5 Syarat Wajib Puasa | Safinatun Naja 71 : Fasal 59
Syarat wajib puasa adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(فَصْلٌ)
شروط وجوبه خمسة أشياء: اسلام وتكليف وإطاقة وصحة وإقامة
Sumber Matan Safinatun naja
Syarat-syarat Wajib Puasa
Syarat wajib puasa (ramadhan) ada 5 (lima) :
1. Islam
2. Taklif
3. Kuat berpuasa
4. Sehat
5. Mukim
Fasal ini menjelaskan tentang syarat-syarat wajib puasa.
Syarat-syarat wajib puasa Ramadhan adalah 5 (lima), yaitu:
1. Islam
Meskipun hanya sebatas pernah masuk Islam, sehingga puasa juga diwajibkan atas orang murtad karena ia dituntut untuk melaksanakannya sebagaimana orang muslim sebab ia pernah masuk Islam.
2. Taklif
Maksudnya, baligh dan berakal sehingga puasa tidak wajib atas anak kecil (shobi), orang gila, ayan, dan mabuk. Adapun mengqodho puasa, maka diwajibkan atas orang yang mabuk dengan mabuk yang menghabiskan seluruh siang hari puasa.
Adapun orang ayan maka ia wajib mengqodho puasa secara mutlak, artinya, baik ayannya karena kecerobohannya atau tidak, tetapi ia wajib segera mengqodho jika ayannya disebabkan kecerobohannya dan ia tidak wajib segera mengqodho jika memang ayannya bukan karena kecerobohannya. Berbeda dengan sholat, karena orang ayan hanya wajib mengqodhonya ketika ayannya disebabkan oleh kecerobohannya.
Diwajibkan mengqodho puasa atas orang gila jika penyakit gilanya disebabkan oleh kecerobohannya.
3. Kuat berpuasa
Oleh karena itu, puasa tidak diwajibkan atas orang yang tidak kuat melakukannya, mungkin karena tua atau sakit yang memperbolehkan tayamum.
4. Sehat
Oleh karena itu, puasa tidak wajib atas orang sakit. Disebutkan dalam kitab Syarah al-Minhaj bahwa diperbolehkan tidak berpuasa dengan niatan tarokhus (memperoleh rukhsoh atau keringanan) sebab sakit yang andai berpuasa maka sakitnya akan menjadi parah hingga memperbolehkan tayamum, meskipun sakitnya tersebut terjadi di tengah-tengah saat berpuasa. Apabila sakitnya terus menerus maka diperbolehkan bagi seseorang berpuasa tanpa niat. Dan apabila sakitnya putus-putus, maka jika sakit tersebut dirasakan ketika mulai berpuasa maka diperbolehkan berpuasa tanpa niat puasa, dan jika sakit tidak dirasakan pada saat itu, maka jika sakit itu kembali dan mengharuskan berbuka maka berbuka (membatalkan puasa).
Ziyadi berkata, “Adzroi berfatwa yang berdasarkan pernyataan ini bahwa diwajibkan atas para pemanen dan lainnya untuk mentabyit niat di setiap malam, kemudian apabila mereka mendapati masyaqot syadidah (kepayahan yang sangat di tengah-tengah memanen atau menyopir) maka boleh berbuka, jika tidak mendapatinya maka tidak boleh berbuka.
5. Mukim
Oleh karena itu, diperbolehkan bagi seseorang untuk tidak berpuasa karena bepergian jauh dengan niatan tarokhus (memperoleh keringanan).
Apabila musafir merasakan payah sebab berpuasa maka berbuka adalah yang lebih utama baginya, jika tidak, maka berpuasa adalah yang lebih utama baginya.
Ziyadi berkata, “Diperbolehkannya tidak berpuasa bagi musafir adalah sekiranya ia berpisah dari tempat yang disyaratkan harus dilewati dalam bab sholat musafir sebelum fajar secara yakin. Oleh karena itu, apabila seseorang berniat puasa di malam hari, kemudian ia bepergian dan ragu apakah ia tadi bepergian sebelum fajar atau sesudahnya, maka ia tidak diperbolehkan berbuka puasa. Dikecualikan dengan musafir di atas adalah orang yang terus menerus bepergian (spt; sopir-sopir bus pada umumnya) maka tidak diperbolehkan berbuka puasa karena ia telah menghadapi aktifitas yang menggugurkan kewajiban puasa menurut asalnya. Adapun diperbolehkan berbuka puasa bagi orang yang selalu bepergian adalah ketika ia berharap akan bermukim (singgah) di tempat tertentu agar mengqodho puasanya itu di saat mukim, seperti yang dikatakan oleh Subki dan dipedomani oleh Syaikhuna Romli.”