6 Perkara Yang mewajibkan menahan diri karena puasa disertai mengqodhonya | Safinatun Naja 74 : Fasal 62
Perkara Yang mewajibkan menahan diri karena puasa disertai mengqodhonya adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(فَصْلٌ)
ويجب مع القضاء الامساك للصوم فى ستة مواضع : الاول فى رمضان لا فى غيره على متعد بفطره, والثانى على تارك النية ليلا فى الفرض,و الثالث على من تسحر ظانا بقاء اليل فبان خلافه أيضا, والرابع على من افطر ظانا الغروب فبان خلافه ايضا, الخامس على من بان له يوم ثلاثي شعبان أنه من رمضان, والسادس على من سبقه ماء المبالغة من مضمضة واستنشاق
Sumber Matan Safinatun naja
Perkara Yang Mewajibkan Menahan Diri Karena Puasa Disertai Mengqodhonya
Wajib mengqodho Puasa Ramadhan karena 6 perkara:
1. Di bulan Ramadhan dan tidak pada bulan selain Ramadhan terhadap orang yang sengaja membatalkan puasa
2. Terhadap orang yang meninggalkan niat pada malam hari puasa fardhu
3. Terhadap orang yang sahur karena menyangka masih malam, kemudian diketahui bahwa fajar telah terbit
4. Terhadap orang yang berbuka karena menyangka matahari sudah terbenam kemudian diketahui bahwa matahari belum tenggalam
5. Terhadap orang yang meyakini bahwa hari tersebut akhir bulan Sya’ban tanggal 30, kemudian diketahui awal Ramadhan telah tiba
6. Terhadap orang yang terlanjur meminum air dari kumur-kumur atau dari air yang dimasukkan ke hidung.
Diwajibkan menahan diri karena puasa disertai mengqodhonya di dalam 6 (enam) tempat di puasa bulan Ramadhan, bukan di selainnya, seperti; puasa nadzar, puasa qodho, dan puasa kafarat,
1. Atas shoim yang ceroboh membatalkan puasa Ramadhan di siang hari, artinya, ia wajib imsak atau menahan diri seperti berpuasa dan kelak ia wajib mengqodho puasanya tersebut.
Syarqowi berkata, “Apabila seseorang telah meminum khomr di malam hari, lalu ia masuk waktu pagi sebagai shoim yang berpuasa fardhu, maka ia dihadapkan dengan dua kewajiban yang saling berlawanan, yaitu kewajiban imsak (menahan diri) dan kewajiban memuntahkan khomr. Akan tetapi, yang lebih didahulukan adalah imsak daripada memuntahkan khomr, karena kewajiban imsak telah disepakati oleh ulama sedangkan kewajiban memuntahkan khomr atas shoim masih ada ikhtilaf atau perbedaan pendapat di kalangan mereka. Adapun apabila ia berpuasa sunah, maka tidak wajib memuntahkan khomr meskipun diperbolehkan karena mempertahankan kemuliaan ibadah puasa.”
2. Atas shoim yang meninggalkan niat puasa fardhu di malam hari, artinya, ia tetap wajib imsak atau menahan diri seperti puasa dan kelak ia wajib mengqodhonya.
Alasan mengapa ia tetap diwajibkan imsak dan mengqodho adalah karena ia ceroboh secara hakikat jika memang ia sengaja meninggalkan niat dan ceroboh secara hukum jika ia tidak sengaja meninggalkannya, seperti; ia lupa atau bodoh; sebab ia tidak memberikan perhatian besar terhadap perihal ibadah puasa. Sikapnya yang demikian ini termasuk kategori ceroboh. Oleh karena ini, ia wajib imsak dan setelah itu ia wajib mengqodho puasa secara segera jika ia sengaja meninggalkan niat, jika tidak sengaja, maka tidak harus segera mengqodhonya. Diperbolehkan baginya bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan berniat di siang hari dalam puasa fardhu.
3. Atas orang yang sahur seraya menyangka kalau waktu sahurnya tersebut masih malam, tetapi ternyata waktu sahurnya tersebut terjadi setelah terbit fajar, artinya, di siang hari, ia wajib imsak atau menahan diri seperti berpuasa dan kelak ia wajib mengqodho karena ia pada hakikatnya telah melakukan kecerobohan jika tanpa disertai berijtihad (tentang tetapnya waktu malam), jika disertai berijtihad maka ia telah melakukan kecerobohan secara hukum.
4. Atas orang yang berbuka seraya menyangka telah tenggelamnya matahari, tetapi ternyata diketahui bahwa matahari belum terbenam, artinya, ia tetap wajib imsak atau menahan diri di waktu yang tersisa hingga matahari diketahui benar-benar telah tenggelam dan kelak ia wajib mengqodho. Demikian ini adalah seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini sebab kebodohan mereka tentang batas-batas waktu, seperti yang dikatakan oleh Syarqowi.
5. Atas orang-orang yang berada di tanggal 30 Syakban dan ternyata hari tersebut sudah masuk tanggal 1 Ramadhan, padahal mereka belum berpuasa, artinya, mereka tetap berkewajiban berpuasa pada hari tersebut meski menurut keadaan sebenarnya. Lalu, apabila hari tersebut telah ditetapkan sebagai hari Ramadhan sebelum mereka makan maka mereka disunahkan berniat berpuasa. Berbeda dengan musafir, maksudnya, ketika ia pulang dan sampai di tempatnya pada hari tersebut setelah ia telah berbuka maka ia tidak diwajibkan berpuasa pada hari tersebut karena pada hari tersebut ia diperbolehkan makan meskipun tahu kalau hari tersebut sudah termasuk hari dari bulan Ramadhan, seperti yang dikatakan oleh Romli.
6. Atas orang yang kemasukan air sebab mubalaghoh (berlebihan) saat berkumur dan beristinsyaq, artinya, puasanya menjadi batal tetapi ia pada hari tersebut wajib imsak atau menahan diri seperti berpuasa dan wajib mengqodho sebab kecerobohannya dalam mubalaghoh.
Berbeda dengan shobi (bocah) yang baligh pada saat ia berbuka (tidak berpuasa), atau majnun yang sebelum gila ia telah berbuka, kafir yang masuk Islam yang sebelum masuk Islam ia telah berbuka, musafir dan orang sakit yang udzur keduanya telah hilang setelah sebelumnya telah berbuka, maka mereka semua tidak diwajibkan imsak atau menahan diri seperti berpuasa pada hari tersebut, tetapi hanya disunahkan, karena tidak ada unsur kecerobohan yang mereka lakukan. Adapun mengqodho, ia tidak diwajibkan atas shobi tersebut.
Adapun apabila shobi mengalami baligh pada saat ia sedang berpuasa maka ia wajib menyelesaikan atau meneruskan puasanya tanpa nantinya harus mengqodho sebab ia telah berubah menjadi ahli berkewajiban puasa di tengah-tengah ibadah puasa sehingga menyerupai suatu masalah, yaitu apabila seseorang telah masuk dalam puasa sunah, kemudian ia bernadzar menyelesaikan puasa sunahnya tersebut, maka ia wajib menyelesaikan puasa sunahnya tersebut. Apabila shobi yang diwajibkan berpuasa setelah balighnya itu melakukan hubungan jimak maka ia wajib membayar kafarat.
Apabila udzur yang dialami oleh musafir atau orang sakit telah hilang sedangkan saat itu mereka berdua sedang berpuasa maka mereka wajib menyelesaikan puasanya itu seperti masalah dalam shobi di atas dan karena keabsahan puasa mereka.
Mumsik (yaitu setiap 6 orang yang menahan diri seperti berpuasa di atas) tidak dihukumi sedang berpuasa meskipun ia diberi pahala. Apabila ia melakukan perkara haram, seperti jimak, maka ia hanya berdosa dan tidak wajib membayar kafarat. Adapun apabila ia melakukan perkara yang dimakruhkan, seperti bersiwakan setelah tergelincirnya matahari atau mubalaghoh dalam berkumur, maka dimakruhkan baginya karena pada saat demikian itu ia dihukumi seperti shoim (orang yang berpuasa).
Berbeda dengan faqid at-tuhuroini, ketika ia melakukan sholat lihurmatil waqti maka ia tetap dihukumi sedang melakukan sholat yang disyariatkan.
Perbedaan antara hukum mumsik dan faqid at-tuhuroini adalah bahwa perkara yang tidak dapat dipenuhi oleh mumsik adalah rukun dan perkara yang tidak dapat dipenuhi oleh faqid at-tuhuroini adalah syarat.
Adapun mumsik tetap diberi pahala meskipun ia dihukumi tidak sedang dalam berpuasa adalah karena ia telah melakukan kewajiban yang dibebankan atasnya pada saat itu. Jadi, pahalanya dilihat dari segi memenuhi kewajiban, bukan dari segi berpuasa.