Safinatun Naja 40 - Keharaman Melaksanakan Shalat

Fasal ini membahas tentang Keharaman Melaksanakan shalat di waktu tertentu dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Keharaman Melaksanakan Sholat

Fasal ini menjelaskan tentang sholat yang diharamkan dari segi waktunya dan melakukannya.

Diharamkan melakukan sholat yang tidak memiliki sebab yang mendahuluinya atau menyertainya di selain tanah Haram Mekah pada saat 5 (lima) waktu, seperti yang akan disebutkan nanti. Sholat yang dilakukan pada 5 waktu ini dihukumi tidak sah dan musholli yang melakukannya tidak dihukumi kufur.

Sholat-sholat yang diharamkan dilakukan di 5 (lima) waktu ini adalah sholat-sholat yang tidak memiliki sebab, sekiranya sholat- sholat tersebut memang tidak memiliki sebab sama sekali, seperti sholat sunah mutlak, atau memiliki sebab yang belakangan (bukan mendahului dan menyertai sholat), seperti sholat Ihram, sholat Istikhoroh, yaitu sholat mencari kebaikan perkara dunia dan akhirat, sholat ketika hendak bepergian, sholat ketika keluar dari rumah dan ketika berperang, dan sholat taubat.

Berbeda dengan sholat yang memiliki sebab yang mendahului, maka tidak diharamkan melakukannya di 5 (lima) waktu ini nanti, seperti sholat faitah (sholat hutang) karena sebabnya telah terjadi di waktu lampau, baik sholat faitah tersebut sunah atau wajib, karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama melakukan sholat 4 (empat) rakaat setelah sholat Ashar dan berkata, “Dua sholatan (4 rakaat) ini adalah dua sholat sunah setelah sholat Dzuhur.” Sama seperti sholat faitah adalah sholat mandzuroh (yang dinadzarkan), sholat mu’adah, sholat jenazah, sholat sujud tilawah, dan sholat sujud syukur.

Berbeda juga dengan sholat yang memiliki sebab yang menyertainya maka tidak diharamkan dilakukan di 5 (lima) waktu ini nanti, seperti sholat istisqo, sholat gerhana, karena sebab keduanya, yaitu kekurangan air dan perubahan bulan dan matahari, selalu terjadi bersamaan dengan sholat. Oleh karena itu wajib melakukan takbiratul ihram di saat gerhana masih berlangsung. Apabila gerhana telah hilang maka tidak sah takbiratul ihramnya. Pengertian muqoronah atau sebab yang menyertai adalah jatuhnya takbiratul ihram di saat sebab atau faktor yang menganjurkan sholat masih terjadi, meskipun di tengah-tengah sebab tersebut. Apabila yang dimaksud dengan muqoronah adalah terjadinya takbiratul ihram dan sebab sholat dalam satu titik waktu yang sama dari segi permulaan maka sudah barang tentu sholat gerhana termasuk sholat yang sebabnya mendahului, karena tidak boleh bertakbiratul ihram sholat kecuali setelah permulaan sebab. Oleh karena alasan ini, ada sebagian ulama yang memasukkan sholat gerhana sebagai salah satu contoh dari sholat yang sebabnya mendahului, bukan menyertai.

Adapun sholat di 5 (lima) waktu ini nanti di tanah Haram Mekah, baik di masjidnya atau lainnya maka hukum sholatnya tidak dimakruhkan secara mutlak, karena ada hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan lainnya, “Hai anak cucu Abdu Manaf! Janganlah kalian melarang seorangpun yang towaf di Baitullah dan yang sholat disana kapanpun yang ia inginkan, baik malam atau siang.” Akan tetapi sholat di tanah Haram di saat 5 (lima) waktu ini hukumnya khilaf aula karena keluar dari perbedaan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah rodhiyallahu anhuma. Berbeda dengan tanah Haram Madinah, maka hukum sholat disana pada saat

5 (lima) waktu ini nanti hukumnya sama seperti yang lainnya, artinya, dimakruhkan. 5 (lima) waktu yang dimaksud adalah;

1. Ketika permulaan terbit matahari sampai matahari naik ke atas sekitar satu tombak.

Apabila ia telah naik setombak maka sholatnya sah secara mutlak. Panjang satu tombak adalah 7 (tujuh) dzirok (Satu Dzirok al-Muktadil menurut kebanyakan orang adalah 48 cm. Menurut al-Makmun adalah 41,666625. Menurut an-Nawawi adalah 44,720 cm. Menurut ar-Rofii adalah 44,820 cm.) menurut pandangan mata dengan ukuran dzirok anak adam. Adapun ulama yang menghitung setombak dengan ukuran 4 (empat) dzirok maka yang dimaksud adalah menurut ukuran dzirok tukang pandai besi.

2. Ketika waktu istiwak, yaitu matahari tepat di tengah-tengah langit di selain hari Jumat, sampai tergelincir (zawal).

Ketahuilah sesungguhnya waktu istiwak sangat sulit diketahui, bahkan hampir tidak diketahui sama sekali sampai matahari tergelincir, tetapi meskipun waktu istiwak sulit diketahui maka apabila musholli menjatuhkan takbiratul ihram pada waktu istiwak maka sholatnya tidak sah. Adapun waktu istiwak di hari Jumat maka melakukan sholat pada saat itu, meskipun musholli bukan orang yang menghadiri sholat Jumat, maka sholatnya tetap sah. Adapun sholat yang dilakukan di selain waktu istiwak, maka hukum sholat di hari Jumat adalah seperti hukum sholat di hari-hari lainnya.

3. Waktu di saat kuning-kuning matahari masih terjadi sampai matahari betul-betul terbenam karena memang adanya larangan melakukan sholat pada waktu tersebut.

Hasan al- Baghowi berkata dalam kitab al-Mashobih bahwa Utbah bin Amir berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama melarang kita melakukan sholat dan mengubur mayit di 3 (tiga) waktu, yaitu ketika matahari terbit sampai naik (setinggi satu tombak), ketika matahari di tengah langit (istiwak) sampai ia tergelincir (zawal), dan ketika matahari hampir terbenam sampai benar-benar terbenam.” Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim.

Dalam hadis, lafadz ‘ﺑﺎزﻏﺔ’ berarti ‘ﻃﺎﻟﻌﺔ’ atau yang terbit. Lafadz ‘اﻟﻈﻬﲑة’ berarti ‘اﳍﺎﺟﺮة’ atau waktu tengah hari, yaitu

ketika matahari tergelincir. Yang bangun saat tengah hari itu adalah unta karena panasnya tanah. Makna hadis adalah ketika unta bangun. Lafadz ‘ﺗﻀﻴﻔﺖ’ dengan huruf fa (ف) berarti hampir, seperti yang disebutkan dalam kitab al- Misbah al-Munir.

4. Waktu setelah melaksanakan sholat Subuh, yaitu bagi orang yang melaksanakan sholat Subuh secara adak yang tidak perlu menqodho.

Apabila sholat Subuh yang ia laksanakan adalah sholat Subuh qodho atau sholat Subuh adak tetapi masih wajib mengqodhonya, seperti sholat Subuh yang dilaksanakan oleh orang yang bertayamum di tempat yang pada umumnya ada air, maka tidak haram baginya sholat setelah sholat Subuh, bahkan baginya sholat sunah mutlak pun sah dilakukan setelah sholat Subuh.

Keharaman sholat setelah sholat Subuh adalah sampai matahari terbit dan naik setinggi satu tombak karena keharaman dari segi perbuatan terus berlangsung sampai matahari naik, tetapi keharaman dari segi perbuatan hanya berlaku sebelum matahari terbit saja. Adapun setelah terbit, maka keharamannya adalah dari segi waktu atau zaman.

5. Setelah melaksanakan sholat Ashar, yaitu bagi orang yang melaksanakan sholat Ashar secara adak yang tidak perlu menqodho.

Apabila sholat Ashar yang ia laksanakan adalah sholat Ashar qodho atau sholat Ashar adak tetapi masih wajib mengqodhonya, seperti sholat Ashar yang dilaksanakan oleh orang yang bertayamum di tempat yang pada umumnya ada air, maka tidak haram baginya sholat setelah sholat Ashar, bahkan sholat sunah mutlak pun sah, seperti yang dijelaskan dalam sholat Subuh.

Hukum sholat yang dilaksanakan setelah sholat Ashar adalah haram dan tidak sah, meskipun sholat Ashar-nya dijamakkan secara jamak takdim, seperti seseorang mendahulukan pelaksanakan sholat Ashar dan menjamaknya secara jamak takdim dengan sholat Dzuhur. Oleh karena inilah, di kalangan ulama Syafiiah terdapat suatu ungkapan, “Seseorang dimakruhkan baginya sholat sunah setelah tergelincirnya matahari dan sebelum panjang bayangan suatu benda sama dengan panjang benda tersebut.”

Keharaman sholat setelah sholat Ashar adalah sampai tenggelam matahari. Batasan sampai tenggelam matahari ini mencakup juga waktu di saat nampaknya kuning-kuning sorot matahari karena keharaman sholat yang berhubungan dengan perbuatan akan terus berlangsung sampai tenggelam matahari meskipun setelah terlewatnya kuning-kuning sorot matahari yang keharaman tersebut disertai atau bersamaan dengan keharaman yang berhubungan dengan zaman/waktu.

Larangan sholat setelah sholat Subuh dan Ashar adalah berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Janganlah kalian sholat setelah sholat Subuh sampai matahari naik dan setelah sholat Ashar sampai matahari tenggelam.”

Kesimpulannya adalah bahwa dari 5 (lima) waktu ini, ada 3 (tiga) waktu yang larangan sholatnya berhubungan dengan waktu, yaitu ketika terbit matahari, ketika istiwak, dan ketika kuning sorot matahari.

Dan terkadang larangan sholat pada saat terbit matahari dan kuning sorot matahari juga berhubungan dengan perbuatan (sholat).

Terkadang larangan sholat yang berhubungan dengan waktu dan juga perbuatan terjadi secara bersamaan bagi orang yang melakukan sholat fardhu sedangkan waktu telah memasuki waktu larangan, seperti ada musholli sholat Subuh di saat matahari terbit atau ia sholat Ashar di saat matahari menguning, maka haram baginya sholat sunah pada saat demikian dimana larangan keharaman tersebut dari segi perbuatan dan juga waktu.

Adapun larangan nomer [4] dan [5], yaitu setelah sholat Subuh dan sholat Ashar maka larangan sholat hanya berhubungan dengan perbuatan saja.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami