Syarat Syarat Wajib Zakat | Safinatun Naja 68

Syarat wajib zakat adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Syarat-syarat Wajib Zakat

Syarat-syarat wajib zakat ada 4 (empat), yaitu:

1. Merdeka

Meskipun hanya merdeka pada sebagian tubuh, seperti budak memiliki harta dengan sebagian tubuhnya yang merdeka. Dengan demikian, zakat tidak diwajibkan atas budak murni, meskipun budak mukatab.

2. Islam

Oleh karena itu, zakat tidak diwajibkan atas kafir asli, dengan artian bahwa ia tidak wajib mengeluarkan zakat dan mengqodhonya, sebagaimana sholat dan puasa. Adapun kewajiban mengeluarkan zakat atas orang murtad yang mana zakat diwajibkan atasnya pada saat kemurtadannya, hukumnya adalah mauquf (ditahan) sebagaimana status kepemilikannya. Apabila si murtad mati dalam kondisi murtad maka jelas bahwa zakat tidak diwajibkan atasnya karena ia tidak punya status kepemilikan harta sama sekali sehingga seluruh hartanya termasuk harta faik. Apabila si murtad kembali masuk Islam maka ia telah menzakatkan harta zakat yang telah ia keluarkan pada saat kemurtadan karena demikian ini sudah mencukupi, sebagaimana ketika ia kembali masuk Islam dan sebelumnya ia telah memberikan makanan pada saat kemurtadan sebagai pembayaran kafarat, dan niatnya zakat pada saat kemurtadan itu berfungsi untuk tamyiz (membedakan) bukan untuk ibadah. Adapun kewajiban istiqror (menetapkan status kepemilikan) maka tidaklah mauquf (ditahan) karena syarat dari istiqror sendiri adalah Islam meskipun hanya sekedar pernah masuk Islam. Adapun zakat yang diwajibkan atas si murtad sebelum kemurtadannya maka zakat tersebut termasuk hutang, sehingga harus dikeluarkan dari hartanya pada saat kemurtadan secara paksa, baik setelah itu ia kembali masuk Islam atau ia mati dalam kondisi masih murtad.

3. Pemilik harta memiliki secara pribadi atas harta zakat.

Oleh karena itu, tidak diwajibkan berzakat dalam harta baitul mal dan harta janis yang diwakafi karena tidak ada status kepemilikan pribadi. Termasuk harta yang tidak dimiliki secara pribadi adalah hasil dari harta yang diwakafkan untuk kepentingan umum. Berbeda dengan hasil dari harta yang diwakafkan untuk kepentingan tertentu maka wajib dizakati hasil tersebut, bukan dzatnya. Termasuk untuk kepentingan umum adalah harta yang diwakafkan kepada imam masjid atau muadzinnya karena siapapun bisa menjadi imam masjid tersebut ataupun muadzinnya.

4. Haul (telah berumur setahun)

Kecuali dalam 6 harta zakat, yaitu;

  1. Tanam-tanaman
  2. Barang tambang
  3. Rikaz
  4. Harta dalam zakat fitrah, apabila seseorang memiliki anak sebelum terbenamnya matahari di hari akhir bulan Ramadhan maka anak tersebut wajib dikeluarkan zakat fitrahnya
  5. Peranakan dari binatang na’am karena peranakan tersebut dizakati dengan diikutkan haul indukannya
  6. Keuntungan dalam harta tijaroh; karena keuntungan tersebut diikutkan dengan haul modalnya, baik keuntungan itu diperoleh dengan bertambahnya dzat barang dagangan itu sendiri, seperti; gemuknya binatang dagangan, anaknya, dan buah-buahan dari pohon dagangan; atau keuntungan itu diperoleh dengan kenaikan harga pasar. Apabila seseorang menjual barang dagangannya dengan menurunkan harganya maka ia tetap menzakatkan harga yang diturunkan tersebut. Apabila ia menjual barang dagangannya dengan menaikkan harganya maka kewajiban menzakati pada harga yang dinaikkan tersebut terdapat dua wajah pendapat, tetapi yang paling arjah menetapkan wajib menzakati.

Syarat menzakatkan keuntungan dalam harta tijaroh dengan diikutkan haul modalnya adalah;

  • Apabila keuntungan tersebut tidak ditunai uangkan ke dirham atau dinar, sekiranya ditunai uangkan ke mata uang yang sejenis dengan mata uang saat pembelian modal, misalnya; seseorang membeli barang dagangan dengan 200 dirham. Dagangan tersebut telah genap haul-nya dan nilai harganya menjadi 300 dirham. Ia tidak memperjual belikan barang dagangannya yang senilai 300 dirham tersebut, melainkan ia menahan dan menyimpannya. Maka haul keuntungan yang senilai 100 dirham diikutkan dengan haul modalnya, yaitu 200 dirham.
  • Apabila ditunai uangkan ke mata uang yang tidak sejenis dengan mata uang yang digunakan untuk membeli modal di tengah-tengah haul, misalnya; seseorang membeli barang dagangan dengan 200 dirham. Ia menjualnya dengan dibayar beberapa dinar (yang andai ditunai uangkan ke dirham maka memperoleh keuntungan 100 dirham). Maka haul keuntungan tersebut diikutkan pada haul modalnya.

Sedangkan apabila modal dan keuntungan sama-sama ditunai uangkan ke mata uang yang sejenis di tengah-tengah haul, kemudian ditahan sampai akhir haul, atau apabila uang modal dan keuntungan digunakan untuk membeli barang dagangan lain sebelum genap haulnya, maka keuntungan tersebut dizakatkan dengan haul sendiri, tidak diikutkan pada haul modalnya.

Kewajiban zakat ditentukan juga oleh nisob dan tamakkun (keadaan yang memungkinkan) untuk membayarkannya. Akan tetapi, nisob merupakan sebab kewajiban zakat, bukan syarat wajibnya, sedangkan tamakkun merupakan syarat dhoman (menanggung) zakat, bukan syarat wajibnya.

Apabila tidak didapati nisob pada harta maka tidak wajib berzakat sama sekali.

Berbeda dengan tamakkun, karena tamakkun merupakan syarat dhoman, bukan syarat dasar kewajiban berzakat, sehingga apabila tidak didapati tamakkun maka tidak berkewajiban dhoman atau menanggung hak para mustahik zakat. Oleh karena ini, ada pepatah, “Kita punya harta yang wajib dizakati, tetapi tidak dibayarkan zakatnya dan tidak berdosa.”

Dengan demikian, kewajiban zakat tergantung pada wujudnya sebab, yaitu memiliki nisob, bukan tergantung pada syarat, yaitu tamakkun untuk membayar zakat.

Kewajiban zakat tidak diharuskan baligh, berakal, dan pintar. Oleh karena ini, zakat wajib dikeluarkan dari harta anak kecil, orang gila, dan mahjur lis safih, tetapi yang dituntut untuk mengeluarkan zakat tersebut adalah wali jika memang wali meyakini tentang kewajiban mengeluarkan zakat dari harta mereka (mula ‘alaih), misalnya; wali tersebut bermadzhab Syafii, meskipun mereka tidak meyakininya (sebagaimana menurut madzhab Hanafi), sebab yang menjadi patokan adalah keyakinan wali.

Apabila wali belum mengeluarkan zakat dari harta mula ‘alaih, sedangkan harta tersebut mengalami kerusakan sebelum kesempurnaan mula ‘alaih (misalnya; anak kecil menjadi baligh, orang gila menjadi sembuh, dst) maka zakat gugur dari mula ‘alaih karena ia tidak dituntut mengeluarkan zakat sebelum kesempurnaannya. Akan tetapi, wali wajib dhoman (menanggung) atas harta yang dirusakkan jika kerusakan tersebut disebabkan oleh kecerobohannya.

Apabila wali mengakhirkan mengeluarkan zakat dari harta mula ‘alaih karena takut kalau misalnya ia mengeluarkan zakatnya maka hakim yang bermadzhab Hanafiah akan menjadikan harta zakat yang dikeluarkannya itu sebagai hutang yang harus dibayar ketika mula ‘alaih telah sempurna dan mula ‘alaih bertaklid kepada Abu Hanifah, maka sikap wali yang mengakhirkan zakat tersebut dihukumi udzur. Jika demikian keadaannya, yang lebih utama untuk dilakukan wali adalah mengumpulkan terlebih dahulu harta-harta mula ‘alaih yang wajib dizakati (dan jangan membayarkannya dulu) sampai mula ‘alaih telah sempurna. Apabila sikap wali yang mengakhirkan zakat, seperti yang telah disebutkan, bukan karena takut akan dituntut hutang maka diharamkan. Wallahu a’lam.

Ini adalah akhir materi yang Allah tabaraka wa ta’ala telah memudahkanku untuk mensyarahi kitab (Safinah an-Naja) yang disukai dan diridhoi oleh para penduduk wilayah timur. Akan tetapi, ketika puasa merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam, sedangkan Mushonnif tidak menjelaskannya maka saya ingin menuliskan beberapa materi terkait puasa sebagai bentuk pelengkap kitab karena ngalap berkah dengannya. Saya tidak menjelaskan haji meskipun haji juga termasuk salah satu dari rukun-rukun Islam karena merasa sudah cukup dengan karya-karya tebal yang telah mencakupnya, dan karena sudah banyak kitab yang menuliskan tentang haji dalam kajian tersendiri yang dikenal dengan judul an-Nusuk, dan karena sangat dibutuhkannya pembahasan tentang puasa sebab puasa lebih banyak dialami daripada haji karena banyaknya individu yang wajib melakukan puasa (daripada individu yang wajib melakukan haji).

Kini saatnya mulai membahas tentang kajian puasa dengan perantara pertolongan Allah Yang Maha Merajai. Wa billahi at-Taufik Li Ahsani Torik.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami