Safiantun Naja 54 - Syarat Syarat Shalat Jumat

Fasal ini membahas tentang Syarat Syarat Shalat Jumat dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

شروط الجمعة ستة: أن تكون كلها فى وقت الظهر وأن تقام فى خطة البلد وأن تصلى جماعة وأن يكونوا أربعين أحرار ذكورا بالغين مستوطنين وأن لا تسبقها ولاتقارنها جمعة في تلك البلد وأن يتقدمها خطبتان

Syarat syarat shalat jumat ada enam:

1. Shalat jumat dilakukan di waktu dzuhur

2. Sholat Jumat didirikan di tempat yang masih berada di dalam garis batas kota

3. Shalat jumat didirikan secara berjamaah

4. Jumlah peserta sholat Jumat adalah 40 peserta.

5. Tidak didahului dan berbarengan dengan sholat Jumat lain

6. Sholat Jumat didahului oleh dua khutbah.

Syarat-syarat Sah Sholat Jumat

Fasal ini menjelaskan tentang syarat-syarat sah melaksanakan sholat Jumat.

Syarat-syarat sholat Jumat ada 6 (enam), yaitu:

1. Sholat Jumat dilakukan di waktu Dzuhur.

Maksudnya, 2 rakaat sholat Jumat harus jatuh di waktu Dzuhur.

Ketika makmum masbuk telah mendapati satu rakaat bersama imam dan ia tahu kalau ia terus bersama imam sampai imam mengucapkan salam, ia tidak akan mendapati rakaat kedua di waktu Dzuhur, dan apabila ia mufaroqoh (berpisah) dari imam, ia bisa mendapati rakaat kedua, maka wajib atasnya berniat mufaroqoh agar seluruh 2 rakaat sholat Jumat-nya jatuh di waktu Dzuhur. Kemudian apabila makmum masbuk tersebut meyakini atau menyangka kalau waktu Dzuhur telah habis melalui berita yang disampaikan oleh orang lain yang ‘adil atau fasik yang diyakini/disangka kebenarannya sebelum ia mengucapkan salam, maka ia wajib meneruskan sholat Jumat-nya secara Dzuhur, bukan mengawali sholat Dzuhur, meskipun sholat Jumat-nya tersebut mengikuti sholat Jumat yang sah. Ketika ia meneruskan sholat Jumat-nya secara Dzuhur, ia memelankan bacaan dan tidak perlu berniat itmam, tetapi disunahkan berniat itmam.

Mengitmam sholat Jumat dengan diteruskan menjadi Dzuhur dalam masalah di atas merupakan suatu kewajiban karena sholat Jumat dan sholat Dzuhur sama-sama terjadi dalam waktu yang sama sehingga wajib meneruskan sholat yang lebih panjang (sholat Dzuhur) dari sholat yang lebih pendek (sholat Jumat), seperti sholatnya orang yang bukan musafir bersama sholatnya musafir. Tidak boleh melakukan sholat Dzuhur dari awal karena dapat menyebabkan mengeluarkan sebagian sholat dari waktunya, padahal masih ada kemampuan untuk menjatuhkan sebagian sholat tersebut di waktunya.

Maksud dari pernyataan 2 rakaat sholat Jumat harus jatuh di waktu Dzuhur adalah sekiranya waktu Dzuhur masih ada dan belum habis sampai 40 orang mengucapkan salam di waktu tersebut. Oleh karena itu, apabila imam telah mengucapkan salam di waktu Dzuhur, sedangkan para makmum mengucapkan salam di luar waktu Dzuhur, maka para makmum tersebut telah melewatkan sholat Jumat dan mereka wajib meneruskan sholat Jumat mereka menjadi Dzuhur, bukan mengawali sholat Dzuhur.

Apabila imam dan 39 makmum telah mengucapkan salam pertama di waktu Dzuhur, sedangkan para makmum lain mengucapkan salam pertama di luar waktu Dzuhur, maka sholat Jumat imam dan 39 makmum tersebut dihukumi sah dan sholat Jumat para makmum lain dihukumi tidak sah.

Apabila para makmum yang mengucapkan salam pertama di waktu Dzuhur kurang dari 40 orang, misalnya sholat Jumat hanya terdiri dari satu imam dan 39 makmum, kemudian imam mengucapkan salam pertama di waktu Dzuhur, sedangkan 39 makmum tersebut atau 10 makmum dari mereka mengucapkan salam pertama di luar waktu Dzuhur, maka sholat Jumat mereka semua, termasuk imam, dihukumi tidak sah.

Adapun perihal hanya sholat Jumat imam saja yang dihukumi sah adalah dalam masalah apabila para makmum terdiri dari para muhdis (yang menanggung hadas) sedangkan imam bukan seorang muhdis, dikarenakan sholatnya seorang muhdis dihukumi sah ketika ia adalah seorang faqid at-tuhuroini. Berbeda dengan sholat Jumat yang dilakukan di luar waktu Dzuhur, maka bisa saja menyebabkan sholat Jumat imam juga dihukumi tidak sah.

2. Sholat Jumat didirikan di tempat yang masih berada di dalam garis batas kota.

Syarah sah sholat Jumat yang kedua adalah bahwa sholat Jumat harus didirikan di tempat yang masih berada di dalam garis batas kota meskipun tempat tersebut adalah tempat lapang sekiranya sholat tidak boleh diqosor di tempat tersebut meskipun tidak terhubung dengan bangunan-bangunan kota.

Berbeda dengan tempat yang tidak berada di dalam garis batas kota, yaitu tempat yang menjadi awal/permulaan safar yang memperbolehkan qosor, maka sholat Jumat yang didirikan disana dihukumi tidak sah.

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa sholat Jumat harus didirikan di tempat yang berada di dalam garis batas kota, baik kota tersebut terdiri dari bangunan-bangunan kayu, bambu, atau lainnya, dan baik sholat Jumat di dirikan di masjid-masjid atau selainnya.

Berbeda dengan padang sahara/gurun, maka tidak sah mendirikan sholat Jumat disana secara mandiri atau mengikuti, baik mengikuti sholat Jumat-nya, khutbah-nya, dan orang yang mendengarnya. Termasuk bagian padang sahara/gurun adalah masjid yang terpisah dari kota sekiranya musafir sudah diperbolehkan mengqosor sholat sebelum melewati masjid tersebut, maka tidak sah mendirikan sholat Jumat di masjid tersebut karena mereka yang mendirikan sholat Jumat di masjid tersebut sudah disebut sebagai para musafir sedangkan sholat Jumat tidak sah bersama musafir.

Apabila shof-shof saling terhubung dan panjang hingga ada beberapa makmum yang keluar dari batas desa/kota maka sholat jumat mereka yang keluar dari batas tersebut dihukumi sah karena mengikuti sholat Jumat yang sah (yaitu sholat Jumat yang dilakukan oleh mereka yang berada di dalam garis batas desa/kota) jika memang mereka berada di tempat yang tidak diperbolehkan mengqosor sholat kecuali setelah melewati tempat tersebut. Jika mereka berada di tempat yang sudah diperbolehkan mengqosor sebelum melewati tempat tersebut maka sholat Jumat tidak sah bagi mereka meskipun mereka lebih dari 40 orang.

Apabila perkemahan terhubung dengan padang sahara/gurun dan ada masjid yang terhubung dengan padang sahara/gurun tersebut, maka apabila perkemahan dan masjid itu dianggap sebagai satu kota dan sholat tidak boleh diqosor sebelum melewati masjid tersebut maka sholat Jumat yang didirikan di masjid tersebut dihukumi sah. Jika tidak, artinya, sholat sudah boleh diqosor sebelum melewati masjid tersebut, maka sholat Jumat di masjid tersebut dihukumi tidak sah.

Apabila penduduk perkemahan menetapi suatu tempat di padang sahara/gurun maka sholat Jumat yang didirikan di perkemahan tersebut dihukumi tidak sah. Mereka wajib melaksanakan sholat Jumat jika mereka mendengar adzan Jumat dari tempat lain dimana sholat Jumat didirikan. Jika mereka tidak mendengarnya maka mereka tidak wajib melaksanakan sholat Jumat karena mereka menetapi keadaan seperti mustaufizin dan mereka tidak memiliki bangunan-bangunan seperti penduduk mustautin.

Mustaufizin adalah orang-orang yang bersiap-siap mengadakan safar (perjalanan).

[CABANG]

Syeh Muhammad ar-Rois berkata dalam fatwa-nya, “Apabila desa-desa saling berjauhan maka wajib atas setiap desa mendirikan sholat Jumat jika memang masing-masing telah memenuhi syarat-syarat Jumat. Batasan disebut saling berjauhan adalah sekiranya tempat serba guna tidak menjadi satu, seperti; tempat bermain, nadi (tempat pertemuan), tempat pembuangan abu, dan tempat saling pinjam meminjam. Apabila tempat-tempat serba guna ini tidak menjadi satu maka desa-desa itu disebut dengan desa-desa yang banyak. Dan apabila tempat-tempat serba guna ini menjadi satu maka desa-desa itu disebut dengan satu desa. Adapun misalnya desa A belum memenuhi syarat Jumat dan tempat serba guna tidak menjadi satu, maka desa A dihukumi seperti berada di batas luar kota sehingga jika penduduk desa A mendengar adzan dari desa B maka wajib atas mereka menghadiri sholat Jumat di desa B dan jika mereka tidak mendengarnya maka tidak wajib menghadirinya.”

Pernyataan mushonnif yang berbunyi خطة البلد dengan kasroh pada huruf خ berarti tanda-tanda bangunan kota. Sama seperti bangunan adalah السَرَب yaitu dengan fathah pada huruf س dan ر, berarti rumah di dalam tanah dan gua di gunung. Oleh karena itu, sholat Jumat diwajibkan atas penduduk yang tinggal di dua tempat tersebut sekalipun tidak ada bangunan-bangunannya.

Bangunan-bangunan disyaratkan harus menjadi satu menurut ‘urf dan antara bangunan tempat tinggal satu dengan bangunan tempat tinggal selainnya tidak melebihi jarak 300 dzirok yang mana bagian dalam dan luar bangunan tempat tinggal tersebut berada di tempat yang tidak diperbolehkan mengqosor sholat di tempat tersebut kecuali setelah melewatinya, seperti yang telah disebutkan dalam bab musafir. Demikian ini dikutip oleh Syarqowi dari Rohmani.

Ketahuilah sesungguhnya mendirikan sholat Jumat tidak harus atas izin dari imam (Menteri Agama) atau naib-nya sebagaimana menurut pendapat muktamad. Berbeda dengan Abu Hanifah yang mengharuskan ada izin darinya. Diriwayatkan dari Imam Syafii dan para ashab bahwa disunahkan meminta izin kepada imam atau naib-nya untuk mendirikan sholat Jumat karena kuatir terjadinya fitnah dan karena keluar dari perbedaan Abu Hanifah. Adapun mendirikan sholat Jumat lebih dari satu tempat maka harus berdasarkan izin dari imam atau naib-nya karena masalah ini melibatkan adanya ijtihad.

3. Sholat Jumat didirikan secara berjamaah.

Syarat sah melaksanakan sholat Jumat adalah mendirikannya secara berjamaah. Ziyadi mengatakan bahwa syarat jamaah disini hanya dalam rakaat pertama saja sekiranya para makmum tetap bermakmum kepada imam sampai sujud kedua. Oleh karena ini, apabila sholat Jumat terdiri dari imam dan 40 makmum, mereka telah mendapat satu rakaat, kemudian imam berhadas, lalu masing-masing dari 40 makmum tersebut menyelesaikan sholat Jumat sendiri-sendiri, atau imam tidak berhadas dan masing-masing dari 40 makmum tersebut berniat mufaroqoh di rakaat kedua dan menyelesaikan sholat Jumat sendiri-sendiri, maka sholat Jumat sudah mencukupi mereka. Akan tetapi, perlu diingat bahwa disyaratkan jumlah 40 ini tetap berlangsung sampai semuanya salam sehingga jika satu makmum saja berhadas sebelum salam maka sholat Jumat belum mencukupi 39 makmum sisanya, meskipun satu makmum tersebut adalah yang terakhir menyelesaikan sholat dan meskipun 39 makmum selainnya telah pulang ke masing-masing rumah tinggal mereka. Apabila satu makmum tersebut benar-benar berhadas sebelum salam, sementara 39 makmum lain telah pulang ke masing-masing rumah, maka mereka semua diwajibkan mengulangi sholat Jumat jika memang memungkinkan, jika tidak memungkinkan maka mereka semua wajib sholat Dzuhur. Oleh karena kasus ini, ada suatu perkataan, “Di kalangan kita (kalangan syafiiah) terdapat satu orang yang berhadas di masjid, kemudian sholat orang lain yang berada di rumah tinggalnya menjadi batal.”

4. Jumlah peserta sholat Jumat adalah 40 peserta.

Syarat sah melaksanakan sholat Jumat yang keempat adalah bahwa sholat Jumat didirikan oleh 40 peserta. Ziyadi menambahkan, meskipun dari golongan jin, seperti yang tertulis dalam kitab al-Jawahir.

Apabila peserta Jumatan hanya terdiri dari 40 orang saja sedangkan di antara mereka terdapat satu orang ‘ummi yang ceroboh dalam hal belajar maka sholat Jumat mereka dihukumi tidak sah karena batalnya sholat sehingga mereka semua wajib mengqodho. Apabila satu orang ‘ummi tersebut tidak ceroboh dalam hal belajar dan imam juga seorang yang qorik (bagus bacaannya) maka sholat Jumat mereka dihukumi sah, sebagaimana sholat Jumat juga dihukumi sah ketika semua 40 peserta tersebut adalah ‘ummi dalam satu tingkatan.

Al-Bajuri mengatakan, “Masing-masing dari 40 peserta sholat Jumat disyaratkan harus sah sholatnya bagi dirinya sendiri, seperti dalam Syarah Romli, meskipun ia tidak sah untuk menjadi imam sholat bagi suatu kaum.”

Muhammad Sholih ar-Rois berfatwa bahwa sholat Jumat dihukumi tidak sah sekiranya terdapat satu ‘ummi di antara 40 peserta Jumatan dan kewajiban sholat Jumat menjadi gugur dari 39 peserta Jumataan selainnya sehingga mereka semua hanya wajib sholat Dzuhur.

Ia juga berkata dalam Fatawi-nya bahwa ketika 40 peserta Jumatan telah masuk melaksanakan sholat Jumat disertai dzon/sangkaan tentang adanya sifat ‘ummi pada sebagian peserta maka sholat Jumat mereka dihukumi tidak sah. Mereka wajib mengulanginya kecuali jika mereka bertaklid kepada ulama yang memperbolehkan sholat Jumat didirikan dengan kurang dari 40 peserta. Adapun apabila mereka masuk melaksanakan sholat Jumat disertai adanya dzon/sangkaan telah terpenuhinya syarat maka tidak diperbolehkan atas mereka mengulangi sholat Jumat karena tidak ada faktor yang mewajibkan mengulangi.

Pengertian ‘ummi adalah orang yang tidak memenuhi kewajiban dalam bacaan sebab mengganti huruf satu dengan huruf selainnya atau memindah makna kalimat meskipun ia adalah seorang yang sangat alim.

Pengertian muqossir (orang yang ceroboh dalam hal belajar) adalah orang yang sedang belajar tetapi belum mengerahkan seluruh kemampuannya untuk belajar yang wajib dilakukan seputar bacaan.

Syaikhuna Yusuf as-Sunbulawini berkata;

Ketahuilah sesungguhnya madzhab imam kita, Syafii rodhiallahu ‘anhu, menyatakan bahwa sholat Jumat dihukumi tidak sah jika dilakukan oleh peserta Jumatan yang kurang dari 40 dan yang telah memenuhi syarat-syarat wajib sholat Jumat.

Penduduk desa-desa, yaitu orang-orang yang jumlah mereka tidak mencapai 40, jika mereka mendengar adzan dari tempat yang tinggi menurut biasanya, artinya, sekira mereka mengetahui bahwa adzan tersebut adalah adzan Jumat meskipun kalimat-kalimat adzan tidak jelas di saat suasana tenangnya bunyi dan angin disertai adanya seseorang yang memiliki kekuatan pendengaran sedang yang mendengar adzan tersebut dari pinggir kota atau desa lain dimana sholat Jumat didirikan di kota atau desa lain tersebut, maka wajib atas penduduk desa-desa yang kurang dari 40 itu menghadiri sholat Jumat dan mendirikannya bersama penduduk kota atau desa lain. Jika mereka tidak mendengar adzan maka tidak wajib atas mereka menghadiri dan melaksanakan sholat Jumat.

[CABANG]

Diperbolehkan bertaklid kepada ulama yang memperbolehkan mendirikan sholat Jumat dengan jumlah peserta yang kurang dari 40 orang, seperti Abu Hanifah karena ia memperbolehkan mendirikan sholat Jumat hanya dengan 4 peserta yang salah satu dari mereka berperan sebagai imam, dan seperti Imam Malik karena ia memperbolehkan mendirikan sholat Jumat dengan 30 peserta atau 20 peserta. Akan tetapi, diperbolehkannya bertaklid disini tidak hanya sekedar bertaklid kepada mereka saja, tetapi harus bertaklid dan disertai mengetahui syarat-syarat perkara yang ditaklidi menurut ulama yang ditaklidi. Disunahkan bagi peserta Jumat yang kurang dari 40 orang untuk melakukan sholat Dzuhur. Al-Kurdi mengatakan bahwa melakukan Dzuhur bagi mereka merupakan sikap yang paling berhati-hati karena keluar dari perbedaan pendapat ulama. Demikian ini adalah cabang yang juga dikatakan oleh Mufti Muhammad al-Habsyi.

Syarat 40 peserta Jumatan adalah mereka yang merdeka, laki-laki, baligh, dan mustautin (menetap) di tempat didirikannya sholat Jumat sekiranya mereka tidak mengadakan safar pada musim hujan dan kemarau kecuali ketika ada hajat, seperti berziarah dan berdagang.

Apabila seseorang menetap di dua kota, misalnya ia memiliki dua tempat tinggal di dua kota tersebut, maka yang menjadi acuan (ibroh) adalah kota dimana keluarga dan hartanya berada. Apabila keluarga berada di kota satu dan harta berada di kota selainnya maka acuannya adalah kota dimana keluarganya berada. Apabila keluarga dan harta tidak ada di masing-masing dua kota maka acuannya adalah kota yang paling sering dimukimi. Apabila dua kota tersebut sama-sama sering dimukimi maka sholat Jumat sah dengannya di masing-masing dari dua kota tersebut.

Ziyadi berkata dengan mengutip keterangan dari mushonnif;

Adapun shobi (bocah laki-laki) yang sudah tamyiz, budak, dan musafir, sholat Jumat dihukumi sah dari mereka, maksudnya jika mereka melaksanakan sholat Jumat maka sholat Jumat dari mereka itu dihukumi sah. Tetapi, sholat Jumat sebenarnya tidak wajib atas mereka dan sholat Jumat dihukumi tidak sah bersama mereka (jika mereka masuk dalam hitungan 40 peserta).

Orang yang mukim dan yang tidak mustautin (menetap), seperti orang yang berniat mukim selama 4 hari secara utuh, maka secara pasti sholat Jumat diwajibkan atasnya dan sholat Jumat dihukumi sah darinya, tetapi sholat Jumat tidak sah bersamanya (jika memang ia termasuk dalam hitungan 40 peserta). Sama seperti orang mukim yang tidak mustautin adalah musafir yang mengadakan safar karena maksiat sebab ia tidak tergolongan ahli rukhsoh. Sama seperti orang mukim yang tidak mustautin juga adalah orang yang mendengar adzan Jumat sedangkan ia tidak berada di tempat dimana sholat Jumat didirikan.

Adapun orang murtad, sholat Jumat diwajibkan atasnya, tetapi sholat Jumat dihukumi tidak sah bersamanya (jika ia termasuk dalam hitungan 40 peserta) dan sholat Jumat dihukumi tidak sah darinya (jika ia melaksanakannya).

Adapun kafir asli, majnun (orang gila), dan mughma ‘alaih (orang ayan), sholat Jumat tidak diwajibkan atas mereka, sholat Jumat dihukumi tidak sah bersama mereka, dan sholat Jumat dihukumi tidak sah dari mereka. Barang siapa yang telah memenuhi syarat, artinya, ia adalah seorang laki-laki muslim, berakal, baligh, dan mustautin, maka sholat Jumat diwajibkan atasnya, sholat Jumat dihukumi sah bersamanya, dan sholat Jumat dihukumi sah darinya.

Masih ada satu jenis orang lagi, yaitu orang yang mendapati udzur dari udzur-udzur sholat Jumat yang selain udzur safar (bepergian), maka sholat Jumat tidak diwajibkan atasnya, tetapi sholat Jumat dihukumi sah bersamanya dan sholat Jumat dihukumi sah darinya.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui bahwa orang-orang di dalam sholat Jumat dibagi menjadi 6 (enam) jenis.

Syarqowi berkata dengan mengutip dari Qulyubi, “Pernyataan dibagi menjadi 6 (enam) jenis tersebut, maksudnya, sifat-sifat terhadap sholat Jumat ada 3 (tiga), yaitu luzum (wajib), sah, dan menjadi sah. Tiga sifat ini semua ditemukan dalam diri seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat (yaitu Islam, laki-laki, baligh, berakal, dan mustautin). Dan semua tiga sifat tersebut tidak ditemukan pada diri seseorang yang semisal majnun. Sifat luzum dan sah ditemukan pada diri seseorang yang mukim yang mustautin. Sifat sah dan menjadi sah ditemukan pada diri seseorang yang diudzurkan. Sifat luzum hanya ditemukan pada diri seseorang yang murtad. Dan sifat sah hanya ditemukan pada diri seseorang yang semisal musafir.”

5. Tidak didahului dan berbarengan dengan sholat Jumat lain

Maksudnya, syarat sah mendirikan sholat Jumat yang kelima adalah sekiranya sholat Jumat A yang didirikan tidak didahului oleh dan tidak berbarengan di akhir takbiratul ihram imam, yakni huruf ر dari lafadz الله أكبر dengan sholat Jumat lain yang juga didirikan di kota/desa dimana sholat Jumat A didirikan, kecuali jika memang orang-orang sulit berkumpul di satu tempat meskipun bukan masjid, seperti jalan umum, karena saking banyaknya mereka, atau sedang terjadinya peperangan di antara mereka, atau jauhnya pinggiran kota/desa dari tempat sholat Jumat sekiranya orang yang berada di pinggiran kota/desa tidak dapat mendengar suara adzan sesuai dengan syarat-syaratnya. Syarqowi berkata, “Diperbolehkannya mendirikan sholat Jumat lebih dari satu yang disebabkan orang-orang yang berada di pinggiran kota/desa tidak mendengar adzan Jumat sebab jauh dari tempat Jumat adalah dengan mengacu (ibroh) pada keadaan yang mana orang-orang pinggiran tersebut adalah orang-orang yang biasa melakukan sholat Jumat di tempat Jumat tersebut, sebagaimana yang dinyatakan oleh pendapat muktamad, meskipun mereka belum hadir secara nyata dan meskipun sebenarnya sholat Jumat tidak diwajibkan atas mereka, seperti perempuan dan budak, dan meskipun sholat Jumat tidak sah dari mereka, seperti majnun.” Ziyadi berkata, “Pendapat muktamad menyebutkan bahwa ibroh-nya adalah pada orang-orang pinggiran yang akan menghadiri sholat Jumat meskipun sholat Jumat tidak diwajibkan atas mereka.”

Ketahuilah sesungguhnya ketika Jumatan berbilang (lebih dari satu Jumatan) karena adanya hajat semisal sulitnya orang-orang berkumpul dalam satu tempat maka diperbolehkan, tetapi harus sesuai hajat. Menurut pendapat ashoh, semua sholat Jumat yang didirikan oleh para peserta Jumatan dihukumi sah, baik takbiratul ihram dari para imam terjadi secara bersamaan atau secara urut. Akan tetapi, mereka semua juga disunahkan melaksanakan sholat Dzuhur demi menjaga perbedaan/khilaf pendapat di kalangan ulama.

Contoh: Kota bandung terdiri dari 1.000.000 warga yang wajib melaksanakan sholat Jumat. Tidak ada satu tempat tertentu yang dapat menampung mereka semua untuk melaksanakan Jumatan. Oleh karena ini, mereka diperbolehkan mendirikan sholat Jumat lebih dari satu, artinya, desa A boleh mendirikan sholat Jumat sendiri, desa B boleh mendirikannya sendiri, dan seterusnya sesuai dengan hajat. Sebagaimana menurut pendapat asoh, apabila takbiratul ihram imam Jumatan desa A berbarengan dengan takbiratul ihram imam Jumatan desa B atau tidak berbarengan tetapi berurutan, maka sholat Jumat mereka semua tetap dihukumi sah. Namun, mereka semua juga disunahkan mendirikan sholat Dzuhur.

Adapun apabila Jumatan didirikan lebih dari satu tetapi tidak ada hajat sebagaimana yang telah disebutkan, maka terdapat 5 (lima) keadaan, yaitu:

  1. Takbiratul ihram imam sholat Jumat A dan takbiratul ihram imam sholat Jumat B terjadi secara bersamaan. Jika demikian ini keadaannya, masing-masing sholat Jumat A dan sholat Jumat B dihukumi batal. Para peserta Jumatan dari masing-masing Jumatan A dan Jumatan B diwajibkan berkumpul semua di satu tempat. Mereka semua wajib mengulangi mendirikan sholat Jumat lagi di satu tempat tersebut jika memang waktunya masih muat dan tidak sah mendirikan sholat Dzuhur setelahnya.
  2. Takbiratul ihram imam sholat Jumat A dan takbiratul ihram imam sholat Jumat B terjadi secara berurutan. Dalam keadaan demikian ini, apabila sholat Jumat A lebih dahulu didirikan daripada sholat Jumat B maka sholat Jumat A dihukumi sah sedangkan sholat Jumat B dihukumi batal. Dan para peserta sholat Jumat B diwajibkan mendirikan sholat Dzuhur.
  3. Diragukan tentang manakah sholat Jumat yang lebih dahulu didirikan, apakah sholat Jumat A yang lebih dahulu ataukah sholat Jumat B, atau diragukan tentang apakah sholat Jumat A dan sholat Jumat B dirikan secara berbarengan atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, diwajibkan atas seluruh peserta sholat Jumat A dan sholat Jumat B untuk berkumpul bersama dalam satu tempat tertentu dan mengulangi mendirikan sholat Jumat jika memang waktunya masih muat, dan disunahkan mendirikan sholat Dzuhur setelahnya.
  4. Diketahui adanya sholat Jumat yang lebih dahulu didirikan, tetapi tidak diketahui sholat Jumat manakah yang lebih dahulu itu, apakah yang lebih dahulu itu adalah sholat Jumat A ataukah sholat Jumat B, misalnya; ada dua orang sakit atau dua musafir mendengar dua takbiratul ihram sholat Jumat yang berurutan (sebut A dan B), kemudian mereka memberi tahu kepada para peserta sholat Jumat tentang adanya dua takbiratul ihram yang saling berurutan tetapi tidak diketahui manakah sholat Jumat yang lebih dahulu itu, apakah A atau B. Dalam keadaan demikian ini, diwajibkan atas mereka semua mendirikan sholat Dzuhur karena tidak ada alasan untuk mengulangi sholat Jumat dan disertai adanya keyakinan tentang telah terjadinya sholat Jumat yang sah tetapi tidak diketahui yang manakah itu. Mengecualikan dengan berita dari dua orang sakit atau dua musafir adalah seseorang selain mereka, maka kesaksiannya tidak sah sebab kefasikannya karena meninggalkan sholat Jumat.
  5. Diketahui adanya sholat Jumat yang lebih dahulu didirikan dan juga diketahui sholat Jumat mana yang lebih dahulu itu, tetapi kemudian lupa manakah yang tadi lebih dahulu, apakah A atau B. Dalam keadaan seperti ini, hukumnya adalah seperti keadaan nomer 4, yaitu wajib mendirikan sholat Dzuhur saja karena adanya keserupaan sholat Jumat yang sah dengan sholat Jumat yang tidak sah.

6. Sholat Jumat didahului oleh dua khutbah.

Maksudnya, syarat sah melaksanakan sholat Jumat yang keenam adalah melaksanakan dua khutbah terlebih dahulu sebelum melaksanakan dua rakaat sholat Jumat karena ittibak (mengikuti teladan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama). Berbeda dengan sholat Id, karena dua khutbahnya dilakukan setelahnya karena ittibak.

Selain itu, mengapa dua khutbah Jumat didahulukan daripada sholatnya adalah karena khutbah Jumat merupakan syarat sahnya sholat Jumat, sedangkan kedudukan syarat adalah lebih dahulu daripada yang disyarati.

Disunahkan dua khutbah dilakukan oleh khotib dengan di atas mimbar. Jika tidak ada mimbar, khotib berada di tempat yang lebih tinggi.

Berikut ini beberapa perkara yang disunahkan bagi khotib;

  1. Mengucapkan salam kepada peserta Jumatan yang ada di samping mimbar atau tempat tinggi.
  2. Naik mimbar dengan berjalan pelan dan tenang, seperti keterangan yang dikutip oleh Ziyadi dari Juwaini.
  3. Menghadap ke arah peserta sholat Jumat ketika naik mimbar atau tempat tinggi hingga sampai pada tangga yang disebut dengan mustaroh (tangga paling atas).
  4. Mengucapkan salam kepada para peserta Jumatan.
  5. Duduk.

Setelah ini, muadzin mengumandangkan adzan. Semua ini dilakukan berdasarkan ittibak.

Ibnu Hajar berkata dalam kitab Tuhfah Muhtaj, “Adzan yang dilakukan di atas menara sebelum khotib berkhutbah diprakarsai oleh Usman rodhiallahu ‘anhu, menurut qiil Muawiah, karena banyaknya peserta Jumatan. Oleh karena ini, mengumandangkan adzan satu kali saja adalah yang lebih utama karena ittibak, kecuali apabila ada hajat, seperti; kehadiran peserta Jumatan tergantung pada adzan di atas menara.”

[TANBIH]

Penjelasan ulama tentang pernyataan ini nanti dan selainnya merupakan pernyataan shorih jelas, yaitu bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh muroqi dengan membaca ayat masyhur dan hadis masyhur merupakan bid’ah karena kebiasaan ini terjadi setelah masa Rasulullah dan sahabat. Menurut qiil, kebiasaan muroqi tersebut adalah bid’ah hasanah karena ayat masyhur tersebut mendorong seseorang melakukan perbuatan sunah, yaitu memperbanyak bersholawat dan salam kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, apalagi tepat di hari Jumat, dan karena hadis masyhur tersebut mendorong seseorang melakukan perbuatan yang sangat disunahkan sekali, yaitu diam saat khotib berkhutbah yang mana apabila tidak diam dapat menghilangkan fadhilah Jamaah, bahkan dapat menyebabkan dosa sebagaimana menurut kebanyakan ulama.”

Disunahkan khotib memegang semisal pedang (atau tongkat) dengan tangan kiri dan memegang sisi mimbar dengan tangan kanan karena ittibak atau mengikuti perbuatan ulama salaf dan kholaf.

Apabila khotib tidak mendapati sesuatu untuk dipegang, ia menaruh tangan kanan di atas tangan kiri (Jawa: sedakep) atau melepaskan kedua tangan. Tujuannya adalah agar khotib dapat khusyuk dan tidak memain-mainkan kedua tangannya.

Setelah khotib selesai dari khutbah, muadzin mengumandangkan iqomat. Sambil iqomat dikumandangkan, khotib segera turun dari mimbar untuk menuju mihrab (tempat sholat).

Dimakruhkan bagi khotib beberapa perkara berikut:

  1. Menolehkan wajah pada saat khutbah kedua atau berisyarat dengan tangan atau selainnya.
  2. Mengetukkan pedang/tongkat atau kakinya pada tangga-tangga mimbar saat naik mimbar.
  3. Berdoa ketika telah sampai di tangga mustaroh dan sebelum duduk di atasnya.
  4. Sedikit-sedikit berdiri sebentar sambil berdoa saat berdiri tersebut.
  5. Mempercepat bacaan khutbah kedua. 
  6. Memelankan suara pada saat khutbah.

Demikian ini disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Minhaj Qowim.

[KHOTIMAH]

Sayyid Muhammad Sholih berfatwa bahwa dimakruhkan bagi selain imam untuk berkhutbah di kegiatan Jumatan.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami