Safinatun Naja 41 - Waktu-Waktu Diam (saktah) di Dalam Sholat

Fasal ini membahas tentang Waktu waktu diam dalam shalat dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

Waktu-waktu diam (saktah) di dalam Sholat

Fasal ini menjelaskan tentang saktah (diam) dalam sholat.

Saktah termasuk salah satu sunah hai-ah.

Saktah yang disunahkan dalam sholat ada 6 (enam). Semua saktah dalam sholat sangatlah sebentar seukuran membaca سبحان الله. Dikecualikan yaitu saktah antara membaca آمين dan Surat, maka bagi imam sholat jahriah, lama saktah yang ia lakukan adalah seukuran makmum membaca Fatihah secara sedang dan biasa, bukan seukuran membaca سبحان الله. Pada saat itu, artinya pada saat makmum membaca Fatihah, imam disunahkan membaca Fatihah atau berdoa dengan pelan, tetapi yang lebih utama baginya adalah membaca Fatihah secara pelan. Dengan demikian, arti diam bagi imam pada saat makmum membaca Fatihah adalah tidak mengeraskan. Jika arti diam tidak demikian maka sudah barang tentu tidak dianjurkan diam dengan arti sebenarnya dalam sholat. Ibnu Hajar mengatakan, “Diamnya imam pada saat itu adalah ketika ia tidak tahu kalau makmum telah membaca Fatihah.”

1. Saktah antara Takbiratul Ihram dan Doa Iftitah.

Maksudnya, musholli disunahkan bersaktah (diam) di antaratakbiratul ihram dan membaca doa iftitah.

Doa iftitah sangatlah banyak, di antaranya adalah;

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًا وَّمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إِنَّ الصَّلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.

Aku menghadapkan diriku kepada Dzat yang telah menciptakan langit-langit dan bumi. Aku menghadap kepada-Nya sebagai hamba yang lurus dan pasrah. Dan aku bukanlah termasuk golongan kaum musyrikin. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya milik Allah Yang Merajai seluruh alam semesta. Tidak ada sekutu baginya. Dengan itulah aku diperintahkan dan aku termasuk dari kaum muslimin.

Termasuk doa iftitah adalah;

اَلْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ.

Segala pujian hanya milik Allah dengan pujian yang banyak, baik, dan diberkahi.

Termasuk doa iftitah adalah;

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلَاإِلهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ.

Maha Suci Allah. Segala pujian hanya milik Allah. Tidak ada tuhan selain Allah. Allah Maha Besar.

Termasuk doa iftitah adalah;

اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَّالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيْرًا وَّسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلًا.

Allah Maha Besar. Segala pujian hanya milik Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore.

Termasuk doa iftitah adalah;

اَللّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُّ مِنَ الدَّنَسِ اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ.

Ya Allah. Jauhkanlah jarak antaraku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan jarak antara timur dan barat. Ya Allah. Bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah basuhlah aku dengan air, es, dan embun.

Dengan doa iftitah manapun, musholli telah menghasilkan asal kesunahan, tetapi yang lebih utama adalah وَجَّهْتُ .... إلخ dst.

Disunahkan menggabung doa-doa iftitah di atas bagi musholli yang sholat sendirian atau munfarid atau bagi imam yang para makmumnya terbatas jumlahnya dan yang ridho diperlama sholatnya, berbeda dengan pendapat Adzrui. Munfarid atau imam tersebut menambahi bacaan doa iftitah dengan bacaan berikut:

اَللّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ رَبِّيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ جَمِيْعًا فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الدُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ وَاهْدِنِيْ لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ فَإِنَّهُ لَايَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئِهَا فَإِنَّهُ لَايَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ رَبِّيْ وَتَعَالَيْتَ فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

Ya Allah. Engkau adalah Raja. Tidak ada tuhan selain Engkau. Ya Tuhan-ku. Aku adalah hamba-Mu. Aku telah menganiaya diriku sendiri. Aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah dosa- dosa karena sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa- dosa kecuali Engkau. Tunjukkanlah aku pada akhlak-akhlak yang paling baik karena sesungguhnya tidak ada yang bisa menunjukkan ke akhlak-akhlak yang paling baik kecuali Engkau. Jauhkanlah aku dari akhlak-akhlak yang buruk karena sesungguhnya tidak ada yang bisa menjauhkan darinya kecuali Engkau. Aku sambut panggilan-Mu dengan setia siap menerima perintah-Mu. Seluruh kebaikan ada di kuasa-Mu dan seluruh keburukan bukanlah disandarkan kepada-Mu. Maha Mulia Engkau. Ya Tuhan-ku. Maha Luhur Engkau. Hanya milik-Mu segala pujian sesuai dengan apa yang telah Engkau kehendaki. Aku meminta ampunan dari-Mu. Dan aku bertaubat kepada-Mu.

Perkataan “seluruh keburukan bukanlah disandarkan kepada-Mu” berarti bahwa tidak ada keburukan yang dapat digunakan untuk mendekat kepada-Mu. Menurut qil, perkataan tersebut berarti bahwa keburukan tidak semata-mata disandarkan kepada-Mu dan hanya ucapan yang baik dan amal yang sholih yang akan naik ke hadapan-Mu. Menurut qil, perkataan tersebut berarti bahwa tidak ada keburukan yang dinisbatkan kepada-Mu karena sesungguhnya Engkau telah menciptakan keburukan karena ada hikmah besar dibaliknya, tetapi keburukan tersebut hanyalah dinisbatkan kepada para makhluk-Mu. Demikian ini dikutip oleh Suwaifi dari Mughni al-Khotib.

Ketahuilah sesungguhnya membaca doa iftitah tidak disunahkan kecuali dengan 5 (lima) syarat, yaitu:

  1. Musholli tidak sedang melakukan sholat jenazah meskipun di atas kuburan.
  2. Musholli tidak kuatir terlewatnya waktu adak, yaitu waktu yang cukup untuk digunakan melakukan satu rakaat.
  3. Makmum tidak kuatir terlewatnya sebagian bacaan Fatihah.
  4. Makmum sedang tidak mendapati imam di selain posisi saat imam berdiri. Oleh karena itu, apabila makmum mendapati mengikuti imam di saat imam dalam posisi i’tidal maka makmum tersebut tidak perlu berdoa iftitah. Akan tetapi, apabila makmum mendapati imam di tasyahud, kemudian imam mengucapkan salam atau imam berdiri sebelum makmum sempat duduk bersamanya maka makmum tersebut disunahkan membaca doa iftitah.
  5. Musholli belum masuk membaca ta’awudz atau Fatihah meskipun ia membaca keduanya sebab lupa. Apabila ia telah membaca ta’awudz atau Fatihah maka ia tidak perlu kembali membaca doa iftitah sebab tempat dianjurkannya membaca doa iftitah telah terlewat.
  6. 2. Saktah di antara Doa Iftitah dan Ta’awudz.

    Maksudnya, musholli disunahkan bersaktah (diam) di antara doa iftitah dan ta’awudz.

    Teks atau sighot ta’awudz yang paling utama adalah:

    أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

    Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.

    Menurut qil, teks ta’awudz disebutkan:

    أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

    Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Mengetahui dari setan yang terkutuk.

    Ta’awudz disunahkan dibaca di setiap rakaat ketika hendak membaca Fatihah atau penggantinya, tetapi membaca ta’awudz karena hendak membaca Fatihah adalah yang sangat disunahkan.

    Ta’awudz disunahkan dibaca di setiap berdiri saat melakukan sholat gerhana. Kesunahan membaca ta’awudz bisa terlewat sebab telah masuk membaca Fatihah meskipun karena lupa. Berbeda apabila lisan musholli terlanjur memulai membaca Fatihah maka membaca ta’awudz masih disunahkan.

    Syarat-syarat kesunahan membaca ta’awudz adalah seperti syarat-syarat kesunahan membaca doa iftitah, hanya saja membaca ta’awudz tetap disunahkan di dalam sholat jenazah dan disunahkan dalam masalah apabila makmum mengikuti imam yang sedang dalam posisi duduk, kemudian makmum duduk bersama imam, kemudian ia berdiri, kemudian ia disunahkan membaca ta’awudz, karena makmum belum memulai membaca Fatihah.

    Apabila dalam sholat selain sholat Id, tempat membaca ta’awudz adalah setelah membaca doa iftitah. Apabila dalam sholat Id, tempat ta’awudz adalah setelah takbir-takbir-nya.

    3. Saktah di antara Fatihah dan Ta’awudz

    Maksudnya, musholli disunahkan bersaktah (diam) di antara membaca Fatihah dan ta’awudz.

    4. Saktah di antara Akhir Fatihah dan Amin

    Maksudnya, musholli disunahkan bersaktah (diam) di antara akhir Fatihah, yaitu lafadz الضالين dan amin.

    Nawawi berkata dalam kitab at-Tibyan;

    Disunahkan membaca آمين bagi setiap orang yang telah selesai dari membaca Fatihah, baik di dalam sholat atau di luarnya.

    Lafadz amin آمين memiliki 4 (empat) bahasa. Ulama mengatakan bahwa yang paling fasih di antara empat bahasa tersebut adalah آمين yakni dengan membaca mad pada huruf hamzah dan tidak mentasydid huruf mim. Bahasa yang kedua adalah أمين, yakni dengan tidak membaca mad pada huruf hamzah. Dua bahasa ini adalah yang masyhur. Bahasa yang ketiga adalah آمين yakni dengan dibaca imalah (amen) disertai membaca mad pada huruf hamzah, seperti yang diceritakan dari Wahidi dari Hamzah dan Kisai. Bahasa yang keempat adalah آمّين yakni dengan mentasydid huruf mim disertai mad pada huruf hamzah, seperti yang diceritakan oleh Wahidi dari Hasan dan Husain bin Fadhl. Bahasa yang keempat ini dibuktikan dengan adanya riwayat dari Jakfar Shodiq rodhiallahu‘anhu bahwa ia berkata, ‘Makna lafadz آمّين adalah hamba-hamba yang menyengaja menuju ke arah-Mu dan Engkau tidak akan mengkhianati hamba yang menyengaja menuju-Mu.’ Riwayat ini dikatakan oleh Wahidi. Bahasa yang keempat ini tergolong bahasa yang sangat langka, bahkan kebanyakan ulama menganggapnya sebagai bahasa yang termasuk kekeliruan dari kaum awam. Segolongan dari ashab kami berkata bahwa barang siapa membaca آمّين di dalam sholat maka sholatnya menjadi batal.

    Sampai sinilah perkataan Nawawi berakhir.

    Pernyataan Mushonnif ‘di antara akhir Fatihah dan amin ditambahkan penjelasan bahwa disunahkan membaca di antara keduanya رَبِّ اغْفِرْلِيْ آمين (Ya Allah. Ampunilah aku). Ini berdasarkan hadis dari Hasan bahwa setelah membaca الضالين Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama membaca رَبِّ اغْفِرْلِيْ آمين.

    5. Saktah di antara Amin dan Suratan

    Maksudnya, musholli disunahkan bersaktah (diam) di antara membaca amin dan suratan. Membaca suratan disunahkan di selain sholat jenazah dan selain sholat yang dilakukan oleh musholli yang faqid tuhuroini (yang tidak mendapati air dan debu) meskipun ia adalah orang junub.

    Asal kesunahan membaca suratan dapat dihasilkan dengan membaca basmalah dengan catatan tidak menyengaja kalau basmalah yang dibacanya tersebut merupakan awal dari Fatihah.

    Kesunahan membaca suratan sudah dicukupkan dengan membaca awail-suwar, seperti; ن ق ص ألم berdasarkan ketetapan bahwa awail-suwar merupakan ayat-ayat yang berkedudukan sebagai mubtadak atau khobar. Ketetapan ini didasarkan atas alasan bahwa awail-suwar merupakan satu ayat yang sebagian ayatnya dibuang.

    Nawawi berkata : Sunahnya adalah musholli membaca Surat as-Sajdah secara lengkap di rakaat pertama dan Surat al-Insan secara lengkap di sholat Subuh di hari Jumat. Janganlah ia melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan imam masjid, yaitu hanya membaca satu ayat dari as-Sajdah dan satu ayat dari al-Insan disertai memanjangkan bacaan, tetapi ia hendaknya membaca dua Surat tersebut secara lengkap, secara pelan-pelan atau sedikit dipercepat dengan menetapi sifat tartil.

    Ketika sholat Jumat, sunahnya adalah musholli membaca Surat al- Jumuah secara lengkap di rakaat pertama dan Surat al-Munafiqun secara lengkap di rakaat kedua, atau ia membaca Surat al-A’la di rakaat pertama dan Surat al-Ghosyiah di rakaat kedua. Masing- masing dari keduanya ini berdasarkan hadis shohih dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Musholli hendaknya menghindari membaca hanya sebagian ayat dari masing-masing Surat, melainkan ia membacanya secara lengkap, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya.

    Ketika sholat Id, sunahnya adalah bahwa musholli membaca Surat Qof secara lengkap di rakaat pertama dan membaca Surat al-Qomar secara lengkap di rakaat kedua, atau bisa juga ia membaca Surat al- A’la secara lengkap di rakaat pertama dan membaca Surat al- Ghosyiah secara lengkap di rakaat kedua. Masing-masing keduanya ini berdasarkan hadis shohih dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama. Musholli hendaknya menghindari membaca hanya sebagian ayat dari masing-masing Surat, melainkan ia membacanya secara lengkap.

    Ketika sholat sunah Subuh, sunahnya adalah bahwa musholli membaca Surat al-Kaafirun secara lengkap di rakaat pertama dan membaca Surat al-Ikhlas secara lengkap di rakaat kedua, atau bisa juga ia membaca : قولوا آمنّا بالله وما أنزل إلينا .... الآية di rakaat pertama dan membaca : قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ... الآية dirakaat kedua. Masing-masing dari keduanya ini berdasarkan teladan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.

    Dalam sholat sunah Maghrib, sunahnya adalah bahwa musholli membaca Surat al-Kafirun secara lengkap di rakaat pertama dan membaca Surat al-Ikhlas secara lengkap di rakaat kedua. Selain itu, dua Surat ini juga disunahkan di baca di dalam dua rakaat sholat sunah towaf dan dua rakaat sholat istikhoroh.

    Dalam sholat witir yang terdiri dari tiga rakaat, sunahnya adalah musholli membaca Surat al-A’la di rakaat pertama, membaca Surat al-Kafirun di rakaat kedua, dan membaca Surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas di rakaat ketiga.

    Sampai sinilah kutipan dari Nawawi berakhir.

    6. Saktah di antara membaca Surat dan Rukuk.

    Maksudnya, musholli disunahkan bersaktah (diam) di antara membaca Surat dan rukuk.

    Nawawi berkata;

    Para ashab kami berkata bahwa disunahkan bagi imam dalam sholat jahriah untuk bersaktah (diam sebentar) dengan empat saktah, yaitu:

    1. Saktah pada saat imam berdiri, yakni saktah setelah bertakbiratul ihram untuk membaca doa iftitah. Pada saat saktah ini, hendaklah makmum segera bertakbiratul ihram.
    2. Saktah pada saat imam telah selesai dari membaca Fatihah dengan saktah yang sangat sebentar di antara akhir Fatihah dan bacaan amin agar mengajarkan bahwa bacaan amin tidak termasuk bagian dari Surat Fatihah agar tidak terjadi kesalah pahaman kalau amin termasuk bagian darinya.
    3. Saktah setelah membaca amin dengan saktah yang cukup lama, sekiranya lamanya saktah tersebut seukuran dengan lamanya makmum membaca Fatihah.
    4. Saktah setelah selesai membaca suratan agar saktah tersebut memisahkan antara bacaan suratan dan takbir untuk turun melakukan rukuk.

    Perihal Hukum Lafadz بَيْنَ

    [FAEDAH]

    Abu Qosim al-Hariri berkata dalam kitab Durroh al- Ghowas;

    Termasuk kekeliruan nyata adalah bahwa mereka berkata dengan pernyataan المال بين زيد وبين عمرو dengan mengulangi lafadz بَيْنَ.

    Ini adalah kekeliruan mereka. Yang benar yaitu بين زيد وعمرو seperti dalam Firman Allah : من بين فرث ودم. Alasan mengapa lafadz بين hanya disebutkan sekali saja adalah karena lafadz بين melatar belakangi adanya isytirok (persekutuan) sehingga tidak dapat masuk kecuali pada lafadz yang mutsanna atau jamak, seperti perkataanmu المال بينهما والدار بين الإخوة. Adapun firman Allah yang berbunyi مذبذبين بين ذلك maka lafadz ذلك mewakili dua perkara sehingga ia menempati kedudukannya dua lafadz meskipun dari segi lafadz ia berbentuk mufrod. Apakah kamu tidak tahu kalau perkataanmu ظننت ذلك maka lafadz ذلك tersebut menempati kedudukan dua maf’ul-nya ظننت. Dan pentakdiran Firman Allah tersebut adalah مذبذبين بين ذينك الفرقين. Pentakdiran ini dijelaskan dengan firman Allah ta'ala, لا إلى هؤلاءء ولا إلى هؤلاء. Perbandingannya adalah sama dengan lafadz أحد (yang secara lafadz berbentuk mufrod tetapi secara makna bukanlah mufrod) dalam firman Allah ta'ala لانفرق بين أحد من رسله karena lafadz أحد tersebut mencakup jenis yang bisa bermakna mutsanna atau jamak dan lafadz أحد tersebut tidak bermakna mufrod berdasarkan bukti dari firman Allah Ta'ala يا نساء النبي لستن كأحد من النساء.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami