Perkara-perkara yang Mewajibkan Puasa | Safinatun Naja 69 : Fasal 58

Perkara yang mewajibkan puasa adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

يجب صوم رمضان بأحد أمور خمسة: أحدها بكمال شعبان ثلاثين يوما وثانيها برؤية الهلال فى حق من رأه وإن كان فاسقا وثالثها بثبوته فى حق من لم يراه بعدل شهادة ورابعها باخبار عدل رواية موثوق به سواء وقع فى القلب صدقه أم لا أو غير موثوق به إن وقع فى القلب صدقه وخامسها بظن دخول رمضان بالاجتهاد فيمن اشبه عليه ذلك

Sumber Matan Safinatun naja

Perkara Yang Mewajibkan Puasa

Wajib melaksanakan puasa sebab salah satu dari lima perkara :

1. Genapnya bulan Sya’ban menjadi 30 hari 

2. Rukyah hilal (Melihat Bulan) bagi orang yang melihatnya meskipun dia adalah orang fasik

3. Ditetapkannya rukyah hilal bagi orang yang tidak melihatnya melalui orang yang adil persaksiannya

4. Berita tentang rukyah hilal dari satu orang adil riwayat yang terpercaya.

5. Menyangka (dzon) masuknya bulan Ramadhan melalui ijtihad

Perkara-perkara yang Mewajibkan Puasa

Fasal ini menjelaskan tentang perkara-perkara yang mewajibkan puasa Ramadhan.

Puasa Ramadhan diwajibkan sebab salah satu perkara dari 5 (lima) perkara dibawah ini:

1. Genapnya bulan Sya’ban menjadi 30 hari dimulai dari rukyah hilal di bulan Sya’ban.

Aisyah rodhiallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama selalu lebih berhati-hati di bulan Sya’ban daripada di bulan-bulan selainnya.” Ini merupakan dalil bahwa menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari dimulai dari rukyah hilal, bukan dari hisab.

2. Rukyah hilal (Melihat Bulan)

Maksudnya, puasa Ramadhan menjadi wajib sebab rukyah hilal Ramadhan bagi orang yang melihatnya meskipun ia adalah orang fasik. Dalam rukyah hilal, wajib terjadi di malam hari sehingga apabila hilal Ramadhan terlihat di siang hari maka tidak memberikan pengaruh sama sekali terhadap kewajiban berpuasa, karena sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Berpuasalah setelah melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah setelah melihat hilal (Syawal). Apabila (hilal Ramadhan) tertutup mendung maka genapkanlah bulan Syakban menjadi 30 hari,” maksudnya berpuasalah setiap orang dari kalian dan berbukalah setiap orang dari kalian.

Sabda Rasulullah yang berbunyi لِرُؤْيَتِهِ (setelah melihatnya) mengandung istikhdam karena dhomir pada lafadz ﻪﺘﻳؤﺮﻟ yang pertama kembali pada hilal Ramadhan dan dhomir pada lafadz لِرُؤْيَتِهِ yang kedua kembali pada hilal Syawal.

Mudabighi berkata, “Huruf ل dalam lafadz (لِرُؤْيَتِهِ) berarti بَعْد (setelah) sehingga berarti setelah melihat hilal (Ramadhan) atau setelah melihat hilal (Syawal), seperti keterangan yang dikatakan oleh Ibnu Hisyam dalam kitab al-Mughni.”

Sabda Rasulullah yang berbunyi وَأَفْطِرُوْا (Dan berbukalah) adalah dengan hamzah qotok. Maksudnya, masuklah ke dalam waktu berbuka. Jadi, hamzah tersebut berfungsi menunjukkan arti soiruroh, seperti keterangan dalam al-Misbah.

Sabda Rasulullah yang berbunyi فَإِنْ غُمَّ adalah dengan dhommah pada huruf غ, artinya, apabila hilal tertutup mendung. Dengan demikian, dhomir dalam lafadz َّغُم kembali pada hilal Ramadhan. Begitu juga, ketika hilal Syawal tertutup mendung maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari, seperti yang dikatakan oleh Suwaifi.

Tanda yang menunjukkan masuknya bulan Ramadhan adalah seperti menyalakan lampu-lampu yang digantungkan di menara-menara, memukul palu (yang dilakukan oleh Menteri Agama di negara Indonesia) dan tradisi-tradisi lain yang berlaku untuk menunjukkan hukum rukyah hilal Ramadhan.

3. Ditetapkannya rukyah hilal

Maksudnya, Ramadhan diwajibkan sebab ditetapkannya rukyah hilal bagi orang yang tidak melihat hilal Ramadhan melalui satu orang yang adil kesaksiannya meskipun ia yang melihat hilal memiliki penglihatan tajam, seperti yang dikutip oleh Suwaifi dari Syabromalisi.

Dalam menetapkan rukyah hilal Ramadhan harus ada keputusan dari hakim (Menteri Agama) tentangnya. Oleh karena itu, tidak cukup hanya dengan rukyah hilal dari orang yang adil kesaksiannya.

Mengecualikan dengan orang adil adalah orang fasik. Mengecualikan dengan yang adil kesaksiannya adalah yang adil riwayatnya, seperti; budak laki-laki dan perempuan. Mengenai sifat adilnya, dicukupkan dengan sifat adil yang terlihat (adalah dzohiroh) atau yang disebut dengan al-mastur.

Ketika kita telah berpuasa selama 30 hari sebab rukyah hilal dari orang yang adil kesaksiannya, maka kita berbuka (pada hari ke 31) meskipun kita tidak melihat hilal Syawal dan tidak ada mendung yang menutupinya. Tidak masalah jika berbuka tersebut ditetapkan dengan satu orang adil karena tetapnya tersebut secara dhimnan (bersifat tercakup) karena sesuatu dapat ditetapkan secara dhimnan dengan sesuatu yang lain yang tidak ditetapkan secara dhimnan sama sekali.

Ketahuilah sesungguhnya Ramadhan ditetapkan dengan kesaksian orang adil meskipun hisab qot’i (hitungan pasti) menunjukkan tidak mungkin terjadinya rukyah hilal, seperti keterangan yang dikutip oleh Ibnu Qosim dari Romli. Ini adalah pendapat yang mu’tamad yang bertolak belakang dengan keterangan yang dikutip oleh Qulyubi karena pendapatnya tersebut adalah yang dhoif, seperti yang dikatakan oleh Mudabighi.

Murghini berkata, “Dalil dicukupkannya penetapan Ramadhan dengan satu orang adil adalah hadis yang shohih dari Ibnu Umar rodhiallahu ‘anhuma, “Aku memberitahu kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bahwa aku melihat hilal (Ramadhan). Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” Perkataan Ibnu Umar, Aku memberitahu kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama adalah dengan lafadz syahadah (kesaksian). Dalam bersyahadah atau bersaksi, cukup mengucapkan, “Aku bersaksi sesungguhnya aku telah melihat hilal,” meskipun tidak mengucapkan, “Sesungguhnya besok sudah masuk Ramadhan.”

Maksud pokok ditetapkannya Ramadhan dengan satu orang adil adalah karena ihtiyat (berhati-hati) dalam berpuasa. Begitu juga, ibadah-ibadah lain, seperti; wukuf, dengan artian bahwa ditetapkannya Dzulhijah dengan rukyah hilal oleh satu orang adil.

Yang dimaksud syahadah disini adalah syahadah hisbah (kesaksian yang mencukupi yang lainnya), maksudnya, syahadah yang tidak diharapkan adanya pahala di dunia. Oleh karena itu, syahadah tersebut tidak perlu ada dakwaan terlebih dahulu.

Mudabighi berkata, “Apabila orang adil itu mencabut syahadah atau kesaksiannya tentang rukyah hilal, padahal orang-orang sudah mulai berpuasa atau apabila ia mencabut syahadah-nya setelah ditetapkan dan diputuskan oleh hakim (Menteri Agama) meskipun orang-orang belum mulai berpuasa, maka wajib atas mereka berpuasa dan mereka nantinya berbuka dengan menggenapkan Ramadhan menjadi 30 hari meskipun mereka tidak melihat hilal Syawal.”

4. Berita tentang rukyah hilal dari satu orang adil riwayat yang terpercaya.

Maksudnya, puasa Ramadhan diwajibkan sebab adanya berita tentang rukyah hilal dari satu orang adil riwayat yang terpercaya (mautsuq), Ziyadi menambahkan, “Selain orang adil riwayat yang terpercaya, juga terpercaya istrinya, budaknya, dan temannya,” baik hati menyangka (dzon) kebenarannya atau tidak. Syarqowi mengatakan bahwa keterangan yang disebutkan di dalam kitab Syarah al-Minhaj adalah disyaratkannya hati menyangka kebenaran berita orang adil riwayat tersebut, meskipun pendapat ini juga tertulis dalam sebagian hasyiah.

Atau orang adil riwayat tersebut tidak terpercaya, semisal; ia adalah orang fasik, maka diwajibkan puasa sebab berita darinya, dengan catatan jika memang hati menyangka kebenaran beritanya itu. Oleh karena ini, Mudabighi berkata, “Menurut pendapat Khotib, diwajibkan juga berpuasa atas orang yang diberitahu tentang rukyah hilal oleh orang lain yang terpercaya jika memang orang tersebut meyakini kebenarannya,” meskipun pernyataan ini tidak disebutkan oleh al-Qodhi. Batasan “yang terpercaya” bukanlah patokan dalam kewajiban berpuasa, melainkan patokannya adalah keyakinan hati tentang kebenaran berita yang disampaikan meskipun pemberi berita tersebut adalah orang kafir, fasik, budak, atau anak kecil. Suwaifi berkata, “Menurut pendapat Khotib, keyakinan hati tentang berita rukyah hilal bukanlah batasan, melainkan patokannya adalah salah satu dari dua hal, yakni; orang yang menyampaikan berita itu adalah orang yang terpercaya atau keyakinan hati atas beritanya.” Syarqowi berkata, “Apabila orang fasik melihat hilal, sementara itu, hakim (Menteri Agama) tidak mengetahui kefasikannya, maka boleh bagi hakim tersebut menawarkannya untuk bersyahadah, bahkan wajib menetapkan puasa berdasarkan syahadah-nya itu.”

5. Menyangka (dzon) masuknya bulan Ramadhan melalui ijtihad.

Maksudnya, puasa diwajibkan sebab menyangka masuknya bulan Ramadhan dengan cara berijtihad bagi orang yang ragu tentang masuknya, misalnya; ia sedang ditawan di tempat tersembunyi, atau dipenjara, atau yang lainnya, seperti yang dikatakan oleh Mudabighi.

Bajuri berkata, “Apabila seseorang ragu tentang masuknya bulan Ramadhan sebab dipenjara, misal, maka ia berijtihad. Apabila ia menyangka masuknya Ramadhan dengan ijtihadnya tersebut maka ia berpuasa. Apabila puasanya tersebut ternyata jatuh pada tanggal 1 Ramadhan maka puasanya berstatus adak, dan apabila puasanya ternyata jatuh pada tanggal 2 Ramadhan maka puasanya berstatus qodho, dan apabila puasanya ternyata sebelum Ramadhan masuk maka puasanya tersebut berstatus sunah. Selama ia mendapat waktu Ramadhan maka ia berpuasa, jika tidak, maka mengqodho.”

Dapat disimpulkan bahwa perkara-perkara yang mewajibkan puasa Ramadhan ada 5 (lima). 2 perkara darinya bersifat umum, artinya, kewajiban puasa dibebankan atas orang banyak. 2 perkara tersebut adalah menggenapkan bulan Syakban menjadi 30 hari dan tetapnya rukyah hilal pada malam ke-30 dari bulan Syakban oleh hakim. 3 perkara sisanya bersifat khusus, artinya, kewajiban puasa hanya dibebankan atas orang-orang tertentu.

[TANBIH]

Tidak wajib berpuasa Ramadhan, bahkan tidak boleh, jika berdasarkan informasi dari munjim (ahli perbintangan). Munjim adalah orang yang meyakini bahwa awal bulan ditandai dengan munculnya bintang Falani. Akan tetapi, wajib atas munjim sendiri mengamalkan penghisabannya, begitu juga, orang yang membenarkannya, sebagaimana dalam masalah sholat, yakni apabila seseorang meyakini masuknya waktu sholat maka ia mengamalkan apa yang diyakininya itu. Sama dengan munjim adalah hasib, yaitu orang yang berpedoman dalam menentukan awal bulan dengan stasiun-stasiun bulan berdasarkan perkiraan rotasinya. Tidak ada pengaruh (ibroh) dalam kewajiban berpuasa jika berpedoman pada perkataan seseorang, “Aku diberitahu oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dalam mimpi bahwa malam ini sudah termasuk awal bulan Ramadhan,” karena tidak adanya sifat dhobit dari pemimpi tersebut, bukan berarti meragukan kebenaran mimpinya .

[CABANG]

Ketika hilal terlihat di satu wilayah tertentu, maka hukum terlihatnya hilal juga berlaku atas wilayah yang berdekatan dengannya. Kedekatan antara dua wilayah tersebut ditandai dengan persamaan tempat terbit dan terbenam, sekiranya terbenam dan terbitnya matahari dan bintang di dua wilayah tersebut terjadi dalam waktu yang sama. Ini adalah menurut ulama ahli Falak. Adapun menurut ulama Fiqih, kedekatan antara dua wilayah tersebut ditandai dengan sekiranya jarak antara keduanya tidak sejauh 24 farsakh dari berbagai arah.

1 Farsakh = ± 8 Km atau 3,5 Mil. Demikian ini menurut Kamus al-Munawir, hal, 1045.

Ketahuilah. Sesungguhnya ketika hilal terlihat di negara timur maka terlihat pula di negara barat, tidak sebaliknya.

Apabila seseorang telah berpuasa, kemudian ia pergi ke wilayah A yang jauh dari wilayah B dimana hilal Syawal telah terlihat di wilayah B, lalu ia mandapati penduduk A masih berpuasa di hari terakhir Ramadhan, maka jika penduduk wilayah B telah mengadakan hari raya Idul Fitri sebelum ia pergi ke wilayah A, lalu mendapati penduduk wilayah A berpuasa, maka ia wajib berpuasa bersama mereka meskipun puasanya telah genap 30 hari karena ia menjadi bagian dari mereka.

Atau apabila ia pergi dari wilayah A ke wilayah B dimana hilal Syawal telah terlihat di wilayah B maka ia berhari raya bersama penduduk wilayah B, dan ia mengqodho 1 hari jika puasanya baru mendapat 28 hari, dan tidak perlu mengqodho jika puasanya telah mendapat 29 hari.

Hukum di atas berlaku tidak hanya dalam puasa, tetapi juga berlaku dalam ibadah selainnya, bahkan apabila seseorang telah sholat Maghrib di wilayah A, kemudian ia pergi ke wilayah B dan ternyata di wilayah B matahari belum terbenam, maka ia berkewajiban mengulangi sholat Maghrib.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami