Waktu Pelaksanaan Zakat | Safinatun Naja 66

Waktu pelaksanaan zakat adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

 Waktu Pelaksanaan Zakat

Waktu-waktu wajib zakat ada 4 (empat), yaitu:

  1. Waktu mengeluarkan isi dan membersihkannya dari harta rikaz dan makdin (barang tambang). Adapun waktu kewajiban mengeluarkan zakatnya adalah setelah dikeluarkan dan dibersihkan tersebut.
  2. Terlihatnya kematangan dan kerasnya biji-biji tanaman, baik telah matang atau keras semuanya atau baru sebagian. Ini adalah dalam harta berupa tumbuhan. Waktu kewajiban mengeluarkan zakatnya adalah setelah tumbuhan tersebut kering, dibersihkan, dan lain-lain.
  3. Haul (setahun) dalam harta emas dan perak, binatang-binatang na’am, dan tijaroh (dagangan).
  4. Awal malam hari raya Idul Fitri dalam zakat fitrah. Bajuri berkata, “Diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah di awal bulan Ramadhan. Disunahkan mengeluarkannya sebelum sholat Id karena ittibak jika memang sholat Id tersebut dilakukan di awal hari. Akan tetapi, apabila pelaksanakan sholat Id diakhirkan maka disunahkan menunaikan zakat fitrah di awal hari. Dimakruhkan mengakhirkan pengeluaran zakat fitrah sampai akhir hari raya Idul Fitri. Dan diharamkan mengakhirkan berzakat fitrah hingga telah terlewat hari raya Idul Fitri jika mengakhirkannya tersebut tidak didasari oleh udzur, seperti; harta zakat fitrah tidak ada di tangan atau para mustahik zakat belum ditemukan.

Apabila udzur yang berupa semisal; menunggu kerabat, tetangga, orang sholih, maka tidak diperbolehkan mengakhirkan zakat fitrah hingga terlewat hari raya Idul Fitri sebab udzur tersebut. Berbeda dengan zakat mal (harta), maka diperbolehkan mengakhirkannya jika memang tidak menyebabkan dampat negatif terhadap para hadirin (para mustahik zakat). “

Disebutkan di dalam kitab al-Minhaj dan Syarah-nya, “Menunaikan zakat mal wajib dengan segera ketika memang memungkinkan menunaikannya, sebagaimana ibadah-ibadah wajib lain yang juga harus dilaksanakan segera. Keadaan memungkinkan tersebut dihasilkan dengan misalnya;

  • Kembalinya harta bergerak yang tidak ada di tangan sebelumnya atau mudahnya mendatangi harta tak bergerak yang sebelumnya sulit untuk didatangi,
  • Kembalinya harta yang sebelumnya digosob,
  • Hilangnya sifat mahjur,
  • Terlunasinya hutang yang ditangguhkan atau yang jatuh tempo yang sebelumnya sulit untuk diambil (ditagih),
  • Hadirnya para pengambil zakat (akhidz az-zakat), yaitu imam, penyalur, atau mustahik zakat sendiri,
  • Keringnya buah-buahan,
  • Bersihnya biji-bijian (dari kulit), emas batangan, dan barang tambang,
  • Pemilik harta zakat tidak sedang direpotkan oleh urusan agama atau dunia, seperti; sholat dan makan,
  • Mampu memperoleh kembali harta (zakat) yang tak bergerak sekiranya mudah untuk mendatanginya,
  • Mampu melunasi hutang yang telah jatuh tempo,
  • Hilangnya sifat mahjur bi falas jika memang zakatnya berhubungan dengan dzimmah atau tanggungan, sedangkan apabila zakatnya berhubungan dengan ain (dzar harta itu sendiri) maka wajib dikeluarkan zakatnya seketika itu dan tidak perlu menunggu hilangnya sifat mahjur-nya,

Begitu juga, wajib segera mengeluarkan zakat mal ketika upah yang ditetapkan telah diterima, bukan mahar, sehingga tidak disyaratkan ditetapkannya mahar dengan dibagi separuh, atau sebab kematian, atau jimak. Apabila seseorang mengakhirkan mengeluarkan zakat, padahal keadaan saat itu sudah memungkinkannya, kemudian harta zakat rusak semua atau sebagian, maka ia wajib menanggung kerusakan tersebut, sekiranya ia mengeluarkan harta yang seharusnya dikeluarkan sebelum rusak, sebab ia telah ceroboh dengan menahan hak dari mustahik zakatnya.

Sebaliknya, apabila harta zakat rusak sebelum keadaan pada saat itu memungkinkannya mengeluarkan zakat, maka tidak ada kewajiban menanggung kerusakannya, sebab tidak ada faktor kecerobohan. Berbeda juga dengan masalah apabila keadaan belum memungkinkan seseorang untuk mengeluarkan zakat, tetapi ia merusakkan harta zakat, maka ia tetap wajib menanggung kerusakan itu sebab kecerobohannya dengan merusakkannya.”

Ismail bin Mukri dalam kitab Roudh at-Tholib dan Syaikhul Islam dalam Syarah-nya yang berjudul Asna al-Matholib berkata;

[CABANG]

Apabila harta buah-buahan rusak sebelum keadaannya memungkinkan untuk mengeluarkan zakatnya, dimana rusaknya itu tanpa ada kecerobohan dan kesengajaan, semisal; rusaknya sebab bencana dari langit (hujan, petir, dll) atau dicuri, baik buah-buahan itu belum kering atau sudah kering, maka pemiliknya tidak wajib untuk menanggung harta kerusakan tersebut kepada mustahiknya. Apabila binatang na’am mati, dan keadaannya itu belum memungkinkan untuk mengeluarkan zakatnya, maka apabila binatang na’am yang tersisa kurang dari nisob, maka wajib mengeluarkan zakat dari binatang yang tersisa itu, karena keadaan memungkinkan (tamakkun) hanyalah syarat untuk menanggung (dhoman), bukan untuk besar zakat yang wajib dikeluarkan. Berbeda dengan masalah apabila seseorang ceroboh, misalnya, ia menyimpan buah-buahannya tidak di tempat penyimpanannya, kemudian buah-buahan tersebut rusak, dan keadaan pada saat itu belum memungkinkannya untuk mengeluarkan zakatnya, maka ia tetap berkewajiban menanggung.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami