Terjemah Kitab Kifayatul Akhyar | Tentang Air

Nama kitab : Kifayatul Akhyar
Judul kitab Arab : كفاية الأخيار
Judul terjemah : Terjemah Kitab Kifayatul Akhyar
Mata Pelajaran : Fiqih
Musonif : Imam Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini Al-Hishni ad-Dimasyqi
Nama Arab : اَلْإمَامُ تقي الدين أبى بكر بن محمد الحسين الحصني الدمشقى
Lahir : Hauran, 752 H
Wafat : Damaskus, 1 Syawal 829 H
Penerjemah : Ahsan Dasuki

Terjemah Kitab Kifayatul Akhyar | Kitab Thoharoh

Kifayatul Akhyar Image by © LILMUSLIMIIN

[الْكِتَابُ] مُشْتَقٌّ مِنَ الْكَتْبِ وَهُوَ الضَّمُّ وَالْجَمْعُ يُقَالُ تَكَتَّبَ بَنُو فُلَانٍ إِذَا اجْتَمَعُوْا وَمِنْهُ كَتِيْبَةُ الرَّمْلِ. 

Kalimat [اَلْكِتَابُ] itu diambil dari kalimat اَلْكَتْبُ yaitu menempel dan berkumpul. Dikatakan: تَكَتَّبَ بَنُو فُلَانٍ berkumpulnya Banu Fulan ketika mereka berkumpul dan dari kalimat اَلْكَتْبُ dikatakan: كَتِيْبَةُ الرَّمْلِ sekumpulan pasir

وَالطَّهَارَةُ فِي اللُّغَةِ النَّظَافَةُ تَقُولُ طَهَّرْتُ الثَّوْبَ أَيْ نَظَفْتُهُ

Thoharoh menurut bahasa adalah النظافة kebersihan. Kamu mengatakan طَهَّرْتُ الثَّوْبَ maksudnya aku membersihkan baju

وَفِي الشَّرْعِ عِبَارَةٌ عَنْ رَفْعِ الْحَدَثِ أَوْ إِزَالَةِ النَّجَسِ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُمَا أَوْ عَلَى صُوْرَتِهِمَا كَالْغَسْلَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ وَالْأَغْسَالِ الْمَسْنُوْنَةِ وَتَجْدِيْدِ الْوُضُوْءِ وَالتَّيَمُّمِ وَغَيْرِ ذٰلِكَ مِمَّا لَا يَرْفَعُ حَدَثًا وَلَا يُزِيْلُ نَجَسًا وَلٰكِنَّهُ فِي مَعْنَاهُ.

Dan menurut syariat adalah istilah dari mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau dari sesuatu dalam makna keduanya atau pada gambaran keduanya seperti basuhan kedua dan ketiga, mandi-mandi yang disunnahkan, memperbarui wudhu, tayamum dan selain itu dari sesuatu yang tidak mengangkat hadats dan tidak menghilangkan najis akan tetapi sesuatu itu termasuk dalam maknanya

Terjemah Kitab Kifayatul Akhyar | Macam Macam air

قَالَ: (الْمِيَاهُ الَّتِي يَجُوزُ بِهَا التَّطْهِيرُ سَبْعُ مِيَاهٍ: مَاءُ السَّمَاءِ وَمَاءُ الْبَحْرِ وَمَاءُ النَّهْرِ وَمَاءُ الْبِئْرِ وَمَاءُ الْعَيْنِ وَمَاءُ الثَّلْجِ وَمَاءُ الْبَرَدِ) الْأَصْلُ فِي مَاءِ السَّمَاءِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ﴾ وَغَيْرُهَا 

Syekh Abu Syuja berkata: (Air yang boleh dengannya bersuci itu ada tujuh air: Air langit, air laut, air sungai, air sumur, mata air, air salju dan air embun) Dalil yang menjadi dasar pada air langit adalah firman Allah Ta'ala: ﴾Dan Allah menurunkan kepada kalian dari langit air agar kalian dapat bersuci dengannya﴿ Dan yang lainnya

وَفِي مَاءِ الْبَحْرِ قَوْلُهُ ﷺ لَمَّا سُئِلَ عَنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ: [هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ] صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَابْنُ السَّكَنِ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالْبُخَارِيُّ

Dan pada air laut adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ: ketika beliau ditanya tentang air laut kemudian Nabi bersabda: [Air laut itu suci mensucikan airnya halal bangkainya] Telah menshohihkan hadits ini Imam Ibnu Hibban, Ibnu Sakan, Tirmidzi dan Imam Bukhari

وَفِي مَاءِ الْبِئْرِ حَدِيْثُ سَهْلٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ [قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّٰهِ إنَّكَ تَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَفِيْهَا مَا يُنْجِي النَّاسُ وَالْحَائِضُ وَالْجُنُبُ فَقَالَ رَسُولُ اللّٰهِ ﷺ: اَلْمَاءُ طَهُوْرٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ] حَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدَ وََغَيْرُهُ.

Dan pada air sumur adalah hadits dari Sahl Radhiallahu Anhu: [Para sahabat berkata: Wahai Rasulallah sesungguhnya anda berwudhu dari sumur budho'ah padahal didalam sumur tersebut ada sesuatu yang membersihkan diri manusia, orang-orang haid dan orang-orang junub. Kemudian bersabda Rasulullah ﷺ: Air itu suci mensucikan tidak ada yang menjadikannya najis sesuatupun] Telah menghasankan hadits ini Imam At-Tirmidzi dan telah mengshohihkannya Imam Ahmad dan selainnya.

1.

Sumur Budha'ah adalah sumur yang ada di madinah milik Bani Sa'id. Sumur tersebut merupakan sumur yang besar dan lebar dan memiliki kapasitas lebih dari dua qullah. meskipun benda-benda najis dilempar ke dalamnya sumur tersebut tidak berubah warna, bau dan rasanya. namun pada masa sebelum Rasulullah berwudhu disana, sumur tersebut merupakan sumur yang beracun sehingga orang-orang tidak menggunakannya dan menjadikannya sebagai tempat pembuangan bangkai dan sebagainya. Setelah Nabi berwudhu disana dan meludah ke dalamnya, sumur tersebut seketika menjadi sumur yang suci dan tidak beracun lagi bahkan air pada sumur tersebut menjadi air yang sehat dan menyehatkan. Ini merupakan sebagian dari mukjizat Nabi Kita Muhammad ﷺ. Namun sumur budha'ah pada masa ini telah ditutup oleh pemerintah setempat.

وَمَاءُ النَّهْرِ وَمَاءُ الْعَيْنِ فِي مَعْنَاهُ وَأَمَّا مَاءُ الثَّلْجِ وَمَاءُ الْبَرَدِ فَالْأَصْلُ فِيْهِ حَدِيْثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُ وَاسْمُهُ عَبْدُ الرَّحْمٰنِ بْنُ صَخْرٍ عَلَى الْأَصَحِّ قَالَ:

Air sungai dan mata air itu dalam makna yang sama dengan air sumur. Adapun air salju dan air embun maka dalil yang menjadi dasar padanya adalah hadits dari Abu Huroiroh Radhiallahu Ta'ala Anhu dan nama aslinya adalah Abdur-Rahman Bin Shokhr menurut pendapat yang paling shohih. Beliau berkata:

[كَانَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَبَّرَ فِي الصَّلَاةِ سَكَتَ هُنَيَّةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ مَا تَقُوْلُ: 

[Ada Rasulullah ﷺ ketika beliau takbirotul ihrom dalam sholat beliau diam sejenak sebelum beliau membaca kemudian aku berkata kepada beliau: Wahai Rasulallah apa yang anda baca?

1.

Sebelum beliau membaca Al-fatihah

قَالَ أَقُوْلُ اللّٰهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اَللّٰهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اَللّٰهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ] رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Rasulullah bersabda: Aku membaca: Ya Allah semoga Engkau menjauhkan antara aku dan antara kesalahan-kesalahanku sebagaimana engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah semoga engkau membersihkan diriku dari segala kesalahan sebagaimana dibersihkannya baju yang putih dari kotoran. Ya Allah semoga engkau membersihkanku dari segala kesalahanku dengan air salju dan air embun] Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Bukhari dan Imam Muslim

Terjemah Kitab Kifayatul Akhyar | Pembagian Air

Air Mutlak

قَالَ: (ثُمَّ الْمِيَاهُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ: طَاهِرٌ مُطَهَّرٌ غَيْرُ مَكْرُوْهٍ وَهُوَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ) الْمَاءُ الَّذِي يَرْفَعُ الْحَدَثَ وَيُزِيْلُ النَّجَسَ هُوَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ 

Berkata Syekh Abu Syuja: (Kemudian air itu ada empat bagian: Yaitu air suci mensucikan tidak dimakruhkan dan air itu adalah air mutlak) Air yang dapat mengangkat hadats dan membersihkan najis itu adalah air mutlak

وَاخْتُلِفَ فِي حَدِّهِ فَقِيلَ هُوَ الْعَارِي عَنِ الْقُيُوْدِ وَالْإِضَافَةِ اللَّازِمَةِ وَهٰذَا هُوَ الصَّحِيْحُ فِي الرَّوْضَةِ وَالْمُحَرَّرِ وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ 

Dan diperselisihkan tentang definisi air mutlak. Dikatakan air mutlak adalah air yang bebas dari segala ikatan dan segala tambahan yang menetap dan ini adalah definisi yang shohih dalam kitab Raudhoh dan Al-Muharror dan telah menash pada definisi ini Imam As-Syafi'i.

فَقَوْلُهُ عَنِ الْقُيُوْدِ خَرَجَ بِهِ مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى: [مِنْ مَاءٍ مُهِيْنٍ] [مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ] 

Perkataan dari definisi "Dari segala ikatan" Itu tidak termasuk pada air mutlak seperti firman Allah Ta'ala: [Dari air yang hina] [Dari air yang memancar]

1.

Maksud dari air yang hina dan air yang memancar adalah sperma

وَقَوْلُهُ الْإِضَافَةُ اللَّازِمَةُ خَرَجَ بِهِ مِثْلُ مَاءِ الْوَرْدِ وَنَحْوِهِ وَاحْتَرَزَ بِالْإِضَافَةِ اللَّازِمَةِ عَنِ الْإِضَافَةِ غَيْرِ اللَّازِمَةِ كَمَاءِ النَّهْرِ وَنَحْوِهِ فَإِنَّهُ لَا تُخْرِجُهُ هَذِهِ الْإِضَافَةُ عَنْ كَوْنِهِ يَرْفَعُ الْحَدَثَ وَيُزِيْلُ النَّجَسَ لِبَقَاءِ الْإِطْلَاقِ عَلَيْهِ 

Perkataan dari definisi "segala tambahan yang menetap" Itu tidak termasuk pada air mutlak seperti air mawar dan semisalnya. Mengecualikan dengan tambahan yang menetap dari tambahan yang tidak menetap, seperti air sungai dan semisalnya, karena seungguhnya air sungai itu tidak mengeluarkan padanya oleh tambahan ini dari keadaannya yang dapat mengangkat hadats dan menghilangkan najis karena tetapnya kemutlakan atas air sungai tersebut

1.

Kalimat ini menjelaskan tentang perbedaan "idhafah lazimah" (penyandaran yang tetap) dan "idhafah ghair lazimah" (penyandaran yang tidak tetap). Idhafah lazimah mengacu pada penyandaran yang menetap pada suatu benda sehingga mengubah sifat aslinya, seperti air mawar, yang tidak lagi dianggap sebagai air mutlak karena campurannya bersifat permanen. Sedangkan idhafah ghair lazimah, seperti air sungai, tidak mengubah status air tersebut sebagai air mutlak karena penyandarannya bersifat sementara. Oleh karena itu, air dengan idhafah ghair lazimah masih dapat digunakan untuk mengangkat hadats dan menghilangkan najis.

وَقِيْلَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ هُوَ الْبَاقِي عَلَى وَصْفِ خِلْقَتِهِ وَقِيلَ مَا يُسَمَّى مَاءً وَسُمِّيَ مُطْلَقًا لِأَنَّ الْمَاءَ إِذَا أُطْلِقَ انْصَرَفَ إِلَيْهِ وَهَذَا مَا ذَكَرَهُ ابْنُ الصَّلَاحِ وَتَبِعَهُ النَّوَوِيُّ عَلَيْهِ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ

Dan dikatakan: Air muthlaq adalah air yang tetap pada sifat asal penciptaannya. Dan dikatakan: Air muthlaq adalah air yang disebut sebagai "air". Dan dinamakan muthlaq karena sesungguhnya air jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah air tersebut. Dan ini adalah pendapat yang telah mengatakan tentangnya Ibnu Shalah, dan telah mengikutinya Imam An-Nawawi  dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab.

Air Musyammas

قَالَ: (وَطَاهِرٌ مُطَهَّرٌ مَكْرُوهٌ وَهُوَ الْمَاءُ الْمُشَمَّسُ) هَذَا هُوَ الْقِسْمُ الثَّانِي مِنْ أَقْسَامِ الْمَاءِ وَهُوَ الْمُشَمَّسُ وَهُوَ طَاهِرٌ فِي نَفْسِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَلْقَ نَجَاسَةً وَمُطَهَّرٌ أَيْ يَرْفَعُ الْحَدَثَ وَيُزِيلُ النَّجَسَ لِبَقَاءِ إطْلَاقِ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ

Telah berkata Syekh Abu Syuja: (Dan air suci mensucikan yang dimakruhkan yaitu air Musyammas) Air suci mensucikan yang dimakruhkan ini adalah bagian kedua dari bagian-bagian air yaitu air Musyammas. Air Musyammas itu suci pada dirinya sendiri karena air tersebut tidak bertemu dengan najis. Dan mensucikan maksudnya air tersebut dapat mengangkat hadats dan dapat menghilangkan najis karena tetapnya kemutlakan nama air pada dirinya

1.

Air Musyammas adalah air yang terjemur sinar matahari

وَهَلْ يُكْرَهُ فِيهِ الْخِلَافُ الْأَصَحُّ عِنْدَ الرَّافِعِيِّ أَنَّهُ يُكْرَهُ وَهُوَ الَّذِي جَزَمَ بِهِ الْمُصَنِّفُ وَاحْتَجَّ لَهُ الرَّافِعِيُّ بِأَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [نَهَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهَا عَنِ الْمُشَمَّسِ وَقَالَ إنَّهُ يُوْرِثُ الْبَرَصَ] 

Apakah dimakruhkan ? Di dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Pendapat yang paling shohih menurut imam Ar-Rofi'i bahwa air tersebut dimakruhkan dan pendapat ini adalah pendapat yang telah menetapkan padanya oleh Musonnif. Dan telah berhujjah untuk pendapat ini Imam Ar-rofi'i bahwa Rasulallah ﷺ [Telah melarang Siti Aisyah Radhiallahu Anha dari menggunakan air Musyammas dan Nabi ﷺ bersabda: Sesungguhnya air tersebut bisa menyebabkan penyakit kusta]

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: [مَنِ اغْتَسَلَ بِمَاءٍ مُشَمَّسٍ فَأَصَابَهُ وَضَحٌ فَلَا يَلُومَنَّ إلَّا نَفْسَهُ]

Dan dari Ibnu Abbas Radhiallahu Ta'ala Anhuma sesungguhnya Rasulallah ﷺ bersabda: [Barang siapa yang mandi dengan air Musyammas kemudian menimpa kepadanya penyakit kusta maka janganlah dia menyalahkan siapa pun kecuali pada dirinya sendiri]

وَكَرِهَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُ وَقَالَ إِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ فَعَلَى هَذَا إنَّمَا يُكْرَهُ الْمُشَمَّسُ بِشَرْطَيْنِ: 

Dan telah memakruhkan pada air Musyammas Umar Radhiallahu Ta'ala Anhu dan dia berkata: Sesungguhnya air Musyammas itu dapat menyebabkan penyakit kusta. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya hanya dimakruhkan air Musyammas itu dengan dua syarat:

أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ التَّشْمِيسُ فِي الْأَوَانِي الْمُنْطَبِعَةِ كَالنُّحَاسِ وَالْحَدِيدِ وَالرَّصَاصِ لِأَنَّ الشَّمْسَ إِذَا أَثَّرَتْ فِيهَا خَرَجَ مِنْهَا زُهُومَةٌ تَعْلُو عَلَى وَجْهِ الْمَاءِ وَمِنْهَا يَتَوَلَّدُ الْبَرَصُ 

Salah satu dari dua syarat itu adalah hendaknya terbukti penjemuran di wadah-wadah yang ditempa seperti tembaga, besi dan timah. Karena sesungguhnya matahari ketika mempengaruhi pada wada-wadah tersebut maka akan keluar darinya bau busuk yang mengapung di atas permukaan air dan darinya dapat timbul penyakit kusta

1.

Lafadz زهومة maknanya adalah bau yang buruk dan busuk, baik itu akibat dari pancaran sinar matahari pada wadah, atau dari lemak makanan dan sisa-sisanya.

وَلَا يَتَأَتَّى ذَلِكَ فِي إِنَاءِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ لِصَفَاءِ جَوْهَرِهِمَا لَكِنَّهُ يُحْرَمُ اسْتِعْمَالُهُمَا عَلَى مَا يَأْتِي ذِكْرُهُ

Dan tidak mendatangkan hal itu pada wadah emas dan perak karena kemurnian bahan dasarnya akan tetapi diharamkan menggunakan wadah emas dan perak sebagaimana akan datang penjelasannya.

1.

Air yang ada dalam bejana emas ataupun perak ketika terpapar sinar matahari tidak akan mendatangkan bau busuk / karat akan tetapi diharamkan menggunakan wadah emas dan perak.

فَلَوْ صُبَّ الْمَاءُ الْمُشَمَّسُ مِنْ إِنَاءِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فِي إِنَاءٍ مُبَاحٍ لَا يُكْرَهُ لِفَقْدِ الزُّهُومَةِ وَكَذَا لَا يُكْرَهُ فِي أَوَانِي الْخَزَفِ وَغَيْرِهَا لِفَقْدِ الْعِلَّةِ. 

Jika dituangkan air musyammas dari wadah emas dan perak ke dalam wadah yang mubah maka tidak dimakruhkan karena tidak adanya bau busuk dan demikian pula tidak dimakruhkan pada wadah-wadah dari tanah liat dan selainnya karena tidak adanya illat.

 الشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ يَقَعَ التَّشْمِيسُ فِي الْبِلَادِ الشَّدِيدَةِ الْحَرَارَةِ دُونَ الْبَارِدَةِ وَالْمُعْتَدِلَةِ فَإِنَّ تَأْثِيرَ الشَّمْسِ فِيهِمَا ضَعِيفٌ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَقْصِدَ التَّشْمِيسَ أَمْ لَا لِوُجُودِ الْمَحْذُورِ وَلَا يُكْرَهُ الْمُشَمَّسُ فِي الْحِيَاضِ وَالْبِرْكِ بِلَا خِلَافٍ

Syarat Yanng kedua adalah hendaknya terjadi penjemuran di negara yang sangat panas bukan di negeri yang dingin dan negri yang tropis karena sesungguhnya pengaruh matahari di kedua negara tersebut itu lemah. Dan tidak ada perbedaan antara sengaja menjemur atau tidak karena adanya bahaya. Dan tidak dimakruhkan di telaga dan kolam tanpa ada perbedaan pendapat

وَهَلِ الْكَرَاهَةُ شَرْعِيَّةٌ أَوْ إِرْشَادِيَّةٌ فِيهَا وَجْهَانِ أَصَحُّهُمَا فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّهَا شَرْعِيَّةٌ فَعَلَى هَذَا يُثَابُ عَلَى تَرْكِ اسْتِعْمَالِهِ وَعَلَى الثَّانِي وَهِيَ أَنَّهَا إِرْشَادِيَّةٌ لَا يُثَابُ فِيهَا لِأَنَّهَا مِنْ وِجْهَةِ الطِّبِّ 

Apakah kemakruhan itu bersifat syar'i ataukah bersifat petunjuk? Di dalamnya terdapat dua pendapat. Pendapat yang paling shohih dari keduanya di dalam kitab Syarah al-Muhazzab adalah bahwa larangan tersebut bersifat syar'i, maka berdasarkan hal ini, diberi pahala karena meninggalkan penggunaannya. Sedangkan pendapat kedua yaitu bahwa larangan tersebut bersifat petunjuk, tidak diberi pahala dalam meninggalkannya, karena kemakruhan itu adalah dari sebagian sisi ilmu kedokteran.

وَقِيلَ إِنَّ الْمُشَمَّسَ لَا يُكْرَهُ مُطْلَقًا وَعَزَاهُ الرَّافِعِيُّ إِلَى الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ قَالَ النَّوَوِيُّ فِي زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ وَهُوَ الرَّاجِحُ مِنْ حَيْثُ الدَّلِيلُ وَهُوَ مَذْهَبُ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ وَلَيْسَ لِلْكَرَاهِيَةِ دَلِيلٌ يُعْتَمَدُ

Dan dikatakan sesungguhnya air musyammas itu tidak dimakruhkan secara mutlak dan telah menisbatkannya imam Ar-Rofi'i pada tiga imam. Telah berkata Imam An-Nawawi dalam kitab ziyadah Raudhoh: Dan pendapat ini adalah pendapat yang rajih dari sisi dalil dan pendapat ini adalah pendapat kebanyakkan ulama. Dan tidak ada bagi kemakruhan air musyammas dalil yang dapat dijadikan sandaran

وَإِذَا قُلْنَا بِالْكَرَاهَةِ فَهِيَ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ لَا تَمْنَعُ صِحَّةَ الطَّهَارَةِ وَيَخْتَصُّ اسْتِعْمَالُهُ بِالْبَدَنِ وَتَزُولُ بِالتَّبْرِيدِ عَلَى الْأَصَحِّ وَفِي الثَّالِثِ يُرَاجِعُ الْأَطِبَّاءَ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ انْتَهَى 

Dan jika kita katakan makruh maka kemakruhan itu adalah makruh tanzih tidak menghalangi pada keafsahan bersuci dan kemakruhan itu khusus penggunaannya pada badan dan kemakruhan itu menjadi hilang sebab dingin. Dalam permasalahan ke tiga itu harus merujuk pada para dokter. Allah adalah dzat yang maha mengetahui. Selesai.

وَمَا صَحَّحَهُ مِنْ زَوَالِ الْكَرَاهِيَةِ بِالتَّبْرِيدِ قَدْ صَحَّحَ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيرِ بَقَاءَهَا وَقَالَ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ الصَّوَابُ أَنَّهُ لَا يُكْرَهُ 

Pendapat yang telah Imam An-Nawawi shohihkan padanya mengenai hilangnya kemakruhan sebab menjadi dingin benar-benar telah menshohihkan Imam Ar-Rofi'i dalam kitab Syarhus Shogir atas tetapnya kemakruhan. Telah berkata Imam An-nawawi dalam kitab Syarhul Muhadzdzab Pendapat yang benar adalah bahwa air tersebut tidak dimakruhkan

وَحَدِيثُ عَائِشَةَ هَذَا ضَعِيفٌ بِاتِّفَاقِ الْمُحَدِّثِينَ وَمِنْهُمْ مَنْ جَعَلَهُ مَوْضُوعًا وَكَذَا مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ ضَعِيفٌ لِاتِّفَاقِ الْمُحَدِّثِينَ عَلَى تَضْعِيفِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ وَحَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ غَيْرُ مَعْرُوفٍ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ

Hadits Siti Aisyah ini adalah hadits dho'if menurut kesepakatan para ulama ahli hadits dan sebagian dari ulama ahli hadits ada ulama ahli hadits yang menjadikan hadits tersebut sebagai hadits maudhu. Begitu juga dengan perkataan yang telah imam Syafi'i riwayatkan padanya dari Umar bin al-Khattab bahwa air musyammas itu dapat menyebabkan penyakit kusta adalah atsar yang dha’if, karena kesepakatan ahli hadits atas kedho'ifan Ibrahim bin Muhammad. Hadits Ibnu Abbas adalah hadits yang tidak dikenal. Dan Allah adalah dzat yang maha mengetahui.

وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ أَثَرِ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ فَمَمْنُوعٌ وَدَعْوَاهُ الْاِتِّفَاقَ عَلَى تَضْعِيفِ إِبْرَاهِيمَ أَحَدِ الرُّوَاةِ غَيْرُ مُسَلَّمٍ فَإِنَّ الشَّافِعِيَّ وَثَّقَهُ وَفِي تَوْثِيقِ الشَّافِعِيِّ كِفَايَةٌ وَقَدْ وَثَّقَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْحُفَّاظِ وَرَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ آخَرَ صَحِيحٍ 

Perkataan yang telah Imam an-nawawi tuturkan padanya dari atsar Umar bin Khattab Radhiallahu Ahnhu maka itu tidak dapat diterima dan klaim imam nawawi dari kesepakatan mendhoifkan ibrahim salah seorang periwayat itu tidak disetujui karena sesungguhnya imam Syafi'i mempercayai Ibrahim Bin Muhammad dan dalam kepercayaan imam As-Syafi'i itu cukup. Dan benar-benar telah menganggap Tsiqqoh pada Ibrahim bukan hanya satu orang dari kalangan ulama-ulama ahli hadits dan telah meriwayatkan pada atsar ini imam Ad-Daruqutni dengan sanad lain yang shohih

قَالَ النَّوَوِيُّ فِي زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ: وَيُكْرَهُ شَدِيدُ الْحَرَارَةِ وَالْبُرُودَةِ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ وَالْعِلَّةُ فِيهِ عَدَمُ الْإِسْبَاغِ وَقَالَ فِي آبَارِ ثَمُودَ أَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْهَا فَأَقَلُّ الْمَرَاتِبِ أَنَّهُ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهَا

Telah berkata Imam An-Nawawi dalam kitab ziyadah Roudhoh: Dimakruhkan air yang sangat panas dan air yang sangat dingin. Dan Allah adalah dzat yang maha mengetahui. Illat dalam kemakruhan tersebut adalah tidak adanya kesempurnaan wudhu. Dan Imam An-Nawawi berkata tentang sumur kaum tsamud sesungguhnya sumur tersebut dilarang dari menggunakannya maka paling ringannya tingkatan adalah sesungguhnya sumur tersebut dimakruhkan penggunaannya

Air Musta'mal

قَالَ: (وَطَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهَّرٍ وَهُوَ الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ) هٰذَا هُوَ الْقِسْمُ الثَّالِثُ مِنْ أَقْسَامِ الْمَاءِ وَهُوَ الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ فِي رَفْعِ الْحَدَثِ أَوْ إزَالَةِ النَّجَسِ إذَا لَمْ يَتَغَيَّرْ وَلَا زَادَ وَزْنُهُ فَهُوَ طَاهِرٌ

Telah berkata Syekh Abu Syuja: (Dan air suci yang tidak mensucikan yaitu air musta'mal) Air yang suci tidak mensucikan ini adalah bagian ke tiga dari pembagian-pembagian air yaitu air yang sudah dipakai dalam mengangkat hadats atau dalam menghilangkan najis jika tidak berubah dan tidak bertambah takarannya maka air itu suci tidak mensucikan.

1.

Status air yang digunakan untuk menghilangkan najis itu bisa menjadi mutanajis jika najis yang dibersihkan adalah najis ainiyah (najis yang tampak dari rasa, aroma atau warnanya) Adapun jika najis yang dibersihkan berupa najis hukmiyah (Najis yang tidak ada rasa, aroma atau warna) dengan mengalirkan air mutlak padanya maka status air tersebut adalah musta'mal.

2.

Misalnya: seseorang hendak membersihkan kotoran ayam di lantai rumahnya, dia membersihkannya dengan cara membuang najis ainiyahnya sampai hilang dari najis tersebut rasa, aroma dan warnanya sehingga berubah status najis tersebut yang tadinya najis ainiyah menjadi najis hukmiyah. jika dia mengalirkan air mutlak di atas najis hukmiah tersebut sampai merata maka lantai tersebut sudah menjadi lantai yang suci dan air yang berada di atasnya adalah air musta'mal (air yang suci namun tidak dapat mensucikan)

لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ (خَلَقَ اللّٰهُ الْمَاءَ طَهُورًا لَايُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَيَّرَ طَعْمَهُ أَوْ رِيحَهُ) وَفِي ابْنِ مَاجَه (أَوْ لَوْنَهُ) وَهُوَ ضَعِيْفٌ وَالثَّابِتُ (طَعْمُهُ أَوْ رِيحُهُ) فَقَطْ

Karena sabda Nabi Alaihis Sholatu Was-Salam (Allah telah menciptakan air menjadi suci tidak ada yang dapat menajiskannya suatu apapun kecuali sesuatu yang dapat merubah pada rasanya atau pada aromanya) Dan dalam riwayat Imam Ibnu Majah (Atau pada warnanya) Riwayat ini adalah riwayat lemah dan riwayat yang kuat adalah (Pada rasanya atau pada aromanya) saja 

وَهَلْ هُوَ طَهُورٌ يَرْفَعُ الْحَدَثَ وَيُزِيلُ النَّجَسَ أَيْضًا فِيهِ خِلَافٌ اَلْمَذْهَبُ أَنَّهُ غَيْرُ طَهُورٍ لِأَنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُمْ مَعَ شِدَّةِ اعْتِنَائِهِمْ بِالدِّينِ مَا كَانُوا يَجْمَعُونَهُ لِيَتَوَضَّؤُوا بِهِ ثَانِيًا وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ سَائِغًا لَفَعَلُوهُ

Apakah air musta'mal itu mensucikan dapat mengangkat hadats dan menghilangkan najis juga? Mengenai hal ini ada perbedaan pendapat. Menurut pendapat madhab bahwa air musta'mal itu tidak dapat mensucikan karena sesungguhnya para sahabat Radhiallahu Ta'ala Anhum dengan sangat besarnya perhatian mereka pada agama tidaklah mereka terbukti menngumpulkan air musta'mal agar mereka dapat berwudhu dengan air tersebut untuk yang kedua kali. Andai terbukti menggunakan air musta'mal itu boleh maka pasti mereka mengerjakannya

وَاخْتَلَفَ الْأَصْحَابُ فِي عِلَّةِ مَنْعِ اسْتِعْمَالِهِ ثَانِيًا وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ تَأَدَّى بِهِ فَرْضٌ وَقِيلَ إِنَّهُ تَأَدَّى بِهِ عِبَادَةٌ وَتَظْهَرُ فَائِدَةُ الْخِلَافِ فِي صُورَتَيْنِ: 

Telah berbeda pendapat para Ashab Syafi'i tentang illat larangan menggunakan air musta'mal untuk yang kedua kali. Pendapat yang shohih adalah sesungguhnya air musta'mal itu adalah yang telah ditunaikan dengan air tersebut kefardhuan. Dikatakan sesungguhnya air mustamal itu adalah yang telah ditunaikan dengan air tersebut ibadah. Akan tampak faedah dari perbedaan ini pada dua gambaran:

1.

Pendapat shohih : Air musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk menunaikan kefardhuan, seperti wudhu untuk mengangkat hadats kecil pada anggota tubuh yang fardhu seperti basuhan pertama wajah, basuhan pertama kedua tangan sampai siku, usapan pertama rambut dan basuhan pertama kedua kaki sampai mata kaki dan mandi untuk mengangkat hadats besar seperti mandi junub dan haidh.

اَلْأُولَى فِيْمَا اسْتَعْمَلَ فِي نَفْلِ الطَّهَارَةِ كَتَجْدِيدِ الْوُضُوءِ وَالْأَغْسَالِ الْمَسْنُونَةِ وَالْغَسْلَةِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ فَعَلَى الصَّحِيحِ يَكُونُ الْمَاءُ طَهُورًا لِأَنَّهُ لَمْ يَتَأَدَّ بِهِ فَرْضٌ وَعَلَى الضَّعِيفِ لَا يَكُونُ طَهُورًا لِأَنَّهُ تَأَدَّى بِهِ عِبَادَةٌ

Gambaran yang pertama adalah pada air yang digunakan untuk sunnah bersuci seperti memperbarui wudhu, mandi-mandi yang disunnahkan, basuhan kedua, ketiga. Menurut pendapat yang shohih terbukti air tersebut itu suci mensucikan karena sesungguhnya air tersebut tidaklah ditunaikan dengannya kefardhuan dan menurut pendapat yang lemah tidaklah terbukti air tersebut itu suci mensucikan karena sesungguhnya air tersebut ditunaikan dengannya ibadah.

1.

Pada gambaran pertama, air yang digunakan dalam kesunahan bersuci, seperti memperbarui wudhu, mandi sunnah, atau basuhan kedua dan ketiga, menurut pendapat yang shohih tetap suci dan mensucikan karena tidak digunakan untuk membasuh bagian fardhu, sehingga dapat dipakai kembali untuk bersuci. Namun, menurut pendapat lemah, air tersebut dianggap tidak mensucikan karena telah digunakan untuk ibadah.

وَلَا خِلَافَ أَنَّ مَاءَ الرَّابِعَةِ طَهُوْرٌ عَلَى الْعِلَّتَيْنِ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَأَدَّ بِهِ فَرْضٌ وَلَا هِيَ مَشْرُوْعَةٌ وَالْغَسْلَةُ الْأُوْلَى غَيْرُ طَهُوْرٍ عَلَى الْعِلَّتَيْنِ لِتَأَدِّى الْفَرْضِ وَالْعِبَادَةِ بِمَائِهَا

Dan tidak ada perbedaan bahwa air yang keempat itu suci mensucikan karena dua illat: Karena air keempat itu tidak ditunaikan dengannya kefardhuan dan tidak pula air keempat itu disyari'atkan. Air basuhan pertama itu tidak mensucikan karena dua illat: Karena menunaikan kefardhuan dan ibadah dengan air basuhan pertama.

1.

Air basuhan keempat tetap suci dan mensucikan karena dua illat: karena digunakan untuk kefardhuan dan karena tidak disyariatkan. Sebaliknya, bekas air basuhan pertama tidak mensucikan karena dua illat: karena digunakan untuk kefardhuan dan karena digunakan untuk ibadah.

الصُّورَةُ الثَّانِيَةُ الْمَاءُ الَّذِي اغْتَسَلَتْ بِهِ الْكِتَابِيَّةُ عَنِ الْحَيْضِ لِتَحِلَّ لِزَوْجِهَا الْمُسْلِمِ هَلْ هُوَ طَهُوْرٌ يَنْبَنِي عَلَى أَنَّهَا لَوْ أَسْلَمَتْ هَلْ يَلْزَمُهَا إِعَادَةُ الْغُسْلِ فِيهِ خِلَافٌ إِنْ قُلْنَا لَا يَلْزَمُهَا فَهُوَ غَيْرُ طَهُورٍ وَإِنْ قُلْنَا يَلْزَمُهَا إِعَادَةُ الْغُسْلِ وَهُوَ الصَّحِيحُ

Gambaran yang kedua adalah air yang wanita ahlul kitab mandi dengannya untuk bersuci dari haid agar dia menjadi halal untuk suaminya yang muslim. Apakah air tersebut suci mensucikan? pertanyaan ini tergantung pada bahwa wanita tersebut jika masuk islam apakah wajib padanya mengulangi mandi. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat jika kita katakan tidak wajib padanya maka air tersebut tidak mensucikan dan jika kita katakan wajib padanya mengulangi mandi maka ini adalah pendapat yang shohih

1.

Gambaran yang kedua adalah tentang air yang digunakan oleh wanita ahli kitab untuk mandi bersuci dari haid agar dia menjadi halal bagi suaminya yang seorang muslim. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah air tersebut suci dan mensucikan? Hal ini tergantung pada status wanita tersebut jika dia masuk Islam. Apakah dia wajib mengulangi mandi? Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat. Jika kita mengatakan bahwa dia tidak wajib mengulangi mandi, maka air tersebut tidak dianggap mensucikan. Namun, jika kita mengatakan bahwa dia wajib mengulangi mandi, maka pendapat ini adalah yang lebih shahih.

فَفِي الْمَاءِ الَّذِي اسْتَعْمَلَتْهُ حَالَ الْكُفْرِ وَجْهَانِ بَيِّنَانِ عَلَى الْعِلَّتَيْنِ إِنْ قُلْنَا إِنَّ الْعِلَّةَ تَأَدِّى الْفَرْضِ فَالْمَاءُ غَيْرُ طَهُورٍ وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْعِلَّةَ تَأَدِّى الْعِبَادَةِ فَهُوَ طَهُورٌ لِأَنَّ الْكَافِرَةَ لَيْسَتْ مِنْ أَهْلِ الْعِبَادَةِ

Maka mengenai air yang dia telah menggunakannya dalam keadaan kufur ada dua pendapat yang keduanya bergantung pada dua illat. Jika kita katakan bahwa illatnya adalah menunaikan kefardhuan maka air itu tidak mensucikan dan jika kita katakan bahwa illatnya adalah menunaikan ibadah maka air itu suci mensucikan karena sesungguhnya orang kafir itu tidaklah dia termasuk dari ahli ibadah

1.

Mengenai air yang telah digunakan oleh seseorang dalam keadaan kufur, terdapat dua pendapat yang bergantung pada dua 'illat (alasan hukum). Jika kita mengatakan bahwa 'illatnya adalah untuk menunaikan kefarduan, maka air tersebut tidak dianggap mensucikan. Namun, jika kita mengatakan bahwa 'illatnya adalah untuk menunaikan ibadah, maka air tersebut suci dan mensucikan. Hal ini disebabkan karena orang kafir tidak termasuk golongan ahli ibadah.

وَاعْلَمْ أَنَّ الزَّوْجَةَ الْمَجْنُونَةَ إِذَا حَاضَتْ وَغَسَلَهَا زَوْجُهَا حُكْمُهَا حُكْمُ الْكَافِرَةِ فِيمَا ذَكَرْنَاهُ وَهِيَ مَسْأَلَةٌ حَسَنَةٌ ذَكَرَهَا الرَّافِعِيُّ فِي صِفَةِ الْوُضُوءِ وَأَسْقَطَهَا النَّوَوِيُّ مِنَ الرَّوْضَةِ

Dan ketahuilah sesungguhnya wanita yang gila jika dia haid dan memandikan padanya suami dari wanita tersebut maka hukum wanita tersebut adalah hukum wanita kafiroh sebagaimana kami telah menyebutkannya dan itu adalah masalah yang baik. Telah menyebutkannya Imam Ar-Rofi'i dalam bab sifat wudhu dan tidak menyebutkannya Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhoh

1.

Dan ketahuilah, sesungguhnya wanita yang gila, jika dia mengalami haid dan dimandikan oleh suaminya, maka hukum wanita tersebut sama dengan hukum wanita kafir, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya. Ini adalah pembahasan yang penting. Masalah ini telah disebutkan oleh Imam Ar-Rofi'i dalam bab sifat wudhu, namun tidak disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhoh.

وَاعْلَمْ أَنَّ الْمَاءَ الَّذِي تَوَضَّأَ بِهِ الصَّبِيُّ غَيْرُ طَهُورٍ وَكَذَا الْمَاءُ الَّذِي يَتَوَضَّأُ بِهِ الْمُنْتَفِلُ وَكَذَا مَنْ لَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَ النِّيَّةِ عَلَى الصَّحِيحِ فِي الْجَمِيعِ

Ketahuilah sesungguhnya air yang berwudhu dengan air tersebut anak kecil itu tidak mensucikan. Dan demikian pula air yang berwudhu dengan air tersebut orang yang mengerjakan sunnah. Dan demikian pula orang yang tidak meyakini kewajiban niat, menurut pendapat yang shahih pada semua itu

1.

Air yang telah digunakan untuk berwudhu oleh anak kecil, oleh orang yang akan mengerjakan ibadah sunnah dan oleh orang yang tidak meyakini kewajiban niat tidak dianggap mensucikan (menjadi air musta'mal). Menurut pendapat yang shohih.

ثُمَّ مَا دَامَ الْمَاءُ مُتَرَدِّدًا عَلَى الْعُضْوِ لَا يَثْبُتُ لَهُ حُكْمُ الْاِسْتِعْمَالِ وَلَوْ جَرَى الْمَاءُ مِنْ عُضْوِ الْمُتَوَضِّىءِ إِلَى عُضْوٍ آخَرَ صَارَ مُسْتَعْمَلًا حَتَّى لَوِ انْتَقَلَ مِنْ إِحْدَى الْيَدَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى صَارَ مُسْتَعْمَلًا

Kemudian, selama air itu masih berulang-ulang di atas anggota tubuh, maka air tersebut tidak tetap baginya hukum air mustamal. Dan jika air itu mengalir dari anggota tubuh orang yang berwudu ke anggota tubuh lainnya, maka air tersebut menjadi musta'mal, sehingga jika berpindah dari salah satu tangan ke tangan yang lain, maka air itu menjadi musta'mal.

وَلَوِ انْتَقَلَ الْمَاءُ الَّذِي يَغْلِبُ فِيهِ الْاِنْتِقَالُ مِنْ عُضْوٍ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ ذَلِكَ الْعُضْوِ كَالْحَاصِلِ عِنْدَ نَقْلِهِ مِنَ الْكَفِّ إِلَى السَّاعِدِ وَرَدِّهِ إِلَى الْكَفِّ وَنَحْوِهِ لَا يَضُرُّ انْتِقَالُهُ وَإِنْ خَرَقَهُ الْهَوَاءُ وَهِيَ مَسْأَلَةٌ حَسَنَةٌ ذَكَرَهَا الرَّافِعِيُّ فِي آخِرِ الْبَابِ الثَّانِي مِنْ أَبْوَابِ التَّيَمُّمِ

Dan jika berpindah air yang biasa padanya berpindah dari satu anggota tubuh ke tempat lain dari anggota tubuh tersebut, seperti yang terjadi ketika air tersebut berpindah dari telapak tangan ke lengan bawah, kemudian air tersebut kembali lagi ke telapak tangan dan yang semisalnya, maka tidak merusak  berpindahnya air tersebut, meskipun meniup padanya udara. Ini adalah permasalahan yang baik, Telah menyebutkannya Imam Ar-Rafi'i pada akhir bab kedua dari bab-bab tayamum.

1.

Tidak merusak yakni tidak memengaruhi hukum air tersebut

وَأَهْمَلَهَا النَّوَوِيُّ إِلَّا أَنَّهُ ذَكَرَ هُنَا مِنْ زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ أَنَّهُ لَوِ انْفَصَلَ الْمَاءُ مِنْ بَعْضِ أَعْضَاءِ الْجُنُبِ إِلَى بَعْضِهَا وَجْهَيْنِ: اَلْأَصَحُّ عِنْدَ الْمَاوَرْدِيِّ وَالرُّويَانِيِّ أَنَّهُ لَا يَضُرُّ وَلَا يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا وَالرَّاجِحُ عِنْدَ الْخُرَاسَانِيِّينَ أَنَّهُ يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا

Dan membiarkannya Imam An-Nawawi , kecuali bahwa dia menyebutkan di sini dalam kitab Ziyadatur Raudhah, bahwa jika telah terpisah air dari sebagian anggota tubuh orang yang mandi junub ke sebagian anggota tubuh lainnya, terdapat dua pendapat: Pendapat yang paling shahih menurut imam Al-Mawardi dan Ar-Ruyani adalah bahwa hal itu tidak merusak dan air tersebut tidak menjadi air musta'mal. Sedangkan pendapat yang lebih kuat menurut ulama Khurasan adalah bahwa air tersebut menjadi musta'mal.

1.

Membiarkannya imam An-Nawawi yakni beliau tidak membahasnya secara rinci

وَقَالَ الْإِمَامُ أَنَّ نَقْلَهُ قَصْدًا صَارَ مُسْتَعْمَلًا وَإِلَّا فَلَا وَصَحَّحَ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيقِ أَنَّهُ يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا وَصَحَّحَ ابْنُ الرِّفْعَةِ أَنَّهُ لَا يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا

Dan Imam Haromain berkata: Air yang berpindahnya dengan sengaja, itu menjadi musta'mal ,dan jika tidak sengaja, maka tidak menjadi musta'mal. Dan telah menshohihkan Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tahqiq bahwa air itu menjadi musta'mal, dan telah menshohihkan Imam Ibnu Rif'ah bahwa air itu tidak menjadi musta'mal.

وَلَوِ انْغَمَسَ جُنُبٌ فِي مَاءٍ دُونَ قُلَّتَيْنِ وَعَمَّ جَمِيعَ بَدَنِهِ ثُمَّ نَوَى ارْتَفَعَتْ جَنَابَتُهُ بِلَا خِلَافٍ وَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَعْمَلًا بِالنِّسْبَةِ إِلَى غَيْرِهِ وَلَا يَصِيرُ مُسْتَعْمَلًا بِالنِّسْبَةِ إِلَيْهِ صَرَّحَ بِهِ الْخَوَارِزْمِيُّ 

Dan jika berendam orang yang junub dalam air yang kurang dari dua qullah, dan air tersebut telah meratai seluruh tubuhnya, kemudian dia berniat, maka hilang status junubnya tanpa ada perbedaan pendapat. Dan air tersebut menjadi musta'mal dengan menisbatkan kepada orang lain, dan tidak menjadi musta'mal dengan menisbat kepada dirinya sendiri. Telah menjelaskan pada hal ini Imam Al-Khwarizmi.

حَتَّى إِنَّهُ قَالَ لَوْ أَحْدَثَ حَدَثًا ثَانِيًا حَالَ انْغِمَاسِهِ جَازَ ارْتِفَاعُهُ بِهِ وَإِنْ نَوَى الْجُنُبُ قَبْلَ تَمَامِ الِانْغِمَاسِ ارْتَفَعَتْ جَنَابَتُهُ عَنِ الْجُزْءِ الْمُلَاقِي لِلْمَاءِ بِلَا خِلَافٍ وَلَا يَصِيرُ الْمَاءُ مُسْتَعْمَلًا بَلْ لَهُ أَنْ يُتِمَّ الْاِنْغِمَاسَ وَتَرْتَفِعَ عَنْهُ الْجَنَابَةُ عَنِ الْبَاقِي عَلَى الصَّحِيحِ الْمَنْصُوصِ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ

Bahkan, Al-Khwarizmi berkata bahwa jika seseorang melakukan hadas kedua saat sedang terendam, maka boleh menghilangkan hadas dengan air tersebut. Dan jika berniat orang yang junub sebelum sempurnanya rendaman, maka hilang status junubnya dari bagian tubuh yang terkena denga air tanpa ada perbedaan pendapat, dan air tersebut tidak menjadi musta'mal. Bahkan, diperbolehkan baginya untuk menyempurnakan rendaman dan hilang darinya status junub dari bagian tubuh yang tersisa , menurut pendapat yang shohih yang dinyatakan secara tegas. Allah adalah yang Maha Mengetahui.

Air Mutaghoyyir

قَالَ: (وَالْمُتَغَيِّرُ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ) هٰذَا مِنْ تَتِمَّةِ الْقِسْمِ الثَّالِثِ وَتَقْدِيرُ الْكَلَامِ وَالْمَاءُ الْمُتَغَيِّرُ بِشَيْءٍ مِنَ الطَّاهِرَاتِ طَاهِرٌ فِي نَفْسِهِ غَيْرُ مُطَهَّرٍ كَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ

Telah berkata Syekh Abu Syuja: (Dan air yang berubah dengan sesuatu yang mencampurinya dari sesuatu yang suci) Ini adalah sebagian dari pelengkap pembagian air yang ketiga. Perkiraan kalamnya Imam Abu Syuja adalah: Air yang berubah dengan sesuatu dari benda-benda suci adalah suci pada dzatnya namun tidak dapat mensucikan seperti air musta'mal.

وَضَابِطُهُ أَنَّ كُلَّ تَغَيُّرٍ يَمْنَعُ اسْمَ الْمَاءِ الْمُطْلَقِ يَسْلُبُ الطَّهُورِيَّةَ وَإِلَّا فَلَا فَلَوْ تَغَيَّرَ تَغَيُّرًا يَسِيرًا فَالْأَصَحُّ أَنَّهُ طَهُورٌ لِبَقَاءِ الْاِسْمِ

Dan kaidahnya adalah bahwa setiap perubahan yang dapat mencegah pada nama air mutlak itu menghilangkan status mensucikan dan jika tidak mencegah pada nama air mutlak maka tidak menghilangkan status mensucikan. Jika air berubah dengan perubahan yang sedikit maka menurut pendapat yang paling shohih sesungguhnya air tersebut adalah air suci mensucikan karena tetapnya nama air.

وَقَوْلُهُ بِمَا خَالَطَهُ اِحْتِرَازًا عَمَّا إذَا تَغَيَّرَ بِمَا يُجَاوِرُهُ وَلَوْ كَانَ تَغَيُّرًا كَثِيرًا فَإِنَّهُ بَاقٍ عَلَى طُهُورِيَّتِهِ كَمَا إذَا تَغَيَّرَ بِدُهْنٍ أَوْ شَمْعٍ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ لِبَقَاءِ اسْمِ الْمَاءِ

Perkataan Syekh Abu Syuja: Dengan sesuatu yang mencampurinya adalah sebagai pengecualian dari sesuatu jika air itu berubah dengan sesuatu yang mendampinginya dan walaupun terbukti air tersebut perubahannya banyak karena sesungguhnya air tersebut itu tetap atas sifat mensucikannya sebagaimana jika air berubah dengan minyak atau dengan lilin. Pendapat ini adalah pendapat yang shohih karena tetapnya nama air

1.

مُجَاوَرَةٌ adalah sesuatu yang menempel namun bisa dipisahkan sedangkan مُخَالَطَةٌ adalah sesuatu yang bercampur dan tidak bisa dipisahkan

وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ الْوَاقِعُ فِي الْمَاءِ مِمَّا يُسْتَغْنَى عَنْهُ كَالزَّعْفَرَانِ وَالْجِصِّ وَنَحْوِهِمَا أَمَّا إِذَا كَانَ التَّغَيُّرُ بِمَا لَا يَسْتَغْنِي الْمَاءُ عَنْهُ كَالطِّينِ وَالطُّحْلُبِ وَالنُّورَةِ وَالزَّرْنِيْخِ وَغَيْرِهَا فِي مَقَرِّ الْمَاءِ وَمَمَرِّهِ وَالْمُتَغَيِّرِ بِطُولِ الْمَكْثِ فَإِنَّهُ طَهُورٌ لِلْعُسْرِ وَبَقَاءِ اسْمِ الْمَاءِ

Dan harus terbukti yang jatuh pada air adalah dari sesuatu yang dapat terhindar darinya seperti za'faron, kapur dan yang semisal dari keduanya. Adapun jika terbukti berubah dengan sesuatu yang air tidak bisa menghindar darinya seperti tanah, lumut, apu, arsenik dan selainnya pada tempat tetapnya air dan tempat melewatnya air dan air yang berubah karena lamanya diam maka sesungguhnya air tersebut suci mensucikan karena sulit dan karena tetapnya nama air

1.

Sesuatu yang jatuh pada air jika air dapat terhindar / tidak menyatu darinya maka status air tersebut tetap suci mensucikan seperti air yang kemasukkan za'faron, batu kapur, minyak dan yang semisal dari keduanya namun jika sesuatu yang jatuh pada air tidak dapat terhindar / menyatu dengan air hingga merubah kemutlakan air maka air tersebut menjadi air yang tidak dapat mensucikan.

2.

Jika air tercampur dengan sesuatu yang tidak dapat dihindari yang berada pada tempat tetapnya atau tempat mengalirnya air seperti air yang bercampur dengan lumpur di sungai maka air tersebut dihukumi suci mensucikan karena sulit dan karena tetapnya status kemutlakan air.

3.

Contoh air yang berubah karena lamanya diam adalah air sumur yang disimpan dalam wadah hingga warnanya berubah menjadi kuning, meskipun warna airnya berubah namun status air tersebut tetaplah suci mensucikan.

وَيَكْفِي فِي التَّغَيُّرِ أَحَدُ الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ: الطَّعْمِ أَوِ اللَّوْنِ أَوِ الرَّائِحَةِ عَلَى الصَّحِيحِ وَفِي وَجْهٍ ضَعِيفٍ يُشْتَرَطُ اجْتِمَاعُهَا

Cukup dalam perubahan oleh salah satu dari sifat-sifat yang tiga: Rasa, Warna atau aroma menurut pendapat yang shohih dan menurut pandangan yang lemah disyaratkan berkumpulnya ketiga sifat.

وَلَا فَرْقَ بَيْنَ التَّغَيُّرِ الْمُشَاهِدِ أَوْ التَّغَيُّرِ الْمَعْنَوِيِّ كَمَا إِذَا اخْتَلَطَ بِالْمَاءِ مَا يُوَافِقُهُ فِي صِفَاتِهِ كَمَاءِ الْوَرْدِ الْمُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ وَمَاءِ الشَّجَرِ وَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ

Dan tidak ada perbedaan antara perubahan yang dapat dilihat atau perubahan yang bersifat maknawi (tidak terlihat), sebagaimana jika bercampur dengan air sesuatu yang sesuatu itu sesuai dengan air dalam sifat-sifatnya, seperti air mawar yang telah terputus baunya dan seperti air pohon dan seperti air musta'mal.

فَإِنَّا نَقْدِرُ أَنْ لَوْ كَانَ الْوَاقِعُ يُغَيِّرُهُ بِمَا يُدْرِكُ بِالْحَوَاسِّ وَيَسْلُبُهُ الطَّهُورِيَّةَ فَإِنَّا نَحْكُمُ بِسَلْبِ طَهُورِيَّةِ هَذَا الْمَاءِ الَّذِي وَقَعَ فِيهِ مِنَ الْمَائِعِ مَا يُوَافِقُهُ فِي صِفَاتِهِ وَإِلَّا فَلَا يَسْلُبُهُ الطَّهُورِيَّةَ

Maka sesungguhnya kita memperkirakan bahwa jika terbukti yang bercampur itu dapat merubah air dengan sesuatu yang terlihat oleh indra dan sesuatu itu dapat mencabut status air pada sifat mensucikannya, maka kami memutuskan bahwa telah hilang sifat mensucikan air ini yang jatuh ke dalam air ini dari cairan-cairan suatu benda yang benda tersebut sesuai dengan air dalam sifat-sifatnya, jika tidak terbukti , maka sesuatu itu tidaklah mencabut status air pada sifat mensucikannya.

1.

Hukum air mutlak yang bercampur dengan air mawar yang sudah hilang baunya dapat diperkirakan dengan membandingkannya dengan air mawar yang masih beraroma. Jika campuran tersebut diperkirakan tidak menyebabkan perubahan yang jelas pada air (seperti bau, warna, atau rasa), maka air tersebut tetap suci dan mensucikan. Namun, jika campuran itu diperkirakan menyebabkan perubahan pada kemutlakannya, maka air tersebut tidak lagi mensucikan.

2.

Demikian juga, air mutlak yang bercampur dengan air musta'mal dapat diperkirakan dengan membayangkan perubahan yang terjadi pada aroma, warna, dan rasa. Misalnya, jika kita mencampurkan air mutlak dengan air musta'mal dan membayangkan bahwa air musta'mal itu seperti tinta, kita perlu menilai apakah air tersebut akan berubah sifat kemutlakannya. Jika air tersebut diperkirakan tidak mengalami perubahan yang jelas, maka air itu tetap suci dan mensucikan. Namun, jika air tersebut diperkirakan mengalami perubahan pada kemutalakannya, maka air tersebut tidak lagi mensucikan.

وَلَوْ تَغَيَّرَ الْمَاءُ بِالتُّرَابِ الْمَطْرُوحِ فِيهِ قَصْدًا فَهُوَ طَهُورٌ عَلَى الصَّحِيحِ 

Jika air berubah karena tanah yang dilemparkan ke dalamnya dengan sengaja maka air itu suci mensucikan menurut pendapat yang shohih

وَالْمُتَغَيِّرُ بِالْمِلْحِ فِيهِ أَوْجُهٌ أَصَحُّهَا يَسْلُبُ طَهُورِيَّتَهُ الْجَبَلِيُّ دُونَ الْمَائِيِّ

Air yang berubah karena garam itu di dalamnya ada beberapa pendapat. Pendapat yang paling shohih adalah garam gunung dapat mencabut status mensucikan tidak dengan garam air.

وَلَوْ تَغَيَّرَ الْمَاءُ بِأَوْرَاقِ الْأَشْجَارِ الْمُتَنَاثِرَةِ بِنَفْسِهَا إِنْ لَمْ تَتَفَتَّتْ فِي الْمَاءِ فَهُوَ طَهُورٌ عَلَى الْأَظْهَرِ وَإِنْ تَفَتَّتَتْ وَاخْتَلَطَتْ فَأَوْجُهٌ الْأَصَحُّ أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى طَهُورِيَّتِهِ لِعُسْرِ الْاِحْتِرَازِ عَنْهَا

Jika air berubah dengan sebab dedaunan pohon yang rontok dengan sendirinya jika dedaunan tersebut tidak hancur di dalam air maka air tersebut suci mensucikan menurut qoul adhar dan jika dedaunan tersebut hancur dan dedaunan tersebut bercampur maka ada beberapa pendapat. Menurut pendapat yang shohih sesungguhnya air tersebut tetap atas kesuciannya karena sulitnya menghindari dari campran tersebut

فَلَوْ طُرِحَتِ الْأَوْرَاقُ فِي الْمَاءِ قَصْدًا وَتَغَيَّرَ بِهَا فَالْمَذْهَبُ أَنَّهُ غَيْرُ طَهُورٍ سَوَاءٌ طَرَحَهَا فِي الْمَاءِ صَحِيحَةً أَوْ مَدْقُوقَةً. وَاللّٰهُ أَعْلَمُ

Jika dilempar dedaunan ke dalam air dengan sengaja dan air berubah karenanya maka menurut pendapat madzhab sesungguhnya air tersebut tidak suci mensucikan sama saja melempar daun tersebut dalam keadaan utuh atau sudah dihancurkan. Dan Allah Maha Mengetahui.

Halaman Terkait

  1. Terjemah Kitab Kifayatul Akhyar | Muqoddimah
  2. Terjemah Kitab Kifayatul Akhyar | Hukum Air
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami