Iman, Islam, dan Ihsan, Tiga Element Penting Dalam Beragama

 Iman, Islam, dan Ihsan adalah tiga hal yang memiliki keterikatan satu sama lain. Jika seseorang tidak memiliki satu saja dari ketiga hal ini, maka kesempurnaanya dalam beragama bisa berkurang atau bahkan bisa menjadi penyebab tidak sahnya ia dalam beragama.

Misalnya saja ada orang yang beriman kepada Allah akan tetapi ia tidak ingin bersyahadat maka keimanannya itu tidak bermakna sama sekali. Atau, ia sudah beragama Islam akan tetapi ia tidak beriman kepada Allah, Rasul dan pada empat perkara lain yang wajib untuk diimani, maka sejatinya ia telah keluar dari agma Islam. Dan begitupun juga seseorang tidak dapat mencapai derajat kesempurnaan iman, jika ia tidak memiliki ihsan.

Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya akan membahas tentnag Iman, Islam, dan Ihsan dengan mengambil referensi dari kitab-kitab ulama serta memberikan contoh-contoh yang dapat membantu anda untuk memahaminya.

Image by © LILMUSLIMIIN

Pengertian Iman

Iman menurut bahasa berarti membenarkan secara mutlak, baik membenarkan berita yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad atau membenarkan selainnya. Sedangkan menurut istilah syara, pengertian iman adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallama, yaitu semua perkara yang diketahui secara dhorurot atau pasti dari agama.

Maksud membenarkan disini adalah omongan hati yang mengarah pada kemantapan, baik kemantapan itu dihasilkan dari dalil, yang disebut dengan ma’rifat (mengetahui), atau dihasilkan dari tanpa dalil, yang disebut taqlid (mengikuti).

Maksud omongan hati adalah sekiranya hatimu berkata, “Aku meridhoi semua perkara agama yang dibawa oleh Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallama,”

Tingkatan Tingkatan Keimanan

Tingkatan tingkatan keimanan ada lima, yaitu :

1. Iman Taqlid

Yaitu mantap dengan ucapan orang lain tanpa mengetahui dalil. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini dihukumi sah keimanannya tetapi jika dia tidak mencari dalil padahal ia mampu untuk melakukannya maka ia berdosa.

2. Iman Ilmi

Yaitu mengetahui akidah akidah beserta dalil dalilnya. Tingkatan keimanan ini disebut Ilmu Yaqin. Masing masing orang yang memiliki keimanan tingkat satu dan dua termasuk orang yang terhalang jauh dari Allah Ta'aala.

3. Iman Iyaan

Yaitu mengetahui Allah dengan pengawasan hati. Oleh karena itu, Allah tidak hilang dari mata sekedip mata pun karena rasa takut kepadanya selalu ada di hati, sehingga seolah olah orang yang memiliki tingkatan keimanan ini melihatnya di maqom muroqobah (derajat pengawasan hati). Tingkat keimanan ini disebut dengan Ainul Yaqin.

4. Iman Haq

Yaitu melihat Allah dengan hati. Tingkatan keimanan ini adalah pengertian dari para ulama,

اَلْعَارِفُ يَرَى رَبَّهُ فِى كُلِّ شَيْءٍ

"Orang yang makrifat kepada Allah, dia dapat melihatnya dalam segala sesuatu."

Tingkatan kimanan ini berada di maqom musyahadah dan disebut haqqulyaqiin. Orang yang memiliki kimanan ini adalah orang yang terhalang jauh dari selain Allah.

5. Iman Hakikat

Yaitu sirna bersama Allah dan mabuk karena cinta kepadanya. Oleh karena itu , orang yang memiliki tingkatan keimanan ini hanya melihat Allah. Seperti orang yang tenggelam di dalam lautan dan tidak melihat adanya tepi pantai sama sekali.

Tingkatan keimanan yang wajib dicapai seseorang adalah tingkatan yang ke Satu dan Dua. Sedangkan tingkatan keimanan yang ke tiga, empat, dan lima merupakan tingkatan tingkatan keimanan yang dikhususkan oleh Allah untuk para hambanya yang Dia kehendaki.

Rukun Iman Ada Enam

1. Iman Kepada Allah

Rukun iman yang pertama adalah beriman kepada Allah sekiranya kamu meyakini secara tafsil (rinci) bahwa sesungguhnya Allah itu:

  1. Yang Maha Ada (maujud),
  2. Tidak ada awal baginya (qodim),
  3. Kekal (baqi),
  4. Berbeda dengan makhluk (mukholif lil hawadis),
  5. Tidak membutuhkan siapa dan apapun (mustaghnin ‘an kulli syai),
  6. Esa (wahid),
  7. Kuasa(qodir),
  8. Berkehendak (murid),
  9. Mengetahui (alim),
  10. Mendengar (sami),
  11. Melihat (bashir),
  12. Berfirman (mutakallim),
  13. dan kamu meyakini secara ijmal (global) bahwa sesungguhnya Allah memiliki kesempurnaan yang tiada batas.

 Sesungguhnya segala sesuatu yang wujud dilihat dari sisi butuh atau tidak butuhnya pada tempat (mahal) dan yang mewujudkan (mukhossis) dibagi menjadi 4 (empat), yaitu :

  1. Sesuatu yang tidak membutuhkan tempat dan juga mukhossis yaitu Dzat Allah.
  2. Sesuatu yang membutuhkan tempat dan juga mukhossis, yaitu sifat sifat makhluk.
  3. Sesuatu yang menempati tempat tanpa adanya mukossis, Yaitu sifat Allah Al Bari, yaitu Allah yang menciptakan makhluk dan mewujudkan mereka dari keadaan tidak ada menjadi ada.
  4. Sesuatu yang membutuhkan mukhossis, bukan tempat, yaitu dzat makhluk.

Barang siapa yang meninggalkan empat kata ini maka imannya telah sempurna, yaitu dimana, bagaimana, kapan dan berapa.

Apabila ada orang yang bertanya kepadamu "Dimana Allah ?" Maka jawablah "Allah tidak bertempat dan tidak membutuhkan perjalanan waktu."

Apabila ada seseorang yang bertanya kepadamu "Bagaimana Allah ?" Maka jawablah "Allah tidak sama dengan sesuatu apapun."

Apabila ada orang bertanya kepadamu "Kapan Allah itu ada ?" Maka jawablah "Allah ada tanpa permulaan dan tidak akan pernah berakhir."

Apabila ada orang yang bertanya kepadamu "Allah itu ada berapa ?" Maka jawablah "Allah adalah yang maha esa." Sebagaimana dalam surat Al Ikhlas ayat satu:

قُلْ هُوَ اللّٰهُ أَحَدٌ ١

Artinya: "Katakanlah (Muhammad) Dialah Allah yang maha satu.

2. Iman Kepada Malaikat

Rukun iman yang kedua adalah kamu beriman kepada para Malaikat Allah, sekiranya kamu meyakini bahwa mereka adalah materi materi cahaya yang tidak berkelamin laki laki, perempuan, atau khuntsa dan yang tidak memiliki bapak dan ibu, yang benar dalam berita yang mereka sampaikan dari Allah, yang tidak makan, tidak minum, tidak menikah, tidak melestarikan keturunan, tidak tidur, tidak ditulis amal amalnya karena mereka adalah yang menulis, tidak dihisab dan tidak ditimbang amal amal mereka karena mereka tidak memiliki amal amal jelek, yang akan dikumpulkan bersama golongan jin dan manusia, yang dapat memberikan syafaat kepada mereka yang durhaka dari anak cucu Adam dan melihat orang orang mukmin di dalam surga, yang masuk surga, yang menikmati kenikmatan di surga dengan kenikmatan yang sesuai kehendak Allah,

Para Malaikat akan mati saat tiupan pertama terompet Isrofil kecuali Malaikat Hamalatu al ‘Arsy (penggotong ‘Arsy) dan 4 (empat) pembesar mereka, yaitu Jibril, Mikail, Isrofil, dan Izroil. Adapun mereka yang dikecualikan ini akan mati setelah tiupan pertama selesai. Adapun sebelum tiupan terompet pertama maka tidak ada satupun Malaikat yang mati.

Wajib beriman secara global bahwa para Malaikat itu ada dan mencapai jumlah batas yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah, dan wajib mengimani mereka yang nama nama mereka disebutkan dan yang ditentukan atau yang jenis jenis mereka ditentukan.

Malaikat yang nama nama mereka disebutkan dan ditentukan adalah: 

  1. Jibril,
  2. Mikail,
  3. Isrofil,
  4. Izroil,
  5. Munkar,
  6. Nakir,
  7. Ridwan,
  8. Malik,
  9. Roqib,
  10. Atid,
  11. Ruman (Ruman adalah Malaikat yang mendatangi mayit di dalam qubur sebelum Munkar dan Nakir mendatanginya)

Malaikat yang jenis jenis mereka ditentukan adalah Malaikat Hamalatul Arsy, Malaikat Al Khafadzoh dan Malaikat Al Katabah.

3. Iman Kepada Kitab Kitab Allah

Rukun iman yang ketiga adalah beriman kepada kitab kitab Allah.

Pengertian beriman kepada Kitab kitab Allah adalah membenarkan bahwa Kitab kitab itu merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada para Rasulnya Alaihimus Sholatu Wa salaama, dan semua isi kandungannya adalah benar.

Kitab Kitab itu diturunkan bisa dalam bentuk tertulis pada papan papan, seperti; Taurat, atau terdengar dengan telinga secara langsung, seperti; dalam malam Mi’roj, atau terdengar dari balik tabir, seperti yang terjadi pada Nabi Musa di Gunung Thursina, atau terdengar dari Malaikat secara langsung.

Yang dimaksud dengan Kitab kitab adalah sesuatu yang mencakup lembaran lembaran. Telah masyhur bahwa jumlah Kitab kitab yang diturunkan oleh Allah ada 104. Ada yang mengatakan 114. Syeikh Suhaimi berkata, “Yang benar adalah tidak perlu menentukan jumlah Kitab kitab pada hitungan tertentu. Oleh karena itu tidak perlu dikatakan, ‘Kitab Kitab itu ada 104 saja’, karena jika kamu mau meneliti riwayat riwayat yang ada maka sesungguhnya Kitab kitab itu mencapai 184."

Dengan demikian wajib meyakini secara global (ijmal) bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab kitab dari langit, tetapi wajib mengetahui empat Kitab secara tafshil (rinci), yaitu:

  1. Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa,
  2. Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud
  3. Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa
  4. Al Furqon (Al Quran) yang diturunkan kepada makhluk terbaik, yaitu Nabi kita, Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallama Wa Alaihim Ajma’iin.

4. Iman Kepada Para Rasul

Rukun iman yang keempat adalah beriman kepada utusan utusan Allah. Mereka adalah hamba hamba Allah yang paling mulia. 

Cara mengimani mereka adalah dengan kamu meyakini bahwa sesungguhnya Allah telah mengutus para Rasul kepada makhluk.

Mereka adalah para laki laki yang tidak diketahui jumlahnya kecuali hanya Allah yang mengetahui.

Rasul yang pertama kali adalah Adam dan yang terakhir dan yang paling utama di antara mereka adalah pemimpin kita, Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallama.

Mereka semua berasal dari keturunan Adam, Alaihis Salaam. Mereka adalah orang orang yang jujur dalam berkata tentang pengakuan sebagai Rasul, dan yang jujur dalam apa yang mereka sampaikan dari Allah Ta’aala, dan yang jujur dalam perkataan perkataan umum, seperti aku telah makan, aku telah minum, dan lain lain.

Mereka adalah orang orang yang terjaga dari melakukan keharaman atau kemakruhan.

Mereka adalah orang orang yang menyampaikan apa yang diperintahkan untuk disampaikan kepada makhluk meskipun bukan hal hal yang berkaitan dengan hukum hukum.

Mereka adalah orang orang yang cerdas sekiranya mereka itu memiliki kemampuan untuk menghadapi perselisihan, berdebat, dan mengalahkan tuduhan tuduhan lawan debat mereka.

Empat sifat ini (jujur, menyampaikan wahyu, cerdas, dan amanah) adalah sifat sifat bagi para Rasul.

Pendapat shohih menyebutkan bahwa tidak perlu menghitung atau menentukan jumlah para Nabi dan Rasul karena terkadang menghitung mereka dapat menetapkan sifat kerasulan dan kenabian pada orang yang sebenarnya tidak memiliki sifat tersebut, atau terkadang menafikan sifat kerasulan dan kenabian dari orang yang sebenarnya memiliki sifat tersebut. Dengan demikian, kita hanya wajib membenarkan secara global atau ijmal bahwa Allah memiliki para Rasul dan para Nabi.

Syeikh Suhaimi berkata :

Wajib atas orang yang beriman untuk mengetahui dan mengajarkan anak anak dan istri istrinya tentang nama nama Rasul yang disebutkan di dalam Al Quran, sehingga mereka semua dapat membenarkan dan mengimani para Rasul secara rinci atau tafsil dan sehingga mereka tidak menganggap kalau yang wajib diimani hanya Nabi Muhammad saja, karena mengimani seluruh Nabi, baik nama mereka disebutkan di dalam al Quran atau tidak, adalah perkara yang wajib atas setiap mukallaf.

Mereka yang disebutkan dalam Al Quran ada 26 atau 25 yaitu:

  1. Adam
  2.  Zakaria
  3. , Yunus
  4. Nuh
  5. Idris
  6. Ibrahim
  7. Yasak
  8. Ishak
  9. Ya’qub
  10. Ismail
  11. Sholih
  12. Ayub
  13. Harun
  14. Musa
  15. Syu’aib
  16. Daud
  17. Hud
  18. Uzair
  19. Yusuf
  20. Lut
  21. Ilyas, Dzulkifli, atau bisa kedua-duanya
  22. Yahya
  23. Sulaiman
  24. Isa
  25. Muhammad

Maksud dari kata: “atau bisa kedua duanya” adalah bahwa ada yang mengatakan kalau Dzulkifli adalah Ilyas. Ada pula yang mengatakan bahwa Dzulkifli adalah Yusak. Ada yang mengatakan bahwa Dzulkifli adalah Zakaria. Ada yang mengatakan bahwa Dzulkifli adalah Huzqail bin Ajuuz (Ajuuz berarti tua renta) karena ibunya sudah tua renta. Kemudian ibunya yang sudah tua itu meminta kepada Allah agar diberi seorang anak. Lalu Allah memberinya Huzqoil itu.” .

Dari 25 Rasul tersebut, ada yang dijuluki dengan Ulul Azmi. Mereka berjumlah 5 (lima). Wajib (atas mukallaf) mengetahui urutan keutamaan mereka karena keutamaan mereka tidaklah sama.

Yang dimaksud dengan kata ‘Azmi’ disini berarti bersabar dan menanggung beban berat atau berarti kemantapan, seperti yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dalam ayat Al Quran.

Urutan mereka dari yang paling utama adalah Nabi Muhammad, kemudian Nabi Ibrahim, kemudian Nabi Musa, kemudian Nabi Isa, kemudian Nabi Nuh Sholawatullah Wa Salaamuhu Alaihim Ajma’iin.

Dari segi keutamaan, setelah Ulul Azmi adalah para Rasul yang lain, kemudian para Nabi yang lain. Sebenarnya para Rasul dan para Nabi memiliki tingkatan tingkatan yang berbeda beda dari segi siapa yang lebih utama di antara mereka di sisi Allah, tetapi kita tidak bisa menentukannya karena tidak ada keterangan yang menjelaskan tentang hal tersebut. Setelah mereka, kemudian para pembesar Malaikat, seperti Jibril dan selainnya, kemudian para wali, terutama Abu Bakar dan para sahabat yang lain, karena ada hadis Rasulullah :

إن الله اختار أصحابي على العالمين سوى النبيين والمرسلين ثم عوام الملائكة ثم عوام البشر

“Sesungguhnya Allah telah memilih/mengutamakan para sahabatku dibanding makhluk lainnya selain para Nabi dan Rasul, kemudian memilih para Malaikat pada umumnya, kemudian para manusia pada umumnya.”

5. Iman Kepada Hari Kiamat

Rukun iman yang kelima adalah beriman kepada Hari Akhir dengan cara membenarkan keberadaannya dan membenarkan segala sesuatu yang tercakup di dalam Hari Akhir, seperti dikumpulkannya seluruh makhluk (hasyr), penghitungan amal (hisab), pembalasan amal (jaza), surga, dan neraka.

Hari Akhir disebut dengan nama hari akhir karena tidak ada malam dan siang setelah hari tersebut. Tidak bisa disebut dengan hari tanpa menyebutkan qoyidnya, kecuali apabila disertai dengan malam setelahnya. Atau Hari Akhir disebut dengan nama hari akhir adalah karena hari tersebut merupakan akhir waktu yang terbatasi, maksudnya, akhir hari hari dunia, oleh karena itu, tidak ada hari lain setelahnya, atau karena hari tersebut memang berada di akhir dari hari hari dunia.

Permulaan Hari Akhir dimulai dari tiupan terompet yang kedua sampai tidak ada akhirnya. Ini adalah pendapat yang benar.

Ada yang mengatakan bahwa Hari Akhir berakhir sampai para makhluk menetap di surga dan neraka. Oleh karena itu, permulaan Hari Akhir terjadi di alam dunia dan akhirnya terjadi di alam akhirat.

Hari Akhir disebut juga dengan Hari Kiamat karena qiyamnya atau bangkitnya makhluk makhluk yang mati dari kuburan mereka.

Sedangkan alam kubur termasuk dari alam dunia. Ada yang mengatakan bahwa alam kubur merupakan pemisah antara alam dunia dan alam akhirat.

Ada yang mengatakan bahwa Hari Kiamat dimulai dari kematian mayit, sehingga alam kubur termasuk alam akhirat. Oleh karena itu, para ulama berkata, “Barang siapa telah meninggal dunia maka kiamatnya telah datang, maksudnya Kiamat Sughro.” Kematian seseorang disebut dengan kiamat karena qiyamnya atau bangkitnya mayit dari tidur miring, kemudian duduk untuk ditanyai dua Malaikat Munkar dan Nakir, kemudian dihimpit oleh kuburan, sehingga demikian ini menyerupai dengan Kiamat Kubro.

Zamahsyari berkata, “Permulaan Hari Kiamat adalah dari waktu dikumpulkannya seluruh makhluk (hasyr) sampai tidak ada akhirnya atau sampai penduduk surga masuk ke dalam surga dan penduduk neraka masuk ke dalam neraka.”

Lamanya Hari Akhir bagi orang orang kafir adalah 50.000 tahun karena dahsyatnya kesulitan kesulitan yang terjadi pada hari itu, dan lamanya Hari Akhir adalah lebih sebentar daripada sholat wajib di dunia bagi orang orang mukmin yang sholih, dan lamanya Hari Akhir adalah sedang sedang bagi orang orang mukmin yang durhaka atau yang ahli maksiat.

Ada yang mengatakan bahwa di dalam Hari Kiamat terdapat 50 medan yang setiap medan ditempuh selama 1000 tahun.

Kami meminta kepada Allah ta’ala agar meringankan Hari Kiamat bagi kami dengan anugerah dan pemberiannya.

Demikian di atas diceritakan oleh Suhaimi dan Fasyani.

6. Iman Kepada Qodar

Rukun iman yang keenam adalah beriman kepada Qodar bahwa baik dan buruknya merupakan dari Allah Ta’aala.

Fasyani berkata, “Pengertian beriman dengan qodar adalah kamu meyakini bahwa sesungguhnya Allah telah mentakdirkan kebaikan dan keburukan sebelum menciptakan makhluk, dan meyakini bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terwujud adalah sesuai dengan qodho dan qodar Allah. Dialah yang Maha Menghendaki semuanya itu. Dicukupkan adanya keyakinan yang mantap tentang hal di atas tanpa menegaskan dalil.

Sayyid Abdullah Al Murghini berkata, “Beriman dengan qodar adalah membenarkan bahwa segala sesuatu yang telah wujud dan yang akan wujud adalah sesuai dengan takdir Allah yang berkata kepada segala sesuatu, ‘Jadilah ! Maka sesuatu itu jadi, baik atau buruk, bermanfaat atau berbahaya, manis atau pahit.’”

Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallama bersabda :

كُلُّ شَيْءٍ بِقَضَاءٍ وَقَدَرٍ حَتّٰى الْعَجْزُ وَالْكَيْسُ وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ بِاللهِ حَتّٰى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ

“Segala sesuatu pasti sesuai dengan qodho dan qodar, bahkan kelemahan dan kecerdasan sekalipun.” (HR. Muslim No 2655) Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Tidaklah seseorang beriman kepada Allah hingga ia beriman dengan qodar, baik atau buruknya.” (HR. Tirmidzi No 2144)

Adapun hadis Muslim dalam doa Iftitah (والشر ليس اليك) maka maksudnya adalah tidak ada keburukan yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepadamu atau keburukan tidak diperbolehkan untuk disandarkan kepada Allah demi tujuan berbuat adab, karena yang pantas adalah menyandarkan kebaikan kepada Allah dan menyandarkan keburukan kepada diri sendiri demi tujuan berbuat adab, karena Allah berfirman :

مَآ أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَآ أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Apa saja bentuk kebaikan yang menimpamu maka itu adalah dari Allah" Maksudnya dari segi mewujudkan dan menciptakan "dan apa saja keburukan yang menimpamu maka itu adalah dari dirimu sendiri" Maksudnya dari segi melakukan, bukan menciptakan. Sebagai mana ditafsiri oleh firman Allah :

وَمَآ أَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ 

“Apa saja musibah yang menimpa kalian maka itu dikarenakan apa yang telah kalian perbuat,” karena ayat Al Quran dapat menafsiri ayat yang lain.

Adapun firman Allah :

قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ

“Katakanlah ! Segala sesuatu berasal dari sisi Allah,” maka dikembalikan pada hakikatnya. Lihatlah adab Nabi Khidr Alaihis Salam, sekiranya ia berkata :

فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا

“Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai pada kedewasaannya.” dan ia berkata :

فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيْبَهَا

“dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu.”

Berangan anganlah tentang perkataan Nabi Ibrohim Al Kholil Alaihis Salam :

اَلَّذِيْ خَلَقَنِيْ فَهُوَ يَهْدِيْنِ ٧٨ وَالَّذِيْ هُوَ يُطْعِمُنِيْ وَيَسْقِيْنِ ٧٩ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ ٨٠

“Allah yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberi petunjuk padaku, 78 Dan Allah, Dialah yang memberiku makan dan minum, apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” Dalam ayat ayat ini, Nabi Ibrahim menisbatkan petunjuk, memberi makan, dan mengobati kepada Allah dan menisbatkan sakit kepada dirinya sendiri. Nabi Ibrahim tidak berkata, “Dialah yang membuatku sakit” karena berbuat adab.

Apabila tidak ada tujuan berbuat adab maka sesungguhnya segala sesuatu berasal dari perbuatan perbuatan Allah. Dia berfirman :

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ ٩٦

“Allahlah yang telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” Maksud ‘apa yang kalian perbuat itu’ adalah hal yang baik dan yang buruk, hal yang karena kehendak sendiri atau bukan kerena kehendak sendiri. Tidak ada bagi seorang hamba kecuali hanya condong ketika dalam keadaan berkehendak sendiri.

Oleh karena itu, ia dituntut untuk bertaubat, berjanji tidak akan mengulangi, kecewa, dan berhak untuk menerima ta’zir, had, pahala, dan siksa. Kecondongan ini disebut dengan berbuat. Berbuat adalah ta’alluq dari sifat Qudroh Haditsah. Ada yang mengatakan bahwa berbuat itu adalah Irodah Haditsah.

Para ulama telah berselisih pendapat tentang pengertian Qodho dan Qodar. Menurut Asya’iroh, pengertian Qodho adalah kehendak Allah terhadap sesuatu di zaman azali sesuai dengan kenyataan sesuatu tersebut di zaman bukan azali. Sedangkan pengertian Qodar menurut mereka adalah bahwa Allah mewujudkan sesuatu sesuai dengan kadar tertentu yang sesuai dengan kehendak. Dengan demikian, kehendak Allah di zaman azali, yang berhubungan dengan bahwa kamu akan menjadi orang yang berilmu adalah contoh Qodho. Sedangkan Allah mewujudkan ilmu dalam dirimu setelah kamu diwujudkan sesuai dengan kehendaknya adalah contoh Qodar.

Adapun menurut Maturidiah maka pengertian Qodho adalah bahwa Allah mewujudkan sesuatu disertai menambahkan penyempurnaan yang sesuai dengan pengetahuannya ta’aala, maksudnya, pembatasan dari Allah di zaman azali terhadap setiap makhluk dengan batasan yang ditemukan pada setiap makhluk itu, yaitu berupa batasan baik, buruk, bermanfaat, berbahaya, dan lain lain, maksudnya pengetahuan Allah di zaman azali terhadap sifat sifat makhluk. Ada yang mengatakan bahwa pengertian Qodho adalah pengetahuan Allah yang azali disertai hubungannya dengan sesuatu yang diketahui. Sedangkan pengertian Qodar menurut mereka adalah bahwa Allah mewujudkan sesuatu sesuai dengan pengetahuan itu. Dengan demikian, pengetahuan Allah di zaman azali tentang seseorang akan menjadi orang yang berilmu setelah ia diwujudkan adalah contoh Qodho. Sedangkan Allah mewujudkan ilmu pada dirinya setelah ia diwujudkan adalah contoh Qodar. Pendapat ini dan pendapat Asya’iroh tentang Qodho dan Qodar adalah pendapat yang masyhur.

Menurut masing masing pendapat, maka Qodho Allah adalah qodim dan Qodarnya adalah Haadis, berbeda dengan pendapat Maturidiah.

Ada yang mengatakan bahwa masing masing Qodho dan Qodar berarti kehendak Allah Ta’al.

Pengertian Islam

Syaikh Bajuri berkata :

اَلْإِسْلَامُ لُغَةً مُطْلَقُ الْاِنْقِيَادِ أَيْ سَوَاءٌ كَانَ لِلْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ أَوْ لِغَيْرِهَا وَشَرْعًا اَلْاِنْقِيَادُ لِلْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ وَقِيْلَ اَلْإِسْلَامُ هُوَ الْعَمَلُ

“Islam menurut bahasa berarti mutlak mengikuti, maksudnya baik mengikuti hukum-hukum syariat atau yang lainnya. Sedangkan Islam menurut istilah berarti mengikuti hukum-hukum syariat. Ada yang mengatakan bahwa pengertian Islam adalah mengamalkan (hukum-hukum syariat)”.

Rukun Islam Ada Lima

Rukun Islam ada lima. Dengan demikian, Islam tidak tersusun oleh selain dari lima tersebut.

1. Bersyahadat

Rukun Islam yang pertama adalah bersaksi maksudnya meyakini, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan, maksudnya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.

Allah adalah Tuhan yang disembah yang bersifatan dengan segala kesempurnaan yang tidak terbatas dan yang tidak diketahui kecuali olehnya sendiri, dan Tuhan yang disucikan dari segala kekurangan, dan Tuhan Yang Maha Esa dalam merajai dan mengatur, dan Yang Maha Esa dalam Dzatnya, sifat-sifatnya, dan Perbuatan-perbuatannya.

Dan bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdu Manaf adalah utusan Allah

Para ulama berselisih pendapat tentang terutusnya Rasulullah Muhammad kepada para Malaikat hingga menghasilkan dua pendapat.

Syaikh Halimi dan Baihaqi menetapkan bahwa Rasulullah Muhammad tidak diutus kepada para Malaikat. Syaikh Suyuti dan Syaikh Taqiyudin As-Subki mengunggulkan bahwa Rasulullah Muhammad diutus kepada mereka. Syaikh As-Subki menambahkan bahwa Rasulullah Muhammad diutus kepada seluruh Nabi dan umat- umat terdahulu dan bahwa sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama yang berbunyi :

بعثت إلى الناس كافة

“Aku diutus kepada seluruh manusia,” mencakup manusia dari zaman Adam sampai Hari Kiamat.

Tambahan keterangan dari Syaikh As-Subki ini diunggulkan oleh Syaikh Al-Bazari dan ia menambahkan bahwa Rasulullah Muhammad diutus kepada seluruh makhluk hidup dan benda mati, seperti pasir, batu, dan lumpur. Kemudian ditambahkan lagi bahwa Rasulullah Muhammad diutus kepada dirinya sendiri.

Demikian ini semua disebutkan dalam kitab Tazyiini Al-Arooik Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda :

وأرسلت إلى الخلق كافة

“Dan aku diutus kepada seluruh makhluk.”

Syaikh Al-Bajuri berkata :

وقد ذكر بعضهم أن من تمام الإيمان أن يعتقد الإنسان أنه لم يجتمع في أحد من المحاسن الظاهرة والباطنة مثل ما اجتمع فيه صلى الله عليه وسلّم

“Sesungguhnya sebagian ulama telah menyebutkan bahwa termasuk salah satu kesempurnaan keimanan adalah seseorang meyakini bahwa tidak ada satu pun makhluk yang memiliki kebaikan dzohir dan batin seperti yang dimiliki oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.”

2. Mendirikan Sholat

Rukun Islam yang kedua adalah mendirikan sholat.

Sholat adalah ibadah badaniah dzohiroh yang paling utama, kemudian puasa, kemudian haji, kemudian zakat. Fardhu-fardhu sholat adalah fardhu-fardhu ibadah yang paling utama. Kesunahan- kesunahan sholat adalah kesunahan-kesunahan ibadah yang paling utama. Seseorang tidak akan dianggap udzur (berhalangan) meninggalkan sholat selama ia masih memiliki akal.

Adapun ibadah ibadah badaniah qolbiah, seperti keimanan, makrifat, tafakur, tawakkal, sabar, rojak, ridho dengan qodho dan qodar, cinta Allah Ta’aala, taubat, dan membersihkan hati dari kotoran-kotoran, seperti tamak, dan lainnya, maka lebih utama daripada ibadah ibadah badaniah dzohiroh, bahkan lebih utama daripada sholat, karena telah ada keterangan hadist :

تَفَكُّرُ سَاعَةٍ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّيْنَ سَنَةً

“Tafakkur selama satu waktu saja lebih utama daripada ibadah selama 60 tahun.” Yang paling utama daripada semuanya adalah keimanan.

Macam Macam Tafakkur Dan Buahnya

Jumhur ulama mengatakan bahwa sesungguhnya tafakur atau berpikir-pikir dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu:

  1. Tafakur tentang kekuasaan-kekuasaan Allah. Tafakur ini bisa menetapkan penghadapan diri kepada Allah dan meyakininya.
  2. Tafakur tentang kenikmatan-kenikmatan Allah. Tafakur ini bisa menghasilkan rasa cinta kepadanya.
  3. Tafakur tentang janji Allah. Tafakur ini bisa menghasilkan rasa senang beribadah kepadanya.
  4. Tafakur tentang ancaman Allah. Tafakur ini bisa menghasilkan rasa takut darinya.
  5. Tafakur tentang kecerobohan diri dari melakukan ketaatan. Tafakur ini menghasilkan rasa malu kepada Allah.

Syaikh Ahmad bin Athoillah berkata :

من علامات موت القلب عدم الحزن على ما فاتك من الطاعات وترك الندم على ما فعلته من وجود الزلات .وقال أيضاً الحزن على فقدان الطاعات في الحال مع عدم النهوض أي الارتفاع إليها في المستقبل من علامات الاغترار.

“Termasuk tanda-tanda kematian hati adalah kamu tidak memiliki rasa susah atau sedih karena ketaatan yang kamu lewatkan dan tinggalkan, dan kamu tidak memiliki rasa kecewa atas kesalahan dosa yang telah kamu lakukan.” Ia juga berkata, “Rasa sedih karena tidak melakukan ketaatan pada waktu sekarang disertai tidak adanya keinginan melakukan ketaatan tersebut di waktu mendatang adalah termasuk salah satu tanda-tanda tertipu atau terpedaya.”

3. Membayar Zakat

Rukun Islam yang ketiga adalah membayar zakat, maksudnya memberikan zakat kepada mustahik yang ada sesegera mungkin ketika memungkinkan memberikannya serta wajib meratakannya, dalam artian semua mustahik yang ada mendapatkan bagiannya.

Mustahik Zakat

Mustahik zakat (Orang yang membayar zakat) ada delapan :

1. Fakir

Pengertian fakir adalah sebagai berikut :

  1. Orang yang tidak memiliki harta halal dan pekerjaan halal sama sekali. Yang dimaksud dengan pekerjaan disini adalah pekerjaan mencari kehidupan ekonomi.
  2. Orang yang memiliki harta halal saja, tetapi hartanya tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan seumur hidup ketika hartanya dibelanjakan, yang mana ia tidak menggunakan hartanya itu untuk niaga atau berdagang, sekiranya hartanya itu tidak sampai memenuhi setengah dari kebutuhannya, misalnya, kebutuhan seharinya adalah 10 dirham, kemudian apabila ia kalkulasi hartanya untuk kebutuhannya seumur hidup, maka setiap harinya hanya mendapatkan 4 dirham atau kurang. Berbeda dengan orang yang hartanya sampai memenuhi setengah kebutuhannya per hari maka orang ini bukanlah disebut fakir, tetapi miskin. Adapun apabila ia memperdagangkan hartanya maka kalkulasi kebutuhannya adalah per hari, bukan dikalkulasi berdasarkan kebutuhan seumur hidup.
  3. Orang yang hanya memiliki pekerjaan halal yang layak baginya, tetapi hasil pekerjaan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhannya per hari, misalnya ia membutuhkan 10 dirham per hari, kemudian hasil pekerjaannya hanyalah 4 dirham atau kurang.
  4. Orang yang memiliki harta dan pekerjaan yang halal, tetapi harta yang telah dikalkulasi untuk kebutuhan seumur hidup ditambah dengan hasil pekerjaannya per hari tidak mencapai setengah dari kebutuhan per hari maka ia juga disebut fakir.

2. Miskin

Pengertian miskin yaitu orang yang memiliki harta atau pekerjaan atau memiliki dua duanya yang masing-masing dari harta dan pekerjaannya tersebut atau gabungan dari harta dan hasil pekerjaannya tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhannya, sekiranya sudah mencapai setengah kebutuhannya atau lebih, misalnya ia memiliki kebutuhan 10 dirham, kemudian ia tidak memiliki harta, atau tidak dapat menghasilkan dari pekerjaannya kecuali hanya 5 dirham atau 9 dirham dan tidak sampai 10 dirham.

Seseorang tidak masuk dalam kategori fakir atau miskin jika kebutuhannya telah terpenuhi karena nafkah dari suami atau kerabat, yaitu orang orang yang wajib memberi nafkah kepadanya, seperti ayah, kakek, bukan paman.

Begitu juga seseorang tidak masuk dalam kategori fakir atau miskin jika ia disibukkan dengan aktivitas ibadah ibadah sunah yang apabila ia bekerja maka pekerjaannya tersebut akan mencegahnya melakukan aktifitas tersebut, maka ia termasuk orang yang kaya.

Seseorang masuk dalam kategori fakir atau miskin jika ia disibukkan dengan aktifitas mencari ilmu syariat atau ilmu alat (Nahwu, Shorof, dan lain-lain) yang apabila ia bekerja maka pekerjaan tersebut akan mencegahnya melakukan aktifitas tersebut, karena kesibukan tersebut hukumnya adalah fardhu kifayah jika ia memang tidak memerlukan ilmu alat, tetapi jika ia memerlukannyamaka kesibukan tersebut hukumnya fardhu ain, seperti yang dijelaskan oleh Syaikhuna Ahmad Nahrowi.

Rumah, pembantu, pakaian, dan buku-buku yang ia butuhkan tidak mencegah seseorang dari status fakir dan miskin, artinya, ia tergolong dari fakir atau miskin.

Adapun harta yang seseorang miliki, tetapi tidak ada di tempat karena berada di tempat yang jauh sekiranya membutuhkan perjalanan 2 marhalah (±81 km) atau karena masih dalam bentuk piutang, maka tidak mencegah statusnya dari kefakiran dan kemiskinan, oleh karena itu, ia diberi harta zakat sekiranya bisa memperoleh kembali harta yang tidak ditangannya itu atau agar piutangnya segera diterima, karena statusnya sekarang ia adalah sebagai orang fakir atau miskin.

3. Amil

Yang dimaksud amil yaitu seperti :

  1. Orang yang bertugas mengambil harta zakat dari orang orang yang membayar zakat.
  2. Orang yang menulis harta zakat yang diberikan oleh pemberi.
  3. Orang yang membagikan harta zakat kepada para mustahik.
  4. Hasyir atau orang yang mengumpulkan para pengeluar zakat atau para mustahiknya, bukan qodhi dan wali.

4. Muallaf

Muallaf dapat menerima zakat apabila imam memang memberikan jatah zakat untuknya. Muallaf dibagi menjadi empat, yaitu :

  1. Orang yang telah masuk Islam tetapi masih memiliki keimanan yang lemah sekiranya kelemahan imannya ini masih dianggap sebagai iman.
  2. Orang yang telah masuk Islam dan memiliki iman kuat tetapi ia memiliki kehormatan tinggi di kalangan kaumnya yang Non Muslim, yang mana dengan memberinya zakat akan diharapkan kaumnya yang Non Muslim itu akan masuk Islam.
  3. Orang yang telah masuk Islam yang keberadaannya dapat menjauhkan orang orang Muslim dari sikap buruk orang orang Non Muslim yang ada di sekitarnya.
  4. Orang yang telah masuk Islam yang keberadaannya dapat menjauhkan orang orang Muslim dari sikap buruk orang orang yang enggan membayar zakat.

Bagian yang [3] dan [4] hanya diberi zakat apabila memberikan zakat kepada mereka itu lebih memudahkan bagi orang- orang Muslim daripada menyusun pasukan yang dipersiapkan untuk memerangi orang orang Non Muslim atau orang orang yang enggan membayar zakat. Adapun bagian [1] dan [2] maka tidak disyaratkan apakah memberikan zakat kepada mereka itu lebih memudahkan bagi orang- orang Muslim daripada menyusun pasukan yang dipersiapkan untuk memerangi orang orang non Muslim atau orang orang yang enggan membayar zakat atau tidak.

5. Budak

Yang dimaksud dengan budak dalam mustahik zakat adalah budak budak mukatab karena selain mereka adalah budak budak murni yang dicegah memiliki zakat. Budak-budak mukatab dapat menerima zakat ketika mereka dimiliki oleh tuan yang bukan orang yang berzakat, meskipun mereka adalah milik tuan yang kafir atau tuan yang berasal dari keturunan Hasyim dan Muthollib. Mereka diberi zakat dalam jumlah yang dapat membantu untuk merdeka apabila mereka tidak memiliki biaya yang dapat memenuhi cicilan dalam akad kitabah, meskipun tanpa seizin dari tuan mereka.

Disyaratkan mereka adalah budak-budak mukatab yang melakukan transaksi kitabah yang sah, sekiranya transaksi tersebut memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya.

Rukun rukun kitabah ada empat, yaitu :

  1. Budak

    Disyaratkan dalam budak adalah ikhtiar atau tidak dipaksa untuk melakukan akad kitabah, bukan shobi (anak kecil laki-laki) atau majnun (orang gila), dan ia tidak terikat dengan hak yang wajib, misalnya ia adalah budak yang digadaikan.

  2. Sighot

    Disyaratkan dalam sighot adalah lafadz atau pernyataan yang mengandung pengertian kitabah, dari segi ijab, seperti “Aku melakukan akad kitabah denganmu,” atau, “kamu adalah budak mukatab atas biaya dua dinar yang dapat kamu bayar selama dua bulan. Kemudian apabila kamu membayarnya kepadaku maka kamu adalah merdeka,” dan dari segi qobul, seperti “Saya menerimanya.”

  3. Biaya Atau Iwadh

    Disyaratkan dalam biaya adalah berupa hutang atau manfaat atau jasa yang ditangguhkan dengan dua kali cicilan atau lebih. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan cicilan yang dilakukan kurang dari dua kali. Begitu juga harus menjelaskan jumlah biaya, sifat biaya (seperti dalam bab pesanan atau salam), berapa kali cicilan dilakukan (seperti dua bulan atau tiga bulan sekali), dan menjelaskan jumlah biaya dalam setiap kali cicilan (seperti 5 dirham dalam setiap cicilan).

  4. Tuan / Sayyid.

    Disyaratkan bagi tuan adalah mukhtar atau tidak dipaksa, ahli tabarruk, dan ahli menjadi wali. Oleh karena itu, akad kitabah tidak sah dari tuan yang dipaksa atau dari budak mukatab, meskipun si tuan mengizinkan budak mukatab tersebut untuk melakukan transaksi kitabah. Begitu juga, akad kitabah tidak sah dari shobi, majnun, mahjur lis safih, dan wali-wali mereka. Adapun akad kitabah dari mahjur lil falasi atau dari orang murtad maka akadnya sah karena sifat kepemilikan mereka terhadap harta adalah mauquf atau hanya diberhentikan, bukan dihilangkan.

Menurut pendapat ashoh, boleh memberikan zakat kepada budak-budak mukatab sebelum cicilan mereka lunas. Tidak diperbolehkan memberikan zakat kepada tuan mereka kecuali apabila ada izin dari para budak mukatab, tetapi apabila zakat diberikan kepada tuan maka tanggungan cicilan yang wajib dibayar oleh mereka kepada tuan akan berkurang sesuai dengan nilai ukuran zakat yang diberikan kepada tuan tersebut, karena orang yang membayarkan hutang orang lain yang menanggung hutang dengan tanpa ada izin dari orang yang berhutang maka orang yang berhutang bebas dari tanggungan hutang. Adapun budak mukatab yang melakukan akad kitabah fasidah atau yang tidak sah, yaitu yang tidak memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun kitabah, maka tidak berhak menerima zakat.

6. Ghorim

Yang dimaksud dengan ghorim yaitu orang yang memiliki hutang ghorim dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

  1. Orang yang berhutang untuk dirinya sendiri, baik hutang tersebut untuk urusan yang diperbolehkan syariat atau tidak, dan meskipun hutang tersebut dibelanjakan dalam hal maksiat atau dalam hal yang tidak diperbolehkan syariat, seperti miras, dan ia telah bertaubat, dan taubatnya dianggap serius, atau ia membelanjakan hutang tersebut dalam urusan yang diperbolehkan syariat. Maka orang ini diberi zakat disertai rasa butuhnya pada zakat itu, misalnya karena waktu membayar hutang telah jatuh tempo tetapi ia tidak mampu melunasinya.
  2. Orang yang berhutang karena tujuan untuk mendamaikan perselisihan yang terjadi di antara masyarakat, misalnya ia kuatir akan terjadi fitnah antara dua suku atau kabilah yang saling berselisih disebabkan permasalahan adanya korban yang mati, meskipun bukan manusia, bahkan meskipun seekor anjing, kemudian ia rela berhutang dan menanggung beban hutang karena tujuan menghindari terjadinya fitnah antar dua kubu tersebut. Maka orang yang berhutang ini diberi zakat meskipun ia adalah orang yang kaya.
  3. Orang yang berhutang karena tujuan menanggung hutang orang lain. Maka orang ini diberi zakat apabila ia dan orang yang ditanggung hutangnya adalah melarat, meskipun ia yang menanggung bukan ahli tabarruk dalam menanggung, atau ia yang menanggung hutang adalah orang yang melarat dan ahli tabarruk sedangkan orang yang ditanggung hutangnya adalah orang yang mampu sekiranya orang yang menanggung tidak menagihnya karena tanpa ada izin dari orang yang ditanggung hutangnya.

Berbeda dengan masalah apabila orang yang menanggung hutang mendapat izin dari orang yang ditanggung hutangnya sedangkan ia yang menanggung hutang adalah orang yang melarat, maka ia tidak berhak menerima zakat, karena tanggungan hutang itu dikembalikan kepada pihak yang hutangnya ditanggung.

7. Sabilillah

Maksud Sabilillah yaitu orang orang yang berperang jihad di jalan Allah serta tidak memiliki jatah bagian harta dari Baitul Maal. Maka mereka diberi zakat meskipun mereka kaya, karena bertujuan untuk menolong mereka dalam berperang.

8. Ibnu Sabil (Musafir)

Ibnu Sabil dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

  1. Ibnu Sabil Majazi, yaitu orang yang melakukan perjalanan jauh yang bermula dari daerah zakat.
  2. Ibnu Sabil Hakiki, yaitu musafir yang melewati daerah harta zakat di tengah tengah perjalanan.

Ibnu Sabil Majazi atau Hakiki diberi zakat apabila ia membutuhkannya sekira ia kekurangan bekal yang dapat membiayainya untuk sampai di tempat tujuan atau untuk sampai di tempat hartanya berada. Oleh karena itu, musafir yang tidak memiliki harta sama sekali, diberi jatah zakat. Begitu juga diberi zakat adalah musafir yang memiliki harta yang berada di daerah yang bukan menjadi tujuan kepergiannya, dengan syarat kepergiannya bukan dalam hal maksiat.

Di dalam kitab Misbah disebutkan bahwa musafir disebut dengan Ibnu Sabil karena yang namanya musafir itu menetapi jalan (sabil dan thoriq). Para ulama berkata, “Yang dimaksud dengan Ibnu Sabil dalam ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang mustahik- mustahik zakat adalah orang yang jauh atau terpisah dari hartanya.”

Syarat Syarat Mustahik Zakat

Disyaratkan bagi orang yang mengambil atau menerima zakat adalah merdeka, Islam, dan bukan termasuk keturunan Hasyim dan Muthollib, karena sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallama :

ان هذه الصدقة أو ساخ الناس وانها لا تحل لمحمد ولا لأل محمد

dan karena berdasarkan perbuatan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Ketika Hasan meletakkan sebutir kurma dari harta zakat ke dalam mulutnya, Rasulullah mengambil kurma itu beserta air ludahnya dan berkata, ‘Kikh! Kikh! Sesungguhnya kami adalah keluarga Muhammad yang tidak halal bagi kami menerima harta zakat.’”,

Pengertian zakat sebagai kotoran manusia adalah apabila zakat tidak ditunaikan dari harta seseorang maka harta tersebut menjadi terkotori sebagaimana baju terkotori oleh kotoran (noda).

Dikutip dari Syaikh Isthokhori sebuah pendapat yang mengatakan diperbolehkannya membagikan zakat kepada keturunan Hasyim dan Muthollib ketika mereka enggan menerima 1/5 hak mereka dari Baitul Maal. Syaikh Bajuri berkata, “Tidak apa-apa bertaklid atau mengikuti pendapat Isthokhori untuk saat ini, karena mereka para keturunan Hasyim dan Muthollib membutuhkan zakat.” Syaikh Muhammad Al-Fadholi cenderung pada pendapat Isthokhori ini karena kecintaannya kepada mereka. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kita melalui perantara mereka, yaitu para keturunan Hasyim dan Mutholib

4. Puasa Ramadhan

Rukun Islam yang keempat adalah puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan diwajibkan atau difardhukan pada bulan Sya’ban tahun 2 Hijriah. Setelah mendapat perintah kewajiban, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berpuasa sebanyak 9 (sembilan) kali bulan Ramadhan. 1 (satu) bulan dari mereka, beliau berpuasa penuh dan 8 bulan sisanya beliau tidak berpuasa penuh.

Syekh Ahmad Al-Fasyani berkata, “Sesungguhnya ada yang mengatakan bahwa pengertian puasa mengandung pengertian yang umum, khusus, dan khususnya khusus. Pengertian puasa secara umum adalah mencegah perut dan farji dari mengikuti keinginan syahwat. Pengertian puasa secara khusus adalah mencegah pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari dosa-dosa. Pengertian puasa secara khususnya khusus adalah memalingkan hati dari keinginan-keinginan hina dan menjauhkannya dari segala sesuatu selain Allah."

5. Haji

Rukun Islam yang kelima adalah haji ke Baitullah, maksudnya, menuju Baitullah karena untuk menunaikan haji atau umrah bagi orang yang mampu.

Haji termasuk salah satu syariat terdahulu, bahkan tidak ada seorang Nabi pun kecuali ia pasti pernah melakukan ibadah haji. Berbeda dengan pendapat ulama yang mengecualikan Nabi Hud dan Nabi Sholih.

Diriwayatkan bahwa Nabi Adam Alaihis Salaam melakukan haji selama 40 tahun berjalan dari India. Begitu juga, Nabi Isa Alaihis salaam telah melakukan haji sebelum ia diangkat ke langit atau akan melakukan haji ketika ia turun ke bumi

Pengertian Ihsan

Ihsan secara harfiah memiliki makna kebaikan secara perbuatan, bukan hanya pengetahuan tentang kebaikan sebagai etika. Ihsan menjadi pilar yang penting untuk mengatasi krisis akhlak 

para ulama berbeda pendapat dalam memaknai ihsan itu sendiri  Ada yang memaknainya sebagai perbuatan baik kepada orang lain. Ada juga ulama, yang memaknai ihsan sebagai kelapangan hati dalam memaafkan orang lain. Ada juga ulama seperti Jalaluddin As-Suyuthi memaknai ihsan sebagai pelaksanaan kewajiban kewajiban.

Adapun Ibnu Katsir dalam karya tafsirnya mengatakan, ihsan mencakup kebaikan sesuatu secara inti baik yang berhubungan dengan akidah, ibadah, maupun hal lainnya sebagaimana seorang Muslim berbuat baik terhadap orang lain.

Hubungan iman, Islam, dan ihsan akan tampak pada hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim ketika Rasul ditanya tentang Ihsan oleh malaikat Jibril kemudian Rasul bersabda: "Ihsan adalah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Tetapi jika kamu tidak dapat melihat-Nya, niscaya Allah tetap mengawasimu."

Kesimpulan dari Iman, Islam, dan Ihsan

Iman, Islam, dan Ihsan diibaratkan tiga tiang yang menjadi pondasi kita dalam beragama yang harus dimiliki oleh setiap individu dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Keimanan kita dapat diperkuat dengan mengkaji ilmu tauhid, keislaman kita dapat diperkuat dengan mengkaji ilmu fiqih dan sifat ihsan dalam diri kita dapat diperkuat dengan mengkaji ilmu tasawuf.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami