Perkara-perkara yang Membatalkan Puasa | Safinatun Naja 75 : Fasal 63
Perkara-perkara yang Membatalkan Puasa adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(فَصْلٌ)
يبطل الصوم بردة وحيض ونفاس وولادة وجنون ولو لحظة وباغماء وسكر تعدى به إن عما جميع النهار
Sumber Matan Safinatun naja
Perkara-perkara yang Membatalkan Puasa
Puasa akan menjadi batal sebab :
1. Murtad
2. Haid
3. Nifas
4. Melahirkan
5. Gila meskipun sebentar
6. Ayan
7. Mabuk jika terjadi sepanjang hari
Fasal ini menjelaskan tentang perkara-perkara yang merusak atau membatalkan puasa.
Puasa akan menjadi batal sebab:
- Kemurtadan, yaitu keluar dari Islam dan kembali ke kekufuran.
- Haid
- Nifas
- Melahirkan
- Gila meskipun hanya terjadi selama waktu yang sebentar di siang hari puasa.
- Ayan yang menghabiskan seluruh siang puasa.
- Mabuk karena ceroboh yang menghabiskan seluruh siang puasa.
Mudabighi berkata, “Kesimpulannya adalah bahwa ketika salah satu dari kemurtadan, gila, haid, nifas, dan melahirkan terjadi di tengah siang puasa meskipun hanya terjadi sebentar maka puasa menjadi batal. Adapun tidur tidak membatalkan puasa meskipun tidur tersebut terjadi di seluruh siang hari puasa. Adapun ayan dan mabuk, maka ketika menghabiskan seluruh siang puasa maka puasa menjadi batal dan ketika tidak menghabiskannya maka puasa tidak batal. Taammal.”
Ketahuilah sesungguhnya ketika mughma ‘alaih (orang ayan) telah sadar maka ia wajib mengqodho puasanya secara mutlak, artinya, baik ayannya terjadi sebab kecerobohan atau tidak. Berbeda dengan sholat, karena mughma ‘alaihi tidak wajib mengqodho sholat ketika ia telah sadar kecuali apabila ayannya terjadi sebab kecerobohan. Rincian bagi mughma ‘alaih ini juga berlaku sama bagi orang mabuk, seperti yang dikatakan oleh Towakhi, maksudnya, diwajibkan mengqodho puasa atas orang mabuk jika mabuknya terjadi sebab kecerobohan, tetapi jika mabuknya tidak terjadi sebab kecerobohan maka tidak diwajibkan atasnya mengqodho.
Dari sini dapat diketahui bahwa pentakyidan mabuk dengan batasan sebab kecerobohan karena mengikuti teks matan kitab Irsyad adalah qoyid tentang kewajiban mengqodho saja, bukan qoyid tentang menjadi batalnya puasa.
Ibarot atau keterangan dari Romli bersamaan Matan al-Minhaj, “Ayan tidak membatalkan puasa jika mughma ‘alaih telah sadar dari ayannya selama waktu yang sebentar di siang hari karena keabsahan puasanya telah dicukupkan dengan niat dan sadar di sebagian waktu siang tersebut sebab penyakit ayan menguasai akal melebihi di atas rasa tidur dan dibawah gila. Oleh karena itu, andaikan kami berkata, ‘Ayan yang menghabiskan seluruh siang hari tidak membatalkan puasa sebagaimana puasa tidak batal sebab tidur yang menghabiskan seluruh siang hari,’ niscaya kami menyamakan sesuatu yang kuat (ayan) dengan sesuatu yang lemah (tidur). Dan andaikan kami berkata, ‘Ayan yang terjadi selama waktu yang sebentar di siang hari dapat membatalkan puasa sebagaimana puasa bisa batal sebab gila yang terjadi hanya selama waktu sebentar,’ niscaya kami menyamakan sesuatu yang lemah (gila) dengan sesuatu yang kuat (ayan). Jadi, kami mengambil tengah-tengah dan kami berkata, ‘Sesungguhnya sadar dari ayan dalam waktu yang sebentar sudah mencukupi dalam keabsahan puasa.’”
Dari pernyataan Romli yang berbunyi sadar dari ayannya selama waktu yang sebentar di siang hari dapat dipahami bahwa puasa tetap dihukumi sah bagi mughma ‘alaih atau orang mabuk ketika sadar mereka dari ayan atau mabuk bersamaan dengan terbitnya fajar atau terbenamnya matahari karena dua waktu ini bisa dikatakan sebagai waktu sebentar dari siang hari, seperti yang dikatakan oleh Syarqowi.
Ketahuilah sesungguhnya perempuan haid dan nifas ketika telah terbebas dari udzur, yakni haid dan nifas itu sendiri, maka disunahkan bagi mereka imsak atau menahan diri, seperti selain mereka, yaitu orang sakit dan selainnya, sebagaimana telah dikatakan oleh Ziyadi.