Safinatun Naja 47 - Perkara Perkara Yang Membatalkan Shalat

Fasal ini membahas tentang perkara perkara yang membatalkan shalat dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Perkara-perkara yang Membatalkan Sholat

Fasal ini menjelaskan tentang perkara-perkara yang merusak atau membatalkan sholat.

Perkara-perkara yang membatalkan sholat ada 17 (tujuh belas) macam, bahkan lebih.

Kata khislah الخصلة adalah dengan kasroh pada huruf خ yang berarti اﻟﻨَـْﻮع (macam).

Perbedaan antara perkara yang merusak dan perkara yang membatalkan adalah bahwa perkara yang merusak yaitu sesuatu yang terjadi setelah (misal; sholat itu) sah. Ini adalah yang dimaksud disini. Sedangkan perkara yang membatalkan adalah sesuatu yang mencegah keabsahan (misal; sholat). Demikian ini dikatakan oleh Syarqowi.

1. Hadas

Perkara yang merusak keabsahan sholat yang pertama adalah mengalami hadas meskipun tidak sengaja atau dipaksa, misal; musholli menekan-nekan perutnya, kemudian keluar kentut atau tahi.

Batalnya sholat sebab hadas tidak mempertimbangkan keadaan musholli, artinya, baik musholli adalah orang bersuci wudhu atau tayamum sebelum sholat atau faqid tuhuroini (orang yang tidak mendapati dua alat bersuci, yaitu air dan debu) karena adanya hadis shohih, “Ketika salah satu dari kalian kentut di dalam sholat maka wajib ia meninggalkan sholat, berwudhu, dan mengulangi sholat.” Isi hadis ini berlaku bagi musholli yang salim, maksudnya yang tidak beser. Adapun musholli yang beser kencing, misalnya, maka sholatnya bisa batal jika yang keluar adalah kentut atau tahi, jika yang keluar kencing maka tidak batal sholatnya. Begitu juga, musholli yang beser kentut, misalnya, maka sholatnya bisa batal jika yang keluar adalah air kencing atau tahi, jika yang keluar kentut maka tidak batal sholatnya.

Ketika musholli mengalami hadas di tengah-tengah sholat, ia disunahkan memegang hidung, kemudian ia meninggalkan tempat sholat agar ia dikira mimisan sehingga orang-orang tidak menganggap yang aneh-aneh tentangnya yang dapat menyebabkan mereka berdosa. Begitu juga, ia disunahkan memegang hidung dengan tujuan tersebut ketika ia mengalami hadas dan ia sedang menunggu didirikannya sholat, apalagi, ketika sholat hampir mau didirikan atau nyata sudah akan didirikan (semisal; imam sudah datang).

2. Kejatuhan Najis

Perkara yang merusak sholat yang kedua adalah kejatuhan najis yang tidak dimafu, baik jatuh di pakaian, meskipun pakaian tersebut tidak ikut bergerak sebab gerakan musholli, misal; ujung serbannya yang panjang, atau di badan, atau di dalam hidung, mulut, mata, atau telinga.

Adapun bagian dalam tubuh disamakan seperti bagian luarnya dalam hal rusaknya sholat sebab kejatuhan najis adalah karena beratnya masalah najis itu sendiri, berbeda dengan mandi jinabat atau lainnya, (karena dalam hal mandi jinabat, seseorang hanya wajib meratakan air ke seluruh tubuh bagian luar, bukan bagian dalam).

Kejatuhan najis dapat merusak sholat jika memang najis tersebut tidak segera dihilangkan atau disingkirkan sebelum terlewatnya masa minimal tumakninah dengan syarat tanpa ada kegiatan membawa, misal; musholli meletakkan jari-jari tangannya di atas batu yang dibawahnya terdapat najis, kemudian ia menyingkirkan batu tersebut dengan jari-jarinya tanpa ada kegiatan membawa batu tersebut atau musholli meletakkan jari-jari tangannya di atas bagian suci dari sandalnya, kemudian ia menyingkirkan bagian suci sandal tersebut tanpa ada kegiatan membawa bagian suci sandal tersebut. Maka demikian ini tidak berbahaya, artinya, tidak merusak sholat.

Apabila dalam menghilangkan najis mengharuskan ada kegiatan membawa, misal; menyingkirkan najis mengharuskan dengan kayu, atau menarik pakaian meskipun yang digenggam yaitu pada bagian suci dari pakaian tersebut, maka berbahaya, artinya, dapat merusak sholat.

Apabila musholli kejatuhan najis kering maka ia boleh menyingkirkan atau mengipatkan najis tersebut meskipun akan jatuh di dalam masjid jika memang waktu sholat masih tersedia banyak, kemudian ia wajib dengan segera menghilangkan najis tersebut dari masjid setelah selesai sholat.

Apabila musholli kejatuhan najis basah maka jika ia menyingkirkan atau mengipatkan najis basah tersebut akan mengakibatkan masjid terkena najis maka dirinci, artinya;

  1. Apabila waktu sholat masih banyak maka musholli menjaga kesucian masjid dan tidak menjatuhkan najis basah di sana, tetapi ia memutus sholatnya dan membuang najis di luar masjid, kemudian ia mengawali sholatnya kembali.
  2. Apabila waktu sholat sudah terbatas atau hampir habis maka ia meneruskan dan menyelesaikan sholatnya, artinya, ia membuang najis basah di dalam masjid, setelah ia selesai dari sholat, ia wajib dengan segera menghilangkan najis basah tersebut dari masjid. Rincian kedua ini berlaku baginya jika memang ia mendapati air yang dapat ia gunakan untuk mensucikan masjid dari najis basah, jika tidak mendapati air maka ia memutus sholatnya dan membuang najis basah itu di luar masjid, seperti yang difaedahkan oleh Syaikhuna Muhammad Hasbullah.

Mengecualikan dengan masjid, yaitu tempat-tempat selainnya, seperti; pondok, madrasah, tempat milik orang lain, manusia yang dimuliakan (muhtarom), kuburan manusia yang dimuliakan, atau tempat milik sendiri, artinya, apabila musholli sholat di pondok misalnya, kemudian ia kejatuhan najis, maka ia harus mempertahankan keabsahan sholatnya secara mutlak, artinya, ia wajib menyingkirkan najis basah tersebut sekalipun najis yang disingkirkan akan menyebabkan bagian pondok yang dikenainya akan mengalami rusak.

Adapun apabila musholli kejatuhan najis, lalu jika ia menyingkirkannya dan najis tersebut akan mengenai mushaf atau benda lain di dalam Kabah, maka ia harus mempertahankan kesucian mushaf atau benda lain di dalam Kabah tersebut meskipun waktu sholat sudah mepet atau hampir habis dan meskipun najis tersebut adalah kering karena pentingnya dan besarnya memuliakan keduanya.

Apabila musholli sedang sholat sambil melakukan misal bekam, kemudian ia mengeluarkan darah, maka jika darah tersebut tidak mengotori kulit atau jika darah tersebut mengotori kulit tetapi sedikit, maka sholatnya tidak rusak.

3. Terbukanya Aurat

Perkara yang merusak sholat yang ketiga adalah terbukanya seluruh atau sebagian aurat, yaitu bagian tubuh yang wajib ditutupi karena sholat jika memang musholli tidak segera menutupi seketika itu juga, meskipun ia sholat di tempat sepi. Oleh karena itu, apabila aurat terbuka sebab terkena hembusan angin, kemudian musholli segera menutupnya seketika itu maka sholatnya tidak batal. Maksud waktu seketika itu adalah sekiranya aurat segera ditutup sebelum terlewatnya waktu minimal tumakninah.

Apabila aurat terbuka secara berulang kali sebab terkena hembusan angin dan terbukanya tersebut terjadi secara berturut-turut

sekiranya untuk menutupinya mengharuskan bergerak banyak secara berturut-turut, maka sholatnya menjadi batal karena demikian ini dihukumi sebagai kejadian langka sebagaimana kejadian ketika musholli menahan orang lain yang lewat di depannya dengan melakukan gerakan yang banyak secara berturut-turut. Mengecualikan dengan hembusan angin adalah selainnya meskipun binatang semisal monyet atau manusia, baik sudah tamyiz atau belum, baik diizinkan atau tidak, maka ketika aurat musholli terbuka oleh selainnya tersebut secara berulang kali dan berturut-turut maka sholatnya tidak batal sekalipun selainnya tersebut segera menutup aurat musholli seketika itu juga.

Begitu juga, apabila musholli membuka auratnya sendiri karena lupa, maka sholatnya menjadi batal jika memang ia tidak segera menutupnya kembali seketika itu, tetapi jika ia menutupnya kembali seketika itu maka sholatnya tidak batal.

Apabila amat (budak perempuan) sholat dengan kepalanya yang terbuka, kemudian ia berstatus merdeka di tengah-tengah sholat, maka apabila ia tidak segera menutup kepalanya dengan tanpa melakukan gerakan yang banyak maka sholatnya menjadi batal, tetapi apabila ia segera menutup kepalanya maka sholatnya tidak batal. Oleh karena kasus ini, dikatakan, “Di kalangan syafiiah terdapat orang yang sholatnya menjadi batal sebab pernyataan orang lain. Demikian ini terdapat dalam masalah apabila orang tersebut adalah ummu walad dan tuan-nya mati di negara lain, sedangkan ia tidak mengetahui kematian tuan-nya itu kecuali setelah kemudian- kemudian hari, padahal selama waktu itu ia sholat, misal, dengan kepalanya yang terbuka.”

4. Berucap Omongan Lain

Perkara yang merusak sholat yang keempat adalah mengucapkan dua huruf yang berturut-turut meskipun dua huruf tersebut tidak memahamkan, seperti; من, عن atau dua huruf tersebut termasuk bagian dari ayat yang telah dimansukh tilawah- nya, atau dua huruf tersebut termasuk bagian dari mutaalliq- mutaalliq yang terbuang dari al-Quran meskipun musholli

memaksudkan bahwa mutaalliq-mutaalliq tersebut sebagai mutaalliq secara lafadznya, atau dua huruf tersebut diucapkan karena maslahat sholat, seperti; makmum berkata kepada imamnya قم (berdirilah), atau dua huruf tersebut keluar dari mulut saat berdehem, tertawa, dan menangis meskipun sebab takut akhirat, atau dua huruf tersebut keluar dari mulut sebab merintih kesakitan atau sebab meniup dengan hidung atau mulut atau sebab batuk dan bersin. Jadi, rusaknya sholat dalam ketetapan ghoyah ini disebabkan oleh faktor berbicaranya.

Apabila musholli terpaksa harus tertawa dengan tertawa sedikit atau tidak parah maka sholatnya tidak batal, tetapi apabila ia terpaksa harus tertawa dengan tertawa banyak atau parah maka sholatnya batal. Berbeda dengan tersenyum, maka sholat tidak batal sebab tersenyum.

Pada saat sholat, diperbolehkan bagi shoim (orang yang puasa) berdehem-dehem dengan tujuan mengeluarkan lendir yang dapat membatalkan puasa. Bagi musholli yang muftir (tidak berpuasa) diperbolehkan berdehem-dehem untuk mengeluarkan lendir yang dapat membatalkan sholatnya dengan catatan ketika memang lendir tersebut tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan cara berdehem-dehem.

Apabila imam berdehem-dehem dan jelas keluar dua huruf dari mulutnya maka makmum tidak wajib mufaroqoh (berpisah tidak mengikuti) imam karena menurut dzohir-nya, imam tersebut berusaha menjaga dirinya dari perkara yang merusak sholat, kecuali jika ada qorinah (indikator) yang menunjukkan bahwa imam tersebut berdehem-dehem tanpa adanya udzur maka makmum wajib mufaroqoh darinya.

Apabila musholli secara terus menerus mengalami semisal batuk sekiranya di setiap sholat ia pasti mengalami batuk yang dapat membatalkan sholatnya, maka pendapat yang dzohir menyebutkan bahwa batuknya tersebut dihukumi mafu dan ia tidak berkewajiban mengqodho sholatnya jika telah sembuh dari batuk.

Atau perkara yang dapat merusak sholat adalah berbicara satu huruf yang memahamkan, seperti; قِ  atau عِ atau فِ atau شِ. Semua contoh ini merupakan satu huruf yang memahamkan.

Lafadz قِ adalah fiil amar dari masdar الوقاية dengan kasroh atau fathah pada huruf و, dikatakan قِ نَفْسَكَ مِنَ الْهَلاكِ, artinya, Jagalah dirimu dari kematian dan menjauhlah darinya.

Lafadz عِ berasal dari masdar الوَعْيِ. Dikatakan عِ الْحَدِيْسَ yang berarti hafalkan pernyatan itu dan angan-anganlah tentangnya.

Lafadz فِ berasal dari masdar اﻟَﻮﻓَﺎء. Dikatakan, فِ الوَعْدَ yang berarti penuhilah janji.

Lafadz شِ berasal dari masdar الوَشْيِ seperti lafadz الوَعْدِ. Dikatakan شِ كِتَابَ الفِقْهِ, maksudnya, tulislah Fiqih. Atau dikatakan شِ فِى كَلَامِكَ, maksudnya, berbohonglah dalam perkataanmu. Atau شِ هذَا الْاَمْرِ عِنْدَ السُّلْطَانِ maksudnya, laporkan perkara ini kepada pemerintah.

Sama dalam segi merusak sholat sebab berbicara satu huruf yang memahamkan adalah berbicara satu huruf yang mengandung mad meskipun tidak memahamkan karena mad adalah huruf alif, wawu, dan yaa sehingga pada hakikatnya huruf yang mengandung mad terdiri dari dua huruf.

Kemudian Mushonnif membatasi berbicara yang dapat merusak sholat dengan perkataannya;

Sholat bisa menjadi batal atau rusak sebab berbicara dua huruf meski tidak memahamkan atau satu huruf yang memahamkan dengan catatan apabila musholli dengan sengaja berbicara demikian itu meskipun ia mukroh atau dipaksa berbicara disertai kenyataan bahwa ia tahu tentang keharamannya dan ia ingat kalau dirinya sebenarnya sedang berada dalam melakukan sholat.

Adapun apabila ia tidak sengaja berbicara, misal; ia berbicara karena terpeleset lisan, atau tidak disertai tahu tentang keharamannya, atau disertai lupa kalau dirinya sedang dalam melakukan sholat, maka jika perkataan yang keluar itu sedikit menurut urf, yaitu terbatasi hanya sebanyak 6 (enam) kata (Bahasa Arab; kalimah) dan lebih sedikit menurut urf, maka tidak merusak sholat.

Dalam contoh di atas, maksudnya, apabila musholli berbicara sebab ia tidak tahu tentang keharamannya dan ketidak tahuannya tersebut karena ia termasuk baru dalam masuk Islam, maksudnya, ia baru tahu tentang Islam, atau ia hidup jauh dari ulama, maka ia dihukumi sebagai musholli bodoh yang diudzurkan (makdzur). Berbeda apabila ia tidak tahu tentang keharaman berbicara dalam sholat dan ketidak tahuannya tersebut karena kecerobohannya sekiranya ia meninggalkan belajar maka ia dihukumi sebagai musholli bodoh yang tidak dimakdzurkan.

Adapun apabila ia tidak sengaja berbicara, misal; ia berbicara karena terpeleset lisan, atau tidak disertai tahu tentang keharamannya, atau disertai lupa kalau dirinya sedang dalam melakukan sholat, tetapi perkataan yang keluar itu banyak menurut urf, yaitu lebih dari 6 (enam) kata (Bahasa Arab; kalimah), maka

sholatnya menjadi rusak karena perkataan banyak itu dapat memutus rangkaian sholat dan karena terpeleset lisan dan lupa berbicara banyak dalam sholat merupakan kejadian yang langka.

Yang dimaksud dengan ulama dalam hal musholli yang hidup jauh dari mereka adalah ulama yang mengetahui tentang hukum-hukum yang tidak diketahui musholli tersebut, yaitu hukum- hukum tentang keharaman berbicara. Yang dimaksud dengan jauh dari ulama adalah sekiranya apabila musholli berangkat untuk belajar dari mereka maka ia akan mendapati kesulitan berat, seperti; takut, tidak ada bekal, menelantarkan orang-orang yang wajib ia biayai, dan lain-lain, meskipun jarak antara ia dan ulama kurang dari masafah qosr (±81 km.) Jika tidak akan mendapati kesulitan berat, maka wajib atasnya berangkat belajar masalah-masalah dzohir, bukan masalah-masalah yang terlalu rumit.

Termasuk udzur adalah menjawab panggilan Nabi kita, Rasulullah Muhammad, dengan lisan. Oleh karena itu, apabila Rasulullah memanggil musholli yang sedang sholat, kemudian

musholli menjawab panggilan beliau dengan lisan, maka sholatnya tidak batal. Begitu juga, apabila Rasulullah memanggil musholli yang sedang sholat, kemudian musholli menjawab panggilan beliau dengan melakukan gerakan-gerakan parah maka sholatnya tidak batal meskipun harus membelakangi Kiblat. Dan ketika Rasulullah telah selesai mengutarakan maksud panggilan beliau, musholli langsung meneruskan dan menyelesaikan sholatnya di tempat dimana ia menemui Rasulullah, ia tidak diperbolehkan kembali ke tempat semula dimana ia sholat sebelum dipanggil oleh beliau, sekiranya apabila ia kembali ke tempat semula maka ia akan melakukan gerakan-gerakan berturut-turut yang dapat membatalkan sholat jika memang selama Rasulullah tidak menyuruhnya untuk kembali ke tempat semula. Musholli wajib menjawab panggilan Rasulullah sekadarnya saja, jika berlebihan maka sholatnya batal.

Menjawab panggilan para nabi selain Rasulullah Muhammad, seperti Nabi Isa alaihi as-salam, hukumnya adalah wajib, tetapi sholat menjadi batal karenanya. Begitu juga, menjawab panggilan para malaikat adalah wajib, seperti para nabi, dan sholat menjadi batal karenanya.

Ketika kedua orang tua memanggil musholli yang sedang sholat fardhu, maka musholli diharamkan menjawab panggilan mereka. Sedangkan ketika mereka memanggilnya dan ia sedang melakukan sholat sunah maka ia diperbolehkan menjawab panggilan mereka, bahkan menjawab panggilan mereka itu lebih utama daripada meneruskan sholat sunah jika memang mereka akan merasa tersakiti atau marah jika panggilan mereka tidak dijawab dan dipenuhi. Ketika musholli menjawab panggilan kedua orang tuanya, baik ia sedang sholat fardhu atau sunah, maka sholatnya menjadi batal.

Mengecualikan dengan menjawab panggilan dengan lisan (berbicara) yang dapat membatalkan sholat adalah dzikir dan doa, maka sholat tidak menjadi batal karena keduanya, kecuali apabila musholli mengkhitobi selain Allah dan Rasul-Nya, maka sholatnya bisa batal, seperti; musholli menjawab orang lain yang bersin atau mendoakan mayit dengan berkata, يَرْحَمُكَ اللهُ (Semoga Allah merahmatimu), berbeda apabila ia berkata يَرْحَمُهُ اللهُ (Semoga Allah merahmatinya) maka sholat tidak batal sebab tidak ada khitob.

Adapun apabila musholli mengkhitobi Allah dan Rasul-Nya, semisal ia berkata, اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ (Assalamualaika Wahai Rasulullah), maka sholatnya tidak batal tetapi dengan syarat perkataannya tersebut mengandung arti memuji Rasulullah, seperti yang telah disebut. Berbeda apabila musholli berkata َﺖ َﺪﻗْ َﺻ (anda benar) maka sholat menjadi batal karena perkataan tersebut tidak mengandung pujian. Selain itu, disyaratkan juga tidak adanya taliq dalam perkataan musholli, jika ada taliq maka sholatnya menjadi batal.

Disunahkan bagi musholli yang bersin di tengah-tengah sholat untuk mengucapkan pujian kepada Allah atau alhamdulillah dan memperdengarkan dirinya sendiri.

Sholat tidak menjadi batal sebab diam yang lama meskipun tanpa disertai adanya udzur.

Ketika terjadi sesuatu di dalam sholat, baik sesuatu tersebut disunahkan semisal mengingatkan imam pada saat lupa, atau dimubahkan semisal memberi izin kepada orang lain yang meminta izin, atau diwajibkan semisal memperingatkan orang buta agar berhati-hati atau memperingatkan orang lain yang tengah lalai agar tidak tertimpa bahaya, maka bagi musholli laki-laki disunahkan membaca tasbih dan bagi selainnya (perempuan, khuntsa) disunahkan bertepuk tangan dengan rincian;

  1. Menepukkan bagian dalam telapak tangan satu ke bagian luar telapak tangan yang satunya,
  2. Menepukkan bagian luar telapak tangan satu ke bagian luar telapak tangan yang satunya
  3. Menepukkan bagian luar telapak tangan satu ke bagian dalam telapak tangan yang satunya
  4. Bukan dengan menepukkan bagian dalam telapak tangan satu ke bagian dalam telapak tangan yang satunya.

Dalam membaca tasbih, musholli laki-laki harus memaksudkan bacaan tasbihnya sebagai dzikir atau disertai ilam (mengingatkan). Apabila ia memutlakkan atau ia membaca tasbih tersebut dengan maksud ilam saja maka sholatnya menjadi batal.

Adapun memaksudkan bertepuk tangan untuk ilam maka tidak menyebabkan batalnya sholat.

Apabila usaha memperingatkan semisal orang buta hanya dapat dilakukan dan dihasilkan dengan berbicara atau bergerak yang membatalkan sholat, maka wajib memperingatkan dengannya dan sholatnya menjadi batal.

5. Mufattir atau Melakukan Perkara yang Membatalkan Puasa

Perkara yang merusak sholat yang kelima adalah melakukan perkara yang dapat membatalkan puasa secara sengaja karena dihitung sebagai talaub atau bermain-main.

Lafadz المُفَطِّرِ dengan fathah pada huruf ف dan kasroh pada huruf ط disertai dengan tasydid berarti sesuatu yang merusak puasa shoim (orang yang berpuasa).

Mufattir yang menyebabkan batalnya sholat adalah seperti; memasukkan kayu atau selainnya meskipun sedikit ke dalam mulut, telinga, atau dubur meskipun tidak sampai tembus ke dalam perut dan meskipun tidak disertai bergeraknya mulut karena bergerak banyak saja sudah dapat menyebabkan batalnya sholat.

Kesimpulannya adalah bahwa semua perkara yang membatalkan puasa dapat membatalkan sholat kecuali makan banyak sebab lupa karena makan banyak dapat membatalkan sholat, bukan membatalkan puasa. Perbedaannya adalah bahwa sholat memiliki hai-ah atau pertingkah yang membuat ingat dari lupa makan, berbeda dengan puasa. Selain itu, sholat terdiri dari rangkaian perbuatan- perbuatan sehingga perbuatan banyak dapat memutus rangkaiannya tersebut, berbeda dengan puasa karena puasa hanya terdiri dari menahan diri dari semisal makan.

6. Lupa Makan Banyak

Perkara yang merusak sholat yang keenam adalah makan banyak disertai lupa kalau diri musholli sedang sholat atau ia bodoh yang dimakdzurkan, seperti; ia baru saja tahu tentang Islam atau ia hidup jauh dari para ulama; atau ia dipaksa. Adapun ketika musholli maka sedikit disertai lupa kalau dirinya sedang sholat atau ia bodoh/tidak tahu tentang keharamannya maka sholatnya tidak batal. Berbeda dengan musholli yang dipaksa makan, maka sholatnya batal karena jarang terjadinya pemaksaan makan saat sholat.

Perkataan Mushonif yang berbunyi اﻷﻛﻞ adalah dengan dhommah pada huruf hamzah dan kaf atau dengan dhommah pada huruf hamzah dan sukun pada huruf kaf karena meringankan bacaan yang mana kedua-duanya ini berarti sama, yaitu المَأْكُوْلُ (makanan).

7. Bergerak Tiga Kali Secara Berturut-turut

Perkara yang merusak sholat yang ketujuh adalah bergerak tiga kali secara berturut-turut dan secara yakin meskipun anggota tubuh yang bergerak itu berbeda-beda, misalnya; musholli menggerakkan kepalanya dan kedua tangannya.

Berpindahnya kaki ke tempat lain dan kembalinya ke tempat semula dihitung dua kali secara mutlak, artinya, baik perpindahan pertama dan kedua itu bersambung atau tidak. Berbeda dengan berpindahnya tangan dan kembalinya ke tempat semula yang mana perpindahan pertama dan kedua itu bersambung maka dihitung satu gerakan. Begitu juga, mengangkat tangan dan menurunkannya meskipun tidak sesuai pada tempat semula dihitung satu gerakan.

Mengapa perpindahan kaki dan tangan dibedakan dari segi jumlah hitungan adalah karena kaki biasanya diam saat sholat, berbeda dengan tangan yang sering bergerak pada saat sholat.

Bergerak tiga kali secara berturut-turut dapat merusak sholat secara mutlak, artinya, baik dilakukan secara sengaja atau lupa, karena talaub (bermain-main), tetapi dengan catatan apabila musholli benar-benar tidak kesulitan menahan diri dari bergerak tersebut.

Adapun bergerak sedikit, semisal dua gerakan, maka tidak membatalkan sholat, baik dilakukan secara sengaja atau lupa, selama tidak ada tujuan bermain-main. Apabila musholli bergerak sedikit dengan tujuan bermain-main, misalnya; pada saat sholat, musholli mengacungkan jari tengahnya kepada orang lain karena bercanda bersamanya maka sholatnya menjadi batal.

Termasuk gerakan bermain-main adalah kebiasaan yang dilakukan oleh musholli-musholli bodoh, yaitu mereka memajukan kaki untuk menginjak bagian ujung baju teman dengan tujuan bermain-main agar temannya itu tidak bisa berdiri dari sujud. Hanya dengan satu kali memajukan kaki, sholat mereka sudah dihukumi batal.

Gerakan banyak, seperti tiga gerakan, ketika dilakukan karena parahnya kudis, sekiranya kudis tersebut mengharuskan musholli menggaruknya, atau gerakan sedikit (ringan), seperti; menggerak-gerakkan jari-jari pada tasbih atau melepas ikatan tali; tetapi disertai menetapkan telapak tangan, maka tidak membatalkan sholat jika memang tidak ada tujuan bermain-main. Begitu juga, menggerak-gerakkan kelopak mata, telinga, dzakar (saat ereksi), atau memelet-meletkan lidah, tidak membatalkan sholat jika memang tidak ada tujuan bermain-main.

Apabila musholli berniat melakukan tiga gerakan secara berturut-turut, tetapi ia hanya melakukan satu gerakan, maka sholatnya sudah dihukumi batal karena ia telah menyengaja hendak melakukan sesuatu yang dapat membatalkan sholat dan telah nyata melakukannya, sebagaimana musholli telah memulai melakukan tiga gerakan secara berturut-turut yang tanpa disertai meniatkannya terlebih dahulu.

Apabila si A menggendong si B yang sedang sholat, kemudian si A berjalan tiga langkah secara berturut-turut, maka sholat si B tidak batal karena langkah-langkah tersebut tidak dinisbatkan kepada si B, tetapi apabila si B melakukan salah satu dari rukun-rukun sholat pada saat ia masih digendong maka satu rukun tersebut tidak dianggap sekiranya si B tidak bisa menyempurnakan rukun tersebut pada saat digendong.

[TANBIH]

Perkataan Mushonnif yang berbunyi ﺣَﺮَﻛﺎت (gerakan- gerakan) adalah dengan fathah pada huruf ain jamak-nya, yaitu huruf ر, bukan didhommah, dikasroh, atau disukun, karena kaidahnya menyebutkan bahwa setiap isim yang dijamakkan dengan huruf ا dan ت, baik diakhiri dengan tak marbutoh ة, seperti lafadz; غُرْفَة, سِدْرَة, جَفْتَة atau tidak diakhiri dengannya, seperti lafadz;  جُمُل, هِنْد, دَعْد maka harokat ain jamak-nya mengikuti harokat faa jamak-nya secara mutlak, tetapi dengan beberapa syarat berikut:

  1. Tidak berupa isim muktal (yang kemasukan huruf ilat ((alif, yaa, wawu))
  2. Tidak berupa isim mudhoaf
  3. Terdiri dari tiga huruf
  4. Berupa kalimah isim
  5. Disukun ain-nya
  6. Muannas

Oleh karena itu, berdasarkan contoh di atas, kamu mengucapkan, َﺟَﻔَﻨَﺎت dengan fathah pada huruf ج dan ف, seperti lafadz سَجَدَات dan mengucapkan دَرَسَات dengan kasroh pada huruf س dan د, dan ﻏُُﺮُﻓَﺎت dengan dhommah pada huruf غ dan ر dan دَعَدَات  dengan fathah pada huruf د dan ع  dan ﻫِﻨِﺪَات dengan kasroh pada huruf ه dan ن dan lafadz جُمُلَات dengan dhommah pada huruf ج dan م.

Diperbolehkan mensukun dan menfathah ain jamak yang jatuh setelah dhommah dan kasroh, seperti kamu membaca ﻏُﻔَﺮَات/ﻏُﻔْﺮَات dan هِنِدَات / هِنْدَات. Tidak diperbolehkan mensukun dan menfathah ain jamak yang jatuh setelah fathah, tetapi wajib mengikutkannya dengan harokat huruf sebelumnya (itbak), seperti kamu membaca رَﻛَﻌَﺎت, tidak boleh رَﻛْﻌَﺎت, karena wajib mengikutkan huruf /ك/ pada faa jamak, yaitu huruf /ر/.

Ibnu Malik berkata dalam kitab al-Khulasoh;

واﻟﺴﺎلم اﻟﻌين اﻟتلاﺛﻲ اسما أﻧﻞ ** اﺗﺒﺎع ﻋين ﻓﺎءﻩ بما ﺷﻜﻞ

Ikutkanlah harokat ain jamak pada faa jamak dalam jamak muannas salim yang berasal dari mufrod isim tsulatsi .

إن ﺳﺎﻛﻦ اﻟﻌين ﻣﺆﻧثًا ﺑﺪا ** مختتمًا ﺑﺎﻟﺘﺎء أو مجردا

Isim tsulatsi tersebut muncul dalam keadaan disukun ainnya, muannas, dan baik diakhiri dengan huruf ة atau tidak diakhiri olehnya.

وﺳﻜﻦ اﻟﺘﺎلي ﻏير اﻟﻔﺘﺢ أو ** ﺧﻔﻔﻪ ﺑﺎﻟﻔﺘﺢ ﻓكلا ﻗﺪ رووا

Sukunkanlah ain jamak yang jatuh setelah selain fathah. Atau ringankanlah dengan membaca ain jamak dengan fathah. Masing- masing dua bentuk bacaan ini sungguh telah diriwayatkan oleh para ulama.

Perkataan Ibnu Malik واﻟﺴﺎلم adalah maful bih pertama dari lafadz أﻧﻞ. Lafadz اﻟﻌين adalah mudhof ilaih. Lafadz اﻟﺜﻼﺛﻰ adalah naat bagi lafadz اﻟﺴﺎلم menurut Shoban, dan badal dari lafadz اﻟﺴﺎلم menurut Syeh Kholid. Lafadz اسما adalah haal dari lafadz اﻟﺜﻼﺛﻰ. Lafadz اﺗﺒﺎع adalah maful bih kedua bagi lafadz أﻧﻞ, ia berbentuk masdar yang diidhofahkan pada mafulnya yang pertama. Lafadz ﻓﺎءﻩ adalah maful bih yang kedua. Lafadz ﺷﻜﻞ berbentuk mabni maful yang berarti ﺣُﺮِّكَ (diharokati). Huruf ب dalam lafadz بما berarti huruf فى.

Maksudnya adalah berikanlah mengikutkan harokat ain jamak pada harokat faa jamak kepada isim tsulatsi yang telah di jamak muannas salim-kan. Lafadz إِنْ adalah huruf syarat. Lafadz ساكن العين مؤنثا berkedudukan sebagai dua haal dari fiil ﺑﺪا yang dhomirnya kembali pada isim tsulatsi. Lafadz مختتما berkedudukan sebagai haal yang ketiga. Lafadz سكَّن adalah fiil amar dan lafadz التالي adalah mafulnya. Lafadz غير الفتح  berirob nasob karena menjadi maful atau berirob jer karena idhofah. Lafadz فكلا berkedudukan sebagai maful bih yang didahulukan dari amil-nya, yaitu lafadz رَوَوْا.

[TANBIH]

Perkataan Mushonnif yang berbunyi ﻣُﺘَـﻮَاﻟِيَات (yang berturut- turut) dijamakkan olehnya karena lafadz tersebut adalah sifat bagi lafadz ﺣَﺮَﻛَﺎت . Sedangkan lafadz ﺣَﺮَﻛﺎت yang berkedudukan sebagai mausuf juga berbentuk jamak sehingga akan menghasilkan kecocokan antara sifat dan mausuf. Hal ini merupakan susunan bahasa yang paling fasih karena lafadz ﺣَﺮَﻛﺎت adalah bentuk jamak qillah (jamak dari hitungan 3-10) berdasarkan madzhab Sibawaih yang menyebutkan bahwa jamak mudzakar salim dan jamak muannas salim merupakan dua bentuk jamak qillah. Menurut yang paling fasih tentang jamak qillah yang dari bentuk-bentuk jamak-nya isim yang tidak berakal dan tentang jamak-nya isim yang berakal, baik berbentuk jamak qillah atau katsroh, mengharuskan adanya mutobaqoh (kecocokan), seperti:

اَلْاَ ﺟْﺬَاعُ اِﻧْﻜﺴَﺮت وﻣﻨﻜﺴَﺮات

الهندات والهنود اِﻧْﻄَﻠَْﻘﻦ وﻣﻨﻄَﻠِﻘﺎت

Menurut yang paling fasih tentang jamak katsroh dari isim yang tidak berakal adalah dimufrodkan, seperti:

اَلْجُذُوْعُ اِنْكَسَرَتْ وَمُنْكَسِرَةٌ

Isqoti mengatakan;

فى جمع ﻗﻠﺔ لما ﻻ ﻳﻌﻘﻞ ** ﺗﻄﺎﺑﻖ اﻟﻮﺻﻒ ﻟﺪﻳﻬﻢ أﻣﺜﻞ

Dalam jamak qillah dari isim yang tidak berakal, para ulama lebih mengutamakan adanya kecocokan antara sifat dan mausuf.

Jamak qillah atau katsroh dari isim yang berakal juga lebih diutamakan adanya kecocokan antara sifat dan mausuf. Adapun jamak katsroh dari isim yang tidak berakal lebih utama dimufrodkan (tidak ada kecocokan antara sifat dan mausuf).

Yang dimaksud dengan bunyi أﻣﺜﻞ adalah أفضل dan أتبع للقاعدة, maksudnya lebih utama dan lebih mengikuti kaidah. Yang dimaksud dengan bunyi بعكس ذا adalah tidak adanya kecocokan, yaitu ifrod (memufrodkan). Yang dimaksud dengan bunyi الوصف adalah sifat maknawi sehingga mencakup khobar dan dhomir yang berada di lafadz yang tidak berkedudukan sebagai khobar yang mana dhomir tersebut merujuk pada isim yang berakal. Maksud فى كسرة  adalah jamak katsroh.

8. Melompat Parah

Perkara yang merusak sholat yang kedelapan adalah melompat parah, yaitu melompat yang melebihi batas. Begitu juga, dapat merusak sholat adalah menggerakkan seluruh tubuh atau sebagian besar tubuh meski tidak sampai memindah kedua telapak kaki.

Perkataan Mushonni yang berbunyi اﻟَﻮﺛْـﺒَﺔ adalah dengan fathah pada huruf و karena lafadz tersebut berfungsi menunjukkan arti marroh (hitungan berapa kali perbuatan terjadi).

Adapun sholat dihukumi batal sebab melompat parah adalah karena melompat parah menyebabkan terputusnya rangkaian sholat, seperti perbuatan (gerakan) banyak. Demikian ini dikatakan oleh Suwaifi dengan mengutip dari Syaubari.

Perkataan Mushonnif yang berbunyi الفاحشة sebenarnya tidak perlu disebutkan karena اﻟَﻮﺛْـﺒَﺔ (melompat) pasti الفاحشة (parah), kecuali jika tujuan menyebutkan الفاحشة adalah untuk memperjelas bahwa setiap perkara yang parah, seperti menggerakkan seluruh tubuh, hukumnya adalah seperti hukumnya اﻟَﻮثْـﺒَﺔ.

9. Memukul Keras

Perkara yang merusak sholat yang kesembilan adalah melakukan gerakan memukul keras atau mufritoh.

Lafadz اَلْمُفْرِطَة dengan sukun pada huruf ف  adalah isim faail dari fiil madhi أفرط yang berarti melewati batas. Perkataan Mushonnif yang berbunyi اَلضَّرْبَة dengan fathah pada huruf ض berfungsi menunjukkan arti marroh (hitungan berapa kali perbuatan terjadi).

10. Menambahi Rukun Fili Secara Sengaja

Perkara yang merusak sholat yang kesepuluh adalah menambahi rukun fili secara sengaja meskipun ia belum sempat bertumakninah dalam rukun yang ditambahinya itu karena talaub (bermain-main).

Duduk yang seukuran lamanya tumakninah, bukan yang melebihi ukurannya, seperti; musholli duduk setelah berdiri yang kemudian ia bersujud, tidak merusak atau membatalkan sholat karena duduk tersebut telah maklum dalam sholat pada saat duduk istirahat. Begitu juga, apabila musholli duduk istirahat tanpa melakukan sujud tilawah sebelum ia berdiri maka sholatnya tidak batal. Sama seperti duduk yang seukuran tumakninah adalah membungkukkan tubuh sampai batas rukuk yang mana membungkukkannya tersebut dilakukan setelah duduk tawaruk di tengah-tengah tasyahud akhir atau duduk iftirosy di tengah-tengah tasyahud awal, seperti yang telah difaedahkan oleh Syarqowi.

Perkataan Mushonnif yang berbunyi ﻓِﻌْﻠﻰ (rukun fili) adalah qoyid pertama dan perkataannya عَمْدًا adalah qoyid kedua. Masih ada qoyid-qoyid lain yang menyebabkan batalnya sholat sebab menambahi rukun fili. Qoyid ketiga, yaitu rukun yang ditambahkan tidak berupa rukun ringan yang telah diketahui dalam sholat. Qoyid

keempat adalah musholli tahu tentang keharamannya menambahi rukun fili. Qoyid kelima dan keenam yaitu menambahi rukun itu bukan karena mutabaah (mengikuti) dan bukan karena udzur.

Dikecualikan yaitu menambahi rukun karena mutabaah, seperti; musholli rukuk atau sujud sebelum imamnya, kemudian ia kembali ke posisi sebelumnya atau bangun dari rukuknya, kemudian ia bermakmum kepada imam lain yang belum rukuk, lalu ia rukuk bersamanya, maka sholatnya tidak batal sebab lebih kuatnya sifat mutabaah.

Dikecualikan juga yaitu menambahi rukun karena udzur, misalnya; musholli bangun dari sujud hingga sampai batas rukuk karena kaget sesuatu, atau musholli turun dari berdiri sampai batas rukuk karena membunuh semisal ular, maka rukuk tambahan dalam dua contoh ini tidak membatalkan sholat. Dalam contoh udzur sebab membunuh ular, diperbolehkan menjaga diri dengan melakukan gerakan banyak jika memang ular tersebut akan melukainya dengan catatan jika menjaga diri hanya bisa dilakukan dengan melakukan gerakan banyak. Dikecualikan juga dalam masalah apabila musholli

membunuh kutu meskipun sedikit darah kutu tersebut mengenainya sekiranya musholli tidak membawa atau menyentuh kulit bangkai kutu tersebut, (maka sholatnya tidak batal), seperti yang dikatakan oleh Syarqowi.

Ahmad bin Imaduddin berkata dalam nadzom-nya yang berbahar basit;

Darah nyamuk dan kutu dihukumi mafu jika darah tersebut sedikit.

Kulit (bangkainya) tidak dihukumi mafu.

Oleh karena nyamuk atau kutu menjadi najis sebab mati maka para ulama tidak menghukumi mafu saat membawa kulit (bangkainya) saat sholat.

Perkataan Ahmad bin Imaduddin اﻟﺒُـْﺮﻏُﻮث adalah dengan dhommah pada huruf ب. Perkataannya ﻋَﻔَﻮْا artinya para ashab madzhab menghukumi mafu. Perkataannya عن قليل maksudnya darah yang sedikit secara mutlak, artinya, baik darah tersebut tidak sengaja atau disengaja mengenainya karena terkena darah nyamuk termasuk umum al-balwa dan sulit menghindarinya. Perkataannya نَاسِكًا berarti ﻋَﺎﺑِﺪًا (yang beribadah) yang berkedudukan sebagai maful bih dari lafadz عَذَرُوا . Perkataannya بِصُحْبَتِهِ, maksudnya membawa kulit bangkai (nyamuk dan kutu) saat sedang sholat, oleh karena itu, sholat menjadi batal karena kulit bangkai dihukumi najis yang tidak dimafu karena tidak adanya kesulitan menghindarinya. Demikian ini juga dikatakan oleh Syihab ar-Romli dalam Syarah nadzoman-nya Ahmad bin Imaduddin.

11. Mendahului Imam dengan Dua Rukun Fili

Perkara yang merusak sholat yang kesebelas adalah mendahului imam dengan dua rukun fili (yaitu rukun sholat yang bersifat perbuatan), baik dua rukun fili yang panjang (lama) atau pendek (sebentar), yang mana dua rukun fili tersebut didahulukan daripada imam secara berturut-turut, misalnya; makmum telah rukuk, kemudian ketika imam hendak rukuk maka makmum bangun dari rukuknya dan ketika imam hendak bangun dari rukuk maka makmum bersujud, maka dengan melakukan sujud tersebut, sholat makmum menjadi batal, dan seterusnya. Demikian ini disebutkan dalam kitab al-Minhaj al-Qowim.

Nawawi dan Rofii berkata, “Boleh dikatakan kalau batalnya sholat sebab terlambat dua rukun fili dari imam disamakan juga dengan batalnya sholat sebab mendahului imam dengan dua rukun fili. Dan boleh dikatakan kalau batalnya sholat hanya dikhususkan karena mendahului imam dengan dua rukun fili (bukan terlambat dua rukun fili darinya) karena mukholafah (tidak mengikuti imam) dalam mendahului itu lebih parah.”

Adapun mendahului imam yang tidak sampai dua rukun fili maka tidak menyebabkan batalnya sholat meskipun diharamkan sekalipun itu hanya mendahului imam dengan sebagian dari satu rukun, misalnya; makmum telah rukuk sebelum imam dan makmum belum itidal, seperti yang dicontohkan oleh Syarqowi. Akan tetapi, Ibnu Hajar dalam kitab-nya al-Minhaj al-Qowim berkata, “Mendahului imam dengan sebagian dari satu rukun, seperti contoh ini, hukumnya makruh. Adapun apabila mendahului imam dengan satu rukun fili maka hukumnya haram, misal; makmum telah rukuk sedangkan imam masih berdiri."

Sholat menjadi batal sebab makmum terlambat dua rukun fili dari imam meskipun dua rukun yang pendek (sebentar), misal; apabila imam rukuk, itidal, kemudian hendak turun bersujud meskipun posisi turunnya tersebut masih lebih mendekati posisi berdiri, sedangkan makmum masih berdiri, atau apabila imam bersujud kedua, berdiri, membaca al-Fatihah, kemudian turun melakukan rukuk, sedangkan makmum masih duduk di antara dua sujud, (maka sholat makmum dalam dua contoh kasus ini dihukumi batal). Demikian ini contoh yang disebutkan dalam kitab al-Minhaj al-Qowim.

Taqoddum dan takholluf, seperti yang telah disebutkan, dapat menyebabkan batalnya sholat jika dilakukan tanpa didasari udzur.

Udzur dalam taqoddum adalah lupa atau bodoh saja. Oleh karena itu, apabila makmum taqoddum dari imamnya dengan dua rukun fili karena lupa atau bodoh maka sholatnya tidak menjadi batal tetapi rakaatnya tidak dihitung selama ia tidak kembali melakukan dua rukun fili yang didahuluinya itu di rakaat itu juga setelah ia ingat atau belajar sehingga jika ia belum kembali demikian maka ia melakukan satu rakaat lagi setelah salamnya imam.

Udzur dalam takholluf ada 11 (sebelas) bentuk yaitu:

  1. Makmum adalah orang yang lamban bacaannya karena ketidak-mampuannya secara alami, bukan karena was-was tsaqilah (berat atau lama), sedangkan imam adalah orang yang sedang bacaannya. Pengertian lamban secara alami adalah lamban yang tidak bisa dihindari. Adapun was-was tsaqilah tidak termasuk sebagai udzur sehingga apabila makmum takholluf dari imamnya karena was-was tsaqilah maka jika ia menyelesaikan Fatihah sebelum imam turun bersujud maka ia telah mendapati rakaatnya, tetapi jika ia belum menyelesaikannya pada saat itu maka ia wajib mufaroqoh (berpisah dari mengikuti imam) sebab jika ia tidak mufaroqoh maka sholatnya menjadi batal. Was-was bisa disebut sebagai was-was tsaqilah sekiranya was-was tersebut berlangsung selama waktu yang cukup untuk melakukan rukun berdiri (membaca Fatihah) atau sebagian besarnya (misal; 75% dari lamanya berdiri). Batasan was- was tsaqilah ini berdasarkan keterangan yang dikutip oleh Syarqowi dari Halabi, tetapi Syeh Usman Suwaifi mengutip keterangan dari Qulyubi bahwa was-was bisa disebut tsaqilah sekiranya was-was tersebut berlangsung selama waktu yang cukup untuk melakukan satu rukun pendek (sebentar). Selain pendapat ini, Suwaifi dan Syarqowi juga mengutip dari pendapat Halabi bahwa batasan was-was bisa disebut tsaqilah sekiranya was-was tersebut berlangsung selama waktu yang cukup untuk melakukan dua rukun fili meskipun satu rukun panjang (lama) dan satu rukun pendek (sebentar) dengan dinisbatkan kepada musholli yang wasat muktadil (yang standard gerakan dan bacaannya, maksudnya, tidak lamban dan juga tidak cepat), tetapi Syarqowi mendhoifkan pendapat ini.

    Adapun was-was yang berlangsung selama waktu yang tidak cukup untuk melakukan rukun berdiri atau sebagian besarnya maka disebut sebagai was-was khofifah (ringan).

  2. Makmum adalah orang yang tahu atau ragu sebelum rukuknya sendiri dan setelah rukuk imamnya bahwa ia telah meninggalkan bacaan Fatihah.
  3. Makmum lupa membaca Fatihah, padahal imamnya telah rukuk, dan makmum sendiri baru ingat sesaat sebelum ia rukuk.
  4. Makmum adalah makmum muwafik dan ia sedang disibukkan melakukan kesunahan, seperti membaca doa iftitah, taawudz, atau hanya sekedar diam.
  5. Makmum menunggu diamnya imam yang disunahkan setelah membaca Fatihah dan sebelum membaca Surat. Akan tetapi imam tidak melakukan diam, melainkan ia langsung rukuk setelah membaca Fatihah atau ia membaca Surat yang sangat pendek sehingga tidak memungkinkan bagi makmum untuk membaca Fatihah.
  6. Makmum tidur di saat tasyahud awal dengan posisi tidur yang masih menetapkan pantat (intinya tidur yang tidak membatalkan wudhu). Ternyata makmum baru bisa terbangun dari tidurnya di saat imamnya melakukan rukuk di rakaat berikutnya atau di saat imamnya berdiri akhir (hendak rukuk).
  7. Makmum merasakan kesamaran bacaan takbir-nya imam, misalnya; makmum mendengar bacaan takbir imam setelah rakaat kedua, kemudian makmum menyangka kalau takbir imam tersebut adalah takbir untuk bertasyahud, akhirnya makmum pun duduk dan bertasyahud, ternyata takbir imam tersebut bukan takbir untuk bertasyahud melainkan takbir berdiri, lalu makmum berdiri dan melihat imam telah dalam posisi rukuk.
  8. Makmum menyelesaikan tasyahud awal setelah imam berdiri dari tasyahud awal karena sengaja atau lupa, baik imam telah menyelesaikan tasyahud awal-nya atau hanya melakukan sedikit dari tasyahud awal
  9. Makmum lupa kalau dirinya adalah makmum sedangkan ia sedang dalam posisi semisal sujud atau ia lupa kalau dirinya sedang dalam sholat, kemudian ia bangun dari sujudnya sedangkan imam telah dalam kondisi rukuk atau hampir akan rukun di rakaat berikutnya.
  10. Makmum ragu apakah ia adalah makum masbuk atau muwafik. Pengertian makmum muwafik adalah makmum yang mendapati waktu yang cukup untuk membaca Fatihah setelah ia bertakbiratul ihram dan sebelum imamnya rukuk dengan dinisbatkan bahwa ia adalah makmum yang wasat muktadil (tidak lamban dan cepat dalam bacaan dan gerakan). Tidak ada ibroh (pertimbangan) tentang bacaaan Fatihah muwafik sendiri dan bacaan Fatihah imamnya, baik muwafik mendapati takbiratul ihram imamnya atau tidak. Adapun pengertian makmum masbuk adalah makmum yang tidak mendapati waktu yang cukup untuk membaca Fatihah sekalipun ia bertakbiratul ihram tepat setelah takbiratul ihram imamnya.
  11. Makmum memperlama sujud terakhir. Ia tidak bangun dari sujud akhirnya itu kecuali ia telah mendapati imam sudah dalam posisi rukuk atau hampir akan rukun.

Ketika makmum mengalami salah satu dari 11 (sebelas) deskripsi keadaan di atas, ia wajib takholluf dari imamnya guna menyelesaikan bacaannya. Kemudian ia meneruskan rangkaian sholatnya sendiri setelah rangkaian sholat imamnya.

Ketika makmum berada dalam satu keadaan dari 11 (sebelas) keadaan di atas, ia boleh takholluf tiga rukun towil (lama), yaitu rukuk dan dua sujud. Itidal dan duduk antara dua sujud tidak dihitung (dalam hitungan takholluf) karena mereka adalah dua rukun qosir (sebentar). Oleh karena itu;

  1. Apabila makmum telah selesai membaca Fatihah sebelum imam menempati posisi rukun keempat, yaitu duduk tasyahud akhir atau berdiri atau tasyahud awal, maka ia rukuk dan mendapati rakaat, setelah itu ia meneruskan sholatnya sesuai dengan urutan rangkaiannya.
  2. Apabila makmum mendapati imam yang telah menempati posisi rukun keempat, misalnya saja imam telah sampai pada posisi berdiri yang cukup untuk membaca Fatihah sebelum makmum menyelesaikan Fatihah-nya maka makmum diperkenankan memilih antara mutabaah (mengikuti) berdirinya imam dan nanti menambahi satu rakaat setelah salamnya imam seperti masbuk atau berniat mufaroqoh dan meneruskan sholatnya sendiri, tetapi mutabaah adalah yang lebih utama.
  3. Apabila makmum mendapati imam yang telah menempati posisi rukun keempat, misalnya saja imam telah sampai pada posisi duduk tasyahud awal atau tasyahud akhir sebelum makmum menyelesaikan Fatihah-nya maka makmum diperkenankan memilih antara mutabaah (mengikuti) berdirinya imam dan nanti menambahi satu rakaat setelah salamnya imam seperti masbuk atau berniat mufaroqoh dan meneruskan sholatnya sendiri, tetapi mutabaah adalah yang lebih utama.
  4. Apabila makmum belum selesai membaca Fatihah sedangkan imam sudah mulai memasuki rukun kelima, yaitu rukuk (bagi rakaat yang tidak memiliki tasyahud) atau berdiri (bagi rakaat yang memiliki tasyahud awal) dan makmum sendiri tidak berniat mufaroqoh maka sholatnya batal.

12. Berniat Memutus Sholat

Perkara yang merusak sholat yang kedua belas adalah berniat memutus sholat, misalnya; di rakaat pertama musholli berniat, “Aku berniat akan keluar dari sholat di rakaat kedua”, maka niatnya ini menyebabkan sholatnya batal, sebagaimana seseorang berniat, “Aku berniat kufur besok,” maka seketika itu juga ia dihukumi kufur.

Berniat memutus sholat menyebabkan batalnya sholat kecuali karena adanya udzur semisal lupa, maka sholat tidak batal.

Mengecualikan dengan berniat memutus (sholat) adalah berniat akan melakukan mubtil (perkara yang membatalkan sholat). Jadi, berniat akan melakukan mubtil tidak menyebabkan batalnya sholat sampai musholli melakukannya secara nyata karena ia sebelum melakukan mubtil secara nyata (sebagaimana yang ia niatkan) masih termasuk orang yang mantap (dalam berniat) sedangkan yang diharamkan atasnya hanyalah melakukan perkara yang menafikan kemantapannya itu. Berbeda dengan musholli yang berniat memutus sholat, maka ia tidak termasuk sebagai orang yang mantap (dalam berniat sholat).

13. Mentakliq Memutus Sholat dengan Sesuatu

Perkara yang merusak sholat yang ketiga belas adalah mentakliq atau menggantungkan memutus sholat dengan sesuatu meskipun sesuatu tersebut belum terjadi dan mustahil adi (menurut kebiasaan), seperti ketiadaan pisau memotong (sesuatu). Jadi, apabila musholli berkata, “Apabila pisau tidak bisa memotong roti ini maka aku memutus sholatku,” maka sholatnya dihukumi batal.

Berbeda dengan mustahil aqli, maka apabila musholli menggantungkan memutus sholat dengannya maka sholatnya tidak batal, seperti; musholli berkata, “Apabila 1+1=3 maka aku memutus sholatku,” maka sholatnya tidak dihukumi batal, karena mentakliq dengan mustahil aqli tidak menafikan kemantapan. Berbeda dengan mustahil adi, maka ia menafikan kemantapan niat sholat.

Mentakliq memutus sholat dengan sesuatu dapat menyebabkan batalnya sholat, baik mentakliq dengan hati atau lisan.

14. Taroddud Tentang Memutus Sholat

Perkara yang merusak sholat yang keempat belas adalah taroddud atau ragu tentang apakah musholli memutus sholat atau tidak. Begitu juga, dapat merusak sholat adalah taroddud tentang apakah musholli meneruskan sholatnya atau tidak. Kedua taroddud ini dapat merusak sholat seketika itu karena menafikan kemantapan niat sholat yang harus ada sampai sholat berakhir sebagaimana iman. Yang dimaksud dengan taroddud adalah munculnya keraguan yang bertentangan dengan kemantapan. Adapun segala sesuatu yang terlintas di pikiran maka tidak menyebabkan batalnya sholat karena itu termasuk perkara yang sering dialami oleh musholli yang was- was, bahkan terkadang terjadi juga dalam beriman kepada Allah.

[CABANG]

Masih ada beberapa perkara lain yang merusak sholat, diantaranya:

15. Melakukan Salah Satu Rukun Sholat Disertai Keraguan Tentang Niat Sholat

Maksudnya apakah musholli telah berniat sholat atau belum, atau apakah niatnya telah lengkap atau belum, meskipun keraguan tersebut tidak berlangsung lama meskipun musholli sendiri adalah orang yang bodoh.

Begitu juga dapat merusak sholat adalah ketika musholli sedang sholat, kemudian ia ragu tentang syarat-syarat sholat, seperti; apakah ia tadi telah berwudhu atau belum, atau ia ragu tentang sholat yang diniatkan, seperti; apakah ia tadi berniat sholat Dzuhur atau Ashar, atau ragu tentang apakah ia telah bertakbiratul ihram atau belum atau apakah ia telah bertakbiratul ihram secara lengkap atau tidak.

Termasuk perkara yang merusak sholat adalah berlangsungnya ragu tentang niat sholat selama waktu yang lama meskipun belum melakukan satu rukun sholat pun. Batasan waktu yang lama adalah sekiranya waktu tersebut cukup untuk melakukan satu rukun meskipun rukun qosir (sebentar) semisal tumakninah, yaitu yang seukuran lamanya melafadzkan سبحان الله. Adapun ketika keraguan tentang niat sholat berlangsung selama waktu yang tidak lama, artinya hanya berlangsung selama waktu yang tidak cukup untuk melakukan satu rukun meskipun qosir, misal; musholli merasakan adanya khotir (sesuatu yang timbul di hati semacam pikiran, ide, pendapat), kemudian khotir tersebut segera hilang sekiranya musholli segera ingat niat sholat sebelum perasaan khotir itu berlangsung selama waktu yang lama dan mushollib belum melakukan satu rukun berikutnya, maka sesungguhnya sholatnya tidak dihukumi batal.

16. Mengalihkan Niat Sholat

Artinya, mengalihkan niat sholat juga termasuk perkara yang merusak sholat. Ia dibagi menjadi 4 (empat) bagian;

  1. Mengalihkan niat sholat fardhu ke niat sholat fardhu lain.
  2. Mengalihkan niat sholat fardhu ke sholat niat sholat sunah.
  3. Mengalihkan niat sholat sunah ke niat sholat fardhu.
  4. Mengalihkan niat sholat sunah ke niat sholat sunah yang lain.

Akan tetapi, apabila musholli sedang sholat fardhu sebagai munfarid (sholat sendiri), lalu ia mendapati jamaah, maka ia disunahkan mengalihkan niat sholat fardhunya ke niat sholat sunah mutlak, bukan sholat sunah muayyan, agar ia bisa mengikuti jamaah dan mendapatkan fadhilahnya. Adapun sholat sunah muayyan, seperti; sholat dua rakaat Dhuha, maka tidak sah mengalihkan niat sholat fardhu padanya karena dalam sholat sunah muayyan diwajibkan adanyat pentakyinan saat niat.

Kesunahan mengalihkan niat sholat fardhu ke sholat sunah mutlak memiliki 6 (enam) syarat, yaitu:

  1. Munfarid sedang melakukan sholat tsulatsiah atau rubaiah.

    Tsulatsiah adalah sholat fardhu yang memiliki rakaat tiga semisal sholat Maghrib. Rubaiah adalah sholat fardhu yang memiliki empat rakaat semisal sholat Dzuhur, Ashar, dan Isyak. Tsunaiah adalah sholat fardhu yang memiliki dua rakaat semisal sholat Subuh.

  2. Munfarid tidak sedang berdiri melakukan rakaat yang ketiga. Apabila ia sedang melakukan sholat tsunaiah atau sedang berdiri melakukan rakaat ketiga maka ia tidak disunahkan mengalihkan niat sholat fardhu ke niat sholat sunah mutlak, tetapi boleh melakukan demikian, maka ia mengucapkan salam di rakaat pertama agar bisa mendapat jamaah karena boleh melakukan sholat sunah mutlak hanya dengan satu rakaat.
  3. Waktu sholat fardhu masih cukup, artinya, munfarid yakin kalau apabila ia mengawali sholatnya secara berjamaah maka sholatnya tersebut masih dilakukan dalam waktu sholat. Oleh karena itu, apabila munfarid yakin kalau sebagian sholatnya akan dilakukan di luar waktu sholat atau ia ragu tentang demikian maka diharamkan atasnya mengalihkan niat sholat fardhu ke niat sholat sunah.
  4. Imam jamaah bukan termasuk orang yang dimakruhkan untuk dimakmumi, misal; imam adalah ahli bidah atau orang yang berbeda madzhab dengan madzhab munfarid. Oleh karena itu, apabila imam adalah orang yang ahli bidah karena kefasikannya atau orang yang berbeda madzhab dengan madzhab munfarid, seperti; hanafi, maka tidak disunahkan mengalihkan niat sholat fardhu ke niat sholat sunah, malahan dimakruhkan, bahkan, menurut Syaikhul Islam dan Rouyani, sholat sendirian adalah lebih utama daripada sholat berjamaah dengan imam yang demikian itu. Abu Ishak juga berkata bahwa sholat sendirian adalah lebih utama daripada sholat di belakang imam yang bermadzhab Hanafi.
  5. Munfarid tidak mengharapkan adanya jamaah kedua selain jamaah pertama yang akan ia ikuti. Apabila ia masih mengharapkan adanya jamaah kedua maka ia boleh mengalihkan niat sholat fardhu ke niat sholat sunah mutlak, bukan disunahkan.
  6. 6) Jamaah yang akan munfarid ikuti adalah jamaah yang memang dianjurkan. Oleh karena itu, apabila munfarid sedang melakukan sholat qodho sedangkan jamaah sedang mendirikan sholat hadhiroh (bukan qodho) atau jamaah sedang mendirikan sholat qodho tetapi tidak sejenis dengan sholat qodho yang sedang didirikan oleh munfarid, maka diharamkan atas munfarid mengalihkan niat sholat fardhu qodho ke niat sholat sunah mutlak.

Sedangkan apabila munfarid diwajibkan mengqodho sholat dengan segera, atau sholat qodho-nya sejenis dengan sholat yang sedang didirikan oleh jamaah, misal; munfarid sedang melakukan sholat qodho Dzuhur dan jamaah sedang melakukan sholat hadhiroh Dzuhur; maka munfarid tidak disunahkan, tetapi boleh, mengalihkan niat sholat fardhu qodho ke niat sholat sunah mutlak.

Apabila munfarid sedang melakukan sholat qodho dan ia kuatir akan kehabisan waktu sholat hadhiroh maka wajib atasnya mengalihkan niat sholat fardhu qodho ke sholat sunah mutlak.

Begitu juga apabila jamaah sedang mendirikan sholat Jumat maka munfarid wajib mengalihkan niat sholat fardhu qodho ke niat sholat sunah mutlak.

17. Murtad

Artinya, termasuk perkara yang merusak sholat adalah murtad meskipun kemurtadan suriah, yaitu kemurtadan yang dilakukan oleh anak kecil. Pengertian murtad adalah memutus dari meneruskan beragama Islam dan melanggengkannya.

Sholat dapat rusak sebab murtad, baik murtad ucapan, misalnya; musholli berkata, “الله ثالث ثلاثة” (Allah adalah pihak ketiga dari tiga pihak), atau murtad perbuatan, misalnya; musholli bersujud pada berhala, atau murtad kesengajaan, misalnya; musholli menyengaja akan kufur, atau murtad keyakinan, misalnya; musholli sedang sholat dan ia memikirkan tentang alam, kemudian ia meyakini bahwa alam itu adalah qodim (ada tanpa diciptakan), dan contoh- contoh kemurtadan lainnya. Jadi, musholli dihukumi kufur seketika itu dan sholatnya menjadi batal. Al-Hisni berkata, “Begitu juga membatalkan sholat adalah apabila musholli tidak meyakini kewajiban sholat karena keyakinan semacam ini dapat merusak niat dan contoh-contoh keyakinan yang lain.”

Mendahulukan rukun fili satu daripada rukun fili yang lain secara sengaja, misalnya; musholli bersujud sebelum rukuk, atau musholli rukuk sebelum membaca Fatihah, maka demikian ini dapat membatalkan sholat sebab ia dapat mencacatkan bentuk sholat. Adapun mendahulukan rukun qouli selain salam daripada rukun qouli yang lain secara sengaja, misal; musholli mengulang-ulangi bacaan Fatihah, atau musholli mendahulukan membaca sholawat atas Nabi daripada bacaan tasyahud, atau musholli mengulang-ulangi bacaan tasyahud, atau musholli membaca tasyahud sebelum sujud, maka demikian ini tidak membatalkan sholat, tetapi rukun qouli yang ia dahulukan tidak dianggap melainkan ia wajib mengulanginya untuk dibaca sesuai pada tempatnya.

18. Meninggalkan Satu Rukun Meski Rukun Qouli Secara Sengaja.

Berbeda dengan meninggalkannya karena lupa, maka musholli segera kembali melakukannya jika memang ia belum melakukan rukun yang sama di rakaat berikutnya, tetapi apabila ia telah melakukan rukun yang sama dengan yang ditinggalkan di rakaat berikutnya maka rukun di rakaat berikutnya menggantikan rukun yang ditinggalkan di rakaat sebelumnya dan rukun-rukun antara rukun yang ditinggalkan di rakaat sebelumnya dan rukun yang sama dengan yang ditinggalkan di rakaat berikutnya dihukumi tidak dianggap, kemudian ia nanti melakukan satu rakaat.

19. Mengikuti Imam Yang Tidak Boleh Diikuti

Misalnya karena imam melakukan kekufuran, atau menanggung hadas, atau lain- lainnya sekiranya makmum mengikuti imam seperti itu setelah makmum melakukan takbiratul ihram yang sah.

20. Memperlama Rukun Qosir (Sebentar) Secara Sengaja

Sekiranya musholli menambahi bacaan yang melebihi dari doa yang dianjurkan dalam itidal hingga lamanya seukuran lamanya membaca Fatihah, atau musholli menambahi bacaan yang melebih dari doa yang dianjurkan dalam duduk antara dua sujud hingga lamanya seukuran lamanya membaca tasyahud. Apabila ukuran lamanya masih di bawah ukuran lamanya membaca Fatihah maka tidak membatalkan sholat meskipun hanya selisih satu kata (kalimah). Bacaan sholawat tidak termasuk bacaan tasyahud dalam ukuran lamanya waktu.

Memperlama itidal dalam rakaat terakhir dalam sholat tidak membatalkan sholat karena itidal tersebut telah diketahui secara umum dalam sholat, maksudnya, telah diketahui di beberapa contoh dalam sholat, seperti dalam sholat nazilah (yang membaca qunut nazilah).

Memperlama duduk antara dua sujud dalam sholat tasbih saja tidak membatalkan sholat.

21. Musholli Mengambil Pakaian Yang Jauh Darinya Dalam Sholat

Misalnya; musholli sholat dalam keadaan telanjang (karena udzur), kemudian ia mendapati baju yang jauh darinya, ia perlu melakukan gerakan-gerakan banyak untuk sampai pada baju tersebut atau waktu terbukanya aurat berlangsung lama maka sholatnya menjadi batal. Berbeda apabila musholli sholat dalam keadaan telanjang, kemudian ia mendapati baju yang dekat dengannya, lalu ia menutup auratnya dengan baju tersebut seketika itu tanpa melakukan gerakan-gerakan banyak, maka sholatnya tetap dihukumi sah, jika ia perlu melakukan gerakan-gerakan banyak maka sholatnya menjadi batal.

22. Terlihatnya Sebagian Kaki Yang Ditutupi Dengan Muzah (Sepatu) Atau kain.

23. Habisnya Masa Aktif Mengusap Muzah.

Oleh karena itu, sholatnya dihukumi batal karena batalnya sebagai toharoh, yaitu batalnya toharoh dari kedua kaki, bahkan apabila musholli membasuh kedua kakinya yang masih memakai muzah sebelum masa aktifnya habis maka basuhan tersebut tidak berpengaruh karena mengusap muzah dapat menghilangkan hadas sehingga basuhan baru tidak berpengaruh sebelum masa akfit mengusap muzah telah habis.

24. Meninggalkan Menghadap Kiblat

Sekiranya menghadap Kiblat itu disyaratkan semisal musholli sedang tidak dalam keadaan takut dan musholli sedang tidak melakukan sholat sunah di perjalanan karena menghadap Kiblat dalam dua sholat ini tidak menjadi syarat.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami