Safinatun Naja 43 - Sebab Sebab Sujud Sahwi
(فَصْلٌ)
Perkara-perkara yang Melatar Belakangi Sujud Sahwi dan yang Berhubungan dengannya
Fasal ini menjelaskan tentang perkara-perkara yang menganjurkan untuk melakukan sujud sahwi dan perkara-perkara lain yang berhubungan dengannya.
Sabab-sabab sujud sahwi dalam sholat fardhu atau sunah ada 4 (empat).
Lafadz الأسباب (sabab-sabab) adalah bentuk jamak dari mufrod السبب
Pengertian sabab menurut bahasa adalah sesuatu yang dijadikan sebagai perantara untuk menghasilkan sesuatu yang lain. Pengertian sabab menurut istilah adalah sesuatu yang wujudnya menetapkan wujud karena dzatnya dan sesuatu yang ketiadaannya menetapkan ketiadaan karena dzatnya.
Pengertian sahwi menurut bahasa adalah lupa sesuatu atau lalai darinya. Menurut istilah, sahwi adalah lupa sesuatu tertentu dari sholat, seperti; pada umumnya lupa melakukan salah satu dari sunah- sunah ab’ad sholat, atau yang tidak umum terkadang musholli memanjangkan rukun qosir (pendek) dan mengulang-ulang rukun karena lupa.
Adapun yang dimaksud dengan sahwi dalam fasal ini adalah cacat apapun yang terjadi dalam sholat, baik cacat tersebut terjadi secara sengaja atau lupa.
1. Meninggalkan Sunah Ab’ad Sholat.
Sebab sujud sahwi yang pertama adalah meninggalkan secara yakin, meski disengaja, salah satu dari sunah-sunah ab’ad sholat yang berjumlah 7 (tujuh), seperti yang akan dijelaskan dalam keterangan Mushonnif. Atau meninggalkan sebagian dari salah satu itu, seperti; meninggalkan sebagian kalimah dari bacaan qunut yang mana kalimah tersebut telah tetap riwayatnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, atau seperti; Mengganti satu huruf dengan huruf lain.
Adapun membuang huruf ف qunut dalam lafadz فإنّك تقضى atau membuang huruf و dari lafadz ولا يذلُّ maka tidak menetapkan anjuran melakukan sujud sahwi karena masalah pembuangan ini masih diperselisihkan di kalangan pendapat ulama. Adapun pernyataan yang dikatakan oleh Syarqowi dan Usman dalam Tuhfah al-Habib tentang kesunahan sujud sahwi sebab membuang huruf فdan و di atas adalah pendapat yang dhoif.
Syaikhuna Khotib berkata, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab al-Minhaj al-Qowim, “Menambahkan huruf ف dan و dalam qunut (dari lafadz فإنّك تقضى dan ولا يذلُّ) diambil dari riwayat yang menjelaskan tentang qunut sholat witir.”
2. Melakukan sesuatu yang dapat membatalkan jika sesuatu tersebut dilakukan secara sengaja dan tidak membatalkan jika sesuatu tersebut dilakukan secara lupa.
Sebab kedua sujud sahwi adalah melakukan sesuatu yang membatalkan jika dilakukan secara sengaja dan tidak membatalkan jika dilakukan karena lupa, baik disertai tambahan sebab menambal rukun atau pun tidak disertai demikian, misalnya; memperlama melakukan rukun qosir (i’tidal) yang tidak dianjurkan untuk diperlama, memperlama duduk antara dua sujud, berbicara sedikit atau makan sedikit karena lupa, menambahi rakaat karena lupa, atau melakukan salam tidak sesuai dengan tempatnya.
3. Memindah Rukun Qouli
Sebab sujud sahwi ketiga adalah memindah rukun atau lainnya yang qouli atau sebagiannya, meskipun secara sengaja, tidak sesuai pada tempatnya, yang mana memindahnya tersebut tidak membatalkan. Misalnya; membaca al-Fatihah atau Surat Ikhlas atau sebagian dari keduanya di saat duduk dengan berniat qiroah.
Dikecualikan adalah beberapa bacaan tasbih, maka menurut pendapat muktamad tidak perlu sujud sahwi sebab memindah mereka di tempat yang tidak sesuai meskipun secara sengaja karena semua sholat menerima bacaan-bacaan tasbih ketika tidak ada larangan membacanya di bagian sholat tertentu. Berbeda dengan bacaan Fatihah, maka dilarang membacanya di bukan tempatnya.
Mengecualikan dengan keterangan yang telah disebutkan di atas adalah memindah rukun fi’li, salam, dan takbiratul ihram secara sengaja, misalnya; musholli bertakbir untuk yang kedua kali dengan memaksudkan takbiratul ihram maka demikian ini dapat membatalkan sholat sebab orang yang telah mengawali sholat satu, kemudian ia mengawali sholat lain, maka sholat yang pertama dihukumi batal. Dari sini, dapat diketahui perbedaan antara mengapa memindah rukun qouli tidak membatalkan sholat sedangkan memindah rukun fi’li dapat membatalkannya, yaitu karena memindah rukun qouli tidak merubah hai-ah (pertingkah) sholat sedangkan memindah rukun fi’li menyebabkan merubah hai-ah-nya.
4. Menjatuhkan Rukun Fi'il Disertai Keraguan.
Maksudnya, sebab sujud sahwi keempat adalah menjatuhkan rukun fi’li disertai ragu menambahi, misalnya; musholli mengalami keraguan saat ia berada di rakaat ketiga dalam sholat rubaiah (Dzuhur, Ashar, Isyak), apakah ia telah melakukan 3 rakaat sedangkan ia hendak menambahi satu rakaat sebagai rakaat keempat atau apakah ia telah melakukan 4 rakaat sedangkan ia hendak menambahi satu rakaat sebagai rakaat kelima, kemudian ia meyakinkan dirinya, ia berdiri dan melakukan satu rakaat, setelah ia berdiri tegak, di tengah-tengah satu rakaat itu dan sebelum salam, ia baru ingat kalau rakaat yang sedang dilakukannya itu adalah rakaat keempat, maka ia disunahkan melakukan sujud sahwi karena rukun- rukun yang telah ia lakukan dalam satu rakaat tersebut sebelum ia ingat mengandung kemungkinan kalau rukun-rukun tersebut termasuk dari rakaat kelima atau dari rakaat keempat. Berbeda apabila sebelum berdiri tegak untuk menambahi satu rakaat, musholli ingat kalau rakaat yang ia ragukan itu adalah rakaat keempat maka ia tidak bersujud sahwi karena rukun-rukun dari rakaat yang diragukan itu tidak mengandung unsur menambahi sebab rukun-rukun tersebut sudah pasti termasuk dari rakaat, baik saat itu ia sedang dalam rakaat ketiga atau keempat.
[CABANG]
Apabila setelah salam sholat, seseorang ragu tentang meninggalkan suatu kefardhuan selain niat dan takbiratul ihram, maka sholatnya tetap sah karena menurut keadaan dzohir-nya, sholatnya telah selesai.
Lupa yang terjadi di saat musholli berqudwah (menjadi makmum), misalnya; musholli lupa melakukan tasyahud awal yang ditanggung oleh imam sebagaimana imam menanggung membaca keras, membaca Surat, dan lain-lain, maka tidak perlu melakukan sujud sahwi.
Apabila makmum menyangka (dzon) kalau imam-nya mengucapkan salam, kemudian makmum mengucapkan salam, ternyata sangkaannya salah, maka makmum mengikuti imam dalam salam dan makmum tidak perlu sujud sahwi karena lupa yang dialaminya terjadi pada saat ia masih berqudwah kepada imam.
Apabila pada saat tasyahud, musholli ingat kalau ia meninggalkan satu rukun selain niat atau takbiratul ihram, maka setelah salamnya imam, ia menambahi satu rakaat, semisal ia meninggalkan satu sujud yang bukan sujud terakhir, dan ia tidak perlu sujud sahwi karena lupanya terjadi pada saat ia bermakmum (qudwah) kepada imam.
Beda halnya dengan lupa yang terjadi sebelum menjadi makmum (qudwah), misal; musholli munfarid (sholat sendirian) telah meninggalkan satu rukun selain niat atau takbiratul ihram karena lupa, kemudian di tengah sholatnya, ia bermakmum kepada imam, maka imam tidak dapat menanggung rukun yang ditinggalkan makmum tersebut sebab lupanya makmum terjadi sebelum ia bermakmum kepada imam. Maka, ia nanti bersujud sahwi.
Begitu juga dengan lupa yang terjadi setelah menjadi makmum (qudwah) semisal ia lupa melakukan satu rukun setelah salamnya imam, baik makmum tersebut masbuk atau muwafik, maka ia dianjurkan melakukan sujud sahwi karena lupanya terjadi setelah selesainya qudwah. Oleh karena ini, apabila makmum masbuk mengucapkan salam karena mengikuti salamnya imam, lalu masbuk ingat kalau sholatnya seharusnya belum selesai, maka ia meneruskan sholatnya itu jika memang antara salamnya dan memulai meneruskan sholat tidak terpisah waktu yang lama, dan ia nanti melakukan sujud sahwi karena lupanya terjadi setelah ia selesai menjadi makmum (qudwah).
Sama halnya dianjurkan sujud sahwi, apabila makmum masbuk melakukan salam secara bersamaan dengan salamnya imam, kemudian makmum ingat kalau dirinya telah meninggalkan satu rukun, maka ia bersujud sahwi karena lupanya makmum, meskipun terjadi pada saat qudwah, tetapi qudwahnya tersebut telah dirusak oleh persiapan makmum memulai melakukan salam.
Disamakan dengan lupanya makmum adalah lupanya imam dan kesengajaan imam sebagaimana imam menanggung lupanya makmum, baik imam lupa sebelum makmum bermakmum kepadanya atau imam lupa pada saat makmum sedang bermakmum kepadanya. Oleh karena itu, apabila imam melakukan sujud karena lupa maka makmum wajib mengikuti sujudnya imam meskipun imam tidak tahu kalau dirinya itu lupa, bahkan apabila imam hanya melakukan satu sujud saja (baik karena lupa atau sengaja), maka makmum tetap wajib mengikuti imam, dan makmum nanti melakukan sujud kedua setelah salamnya imam karena apabila makmum tidak mengikuti imam maka sholatnya menjadi batal. Apabila makmum masbuk bermakmum kepada imam yang lupa melakukan sujud yang mana lupanya imam tersebut terjadi setelah makmum bermakmum kepada imam atau sebelum bermakmum kepadanya, maka makmum tersebut melakukan sujud bersamaan dengan imam, kemudian makmum bersujud di akhir sholatnya karena akhir sholat adalah tempatnya sujud sahwi, dan apabila imam tidak bersujud dan ia mengucapkan salam maka makmum masbuk melakukan sujud di akhir sholatnya agar menambal kekurangan sholatnya sebab lupanya imam.
Abdul Karim berkata, “Apabila imam telah berdiri pada rakaat kelima karena lupa maka makmum dilarang mengikuti imam meskipun makmum tersebut adalah makmum masbuk, tetapi ia diperkenankan untuk memilih antara berniat mufaroqoh (memisah dari qudwah) agar bisa mengucapkan salam sendirian atau menunggu imam agar ia bisa mengucapkan salam bersamanya. Kewajiban makmum untuk mengikuti imam dalam sujud sahwi adalah selama makmum tidak meyakini kesalahan imamnya, apabila makmum meyakininya maka ia tidak wajib mengikuti imamnya, seperti; imam melakukan sujud sahwi karena tidak membaca keras atau tidak membaca Surat.”
Meskipun lupa terjadi lebih dari satu kali, sujud sahwi tetap hanya dilakukan sebanyak dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi tanpa melafadzkan niatnya. Jadi, apabila musholli bersujud sahwi tanpa berniat sujud sahwi atau ia melafadzkan niatnya maka sholatnya menjadi batal. Bagi musholli yang sebagai makmum, ia tidak perlu berniat sujud sahwi karena ia mengikuti imam. Tempat dilakukannya sujud sahwi adalah sebelum salam, baik lupa yang dialami musholli adalah lupa menambahi (seperti; rukun) atau lupa mengurangi, atau lupa menambahi dan mengurangi.
Abdul Aziz berkata dalam kitab Fathu al-Mu’in, “Dua sujud sahwi dan duduk antara keduanya adalah sama seperti dua sujud sholat dan duduk antara keduanya dalam hal kewajiban, kesunahan, dan bacaan dzikirnya.”
Abdul Karim berkata dalam Hasyiah‘Ala Sittin olehnya sendiri, “Menurut pendapat qiil, musholli berkata dalam sujud sahwi;
سبحان من لا ينام ولا يسهو
Bacaan ini sesuai dengan keadaan musholli yang lupa. Adapun bacaan yang sesuai dengan musholli yang sengaja meninggalkan (spt; rukun) dalam sholat adalah bacaan istighfar saat melakukan sujud sahwi.”
Syabromalisi mengatakan bahwa pendapat aujah menyatakan tentang kesunahan membaca dalam sujud sahwi;
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
Apabila musholli mengucapkan salam secara sengaja atau lupa, sedangkan menurut ‘urf waktu telah terlewat lama setelah salam, maka sujud sahwi telah terlewat, jika waktu yang terlewat belum lama maka ia segera bersujud sahwi.
Ketika musholli ingin melakukan sujud sahwi setelah ia mengucapkan salam karena lupa maka ia kembali ke sholat, artinya, ia wajib mengulangi mengucapkan salam, tetapi apabila setelah ia kembali ke sholat, lalu ia berhadas, maka sholatnya batal.
Apabila waktu dzuhur habis pada saat melakukan sujud sahwi maka sholat Jumat menjadi terlewat.
Apabila seseorang ingat kalau dirinya telah meninggalkan satu rukun sholat atau ia ragu apakah ia meninggalkan satu rukun atau tidak, maka ia wajib menambal rukun tersebut sebelum melakukan sujud sahwi, tetapi apabila ia tidak menambalnya dan ia melakukan sujud sahwi maka sholatnya menjadi batal. Oleh sebab kasus ini, dikatakan, “Di kalangan Syafiiah terdapat seseorang yang hendak melakukan kesunahan, kemudian ia diwajibkan melakukan kefardhuan,” atau, “Seseorang kembali hendak melakukan kesunahan dan ia berkewajiban melakukan kefardhuan,” atau, “Di kalangan Syafiiah terdapat suatu kesunahan yang menetapkan kefardhuan.”
فصل فيما يتعلق بالطمأنينة ada ustadz؟
ada tapi hanya penjelasannya saja. Adapun matannya belum saya tulis. Safinatun Naja 42 - Perkara Perkara Yang Berhubungan Dengan Tumakninah