Menguburkan Jenazah | Kitab Safinatun Naja 61 : fasal ke 54

Fasal ini membahas tentang tata cara menguburkan jenazah dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

اقل الدفن حفرة تكتم رائحته وتحرسه من السباع. واكمله قامة وبسطة, ويوضع خده على التراب ويجب توجيهه الى القبلة

Sumber Matan Safinatun naja

Menguburkan Jenazah

Paling sedikitnya menguburkan jenazah cukup dengan lubang yang dapat mencegah bau jenazah dan dapat melindunginya dari serangan hewan buas. Sedangkan sempurnanya menguburkan jenazah adalah sedalam ukuran manusia ditambah acungan tangan keatas, kemudian pada pipi jenazah diletakkan tanah dan wajib dihadapkan ke kiblat.

Fasal ini menjelaskan tentang menguburkan jenazah dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya.

Secara minimal, kuburan adalah lubang yang dapat menutupi bau mayit dan melindunginya dari binatang-binatang buas.

Lafadz تَكْتُمُ (menutupi/menyembunyikan) termasuk dari bab قَتَلَ يَقْتُلُ.

Lafadz السِّبَاع (binatang-binatang buas) merupakan bentuk jamak dari lafadz سَبُع, seperti lafadz رَجُلٌ yang jamaknya رِجَالٌ.

Pengertian سَبُع (binatang buas) adalah binatang yang memiliki taring yang digunakan untuk menyerang dan memangsa.

Maksud pernyataan Mushonnif adalah bahwa kuburan yang wajib untuk menguburkan jenazah adalah lubang yang mencegah bau

mayit yang dapat mengganggu orang-orang hidup dan yang mencegah binatang buas untuk menggalinya dan akan memangsanya.

Mengecualikan dengan kata lubang adalah masalah apabila mayit diletakkan di permukaan tanah atau dibangunkan sebuah bangunan di atas permukaan tanah sekiranya tidak ada udzur untuk menggali lubang, maka belum mencukupi. Tetapi, apabila mayit diletakkan di atas permukaan tanah dan dibangunkan suatu bangunan di atasnya sekiranya ada udzur atau kesulitan untuk menggali tanah maka sudah mencukupi.

Apabila seseorang mati di dalam kapal yang tengah berlayar di atas laut dan kapal tersebut mulai dekat dengan tepi laut maka orang-orang perlu menunggu terlebih dahulu sampai kapal yang mereka naiki berlabuh di tepi laut agar mereka dapat menguburnya di daratan.

Tetapi, jika kapal masih jauh dari tepi laut maka pendapat masyhur sebagaimana yang telah dinash oleh Imam Syafii adalah bahwa mayit tersebut diikat di antara dua papan agar mayit tidak melembung sebab air, kemudian ia dijatuhkan di laut agar ia sampai di tepi laut, meskipun keluarga mayit terdiri dari anggota-anggota kafir, karena barang kali ada orang muslim yang menemukannya dan kemudian muslim tersebut menguburnya dengan dihadapkan ke arah Kiblat. Namun, apabila orang-orang di kapal membuang mayit ke laut tanpa diikat di antara dua papan, dan mereka membebani jasad mayit dengan batu, maka mereka tidak berdosa.

Disunahkan menutup lubang kubur dengan semacam kain ketika mayit dimasukkan ke dalamnya karena terkadang ada cacat atau aib yang terlihat dari diri jasad mayit, baik mayit tersebut adalah laki-laki atau perempuan, tetapi apabila mayit adalah perempuan maka menutup demikian itu lebih sangat dianjurkan.

Menurut sunahnya, menguburkan mayit tidak dilakukan di malam hari dan tidak di waktu yang dimakruhkan untuk melaksanakan sholat. Akan tetapi, boleh tanpa makruh menguburkan jenazah di malam hari secara mutlak, artinya, mayit tersebut memang sengaja atau dituntut untuk dikubur di malam hari atau tidak. Dan boleh juga tanpa makruh menguburkan jenazah di waktu yang dimakruhkan untuk melaksanakan sholat, dengan catatan jika tidak ada kesengajaan untuk menguburnya di waktu makruh tersebut, sebaliknya, jika ada kesengajaan untuk demikian itu maka tidak diperbolehkan.

Sulaiman al-Bujairami berkata bahwa pernyataan tidak diperbolehkan yang bercetak tebal di atas, maksudnya, makruh tanzih sebagaimana menurut pendapat muktamad. Kemakruhan menguburkan jenazah di waktu yang dimakruhkan untuk melaksanakan sholat adalah ketika kuburannya tidak terletak di tanah Haram Mekah. Apabila ia dikuburkan disana maka tidak diharamkan dan juga tidak dimakruhkan menguburnya di waktu yang dimakruhkan untuk melaksanakan sholat, seperti halnya melaksanakan sholat di waktu tersebut di tanah Haram.

Kuburan mayit secara maksimal adalah lubang dengan ukuran setinggi orang biasa sambil mengangkat kedua tangan dan membuka kedua telapak tangan, seperti yang dimaksudkan oleh al-Bujairami. Ukuran tinggi ini seukuran 4 ½ dzirok dengan ukuran dzirok tangan.

Disunahkan meletakkan mayit di dalam kuburan dengan posisi tidur miring di atas lambung kanan. Apabila ia diletakkan di dalam kuburan dengan posisi tidur miring di atas lambung kiri maka dimakruhkan dan tidak perlu digali lagi, seperti keterangan yang dikatakan oleh Mahalli.

Pipi kanan mayit diletakkan di atas tanah setelah kain kafannya dibuka. Maksudnya, disunahkan meletakkan pipi kanan mayit di atas tanah atau di atas semacam bata karena demikian ini lebih memperlihatkan sikap kehinaan diri.

Bujairami berkata bahwa dimakruhkan memberi alas dan bantal pada mayit dan dimakruhkan meletakkan mayit di dalam peti yang memang tidak dibutuhkan, karena demikian ini termasuk idho’atul mal atau membuang-buang harta. Adapun apabila peti dibutuhkan, semisal tanah kubur terlalu lembab dan lunak, maka tidak dimakruhkan meletakkan mayit di dalam peti.

Apabila mayit berwasiat agar diletakkan di dalam peti sedangkan peti tersebut tidak dibutuhkan maka wasiatnya tersebut tidak lestari, artinya, tidak perlu dikabulkan.

Disunahkan menyandarkan wajah mayit dan kedua kakinya ke sisi kuburan dan punggungnya diganjal dengan semacam bata (tanah keras) atau batu agar mayit tersebut tidak jatuh telungkup atau jatuh berbaring meskipun di lubang lahat atau lubang samping terdapat najis.

Syaubari berkata, “Pendapat yang kuat dan dzohir menyebutkan bahwa diperbolehkan meletakkan mayit di dalam kuburan yang tanahnya terdapat najis secara mutlak.” Ia melanjutkan, “Dari sini jelas pula bahwa dihukumi sah mensholati mayit yang diletakkan di dalam kuburan yang tanahnya terdapat najis.”

Bajuri memilih pendapat tafsil (rincian). Ia berkata, “Apabila najis tersebut merupakan najis nanah orang-orang mati, seperti yang ada di kuburan yang digali, maka boleh meletakkan mayit di atas tanah yang terdapat najis tersebut. Sedangkan apabila najis tersebut

bukan nanah mereka, seperti air kencing, tahi, maka tidak boleh meletakkan mayit di atasnya.”

Wajib menghadapkan mayit ke arah Kiblat karena memposisikannya seperti posisi musholli. Karena diposisikan seperti ini, maka tidak wajib menghadapkan mayit kafir ke arah Kiblat sehingga boleh menghadapkannya ke arah Kiblat atau membelakangkannya dari arah Kiblat.

Akan tetapi, apabila mayit adalah perempuan kafir yang mengandung janin muslim yang telah ditiupi ruh ke dalamnya dan yang tidak diharapkan hidup maka wajib membelakangkannya dari arah Kiblat agar janinnya menghadap Kiblat karena wajah janin menghadap ke punggung ibunya. Mayit perempuan kafir ini dikuburkan di kuburan yang terletak di antara kuburan kaum muslimin dan kuburan kaum kafir agar mayit muslim tidak dikubur di kuburan kaum kafir dan mayit kafir tidak dikubur di kuburan kaum muslimin. Apabila janin tersebut belum ditiupi ruh maka tidak wajib membelakangkan ibunya dari arah Kiblat karena pada saat belum ditiupi ruh, janin tersebut tidak wajib dihadapkan ke arah Kiblat, tetapi menghadapkan janin tersebut ke arah Kiblat adalah yang lebih utama.

Apabila janin masih diharapkan hidup maka ia tidak boleh dikuburkan bersama ibunya dalam satu kuburan, melainkan

diwajibkan membelah perut ibunya dan mengeluarkan janinnya meskipun ibunya adalah perempuan muslimah.

Baca Juga artikel Lilmuslimin tentang Menggali Kembali Kuburkan Jenazah

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami