku, maka tidak apa-apa sebagaimana dinyatakan oleh pendapat muktamad. Apabila makmum berada di atas dakkah, yaitu bangunan yang alasnya datar yang biasa digunakan untuk duduk-duduk, sedangkan tangga dari dakkah tersebut telah dihilangkan, maka tidak apa-apa karena semua tangga itu pada dasarnya dibangun untuk tempat sholat sehingga orang-orang berkumpul di dakkah untuk mendirikan jamaah dan menegakkan syiar jamaah.

Apabila antara makmum dan masjid terhalang oleh bangunan-bangunan buntu maka tidak sah jamaahnya meskipun makmum masih bisa melihat pergerakan- pergerakan imam dari bangunan-bangunan buntu tersebut. Dengan demikian, apabila imam di masjid sedangkan makmum di bangunan lain yang berjendela maka jamaahnya tidak sah. Begitu juga, apabila imam berada di masjid, sedangkan makmum berada di bangunan yang pintunya ditutup dan dipaku dari awal pembangunan atau makmum berada di dakkah yang tangga-tangganya dihilangkan dari awal pembangunan maka jamaahnya tidak sah karena bentuk perkumpulan antara imam dan makmum tersebut tidak bisa disebut sebagai bentuk perkumpulan dalam satu masjid. 

Dakkah atau اﻟﺪﻛﺔ dengan fathah pada huruf د dengan mengikuti wazan lafadz قصعة adalah tempat tinggi yang biasa digunakan untuk duduk-duduk.

Beberapa masjid yang saling bersambungan dan saling tembus sekiranya jika masjid satu dibuka maka bisa menuju ke masjid berikutnya dan berikutnya maka dihukumi seperti satu masjid secara utuh meskipun masing-masing masjid memiliki imam dan jamaah sholat sendiri-sendiri. Apabila sebagian masjid letaknya lebih tinggi daripada masjid berikutnya, misal; masjid A berada di loteng atau di menara sedangkan masjid B berada di sardab (bawah tanah); maka jika imam berada di masjid A sedangkan makmum berada di masjid B maka jamaahnya tetap sah karena semua masjid tersebut dibangun untuk sholat. Akan tetapi, dimakruhkan keberadaan makmum lebih tinggi daripada imam atau sebaliknya sekiranya mereka masih bisa berdiri di tempat datar, kecuali apabila ada hajat, seperti; menjadi muballigh, maka tidak dimakruhkan.

Pengertian sardab atau السرداب adalah tempat sempit yang masih bisa dimasuki.

Apabila jamaah tidak didirikan di satu masjid, maka disyaratkan imam dan makmum berkumpul dalam jarak antara keduanya ±3 manusia berdasarkan urf masyarakat karena mereka menganggap imam dan makmum di jarak tersebut sebagai dua orang yang berkumpul. Oleh karena berdasarkan kurang lebih 3 dzirok, maka jika jarak antara imam dan makmum lebih sedikit dari 3 dzirok maka tidak apa-apa.

Sekali lagi, perkumpulan di atas terjadi jika imam dan makmum mendirikan jamaah tidak di masjid. Perkumpulan di luar masjid mengandung 4 (empat) kemungkinan, yaitu;

  1. Imam dan makmum sama-sama berada di tempat terbuka.
  2. Imam dan makmum sama-sama di suatu bangunan tertentu.
  3. Imam berada di tempat terbuka dan makmum berada di bangunan.
  4. Imam berada di bangunan dan makmum berada di tempat terbuka.

Jarak ±3 terhitung antara jarak imam dan makmum, atau antara shof satu dan shof berikutnya, atau antara makmum satu dan makmum lain yang berada di belakang imam atau sampingnya.

Apabila imam berada di masjid dan makmum berada di luar masjid, atau sebaliknya, maka jarak ±3 antara keduanya terhitung dari ujung masjid yang berada di dekat imam/makmum yang di luar masjid karena ujung masjid tersebut masih termasuk tempat sholat, bukan terhitung dari shof terakhir dan bukan dari tempat berdirinya imam. Dalam permasalahan ini, disyaratkan makmum bisa sampai ke imam tanpa mendesak-desak dan berpaling dari Kiblat atau membelakanginya. Ini berbeda dengan ketika imam dan makmum sama-sama di masjid.

Ketika imam dan makmum tidak sama-sama berada dalam satu masjid maka pintu yang tertutup dari awal pembangunan juga dapat membatalkan jamaah. Berbeda dengan pintu yang ditutup sementara maka tidak apa-apa karena ada perkara yang dimaafkan seterusnya padahal perkara tersebut tidak dimaafkan di awal perkara. Disini, pintu yang dikunci dari awal dan seterusnya dapat membatalkan jamaah sebagaimana yang dinyatakan oleh pendapat muktamad.

Adapun apabila pintunya terbuka maka dihukumi sah iqtidak-nya makmum yang berdiri sejajar dengan imam dan shof yang bersambung dengan imam. Sama dengan makmum tersebut adalah makmum yang berada di belakang imam meskipun antara dirinya dan imam terdapat penghalang. Sementara itu, makmum yang berdiri sejajar dengan imam adalah penghubungan antara makmum yang berada di belakang imam dan imam itu sendiri. Bagi para makmum yang di belakang imam, makmum yang sejajar dengan imam adalah seperti imam sendiri sehingga mereka tidak boleh lebih maju daripadanya sebagaimana mereka tidak boleh lebih maju daripada imam.

Berbeda dengan iqtidak-nya makmum yang tidak sejajar dengan imam, maka dihukumi tidak sah karena ia menghalang-halangi antara para makmum yang di belakang imam dan imam itu sendiri, kecuali apabila salah satu makmum berdiri sejajar dengan lubang penghalang itu.

Dari semua kasus yang telah dideskripsikan, tidak apa-apa jika disela-selai oleh jalan raya meskipun jalannya banyak atau disela-selai oleh sungai besar meski perlu berenang, atau oleh api dan laut antara dua perahu maka semua ini tidak disebut sebagai menghalang-halangi sehingga salah satu dari mereka tidak bisa disebut sebagai penghalang.

8. Makmum berniat qudwah

Seperti ia berkata, “Aku sholat muqtadiyan (seraya bermakmum),” atau jamaah, seperti ia berkata, “Aku sholat jamaatan (secara berjamaah)” meskipun niat berjamaah juga bisa dilakukan bagi imam, atau iktimam, seperti ia berkata, “Aku sholat muktamman (seraya menjadi makmum),” atau makmumiah, seperti ia berkata, “Aku sholat makmuman.”

9. Adanya kecocokan antara rangkaian sholat imam dan rangkaian sholat makmum dari segi perbuatan-perbuatan sholat yang dzahir meskipun sholat yang dilakukan imam dan makmum berbeda rakaat.

Oleh karena itu, makmum tidak sah bermakmum kepada imam yang mana antara sholat makmum dan imam terdapat perbedaan dari segi rangkaian sholat, seperti; makmum yang sholat fardhu bermakmum kepada imam yang sholat gerhana, atau sebaliknya, karena sulitnya mutabaah (makmum mengikuti imam).

Apabila antara sholat imam dan makmum terdapat perbedaan dari segi niat maka tidak apa-apa karena tidak adanya mukholafah parah sehingga apabila makmum yang sholat fardhu bermakmum kepada imam yang sholat sunah atau apabila makmum yang sholat adak bermakmum kepada imam yang sholat qodho, atau apabila makmum yang sholat lama, misal, Dzuhur bermakmum kepada imam yang sholat pendek, misal, Subuh, atau sebaliknya, maka tetap dihukumi sah dan dimakruhkan, tetapi fadhilah jamaah tetap diperoleh.

Suwaifi berkata;

Hukum makruh tidak menghilangkan fadhilah dan pahala jamaah karena perbedaan sudut pandang, bahkan hukum haram pun tidak menghilangkan fadhilah jamaah, seperti; makmum atau/dan imam sholat di tanah gosoban.

Apabila imam sholat Subuh sedangkan makmum sholat Dzuhur maka makmum menyelesaikan sisa rakaat sholat Dzuhur-nya itu setelah imam mengucapkan salam dari sholat Subuh-nya. Yang lebih utama adalah makmum ikut berqunut bersama imam meskipun akan mengakibatkan memperlama iktidal demi mempertahankan mutabaah.

Apabila imam sholat Maghrib sedangkan makmum sholat Ashar maka makmum menyelesaikan sisa rakaat sholat Ashar-nya setelah imam mengucapkan salam dari sholat Maghrib-nya. Yang lebih utama adalah makmum ikut bertasyahud akhir di sholat Maghrib imam meskipun akan mengakibatkan memperlama duduk istirahat karena mempertahankan mutabaah.

Dalam dua permasalahan di atas, tidak apa-apa jika makmum berniat mufaroqoh atau berpisah dari mengikuti imam di saat imam melakukan qunut atau tasyahud akhir demi mempertahankan rangkaian sholat makmum sendiri karena mufaroqoh (berpisah) disini dilakukan sebab udzur dan tidak menghilangkan fadhilah jamaah.

Apabila imam sholat Dzuhur, atau Ashar, atau Isyak, sedangkan makmum sholat Subuh, ketika makmum telah selesai melakukan dua rakaat bersama imam, ia diperbolehkan berniat mufaroqoh dari imam, tetapi yang lebih utama adalah ia menunggu imam untuk mengucapkan salam bersamanya. Adapun niat mufaroqoh tidak diwajibkan disini karena diperbolehkan memperlama dalam sholat Subuh. Keutamaan menunggu imam, sebagaimana yang telah disebutkan, adalah jika imam duduk bertasyahud awal. Sebaliknya, jika imam langsung berdiri tanpa bertasyahud awal, maka makmum wajib niat mufaroqoh karena ia sedang melakukan duduk tasyahud yang tidak dilakukan oleh imamnya. Begitu juga, makmum wajib berniat mufaroqoh jika imam melakukan duduk tetapi tidak bertasyahud karena duduk yang dilakukan imam tanpa bertasyahud ini dihukumi seperti tidak melakukan duduk sama sekali. Menunggu imam agar dapat mengucapkan salam bersamanya dilakukan jika memang makmum tidak kuatir akan habisnya waktu sholat sebelum imam selesai dari sholatnya, jika ia kuatir demikian maka yang lebih utama adalah tidak menunggu imam.

Ketika makmum menunggu imam, makmum disunahkan memperpanjang doa setelah ia selesai bertasyahud dan ia tidak mengulang-ulangi bacaan tasyahud-nya karena keluar dari perbedaan pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa mengulang-ulangi rukun qouli menyebabkan batalnya sholat. Apabila ia memang hanya hafal doa pendek maka ia mengulang-ulangi bacaan tasyahud karena dianjurkan untuk tidak membiarkan sholat terisi oleh diam.

Apabila imam sholat Dzuhur, atau Ashar, atau Isyak, sedangkan makmum sholat Maghrib, ketika makmum telah selesai melakukan tiga rakaat bersama imam, ia wajib berniat mufaroqoh dari imam. Ia tidak diperbolehkan menunggu imam untuk mengucapkan salam bersamanya karena ia akan melakukan duduk yang tidak akan dilakukan oleh imamnya meskipun imam melakukan duduk istirahat di rakaat ketiga sholat Dzuhur, atau Ashar, atau Isyak-nya karena duduk istirahat disini tidak dianjurkan. Makmum diperbolehkan menunggu imam di sujud terakhir, (Sampai sini perkataan Suwaifi berakhir) karena ia hanya memperlama rukun yang imam telah melakukan rukun tersebut di sholat-nya sehingga tidak masalah bagi makmum memperlamanya, sebagaimana masalah apabila imam duduk bertasyahud awal dan ia tidak membaca tasyahud secara lengkap, maka makmum diperbolehkan membacanya sendiri secara lengkap sehingga tasyahud disini adalah seperti qunut yang boleh dilakukan makmum meskipun imam tidak melakukan qunut dan telah beriktidal. Adapun makmum memperlama sujud terakhirnya itu karena ia memperlama rukun yang imam telah melakukannya, seperti yang difaedahkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathu al-Jawad.

10. Makmum tidak mukholafah (berbeda) dari imam

Maksudnya berbeda dengan bentuk mukholafah yang parah seperti mukholafah dalam sujud tilawah, jadi, makmum wajib muwafaqoh (menyesuaikan) dengan imam dalam sujud tilawah dari segi melakukan dan meninggalkan, dan seperti mukholafah dalam sujud sahwi, jadi, makmum wajib muwafaqoh dengan imam dalam sujud sahwi dari segi melakukan, bukan meninggalkan, bahkan makmum disunahkan bersujud sahwi sendiri ketika imam meninggalkannya, dan seperti mukholafah dalam tasyahud awal, jadi, makmum wajib muwafaqoh dengan imam dalam tasyahud awal dari segi meninggalkan, bukan melakukan, bahkan ketika imam melakukan tasyahud awal maka makmum diperbolehkan meninggalkannya dan langsung berdiri secara sengaja, tetapi makmum disunahkan kembali duduk jika ia langsung berdiri secara sengaja selama imam belum berdiri, sebaliknya, jika makmum langsung berdiri karena lupa maka ia wajib kembali duduk untuk mutabaah/mengikuti imamnya. Sama halnya, ketika makmum masbuk menyangka kalau imamnya telah mengucapkan salam, kemudian ia berdiri, tetapi ternyata imamnya belum mengucapkan salam, maka ia wajib kembali meskipun setelah imam mengucapkan salam dan ia tidak diperbolehkan berniat mufaroqoh pada saat itu. Perbedaan antara amid (makmum yang berdiri secara sengaja) dan nasi (makmum yang berdiri karena lupa) adalah bahwa amid melewatkan fadhilah atau keutamaan muwafaqoh sebab kesengajaan berdirinya sedangkan berdirinya nasi tidak dianggap sehingga seolah-olah ia tidak berdiri sama sekali.

Dari sini, maksudnya dari kewajiban kembali duduk karena lupa terlanjur berdiri saat lupa meninggalkan tasyahud awal bersama imam, dapat dibedakan dengan masalah ketika makmum rukuk terlebih dahulu sebab lupa sebelum imamnya, maka makmum diperkenankan memilih antara kembali dan menunggu. Perbedaan konsekuensi antara dua masalah ini adalah bahwa berdiri sebab lupa termasuk mukholafah yang parah sedangkan rukuk sebab lupa tidak termasuk demikian. Apabila makmum rukuk terlebih dahulu secara sengaja sebelum imam, ia disunahkan kembali iktidal.

Adapun qunut, tidak wajib muwafaqoh di dalamnya dari segi melakukan dan meninggalkan, sehingga ketika imam melakukan qunut maka makmum boleh meninggalkannya dan ia bisa langsung bersujud secara sengaja dan ketika imam meninggalkan qunut maka makmum disunahkan

melakukan qunut sendiri jika memang ia memungkinkan menyusul bersama imam di sujud awal dan dimakruhkan melakukan qunut sendiri jika memang ia memungkinkan menyusul bersama imam di duduk antara dua sujud. Akan tetapi, apabila makmum tidak dapat menyusul bersama imam kecuali setelah imam turun untuk melakukan sujud kedua maka makmum wajib tidak melakukan qunut sendiri jika ia tidak berniat mufaroqoh, sebaliknya, apabila ia melakukan qunut sendiri secara sengaja maka sholatnya batal sebab sengaja mukholafah karena ia menyengaja melakukan perkara yang membatalkan sholat dan ia telah mulai melakukannya sebelum imam turun untuk melakukan sujud kedua.

Ketika imam melakukan qunut dan makmum tidak melakukannya maka makmum tidak perlu bersujud sahwi karena imam telah menanggung qunut-nya meskipun qunut tersebut tidak dianjurkan.

Ketika imam tidak melakukan qunut maka makmum diperbolehkan berniat mufaroqoh untuk berqunut sendiri demi menghasilkan kesunahan. Mufaroqoh disini termasuk mufaroqoh sebab udzur sehingga tidak dimakruhkan. Akan tetapi, yang lebih utama adalah bahwa makmum tidak berniat mufaroqoh dari imam. Sama halnya dengan masalah apabila makmum bermakmum kepada imam yang sedang sholat sunah Subuh, yang tentu imam tidak melakukan qunut, maka makmum tidak perlu bersujud sahwi sebab meninggalkan qunut karena tidak ada cacat dalam sholatnya, bahkan menurut keyakinan makmum itu sendiri, karena imam telah menanggungnya. Berbeda dengan masalah apabila makmum Syafii meninggalkan qunut karena mengikuti imamnya yang bermadzhab Hanafi maka makmum disunahkan bersujud sahwi atau apabila imam Hanafi meninggalkan qunut, kemudian makmum Syafii melakukan qunut sendiri, maka makmum tersebut disunahkan melakukan sujud sahwi sebab lupanya imam ditimpakan juga atas makmum karena sholat imam terdapat cacat dari segi keyakinan makmum itu.

Adapun kesunahan yang tidak menyebabkan mukholafah fakhisyah (perbedaan parah) maka tidak menyebabkan batalnya sholat, misalnya; duduk istirahat. Bahkan disunahkan bagi makmum melakukan duduk istirahat meskipun imam tidak melakukannya. Dan ketika imam melakukan duduk istirahat maka makmum tidak wajib muwafaqoh atau ikut melakukannya, tetapi dengan catatan jika duduk istirahat yang dilakukan oleh imam tersebut adalah setelah makmum telah berlangsung dalam iqtidak kepada imam (dawam). Adapun apabila duduk istirahat yang dilakukan oleh imam terjadi di permulaan iqtidak, misalnya makmum berniat iqtidak kepada imam yang sedang duduk istirahat maka makmum wajib muwafaqoh atau ikut duduk istirahat, berbeda apabila makmum berniat iqtidak kepada imam yang sedang bangun dari sujud, bukan sedang duduk istirahat, maka makmum tidak wajib muwafaqoh atau ikut melakukan duduk istirahat karena tidak adanya mukholafah fakhisyah.

11. Makmum menyusul imam

Sekiranya ia bertakbiratul ihram setelah imam selesai dari takbiratul ihram-nya, ia tidak mendahului imam dengan dua rukun fili secara sengaja dan tahu, ia tidak terlambat dua rukun fili dari imam tanpa didasari udzur. Dengan demikian, apabila makmum membarengi imam dalam bertakbiratul ihram meski hanya sebatas ragu, apakah membarenginya atau tidak, maka sholat makmum tidak sah.

[FAEDAH]

Mudabighi berkata;

Ketahuilah sesungguhnya muqoronah (makmum membarengi imam) terbagi menjadi 5 (lima) bagian, yaitu:

  1. Muqoronah yang haram dan menyebabkan tidak sahnya sholat makmum, yaitu muqoronah dalam takbiratul ihram.
  2. Muqoronah yang sunah, yaitu muqoronah dalam membaca amin.
  3. Muqoronah yang makruh dan yang menghilangkan fadhilah jamaah jika dilakukan secara sengaja, yaitu muqoronah dalam perbuatan-perbuatan sholat (spt; rukuk, sujud, dst) dan salam.
  4. Muqoronah yang mubah, yaitu muqoronah dalam selain muqoronah haram, sunah, dan makruh.
  5. Muqoronah yang wajib, yaitu muqoronah dalam rukun yang apabila makmum belum sempat membaca Fatihah bersama imam maka ia tidak perlu membacanya (karena telah ditanggung imam).

[CABANG]

Apabila munfarid berniat qudwah (bermakmum) di tengah- tengah sholatnya maka diperbolehkan tetapi dimakruhkan. Ia wajib mengikuti imam di dalam rukun yang sedang imam lakukan meskipun itu rukun qosir yang semisal iktidal meski munfarid saat itu sedang melakukan rukun towil semisal berdiri, atau ia wajib mengikuti berdirinya imam meski ia saat berniat qudwah sedang dalam posisi duduk dan sebaliknya.

Apabila munfarid yang sedang bertasyahud akhir berniat qudwah kepada imam yang sedang berdiri maka tidak diperbolehkan bagi munfarid tersebut mengikuti berdirinya imam, tetapi ia wajib menunggu imam untuk mengucapkan salam bersamanya. Sikap menunggu ini adalah yang lebih utama, tetapi sebenarnya munfarid diperbolehkan berniat mufaroqoh dari imam karena mufaroqoh disini tergolong sebab udzur sehingga tidak perlu berdalih kalau munfarid melakukan duduk yang belum dilakukan oleh imam karena titik tekan larangannya adalah melakukan duduk setelah niat berqudwah, sedangkan dalam masalah di atas, munfarid telah duduk terlebih dahulu, kemudian berniat qudwah, dan meneruskan duduknya.

Atau apabila munfarid yang sedang sujud terakhir dan yang telah bertumakninah dalam sujudnya berniat qudwah kepada imam yang sedang berdiri maka munfarid tersebut tidak boleh mengangkat kepalanya dari sujud, tetapi ia wajib menunggu imam sampai imam tersebut bersujud jika memang munfarid tidak berniat mufaroqoh. Lain halnya, apabila munfarid tersebut belum bertumakninah dalam sujudnya maka ia wajib berdiri mengikuti berdirinya imam.

Tidaklah dianggap (terhitung rakaat) semua perbuatan yang dilakukan oleh munfarid bersama imam, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh munfarid sebelum ia berniat qudwah, misalnya; ada munfarid telah melakukan rukuk, kemudian iktidal, dan sujud pertama, ditengah-tengah sujud pertama, ia berniat qudwah kepada imam yang sedang melakukan rukuk, secara hukum ia wajib mengangkat kepala dari sujudnya dan langsung mutabaah/mengikuti imam dalam rukuk, jadi rukuk, iktidal, dan sujud pertama yang dilakukan oleh munfarid sebelum berniat qudwah tidak dianggap atau belum mencukupi.

Ketahuilah sesungguhnya ada sembilan perbuatan yang telah didapati oleh munfarid bersama imam yang mana perbuatan- perbuatan tersebut wajib diikuti (mutabaah) oleh munfarid tersebut sebab niat qudwah-nya, meskipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak dianggap atau belum mencukupi, yaitu:

Pertama; Iktidal meski imam saat itu sedang berqunut.

Kedua dan ketiga; dua sujud. Keempat; duduk di antara dua sujud. Kelima; duduk istirahat.

Keenam dan ketujuh; duduk karena dua tasyahud (awal dan akhir).

Kedelapan; sujud sahwi.

Kesembilan; sujud tilawah, maksudnya, ketika munfarid berniat qudwah kepada imam yang sedang melakukan sujud tilawah maka munfarid tersebut wajib mutabaah/mengikuti imam dalam sujud tilawah.

Diwajibkan juga atas al-qosir (musholli yang mengqosor sholat) untuk menyempurnakan sholatnya ketika ia ditengah-tengah sholatnya berniat qudwah kepada imam yang mutim (musholli yang tidak mengqosor sholat) meskipun baru sebentar.

Contoh:

Ada musholli munfarid sedang mengqosor sholat Dzuhur. Sebelum selesai dari dua rakaatnya, misalnya, di tengah-tengah duduk antara dua sujud, ia berniat qudwah kepada imam yang mutim atau sholat Dzuhur dengan 4 rakaat. Oleh karena niat qudwah, munfarid tersebut wajib menyelesaikan sholat Dzuhurnya menjadi 4 rakaat karena mengikuti imamnya.

Makmum tidak wajib mutabaah dalam lafadz-lafadz dua tasyahud (awal dan akhir) dan qunut karena yang diwajibkan hanya mutabaah dalam perbuatan-perbuatan (afal), bukan ucapan-ucapan (aqwal), tetapi ia disunahkan mutabaah dalam aqwal, bahkan apabila ada makmum masbuk mendapati imam yang sedang bertasyahud maka makmum masbuk tersebut disunahkan membaca tasyahud yang wajib dan yang sunah.

Begitu juga, disunahkan bagi makmum mutabaah kepada imam dalam bertasbih dan bertakbir.

Ketika imam sedang melakukan tasyahud awal atau tasyahud akhir atau sujud, kemudian ada makmum berniat iqtidak kepadanya dan makmum tersebut bertakbiratul ihram, maka ketika makmum bergerak melakukan tasyahud awal atau tasyahud akhir atau sujud bersama imam, ia tidak perlu bertakbir, tetapi cukup bergerak dengan diam karena pergerakannya tersebut bukan karena mutabaah dan juga karena tasyahud awal atau akhir atau sujud tersebut tidak dianggap (belum mencukupi) bagi makmum itu sendiri. Berbeda dengan rukun yang setelah rukun yang telah didapati bersama imam, maka makmum bertakbir saat bergerak melakukan rukun tersebut meskipun rukun tersebut tidak dianggap baginya karena demi mutabaah kepada imam di dalam rukun tersebut. Berbeda juga dengan masalah ketika makmum mendapati imam sedang rukuk, maka makmum bertakbir saat bergerak melakukan rukuk tersebut meskipun pada saat bergerak itu, ia belum mutabaah kepada imam karena rukuk tersebut dianggap atau sudah mencukupinya.

Misalnya; imam sedang sujud, kemudian ada makmum berniat iqtidak kepadanya, ketika makmum hendak bersujud, makmum tidak perlu bertakbir, dan ketika makmum hendak duduk di antara dua sujud, ia disunahkan bertakbir karena mutabaah kepada imam.

Ketahuilah sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang digugurkan dari makmum sebab niat iqtidak-nya ada 7 (tujuh), yaitu:

Pertama; berdiri.

Kedua; membaca al-Fatihah ketika makmum mendapati imam di saat rukuk.

Ketiga; membaca Surat dalam sholat yang imam mengeraskan bacaannya di dalamnya meskipun sholat tersebut sebenarnya adalah sirriah (yang seharusnya dipelankan suaranya) jika memang makmum mendengar bacaan Surat tersebut dari imam. Jika makmum tidak mendengar bacaan Surat imam karena tuli atau jauh atau mendengar suara yang tidak memahamkan atau imam memelankan bacaan Surat meskipun dalam sholat jahriah (yang seharusnya dikeraskan bacaannya) maka membaca Surat tidak gugur dari makmum.

Keempat; mengeraskan bacaan dalam sholat jahriah. Oleh karena itu, makmum tidak perlu mengeraskan bacaannya sendiri karena terkadang dapat mengganggu imam atau selainnya.

Kelima dan keenam; bertasyahud awal dan duduk karenanya, artinya, makmum wajib tidak melakukan tasyahud awal dan duduk karenanya ketika imam meninggalkan keduanya secara sengaja atau lupa demi mutabaah kepadanya sebab keduanya termasuk kesunahan yang menyebabkan mukholafah fakhisyah. Berbeda dengan qunut, artinya, di dalam qunut, imam dan makmum sama- sama melakukan iktidal sehingga ketika imam tidak berqunut maka makmum boleh berqunut sendiri sehingga makmum tidak disebut munfarid (menyendiri). Adapun dalam bertasyahud dan duduk karenanya, ketika imam tidak melakukan keduanya sedangkan makmum melakukan keduanya maka makmum disebut munfarid (menyendiri). Inilah yang menyebabkan mukholafah fakhisyah meskipun imam duduk istirahat karena duduk istirahat disini tidak dianjurkan.

Ketujuh; qunut, artinya, makmum tidak perlu melakukan qunut sendiri karena qunut gugur darinya ketika ia mendengar qunut imam- nya sebab perkara yang disunahkan baginya saat itu adalah membaca amin saat dalam bacaan doa dan diam atau ikut membaca dalam bacaan memuji atau mengucapkan أشهد atau صدقت وبررت. Pendapat muktamad menyebutkan bahwa bacaan صدقت وبررت tidak membatalkan sholat dan hukum khitob (arti “kamu”) di dalamnya dimaafkan karena memang dianjurkan sebab adanya hubungan bacaan tersebut dengan perkataan imam. Berbeda dengan bacaan صدقت وبررت yang dibaca makmum untuk menjawab muadzin, maka hukum khitob disitu tidak dimaafkan sebab tidak adanya anjuran dan tidak adanya hubungan antara bacaan makmum dan muadzin.

Termasuk makna doa di saat membaca qunut adalah bacaan sholawat atas Nabi shollallahu alaihi wa sallama meskipun bacaan sholawat tersebut menggunakan kalam khobar semisal صلى الله على سيدنا محمد karena maksud dari kalam khobar tersebut adalah kalam doa. Jadi, makmum membaca amin saat imam membaca sholawat tersebut. Begitu juga termasuk doa adalah bacaan dari awal qunut sampai lafadz قَضَيْتَ. Adapun bacaan antara lafadz قَضَيْتَ dan sholawat, yaitu dimulai dari lafadz فإنك تقضي ... إلخ maka semuanya tergolong kalam memuji sehingga makmum bisa ikut membacanya, atau diam, atau mengucapkan lafadz أشهد atau صدقت وبررت.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami