Harta yang Wajib Dizakati | Safinatun Naja 64 : Fasal 57
Harta yang wajib dizakati adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(فَصْلٌ)
الأموال التى تلزم فيها الزكاة ستة أنواع: النعم والنقدان والمعشرات وأموال التجارة وواجبها ربع عشر قيمة عروض التجارة والركاز والمعدن
Sumber Matan Safinatun naja
Harta yang Wajib Dizakati
Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya ada enam macam :
1. Binatang ternak
2. Emas dan perak
3. Biji bijian (yang menjadi makanan pokok)
4. Harta perniagaan. Yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % dari harta tersebut
5. Harta yang terkubur
6. Hasil tambang
Fasal ini menjelaskan tentang harta-harta yang wajib dizakati.
Harta-harta yang wajib dizakati ada 6 macam, yaitu;
1. Binatang Na’am atau Ternak
Kata na’am dalam Bahasa Arab ditulis النعم, yaitu dibaca dengan fathah pada huruf ع, tetapi terkadang dibaca juga dengan sukun padanya. Kata na’am (النعم) merupakan isim jamak yang tidak memiliki bentuk mufrod dan dapat berstatus sebagai kata yang mudzakar dan muannas.
Binatang-binatang yang disebut sebagai na’am atau ternak dalam zakat adalah unta, sapi arab, kerbau, dan kambing.
Syarat-syarat Binatang Na’am
Binatang-binatang na’am wajib dizakati dengan 4 (empat) syarat berikut;
1. Binatang-binatang na’am tersebut benar-benar binatang-binatang na’am atau ternak.
Oleh karena itu tidak diwajibkan menzakati hewan-hewan yang bukan na’am, seperti; kuda, hamba sahaya, dan hewan peranakan dari binatang zakawi dan binatang lain (misal; peranakan antara sapi dan harimau).
Pengertian binatang zakawi adalah binatang-binatang yang termasuk sebagai binatang-binatang yang wajib dizakati.
2. Telah mencapai nisob.
Nisob Binatang-binatang Na’am
1. Nisob Unta
Permulaan nisob binatang unta adalah 5. Setiap 5 unta sampai 20 unta, diwajibkan mengeluarkan zakat berupa 1 domba (berumur 1 tahun dan memasuki umur 2 tahun atau 1 ekor kambing berumur 2 tahun memasuki umur 3 tahun) meskipun domba jantan. Apabila ia mengeluarkan zakat berupa unta sebagai ganti dari kambing maka telah mencukupi.
Tambahan:
Jadi, ketika seseorang memiliki 10 unta maka ia berkewajiban mengeluarkan zakat berupa 2 domba. Ketika ia memiliki 15 unta maka ia berkewajiban mengeluarkan zakat berupa 3 domba. Dan ketika ia memiliki unta 20 maka ia berkewajiban mengeluarkan zakat berupa 4 domba.
Berikut ini adalah tabel nisob binatang unta:
Nisob | Zakat | Umur |
---|---|---|
5-9 | 1 ekor domba atau 1 ekor kambing | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
10-14 | 2 ekor domba atau 2 ekor kambing | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
15-19 | 3 ekor domba atau 3 ekor kambing | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
20-24 | 3 ekor domba atau 3 ekor kambing | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
Ketika seseorang memiliki unta 25, ia berkewajiban mengeluarkan zakat berupa bintu makhod atau anak unta yang telah berumur 1 tahun lebih. Apabila pada saat telah diwajibkan berzakat, ia mendapati bintu makhod, tetapi pada saat mengeluarkan zakat ia tidak mendapatinya atau bintu makhod yang dimiliki menderita cacat, maka ia mengeluarkan zakat berupa ibnu labun (anak unta jantan yang telah berumur 2 tahun lebih) atau hiqun (anak unta jantan yang telah berumur 3 tahun lebih).
Nisob | Zakat | Umur |
---|---|---|
25-35 | 1 anak unta (bintu makhod) | 1 tahun lebih |
Ketika unta yang dimiliki telah mencapi 36 (sampai 45) maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah bintu labun yang telah berumur 2 tahun lebih.
Nisob | Zakat | Umur |
---|---|---|
36- 45 | 1 anak unta (bintu labun) | 2 tahun lebih |
Ketika unta yang dimiliki telah mencapai 40 (sampai 60) maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah hiqqoh atau anak unta yang telah berumur 3 tahun lebih.
Nisob | Zakat | Umur |
---|---|---|
40-60 | 1 anak unta (huqqoh) | 3 tahun lebih |
ًKetika unta yang dimiliki telah mencapai 61 (sampai 75) maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah jadz’ah atau unta yang telah berumur 4 tahun lebih.
Unta jadz’ah adalah unta berumur yang terakhir digunakan sebagai unta zakat. Unta jadz’ah merupakan unta yang sudah baik susunya, reproduksinya, dan tenaganya.
Nisob | Zakat | Umur |
---|---|---|
61-75 | 1 anak unta (jadz'ah) | 4 tahun lebih |
Ketika unta yang dimiliki telah mencapai 76 (sampai 90) maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 bintu labun atau 2 anak unta yang telah berumur 2 tahun lebih
Nisob | Zakat | Umur |
---|---|---|
76-90 | 2 anak unta (binta labun) | 2 tahun lebih |
Ketika unta yang dimiliki telah mencapai 91 (sampai 120) maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 hiqqoh atau 2 anak unta yang telah berumur 3 tahun lebih.
Nisob | Zakat | Umur |
---|---|---|
91-120 | 2 anak unta (hiqqoh) | 3 tahun lebih |
Ketika unta yang dimiliki telah mencapai 121 maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 3 bintu labun atau 3 anak unta yang telah berumur 2 tahun lebih.
Nisob | Zakat | Umur |
---|---|---|
121-129 | 3 anak unta (bintu labun) | 2 tahun lebih |
Ketika unta 121 telah bertambah 9, artinya menjadi 130, maka setiap kali bertambah 10 lagi, (artinya menjadi 140, 150, 160, dst.) maka zakat yang wajib dikeluarkan berubah-ubah. Setiap jumlah unta yang berkelipatan 40 maka setiap kelipatannya wajib mengeluarkan zakat 1 bintu labun atau anak unta berumur 2 tahun lebih. Dan jumlah unta yang berkelipatan 50 maka setiap kelipatannya wajib mengeluarkan zakat 1 hiqqoh atau anak unta berumur 3 tahun lebih.
Tambahan:
Contoh: Si A memiliki unta 130. Angka 130 merupakan kelipatan dari 40+40+50. Jadi, zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 bintu labun dan 1 hiqqoh.
Si A memiliki unta 140. Angka 140 merupakan kelipatan dari 50+50+40. Jadi, zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 hiqqoh dan 1 bintu labun.
Si A memiliki unta 150. Angka 150 merupakan kelipatan dari 50+50+50. Jadi, zakat yang wajib dikeluarkan adalah 3 hiqqoh.
160 unta = 40+40+40+40, berarti 4 bintu labun.
170 unta = 40+40+40+50, berarti 3 bintu labun dan 1 hiqqoh.
Dan seterusnya.
2. Nisob Sapi
Permulaan nisob sapi adalah 30 ekor. Setiap 30 ekor sapi wajib mengeluarkan zakat berupa 1 tabik atau anak sapi jantan berumur 1 tahun lebih. Setiap 40 ekor sapi wajib mengeluarkan zakat berupa 1 musinnah atau anak sapi betina berumur 2 tahun lebih.
Tambahan:
Jadi, setiap kelipatan 30 ekor sapi wajib mengeluarkan 1 tabik dan setiap kelipatan 40 ekor sapi wajib mengeluarkan 1 musinnah.
Nisob | Zakat | Umur | |
---|---|---|---|
30-39 | 1 anak sapi tabik | 1 tahun lebih | |
40-59 | 1 anak musinnah | 2 tahun lebih | |
60 | 30+30 | 2 anak tabik | 1 tahun lebih |
70 | 30+40 | 1 tabik dan 1 musinnah | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
80 | 40+40 | 2 Musinnah | 2 tahun lebih |
90 | 30+30+30 | 3 tabik | 1 tahun lebih |
100 | 30+30+40 | 2 tabik dan 1 musinnah | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
110 | 40+40+30 | 2 musinnah dan 1 tabik | 2 tahun lebih 1 tahun lebih |
120 | 30+30+30+30 atau 40+40+40 | 4 tabik atau 3 musinnah | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
3. Nisob Kambing
Permulaan nisob kambing adalah 40 ekor. Ketika 40 (sampai 120) ekor kambing yang dimiliki oleh seseorang, maka ia berkewajiban mengeluarkan zakat berupa 1 syaatun.
Ketika seseorang memiliki 121 (sampai 200) ekor kambing maka ia wajib mengeluarkan zakat berupa 2 syaatun.
Ketika seseorang memiliki 201 (sampai 399) ekor kambing maka ia wajib mengeluarkan zakat berupa 3 syaatun.
Ketika seseorang memiliki 400 ekor kambing maka ia wajib mengeluarkan zakat 4 syaatun.
Lebih dari 400 ekor kambing, maka setiap tambahan 100 ekor dikeluarkan zakatnya berupa 1 syaatun.
Yang dimaksud dengan syaatun adalah domba betina berumur 1 tahun lebih atau kambing betina berumur 2 tahun lebih sesuai dengan jenis domba dan kambing yang ada di suatu wilayah tertentu.
Nisob | Zakat | Umur |
---|---|---|
40-120 | 1 domba betina atau 1 kambing betina | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
121-200 | 2 domba betina atau 2 kambing betina | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
201-399 | 3 domba betina atau 3 kambing betina | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
400-499 | 4 domba betina atau 4 kambing betina | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
500-599 | 5 domba betina atau 5 kambing betina | 1 tahun lebih 2 tahun lebih |
Dan seterusnya.
Syarat-syarat berikutnya pada binatang-binatang na’am yang wajib dizakati adalah;
3. Binatang-binatang na’am telah dimiliki selama haul atau 1 tahun lebih.
Akan tetapi, tidak disyaratkan haul pada peranakan yang dilahirkan dari induknya, yang mana peranakan tersebut berasal dari indukan yang telah dimiliki selama haul dan yang telah mencapai nisob, meskipun induknya tersebut telah mati.
Karena peranakan diikutkan pada induknya. Secara rinci dicontohkan di bawah ini;
a. Peranakan menghasilkan nisob baru. Contoh:
Seseorang memiliki 120 ekor kambing. Zakat yang harus dikeluarkan seharusnya adalah 1 domba be na atau 1 kambing be na karena angka 120 merupakan nisob pertama bagi binatang na’am kambing. Namun, salah satu induk kambing dari 120 kambing tersebut melahirkan anak yang belum mencapai haul.
b. Peranakan yang menggantikan nisob induknya Contoh:
Seseorang memiliki 40 kambing. Semua kambing tersebut telah dimiliki selama haul atau 1 tahun. Setelah itu, masing-masing dari 40 kambing itu melahirkan anak sehingga jumlah semua anak adalah 40 ekor. Tiba- ba, musibah menimpa 40 kambing induk dan semuanya ma . Yang tersisa hanyalah 40 ekor anak kambing yang belum mencapai haul. Maka tetap diwajibkan mengeluarkan zakat berupa 1 ekor domba be na atau 1 ekor kambing be na.
Berbeda dengan masalah apabila seseorang memiliki 39 ekor kambing yang telah dimiliki selama haul atau 1 tahun. Nisob pertama kambing adalah 40 ekor. Salah satu induk dari 39 kambing tersebut melahirkan anak. Dan jumlah semuanya adalah 39 kambing + 1 anak dan menjadi 40 kambing. Maka dak diwajibkan mengeluarkan zakat sama sekali.
Demikian ini semua disebutkan di dalam kitab Busyro al-Karim hal, 33, juz, 2.
Oleh karena itu, tidak diwajibkan mengeluarkan zakat pada binatang-binatang na’am yang diberi makanan berbiaya, atau yang merumput sendiri, atau yang digembalakan oleh pihak yang bukan pemilik binatang-binatang itu sendiri. (Busyro al-Karim, Juz, 2, hal, 44)
4. Binatang-binatang na’am merupakan binatang-binatang saum atau yang digembalakan oleh pemilik sendiri di rerumputannya sendiri selama satu tahun penuh
Tetapi apabila binatang-binatang na’am diberi makanan yang harus mengeluarkan biaya dengan ukuran makanan yang andai binatang-binatang tersebut tidak diberinya maka masih bisa hidup tanpa mengalami keburukan yang nyata, dan tidak ada tujuan atau niatan untuk memutus saum dengan adanya diberi makanan berbiaya tersebut, maka tetap berkewajiban menzakatkan.12
Dan induknya sendiri masih hidup. Sehingga 120 kambing ditambah dengan 1 anak kambing yang belum mencapai haul menjadi 121 ekor kambing, padahal angka 121 tersebut merupakan nisob kedua bagi binatang na’am kambing. Jadi, ia diwajibkan mengeluarkan zakat berupa 2 ekor domba be na atau 2 ekor kambing be na.
Tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat pada binatang-binatang na’am yang digunakan untuk bekerja, seperti; membajak atau yang lainnya, karena binatang-binatang tersebut dimiliki untuk tujuan bekerja, sekiranya pemilik mempekerjakan mereka dengan jenis pekerjaan yang andai mereka diberi makanan atas pekerjaan mereka itu maka dapat menggugurkan kewajiban zakat. Berbeda dengan binatang-binatang na’am yang dimiliki dan diternak untuk tujuan perkembang biakan, maka diwajibkan menzakatkan. Keadaannya sama dengan pakaian-pakaian tubuh dan perabot-perabot rumah dimana tidak ada kewajiban menzakatkannya karena ada tujuan mengfungsikan dan menggunakannya.
2. Emas dan Perak
Jenis harta yang kedua yang wajib dizakatkan adalah nuqdani atau emas dan perak, meskipun keduanya belum dicetak (masih dalam kondisi mentah).
Tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat pada emas sampai emas itu telah mencapai nisob 20 dinar dengan timbangan Mekah menurut hitungan yang pas secara yakin. Satu dinar adalah seukuran 72 biji gandum yang berukuran sedang, yang tidak berkulit, dan telah dipotong bagian lembut dan panjangnya yang ada di dua ujung biji itu.
Tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat pada perak sampai perak itu telah mencapai nisob 200 dirham, yakni ±28 lebih reyal.
Ukuran ini didasarkan pada jika setiap 1 reyalnya sama dengan 2 dirham tembaga. Apabila setiap 1 reyalnya sama dengan 1 dirham tembaga maka 200 dirham sama dengan 25 reyal.
Ketika emas dan perak telah mencapai masing-masing nisobnya maka wajib mengeluarkan zakat sebesar ¼ 1/10-nya (2,5%). Oleh karena itu, emas yang telah mencapai nisob 20 dinar maka diwajibkan mengeluarkan zakat darinya sebesar ½ dinar (karena 2,5/100 x 20=1/2).
Diwajibkan mengeluarkan zakat pada perhiasan-perhiasan yang diharamkan, seperti; perhiasan emas atau perak yang digunakan oleh laki-laki. Diwajibkan pula mengeluarkan zakat pada dirham-dirham dan dinar-dinar yang diukir dan dijadikan kalung di leher para perempuan, dan pada emas yang dijahitkan pada kain, hukumnya haram digunakan, tetapi wajib untuk dikeluarkan zakatnya, dan pada emas yang dijadikan tutup pada kepala anak-anak kecil.
Adapun ikat kepala (semacam serban) dari emas dan perak maka tidak diharamkan sehingga tidak diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya karena emas dan perak itu ditujukan untuk berhias.
Adapun mu’arroh (sesuatu yang ada pada kalung) yang berupa dirham atau dinar sekiranya akad muamalah menjadi batal dengannya maka hukumnya boleh, artinya, tidak diharamkan untuk digunakan. Mewajibkan zakat disertai hukum ibahah atau diperbolehkan adalah ketetapan yang dilarang, sehingga tidak diwajibkan mengeluarkan zakat dari mu’arroh itu.
Termasuk benda yang tidak diharamkan adalah siwar (سوار), yaitu dengan kasroh pada huruf س. Siwar adalah benda yang digunakan atau dipakai pada tangan (gelang tangan). Dan termasuk benda yang tidak diharamkan adalah khol-khol (خلخل), yaitu dengan fathah pada huruf خ. Khol-khol adalah perhiasan yang digunakan atau dipakai pada kaki (gelang kaki). Demikian ini adalah seperti keterangan yang dikatakan oleh Syaikhuna Ahmad Nahrowi. Ketidak haraman tersebut siwar dan kholkhol adalah karena untuk digunakan oleh perempuan dan anak kecil (shobi) atau untuk meminjamkan atau menyewakan siwar dan khol-khol kepada orang lain yang diperbolehkan menggunakannya, atau tidak ada tujuan maksud sama sekali.
Termasuk yang diharamkan, meskipun atas perempuan, adalah jari-jari tangan yang terbuat dari emas atau perak. Apalagi tangan emas atau tangan perak, maka lebih berhak untuk diharamkan.
Diwajibkan mengeluarkan zakat pada perhiasan-perhiasan yang dimakruhkan, seperti; tambalan kecil dari perak dengan tujuan zinah (berhias), baik tambalan tersebut dalam bentuk perhiasan ataupun tidak.
Rincian Zakat pada Perhiasan yang Mubah Dipakai
Berbeda dengan perhiasan yang diketahui mubah atau diperbolehkan dipakai dan tidak ada niatan untuk menyimpannya, seperti; perhiasan-perhiasan dari emas atau perak untuk dipakai oleh perempuan, maka tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat dari perhiasan mubah tersebut, kecuali apabila berlebihan, seperti; khol-khol yang beratnya mencapai 200 mitsqol, maka tidak boleh dipakai dan wajib dizakati.
Diperbolehkan bagi laki-laki memakai cincin perak, bahkan memakainya disunahkan.
Mengecualikan dengan pernyataan, “yang diketahui mubah atau diperbolehkan dipakai,” adalah masalah apabila seseorang menerima warisan berupa perhiasan yang mubah dipakai, tetapi ia tidak mengetahui kemubahannya sampai terlewat satu tahun, maka perhiasan mubah tersebut wajib dizakati karena ia belum berniat menahan atau memiliki perhiasan tersebut untuk pemakaian yang dimubahkan.
Mengecualikan dengan pernyataan, “dan tidak ada niatan untuk menyimpannya,” adalah masalah apabila seseorang memiliki perhiasan yang mubah dipakai dan ia berniat untuk menyimpannya, maka perhiasan tersebut wajib dizakati.
Andaikan perhiasan yang mubah dipakai mengalami rusak atau remuk maka tidak diwajibkan menzakatinya dengan catatan apabila pemiliknya memiliki tujuan atau niatan untuk memperbaikinya dan remukan tersebut masih bisa dipulihkan tanpa shough (membentuknya dengan cara misal diukir, ditatah, dicetak, dll) sekiranya remukan tersebut masih bisa dipulihkan dengan cara saling dilengket-lengketkan hingga menjadi bentuk seperti semula dan ada niatan dari pemiliknya untuk memperbaiki remukan tersebut.
Sebaliknya, apabila perhiasan yang mubah dipakai mengalami rusak atau remuk dan pemiliknya tidak memiliki niatan untuk memperbaikinya, melainkan ia berniat mengubah remukan perhiasan tersebut menjadi batangan (misal; dilebur dan dituangkan dalam sebuah cetakan) atau mengubahnya menjadi dirham, atau ia berniat menyimpannya, atau ia tidak memiliki niatan apapun terhadap remukan perhiasan tersebut, atau ia lebih memerlukan perhiasan yang mubah itu untuk diremukkan agar dishough, maka diwajibkan menzakatinya. Hitungan haul (satu tahun) dalam remukan perhiasan tersebut dimulai sejak remuknya karena remukan tersebut tidak dipakai dan tidak dipersiapkan untuk pemakaian.
Syeh az-Zayadi berkata;
Apabila diwajibkan berzakat dalam harta yang berupa perhiasan maka harga dan timbangan perhiasan tersebut memungkinkan saling berbeda, contoh; siwar yang bernilai harga 300 (mitsqol) dengan timbangan 200 (mitsqol) maka menurut pendapat asoh, yang menjadi patokan untuk menentukan berapa besar zakat yang dikeluarkan adalah didasarkan pada nilai harganya. Oleh karena itu, pemiliknya diperkenankan memilih antara mengeluarkan 2,5 % dari perhiasan tersebut secara umum (300x2,5%=7,5 mitsqol dari perhiasan) dan diserahkannya kepada kaum fakir atau mengeluarkan 5 dirham yang telah dicetak yang bernilai 7,5 (mitsqol). Tidak diperbolehkan meremuk perhiasan tersebut dan mengeluarkan zakat darinya sebesar 5 dirham (yang senilai 7,5 mitsqol) dengan alasan karena tidak baik terhadap perhiasan itu sendiri (karena dirusak) dan terhadap para mustahik-nya. Larangan ini atas dasar apabila perhiasan tersebut merupakan perhiasan yang mubah dipakai, sekiranya perhiasan tersebut diremuk dan tidak ada niatan dari pemiliknya untuk memperbaikinya.
Berbeda dengan kondisi apabila perhiasan tersebut diharamkan dipakai secara dzatiahnya, misalnya; perhiasan tersebut berupa wadah-wadah emas/perak, maka patokan dalam menentukan berapa besar zakat yang harus dikeluarkan adalah didasarkan pada timbangannya (dalam contoh di atas adalah 200 mitsqol), bukan nilai harganya. Oleh karena itu, pemiliknya mengeluarkan 5 dirham dari selain perhiasan tersebut atau darinya, atau ia meremuknya terlebih dahulu, atau ia menyerahkan 2.5%-nya secara umum dan merata kepada para mustahiknya.
3. Al-Mu’asyarot
Jenis harta ketiga yang wajib dizakati adalah al-mu’asyarot. Pengertian al-mu’syarot adalah tumbuh-tumbuhan yang mencakup pohon dan tanaman. Jenis harta al-mu’asyarot yang wajib dizakati hanya;
- kurma
- anggur
- biji-bijian yang biasa untuk kebutuhan pokok, seperti; o qomhu (gandum)
- sya’ir (gandum)
- beras
- adas
- jagung
- hams/kacang
- kacang baqilak, yaitu kacang tanah dan kedelai, baqilak merupakan jenis jagung hanya saja ia lebih kecil bijinya daripada biji jagung,
- julban (جلبان), yaitu dengan dhommah pada huruf ج. Disebut juga dengan istilah hurtuman (الهرطمان), yaitu dengan dhommah pada huruf /ه/ dan /ط/.
- Masy, yaitu termasuk jenis dari tanaman julban
meskipun biji-bijian yang pantas dijadikan sebagai kebutuhan pokok tersebut jarang dimakan, seperti;
- Buah balut atau yang biasa disebut dengan buah fuad, yakni semacam buah yang menyerupai kurma mentah. Disebutkan di dalam kitab al-Misbah bahwa buah balut menyerupai tunas buah. Buah balut terkadang dimakan dan terkadang kulitnya digunakan untuk menyamak (kulit bangkai).
- Silt, yaitu termasuk jenis dari sya’ir yang tidak berkulit, seperti yang dikatakan oleh al-Jauhari. Ibnu Faris mengatakan bahwa silt termasuk jenis dari sya’ir yang tipis kulitnya dan kecil bijinya. Al-Azhari mengatakan bahwa silt adalah biji tanaman seukuran sedang antara gandum dan sya’ir dan tidak berkulit.
- alas (العلس), dengan fathah pada huruf ع dan ل, yaitu sejenis gandum yang di dalam kulitnya terdapat dua biji, terkadang hanya satu biji, atau tiga biji. Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘alas adalah hubbatu saudak yang biasa dimakan pada saat musim gersang (paceklik). Ada yang mengatakan bahwa ‘alas adalah seperti beras, tetapi sulit dibersihkan. Ada yang mengatakan pula bahwa yang dimaksud dengan ‘alas adalah ‘adas.
Tanaman-tanaman di atas wajib dikeluarkan zakatnya ketika telah memenuhi syarat-syaratnya.
Berbeda dengan jenis tanaman yang dimakan bukan untuk kebutuhan pokok, melainkan untuk semacam cuci mulut, seperti; gula, buah tin, mismis, apel, biji kopi, dan untuk pengobatan, seperti; mustaki, dan cabe. Tanaman cabe termasuk salah satu dari jenis tanaman-tanaman rempah, seperti yang dikatakan di dalam kitab al-Misbah. Maka tanaman-tanaman ini tidak diwajibkan untuk dizakati.
Besar zakat yang wajib dikeluarkan dari tanaman-tanaman di atas adalah 1/10-nya jika memang tumbuh tanpa mengeluarkan biaya banyak, dan /20-nya jika memang tumbuh dengan mengeluarkan biaya banyak.
Pengertian kewajiban mengeluarkan zakat tumbuhan adalah bahwa sebab kewajiban menzakatinya yang ditandai dengan terlihatnya kematangan buah dan kerasnya biji-bijian dibebankan atas pemilik, bukan mustahik dan harta zakat, karena hak mustahik hanya memperoleh tumbuhan zakat yang sudah bersih dan kering.
Syarat-syarat Zakat Tumbuhan
Syarat wajib zakat tumbuhan adalah;
1. Tumbuhan tersebut mencapai jumlah 5 wasak
Yaitu 1600 kati Baghdad, karena per wasak-nya adalah 60 shok. Jadi jumlah keseluruhannya, yakni dengan hitungan 60x5 adalah 300 shok, sedangkan 1 shok adalah 4 mud sehingga nisob zakat tumbuhan adalah 1200 mud.13
1 shok = 3,1 liter. 300 x 3,1 = 930 liter.
Menurut yang tertulis dalam buku Sullamut Taufik Berikut Penjelasannya yang diterjemahkan oleh KH. Moch. Anwar dan H. Anwar Abubakar, 5 wasak adalah ± 1860 atau ± 1125 kg.
2. Tamamul milki atau milik sempurna
Meskipun pemilik atau penggantinya tidak mengerjakan sendiri penanamannya, seperti; biji-bijian jatuh sendiri dari tangan pemiliknya ketika ia sedang menggotong hasil panen, atau biji-bijian dijatuhkan oleh semisal burung, misalnya; burung-burung pipit hinggap di mayang semisal padi, kemudian biji-bijinya rontok dan tumbuh. Maka wajib dizakati jika telah mencapai nisob.
Mengecualikan dengan syarat milik sempurna adalah tanaman yang tumbuh sebab biji-bijinya terbawa oleh arus banjir dari darul harbi sampai ke tanah muslimin dimana status tanah tersebut tidak ada pemiliknya satu pun maka jika tanaman itu tumbuh maka tidak wajib dizakati karena tanaman tersebut menjadi harta faik dan pemiliknya bukan bersifat pribadi (ghoiru mu’ayyan). Adapun apabila status tanah tersebut ada pemiliknya, maka tanaman itu menjadi miliknya.
Apabila biji-bijian itu milik si A, kemudian biji-bijian tersebut terbawa oleh angin atau air hingga terjatuh dan tumbuh di tanah si B, maka apabila si A tidak memperdulikannya maka tanaman itu milik si B selaku sebagai pemilik tanah dan si B berkewajiban menzakatinya. Dan apabila si A memperdulikannya maka tanaman itu tetap milik si A dan ia berkewajiban menzakatinya dan membayar upah atas pemakaian tanah kepada si B.
Jenis tanaman satu digabungkan dengan jenis tanaman yang lain, seperti; anggur Mesir digabungkan dengan anggur Syam. Apabila berbeda jenis, maka tidak perlu digabungkan, seperti; gandum burr dengan gandum sya’ir. Oleh karena itu, apabila seseorang memiliki beberapa tanaman yang saling berlainan jenis, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar sesuai dengan ukuran jatah dari masing-masing jenis tanaman. Ini jika memang mudah untuk dibagi-bagi ukurannya dan mudah dibedakan. Apabila sulit, mungkin karena saking banyaknya jenis tanamannya atau karena sedikitnya ukuran dari masing-masing jenis tanaman, maka pemiliknya mengeluarkan zakatnya dengan ukuran tengah-tengahnya, bukan maksimalnya dan minimalnya.
Dua tanaman yang sejenis yang telah berusia 1 tahun, yaitu 12 bulan, digabungkan menjadi satu apabila panen keduanya terjadi dalam tahun yang sama, sekiranya jarak antara masa panen tanaman pertama dan masa panen tanaman kedua kurang dari 12 bulan Hijriah, meskipun masa tanam keduanya terjadi di tahun yang berbeda, sekiranya jarak antara masa tanam tanaman pertama dan masa tanam tanaman kedua adalah 12 bulan dan jarak antara masa panen tanaman kedua dan masa panen tanaman pertama kurang dari 12 bulan. Yang dimaksud dengan terjadinya masa panen pada tahun tertentu adalah bahwa dua tanaman tersebut telah masuk waktunya masa panen meskipun tidak terjadi panen secara nyata. Sama dengan dua tanaman tersebut adalah dua buah yang masa berbuahnya terjadi selama setahun dan masa petiknya terjadi di tahun yang sama.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa patokan dalam tanaman berbiji adalah masa panen dan dalam buah-buahan adalah masa berbuah.
Apabila pohon kurma berbuah dua kali selama setahun maka keduanya tidak digabungkan, melainkan dianggap seperti buah kurma yang tumbuh selama 2 tahun, dengan alasan karena menyamakan kejadian langka dengan kejadian biasanya atau umumnya. Sama dengan pohon kurma adalah setiap pohon yang seharusnya tidak berbuah selama setahun kecuali hanya berbuah sekali saja.
Jenis Profesi Pekerjaan
[CABANG]
Ahmad Suhaimi mengatakan;
Secara urut, jenis profesi pekerjaan yang paling utama adalah bercocok tanam (atau jenis pekerjaan yang melibatkan pertanian), kemudian pertukangan (atau jenis pekerjaan yang melibatkan skill dan jasa), kemudian perdagangan.
Dulunya, setiap nabi memiliki profesi pekerjaan sendiri-sendiri. Nabi Adam dulunya adalah seorang pencocok tanam. Jenis pekerjaan yang pertama kali ada di muka bumi ini adalah bercocok tanam. Orang yang pertama kali bercocok tanam adalah Adam.
Suatu sore, Adam mengalami kecapekan. Ia berkata kepada Hawa, “Hawa. Bercocok tanamlah. Selesaikan sisanya,” hingga akhirnya, tanaman Hawa tumbuh dan menghasilkan berupa gandum sya’ir, (padahal biasanya adalah gandum qomhu). Melihat tanaman yang dihasilkan itu, Adam heran. Lalu Allah memberikan wahyu kepadanya, “Ketika Hawa mengikuti perintah musuh, yaitu setan, maka Aku menggantikan gandum qomhu menjadi gandum sya’ir untuknya.”
Ada yang mengatakan bahwa ketika Adam telah diturunkan di tanah Hindi, ia merasa sangat lapar. Lalu, Jibril mendatanginya dengan membawakannya 2 sapi jantan merah dan 3 biji gandum (hintoh). Jibril berkata, “Ini ada 3 biji gandum. 2 biji untukmu dan 1 biji untuk Hawa.” Dari sinilah, maka bagian 1 laki-laki sama dengan bagian 2 perempuan. Timbangan masing-masing dari 3 biji gandum itu adalah 100.800 dirham. Setelah itu, Adam menanam biji gandum itu, memanennya, menggilingnya, dan memasaknya menjadi roti. Rutinitas Adam ini terjadi selama 4 masa.
Nabi Idris adalah seorang penjahit. Nabi Nuh adalah seorang tukang. Begitu juga, Zakaria adalah seorang tukang. Nabi Ibrahim adalah seorang bazaz, yaitu orang yang berprofesi menjual berbagai macam pakaian.
Sementara itu, Nabi Musa adalah seorang penulis. Ia menulis Kitab Taurat dengan tangannya sendiri. Ia juga buruh dari Nabi Syuaib.
Nabi Daud adalah seorang pandai besi. Nabi Sulaiman berprofesi memintal dedaunan kurma.
Dan Nabi kita, Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama, berprofesi melakukan penjualan dan pembelian secara kontan atau ditangguhkan. Setiap kali beliau membeli barang dan hendak membawanya ke rumah, penjual berkata, “Berikan barang pembelianmu kepadaku agar aku yang membawakannya ke rumah.” Rasulullah menjawab, “Pemilik barang lebih utama untuk membawanya.”
Setelah Nabi kita diangkat sebagai rasul, beliau lebih sering melakukan pembelian. Adapun setelah berhijrah ke Madinah, beliau tidak melakukan penjualan, hanya sering melakukan pembelian dan menyewakan barang-barang miliknya kepada orang lain. Beliau juga menyewa jasa orang lain agar menjahitkan bajunya. Beliau lebih sering menyewa daripada menyewakan.
Adapun sebelum diangkat sebagai nabi (qobla an-nubuwwah), Rasulullah menyewakan jasanya sendiri untuk menggembala kambing dan memperdagangkan barang-barang dagangan Khotijah. Beliau juga melakukan transaksi serikat, mewakilkan (taukil), dan menerima perwakilan (tawakkul). Akan tetapi, beliau lebih sering melakukan taukil. Setiap kali beliau diberi hadiah, beliau membalasnya dan menerima balasan kembali. Beliau juga menerima dan memberi hibah. Beliau juga melakukan akad istiarah (pinjam meminjam).
Tahap-tahap Besar Biji Gandum Qomhu
[FAEDAH]
Syarqowi mengutip dari Ajhuri bahwa biji gandum qomhu ketika telah diturunkan dari surga berukuran sebesar telur burung unta dan lebih halus daripada zubad (الزبد), yaitu dengan dhommah pada huruf /ز/ dan sukun pada huruf ي. Arti zubad adalah (semacam buih atau) sesuatu yang keluar dari susu sapi dan kambing sebab dijatuhi air dan digerak-gerakkan. Begitu juga, biji gandum qomhu itu lebih wangi daripada misik. Seiring berjalan waktu, biji gandum qomhu diperkecil pada zaman Firaun sehingga sebesar telur ayam jago. Setelah itu, biji gandum qomhu diperkecil lagi pada saat Yahya bin Zakaria dibunuh sehingga sebesar telur merpati. Lalu, diperkecil lagi hingga sebesar peluru, kemudian diperkecil lagi hingga sebesar kacang, setelah itu, diperkecil lagi sampai sebesar ukuran yang kita jumpai sekarang ini. Kami meminta kepada Allah agar Dia tidak memperkecil lagi biji gandum qomhu.
Qulyubi berkata dalam kitab Syarah al-Mikroj, “(Faedah Langka) Dulu timbangan biji gandum hintoh disurga adalah 200.800 dirham.”
4. Harta Tijaroh (Dagangan)
Pengertian tijaroh atau berdagang adalah mengelola harta dengan cara muawadhoh (saling mengganti atau membandingi) untuk tujuan memperoleh keuntungan dengan berniat berdagang di setiap penasarufan (transaksi).
Syarat Wajiz Zakat Tijaroh
Kesimpulannya adalah bahwa syarat wajib zakat tijaroh ada 6 (enam), yaitu;
1. Harta dagangan dimiliki dengan cara muawadhoh
Seperti melalui cara pembelian, baik dibayar dengan barang dagangan lain (barter), atau uang (emas/perak), atau dihutang yang dibayar dengan segera atau ditangguhkan, atau melalui cara shuluh, yaitu memperoleh harta atas dasar transaksi shuluh atau damai atas kematian seseorang, atau melalui cara memperoleh harta sebagai upah atas jasa yang disewakan, baik bentuk muawadhoh itu adalah muawadhoh ghoiru mahdoh, yaitu bentuk muawadhoh yang tidak bisa rusak sebab pembandingnya rusak, seperti; nikah, khuluk, atau bentuk muawadhoh itu adalah muawadhoh mahdoh, yaitu bentuk muawadhoh yang bisa rusak sebab pembandingnya rusak, seperti; transaksi penjualan dan pembelian, hibah dengan syarat balasan.
Dengan demikian, dikecualikan harta yang dimiliki tidak melalui cara muawadhoh, seperti harta yang dimiliki sebab menerima warisan. Oleh karena itu, apabila ada mayit meninggalkan harta warisan berupa harta dagangan kepada para ahli warisnya maka mereka tidak berkewajiban menzakatinya. Dikecualikan juga hibah yang tanpa syarat dibalas dan ihtitob (sebatas mengumpulkan harta dagangan).
2. Adanya niat berdagang pada saat melakukan transaksi muawadhoh.
Karena terkadang muawadhoh bisa dimaksudkan untuk berdagang dan bisa dimaksudkan untuk selainnya. Oleh karena ini, harus ada niat yang membedakan antara keduanya, meskipun niat tersebut tidak selalu diperbaharui di setiap penasarufan setelah selesai melakukan pembelian semisal dengan modal.
3. Tidak ada niatan qun-yah atau menahan harta untuk memperoleh manfaat atau keuntungan.
Apabila ia menyengaja qun-yah pada hartanya maka terputuslah haul sehingga memerlukan pembaharuan niat yang disertakan dengan tasarruf. Begitu juga dapat memutus haul apabila meniatkan qun-yah pada sebagian harta meskipun tidak ditentukan harta yang mana. Dan terputusnya haul dikembalikan pada sebagian harta yang ditentukan untuk diniati qun-yah.
4. Terlewatnya haul (setahun) dari waktu kepemilikan atas harta dagangan.
Apabila seseorang memiliki harta dagangan dengan cara membelinya dengan emas yang sebesar nisob atau membelinya dengan emas yang sebesar kurang dari nisob, tetapi masih memiliki sisanya (yang jika dijumlahkan dengan yang digunakan untuk membeli dapat mencapai nisob), seperti; ia membeli barang dagangan dengan 20 mitsqol (nisob emas) atau ia membeli barang dagangan dengan 10 mitsqol dan masih memiliki 10 mitsqol sisanya, maka haul barang dagangan didasarkan pada haul emas itu.
Berbeda dengan masalah apabila seseorang membeli barang dagangan dengan emas yang sebesar nisob, tetapi masih dalam bentuk tanggungan, kemudian pada waktu berikutnya, ia membayarnya dengan emas di majlis akad, maka haul emas telah terputus dan haul harta dagangan dimulai dari waktu pembelian.
Perbedaan antara dua masalah di atas adalah bahwa emas dalam masalah kedua tidak harus ditasarrufkan untuk membeli barang dagangan, artinya, masih memungkinkan membelinya dengan harta lain karena pembayarannya bersifat tanggungan, sedangkan dalam masalah pertama, emas sudah pasti ditasarrufkan untuk membelinya.
5. Tidak mengembalikan atau merubah seluruh harta dagangan di tengah-tengah haul menjadi emas/perak yang harta dagangan dinilai harga dengannya, sedangkan emas/perak tersebut kurang dari nisob.
Apabila seseorang mengembalikan seluruh harta dagangan menjadi emas/perak, dan ternyata kurang dari nisob, kemudian ia membeli harta dagangan lain dengan emas/perak tersebut maka haul harta dagangan tersebut dimulai lagi sejak membelinya karena terbukti kurang dari nisob sebab tansis (penumpukan harta dagangan). Berbeda dengan sebelum dikembalikan menjadi emas/perak, maka nisob harta dagangan pertama bersifat madznun atau sekedar sangkaan telah mencapai nisob.
Adapun apabila sebagian harta dagangan dikembalikan menjadi emas/perak, atau sebagian harta dagangan dijual belikan dengan ganti berupa harta dagangan lain (barter), atau dijual dengan ganti emas/perak yang mana harta dagangan tersebut tidak dinilai harganya dengannya di akhir haul, misalnya; seseorang menjual sebagian harta dagangannya dengan ganti beberapa dirham padahal kondisi saat itu menunjukkan bahwa harta dagangan hanya dapat dinilai harganya dengan beberapa dinar, atau sebagian harta dagangan dijual dengan ganti emas/perak yang mana harta dagangan tersebut dapat dinilai harga dengannya dan telah mencapai nisob, maka haul harta dagangan bersifat tetap, artinya, tidak harus mengawali haul lagi.
6. Nilai harga harta dagangan di akhir haul telah mencapai nisob
Atau kurang dari nisob tetapi masih memiliki harta yang menggenapkannya sehingga mencapai nisob, seperti; seseorang memiliki 100 dirham, lalu ia menggunakan 50 dirham untuk membeli harta dagangan dan ia masih mengantongi 50 dirham sisanya, di akhir tahun, harta dagangannya dinilai harganya dan menghasilkan 150 dirham, kemudian digabungkan dengan 50 dirham sebelumnya hingga berjumlah 200 dirham (mencapai nisob), maka wajib dizakati semuanya.
Besarnya Zajat Tijaroh
Besar zakat yang wajib dikeluarkan dari harta dagangan (tijaroh) adalah 2,5% dari nilai harga harta dagangan tersebut.
Apabila seseorang memiliki harta dagangan yang dibelinya dengan emas meskipun kurang dari nisob maka harta dagangan tersebut dinilai harganya dengan emas juga. (Begitu juga, apabila ia memiliki harta dagangan yang dibelinya dengan perak maka harta dagangan tersebut dinilai harganya dengan perak juga.) Dalam menilai harga harta dagangan harus menurut dua orang yang adil.
Apabila setelah harta dagangan dinilai harganya dengan emas dan ternyata belum mencapai nisob maka tidak wajib mengeluarkan zakatnya meskipun jika dinilai harganya dengan perak telah mencapai nisob. (Begitu juga sebaliknya)
Apabila harta dagangan dimiliki dengan cara barter, nikah, dan khuluk, maka harta dagangan tersebut dinilai harganya dengan mata uang yang berlaku, apakah emas atau perak. Contoh; ada seorang suami menikahkan amatnya atau mengkhuluk istrinya dengan ganti barang dagangan yang diniati tijaroh atau berdagang. Begitu juga, seperti perempuan merdeka yang menikah dengan mahar barang dagangan dengan niatan tijaroh atau berdagang. (Maka barang dagangan tersebut dinilai harganya dengan mata uang yang berlaku pada saat itu).
Selain di atas, artinya, harta dagangan juga dinilai dengan mata uang yang umum digunakan di negara pemiliknya adalah apabila harta dagangan dimiliki dengan transaksi shuluh atau damai, misalnya; si A telah melukai si B, maka si A berhak menerima qisos, lalu si A bertransaksi shuluh atau damai dengan si B, lalu si B memaafkan si A dengan harus membayar denda dengan niatan tijaroh atau berdagang, seperti; si B berkata kepada si A, “Aku memaafkanmu dengan adanya denda darimu,” dengan demikian, denda tersebut adalah gantian dari penetapan qisos (dan harta dagangan tersebut dinilai harganya dengan mata uang yang berlaku di wilayah si A dan si B).
Apabila wilayah harta dagangan tidak berlaku mata uang sama sekali, maka harta dagangan tersebut dinilai harganya dengan mata uang yang ada di wilayah yang paling dekat dengan wilayah yang mata uang tidak berlaku disana.
Apabila wilayah harta dagangan berlaku sama dua mata uang maka pemilik harta dagangan tersebut diperbolehkan memilih antara menilai harga harta dagangannya dengan mata uang yang pertama atau yang kedua jika memang harta dagangan tersebut telah mencapai nisob ketika dinilai harganya dengan masing-masing dari mata uang pertama dan kedua.
Apabila harta dagangan bisa mencapai nisob jika dinilai harganya dengan mata uang pertama dan tidak bisa mencapainya jika dinilai harganya dengan mata uang kedua, maka harta dagangan tersebut dinilai harganya dengan mata uang pertama sebab telah terbukti mencapai nisob dengan mata uang pertama tersebut.
Apabila harta dagangan dimiliki melalui dibeli dengan mata uang emas/perak dan juga dibeli dengan selainnya, (seperti; barter dengan barang dagangan lain), maka harta dagangan yang dibeli dengan emas/perak tersebut dinilai harganya dengan emas/perak juga dan harta dagangan yang dibeli dengan selainnya dinilai harganya dengan mata uang yang berlaku, apakah itu emas atau perak. Cara mengetahui harta dagangan manakah yang dijual belikan dengan selain emas/perak adalah dengan menilai harganya. Dan mengetahui penisbatan harta dagangan tersebut terhadap mata uang emas/perak adalah pada saat proses muawadhoh (dalam contoh ini adalah proses jual beli).
(Awal masalah ada seseorang membeli harta dagangannya dengan cara barter dengan barang dagangan lain). Apabila mata uang yang berlaku pada saat pembelian berbeda dengan mata uang yang berlaku di akhir haul maka yang dijadikan patokan untuk menilai harga harta dagangan tersebut adalah mata uang yang berlaku di akhir haul karena mata uang tersebut adalah yang dititik beratkan pada zakat tijaroh/dagangan.
Adapun perkataan para fuqoha, “Yang diberlakukan adalah mata uang yang digunakan untuk membeli harta dagangan meskipun pemerintah menghapus keberlakuan mata uang tersebut atau meskipun yang umum berlaku adalah selain mata uang yang digunakan untuk membeli,” adalah perkataan pernyataan yang dikaitkan dengan masalah apabila pada awalnya memang seseorang membeli harta dagangannya dengan mata uang emas/perak, bukan dengan membelinya melalui barter dengan barang dagangan lain, seperti dalam pembahasan disini.
Ketika telah mencapai haul, keuntungan dagangan yang diperoleh di tengah-tengah haul digabungkan dengan modal, tetapi dengan catatan jika keuntungan tersebut belum ditunai uangkan ke uang dirham atau dinar, sekiranya keuntungan tersebut tidak ditunai uangkan sama sekali atau ditunai uangkan tetapi bukan ke uang dirham atau dinar. Oleh karena itu, apabila seseorang membeli dagangan dengan harga 200 dirham, kemudian di akhir haul dagangannya menjadi 300 dirham, maka semua 300 dirham itu wajib dikeluarkan zakatnya.
Adapun apabila keuntungan yang diperoleh di tengah-tengah haul telah ditunai uangkan ke dirham atau dinar maka keuntungan tersebut tidak digabungkan dengan modal, tetapi modal dizakati sendiri pada saat haul-nya dan keuntungan dizakati sendiri pada saat haul-nya juga, sehingga masing-masing dari modal dan keuntungan memiliki masa haul sendiri-sendiri. Pengertian ditunai uangkan adalah sekiranya menjadi dirham dan dinar. (Contoh; seseorang membeli barang dagangan dengan 200 dirham. Setelah 6 bulan berikutnya, ia menjual barang dagangannya tersebut dengan harga 300 dirham. Lalu, 300 dirham tersebut ditahan sampai akhir haul. Maka pada akhir haul tersebut, yang 200 dirham dikeluarkan zakatnya. Baru 6 bulan kemudian, yang 100 dirham dikeluarkan zakatnya.)
Wajib mengeluarkan zakat fitrahnya budak yang berstatus sebagai barang dagangan disertai wajib mengeluarkan zakat dagangan itu sendiri karena perbedaan sebab, yaitu badan dan harta. Badan adalah sebab bagi zakat fitrah dan harta adalah sebab bagi zakat tijaroh.
Apabila harta dagangan termasuk harta-harta yang wajib dizakati ain atau dzatnya, seperti; harta dagangan tersebut berupa binatang-binatang na’am atau buah-buahan, maka dua zakat, yakni zakat tijaroh dan zakat binatang-binatang na’am atau zakat tijaroh dan zakat buah-buahan, tidak dapat berkumpul dalam satu barang. Melainkan, apabila satu zakat telah mencapai nisob dan satunya lagi belum mencapai nisob, seperti; seseorang memiliki harta berupa 40 kambing (nisob kambing) yang diniati tijaroh tetapi harga kambing-kambing tersebut belum mencapai nisob tijaroh di akhir haul, atau seperti; seseorang memiliki harta berupa 39 kambing atau sebawahnya (38,37,36, dst) tetapi harga 39 kambing tersebut telah mencapai nisob tijaroh di akhir haul, maka wajib mengeluarkan zakat yang telah mencapai nisob.
Namun, apabila masing-masing dua zakat telah mencapai nisob, seperti; seseorang memiliki 40 kambing (nisob kambing) yang diniati tijaroh dan harga 40 kambing tersebut telah mencapai nisob zakat tijaroh di akhir haul maka kewajiban zakat yang didahulukan adalah zakat kambing, bukan zakat tijaroh-nya karena kuatnya kewajiban zakat kambing sebab kewajibannya telah disepakati oleh para ulama, berbeda dengan zakat tijaroh maka qoul qodim menyebutkan tentang tidak diwajibkannya mengeluarkan zakat tijaroh. Karena zakat tijaroh masih ada khilaf atau perselisihan pendapat tentang kewajibannya, maka orang yang mengingkarinya tidak dihukumi kufur.
Contoh pertama tentang berkumpulnya 2 zakat dalam harta dagangan yang berupa binatang-binatang na’am adalah misalnya; seseorang membeli 40 kambing (nisob kambing) di awal bulan Muharram, ia meniatkan tijaroh pada kambing-kambingnya itu, lalu pada akhir haul, kambing-kambing tersebut dihitung harganya dan ternyata mencapai nisob tijaroh, dari sini, berarti kambing-kambing tersebut memiliki dua status zakat, yaitu zakat kambing dan zakat tijaroh. (Maka yang didahulukan adalah zakat kambing.)
Contoh kedua tentang berkumpulnya dua zakat dalam harta dagangan yang berupa buah-buahan adalah misalnya; seseorang membeli pohon kurma (atau pohon anggur) di awal bulan Muharram, ia meniatkan tijaroh pada pohon kurma (atau anggur) tersebut beserta buah kurma (atau buah anggur) yang keluar, di akhir haul, harga pohon kurma beserta buah-buahnya (atau pohon anggur beserta buah-buahnya) mencapai nisob tijaroh, dan buah-buahnya juga mencapai nisob. (Maka yang didahulukan adalah zakat kurma).
Akan tetapi, dalam contoh pertama, ada kewajiban mengeluarkan zakat tijaroh pada bulu-bulu kambing dan susunya disertai kewajiban mengeluarkan zakat ain (kambing itu sendiri). Begitu juga, dalam contoh kedua, ada kewajiban mengeluarkan zakat tijaroh pada pohon kurma dan lainnya yang semisal; tanahnya, rumputnya, kirnaf-nya, batang pohonnya, tibn-nya, dengan catatan apabila harga pohon dan seterusnya tersebut mencapai nisob ketika genap haul disertai kewajiban mengeluarkan zakat ain (buah kurmanya itu sendiri). Alasan zakat tijaroh disini tetap wajib dikeluarkan adalah karena tidak ada zakat ain (kambing atau kurma) pada bulu dan susu kambing dan pohon kurma dan seterusnya itu sehingga kewajiban zakat tijaroh tidak gugur.
Adapun harta dagangan yang di dalamnya terdapat zakat ain, yaitu kurma dan biji, maka apabila keduanya mencapai nisob maka keduanya tidak ikut dinilai harganya beserta harga selainnya, seperti; tanah, pohon kurma, pelepah, dan seterusnya pada haul-nya tanah, pohon kurma, pelepah, dan seterusnya. Namun, apabila kurma dan biji itu belum mencapai nisob maka keduanya ikut dinilai harganya beserta harga tanah, pohon kurma, pelepah, dan seterusnya, sehingga keduanya termasuk zakat tijaroh.
Disebutkan di dalam kitab al-Misbah bahwa kata kirnaf (الكرناف), yaitu dengan kasroh pada huruf ك, berarti dasar sa’f yang tersisa setelah memotong batang pohon kurma. Sa’f adalah batang pohon kurma yang masih ada daunnya. Jika daunnya telah hilang maka disebut dengan jarid (pelepah). Tibn adalah batang tanaman setelah diinjak atau digilas.
Contoh; ada seseorang membeli tanah dan pohon kurma. Ia berniat tijaroh atau memperdagangkan tanah, pohon kurmanya, dan hasil dari tanah dan pohon kurma tersebut, maka ia berkewajiban mengeluarkan zakat ain, yaitu zakat kurma, apabila memang mencapai nisob. Selain itu, ia berkewajiban mengeluarkan zakat tijaroh pada pohon kurmanya, tanahnya, dan hasil dari tanahnya. (Apabila kurma tidak mencapai nisob maka kurma dinilai harganya dan digabungkan dengan nilai harga selainnya, yaitu tanah, pohonnya, dst sebagai zakat tijaroh.)
Atau ada seseorang membeli tanaman berbiji (semisal padi). Ia berniat tijaroh atau memperdagangkan bijinya dan tibn (Jawa: damen). Dengan demikian, ia berkewajiban mengeluarkan zakat ain, yaitu zakat beras, apabila memang mencapai nisob. Selain itu, ia berkewajiban mengeluarkan zakat tijaroh pada tibn-nya. (Apabila beras tidak mencapai nisobnya maka beras dinilai harganya dan digabungkan dengan nilai harga selainnya, yaitu tibn-nya sebagai zakat tijaroh.)
Ketika buah kurma dan biji beras di atas telah dipanen maka keduanya dikeluarkan zakat ain-nya. Sisa dari buah kurma dan biji beras yang telah dizakati ain-nya tidak wajib dikeluarkan lagi zakatnya sebagai zakat tijaroh jika memang keduanya masih dimiliki. Adapun haul keduanya sebagai barang tijaroh dimulai setelah dipanen. Adapun haul dari batang pohon kurma, tanahnya, dan tibn (damen) tidaklah terputus sebab dipanen, melainkan tetap berlanjut sejak pembeliannya yang diniati tijaroh. Dan ketika sisa buah kurma telah genap haul maka nilai harganya digabungkan dengan nilai harga batang pohon kurma dan tanahnya (untuk mengetahui apakah nilai harga semuanya mencapai nisob tijaroh atau tidak), bukan digabungkan dalam haul, karena haul dari sisa buah kurma dan batang pohon kurma serta tanah tidak sama permulaannya. Begitu juga, ketika sisa beras telah genap haul maka nilai harganya digabungkan dengan nilai harga tibn-nya, bukan digabungkan dalam haul karena alasan yang sama, yaitu perbedaan dalam permulaan haul.
Apabila haul zakat tijaroh lebih dahulu daripada haul zakat ain, misalnya; seseorang telah memiliki harta dagangan selama 6 bulan, lalu ia membeli dengan niatan tijaroh misal 40 kambing (nisobnya) dengan cara ditukar dengan harta dagangannya itu, atau ia membeli binatang na’am lain dengan jumlah yang telah mencapai nisob untuk diperdagangkan kembali dengan cara ditukar dengan harta dagangannya itu, maka ketika telah genap haul, yaitu 6 bulan berikutnya, ia wajib mengeluarkan zakat tijaroh kambing, kemudian setelah haul zakat tijaroh telah genap, haul-haul berikutnya wajib mengeluarkan zakat ain (zakat kambing atau zakat binatang na’am), artinya, wajib mengeluarkan zakat ain tersebut di tahun-tahun berikutnya dan tidak ada lagi haul zakat tijaroh.
Contoh: seseorang membeli 20 potongan kain untuk diperdagangkan di awal bulan Muharram. Kain-kain tersebut tetap dimilikinya selama 6 bulan. Setelah itu, ia menjual kain-kain itu. Hasil penjualan yang berupa dirham atau dinar digunakannya untuk membeli kambing-kambing (atau binatang na’am lainnya). 6 bulan berikutnya, kambing-kambing itu telah mencapai nisob zakat ain dan nilai harganya pun juga telah mencapai nisob zakat tijaroh. Dari sini, ada 2 zakat yang terjadi secara bersamaan, yaitu zakat tijaroh dan zakat ain. Akan tetapi, haul zakat tijaroh lebih dahulu terjadi. Dengan demikian, ia wajib mengeluarkan zakat tijaroh kambing pada haul saat itu. Sedangkan pada haul berikut-berikutnya, ia mengeluarkan zakat ain, yaitu zakat kambing. Oleh karena itu, haul barang dagangan (20 kain) tidak diulangi dari awal sebab terjadinya pergantian dengan barang dagangan lain (kambing-kambing).
Syaikhul Islam berkata dalam kitab Syarah a-Minhaj, “Kewajiban mengeluarkan zakat tijaroh pada harta qirod (bagi modal) dibebankan atas pemilik modal, bukan atas amil atau buruhnya, meskipun diketahui perolehan keuntungan dalam harta qirod tersebut, karena pemilik adalah pihak yang memiliki harta qirod sedangkan amil hanya bisa memiliki bagiannya dengan cara pembagian (yang telah disepakati antara dirinya dan pemilik), bukan dengan cara yang hanya sebatas telah diketahui perolehan keuntungan. Sama halnya dengan amil dalam akad ju’alah, artinya, ia hanya berhak mendapat ju’lu atau upah setelah selesai dari pekerjaannya. Apabila pemilik harta qirod mengeluarkan zakatnya dengan diambilkan dari selain harta qirod tersebut maka zakat tersebut jelas dihitung dari selain harta qirod itu atau dengan diambilkan dari harta qirod maka zakat tersebut dihitung dari keuntungannya, sebagaimana biaya-biaya untuk mengupahi misal tukang penunjuk jalan, tukang timbang, dan lain-lain, juga diambilkan dari keuntungan yang dihasilkan dalam harta qirod. Kata ju’lu (الجعل) dengan dhommah pada huruf ج berarti upah.”
5. Harta Rikaz
Jenis harta kelima yang wajib dizakati adalah harta rikaz (الركاز). Lafadz (الركاز) dengan kasroh pada huruf ر berarti harta pendaman orang-orang jahiliah. Mereka adalah orang-orang yang hidup sebelum datangnya Islam, maksudnya, sebelum Nabi Muhammad diutus sebagai rasul. Oleh karena itu, harta rikaz mencakup harta yang dipendam oleh kaum Nabi Musa, Isa, Yusuf, dan sebelum mereka. Apabila ada harta terlihat di atas permukaan tanah, maka apabila diketahui bahwa harta tersebut bisa terlihat karena terbawa arus banjir maka tetap disebut dengan harta rikaz karena termasuk harta pendaman dengan melihat sisi asalnya, tetapi jika tidak diketahui demikian maka termasuk harta luqotoh (temuan).
Begitu juga, apabila diragukan tentang statusnya, maksudnya, apakah termasuk harta rikaz atau bukan, maka;
- apabila orang yang menemukannya termasuk ahli zakat, baik tempat ditemukannya berupa bumi mati, atau bumi mati yang telah ia hidup-hidupkan, atau kuburan jahiliah, atau tempat tertutup di gunung yang jauh dari kota, maka disebut dengan harta rikaz,
- apabila ia menemukannya di masjid atau jalan raya atau apabila ia menemukannya dengan kondisi islami, misalnya; di atas harta temuan itu terdapat sesuatu dari al-Quran atau nama raja dari raja-raja Islam, maka apabila diketahui pemiliknya maka wajib mengembalikannya karena sesungguhnya harta temuan tersebut merupakan harta milik orang muslim sedangkan harta orang muslim tidak dapat dimiliki dengan cara dikuasai, dan apabila tidak diketahui pemiliknya maka termasuk luqotoh yang wajib diumumkan selama setahun, setelah setahun terlewati, ia boleh memilikinya sekiranya pemiliknya tidak muncul-muncul,
- apabila harta temuan tidak diketahui apakah harta tersebut merupakan pendaman jahiliah atau islamiah, sekiranya harta temuan itu memungkinkan ada di zaman jahiliah dan islamiah atau harta temuan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan jahiliah atau islamiah, seperti; emas batangan dan perhiasan-perhiasan, maka jika diketahui kalau pemiliknya telah diberitahu tentang dakwah islamiah dan ia mengingkarinya, maka harta temuan tersebut termasuk harta faik.
Ziyadi berkata, “Apabila seseorang menemukan harta pendaman di tanah milik kafir harbi dimana tanah tersebut berada di darul harbi, maka harta pendaman tersebut dihukumi sebagai harta faik. Apabila ia memasuki darul harbi dengan memperoleh jaminan keamanan dari kaum kafir harbi yang ada disana, maka ia wajib mengembalikan harta pendaman tersebut kepada pemiliknya, dan apabila ia mengambil harta pendaman tersebut secara paksa maka harta pendaman itu dihukumi sebagai ghonimah atau jarahan.”
Besar zakat harta rikaz yang telah mencapai nisob adalah 1/5-nya yang harus dikeluarkan seketika itu kepada ahli zakat.
6. Barang Tambang (Makdin)
Jenis harta yang keenam yang wajib dizakati adalah harta makdin (barang tambang). Pengertian makdin adalah tempat yang Allah menciptakan emas dan perak di dalamnya, baik tempat tersebut adalah bumi mati atau bumi yang ada pemiliknya.
Orang yang mengeluarkan barang tambang (emas/perak) wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5%-nya seketika itu, dengan catatan apabila barang tambang yang dikeluarkannya itu telah mencapai nisob.
Sebagian barang tambang emas/perak harus digabungkan dengan sebagiannya yang lain (agar mencapai nisob), dengan syarat;
- tempat penambangannya berada dalam satu lokasi menurut ‘urf-nya, meskipun lubang-lubang untuk menambang ada banyak,
- proses penambangannya dilakukan secara terus-menerus.
Apabila proses penambangan berhenti karena ada alasan/udzur, seperti; memperbaiki alat penambangan, sakit; meskipun berhenti dalam waktu yang lama menurut ‘urf-nya, maka sebagian barang tambang emas/perak tetap digabungkan dengan sebagiannya yang lain.
Apabila tempat penambangan berbeda-beda lokasinya atau proses penambangan berhenti tanpa ada alasan/udzur maka sebagian hasil barang tambang emas/perak (yang pertama) tidak boleh digabungkan dengan hasil sebagiannya yang lain (yang kedua) untuk menggenapkan nisob meskipun prosesnya tersebut berhenti selama waktu yang sebentar.
Ketika hasil tambang pertama tidak digabungkan dengan hasil tambang kedua, maka untuk menggenapkan nisob, hasil tambang kedua digabungkan dengan jenis harta emas (jika hasil tambangnya berupa emas) atau harta perak (jika hasil tambangnya berupa perak) yang sebelumnya telah dimiliki atau digabungkan dengan harta tijaroh yang dinilai harganya (dengan emas jika barang tambangnya berupa emas dan dengan perak jika barang tambangnya berupa perak) meskipun harta yang telah dimiliki tersebut tidak berasal dari hasil pertambangan, seperti; harta yang telah dimiliki sebab warisan. Apabila setelah digabungkan ternyata mencapai nisob, maka barang tambang (baik emas atau perak) wajib dikeluarkan zakatnya.
Berbeda dengan masalah apabila harta yang telah dimiliki itu tidak ada di tangan, artinya, hilang atau tidak diketahui keberadaannya, maka tidak diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil tambang yang kedua sampai benar-benar diketahui ada dan selamatnya harta yang tidak ada di tangan tersebut.
Dapat dicontohkan; apabila seseorang menghasilkan barang tambang sebesar 19 mitsqol pada penambangan pertama dan menghasilkannya sebesar 1 mitsqol pada penambangan kedua (sedangkan antara keduanya tidak boleh digabungkan) maka 19 mitsqol tersebut tidak wajib dizakati dan 1 mistqol wajib dizakati (dengan menggabungkannya dengan harta-harta yang telah dimiliki sebelumnya, baik berupa harta yang sejenis, yaitu emas/perak, atau harta tijaroh yang telah dinilai harga dengannya, seperti yang telah disebutkan), sebagaimana diwajibkan mengeluarkan zakat pada hasil tambang 1 mitsqol dalam kondisi dimana seseorang pada saat itu telah memiliki 19 mitsqol bukan hasil dari pertambangan.