Terjemah Kitab Kifayatul Akhyar bagian 13 | Syarat-Syarat Tayamum
بَابُ التَّيَمُّمِ
Bab Tayamum
(فَصْلٌ وَشَرَائِطُ التَّيَمُّمِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ وُجُودُ الْعُذْرِ بِسَفَرٍ أَوْ مَرَضٍ)
(Fasal, dan syarat-syarat tayamum itu ada lima perkara: adanya uzur karena bepergian atau sakit)
التَّيَمُّمُ لُغَةً هُوَ الْقَصْدُ يُقَالُ يَمَّكَ فُلَانٌ بِالْخَيْرِ إِذَا قَصَدَكَ
Tayamum menurut bahasa adalah bermaksud. Dikatakan, “Fulan bermaksud dengan kebaikan” jika ia bermaksud kepadamu.
وَفِي الشَّرْعِ عِبَارَةٌ عَنْ إِيصَالِ التُّرَابِ إِلَى الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ
Dan menurut syariat adalah ungkapan tentang menyampaikan debu ke wajah dan kedua tangan dengan syarat-syarat tertentu.
وَالْأَصْلُ فِي جَوَازِهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَسَنُورِدُ الْأَدِلَّةَ فِي مَوَاضِعِهَا
Dan dasar dibolehkannya tayamum adalah Al-Qur’an dan Sunnah, dan kami akan menyebutkan dalil-dalilnya pada tempat-tempatnya.
ثُمَّ ضَابِطُ جَوَازِ التَّيَمُّمِ الْعَجْزُ عَنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ إِمَّا لِتَعَذُّرِهِ أَوْ لِعُسْرِهِ لِخَوْفِ ضَرَرٍ ظَاهِرٍ
Kemudian batasan diperbolehkannya tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air, baik karena tidak adanya air atau karena sulitnya (menggunakan air) karena khawatir akan bahaya yang nyata.
Catatan Kitab Kifayatul Akhyar Tentang Dhabit1.Perbedaan Kaidah dan Dhabit: Kaidah Fikih bersifat luas karena mencakup banyak bab fikih, umumnya disepakati lintas madzhab, namun sering memiliki pengecualian; sedangkan Dhabith Fikih hanya terbatas pada satu bab, sering diperselisihkan antar ulama, dan jarang memiliki pengecualian.
وَلِلْعَجْزِ أَسْبَابٌ مِنْهَا السَّفَرُ وَالْمَرَضُ وَالْأَصْلُ فِي ذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى ﴿فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا﴾
Dan untuk ketidakmampuan itu ada beberapa sebab, di antaranya adalah bepergian dan sakit. Dan dasar dalam hal itu adalah firman Allah Ta’ala ﴾maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci)﴿.
Catatan Kitab Kifayatul Akhyar Tentang Tayamum1.Q.S An-Nisa Ayat 43
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا الْمَعْنَى وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى فَتَيَمَّمُوا وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
Telah berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, maknanya adalah, “Dan jika kamu sakit, maka bertayamumlah, dan jika kamu dalam perjalanan dan tidak menemukan air, maka bertayamumlah.”
ثُمَّ الْمَاءُ فِي حَقِّ الْمُسَافِرِ لَهُ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
Kemudian air dalam hak seorang musafir baginya ada empat keadaan:
أَحَدُهَا أَنْ يَتَيَقَّنَ عَدَمَ الْمَاءِ حَوَالَيْهِ بِأَنْ يَكُونَ فِي بَعْضِ رِمَالِ الْبَوَادِي فَهَذَا يَتَيَمَّمُ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى الطَّلَبِ عَلَى الرَّاجِحِ لِأَنَّ الطَّلَبَ وَالْحَالَةُ هَذِهِ عَبَثٌ
Yang pertama dari keadaan tersebut adalah, ia yakin tidak ada air di sekitarnya, sekiranya ia berada di sebagian padang pasir, maka dalam keadaan ini ia bertayamum dan tidak perlu mencari menurut pendapat yang rajith, karena mencari dalam keadaan seperti ini adalah sia-sia.
اَلْحَالَةُ الثَّانِيَةُ أَنْ يُجَوِّزَ وُجُودَ الْمَاءِ حَوْلَهُ تَجْوِيزًا قَرِيبًا أَوْ بَعِيدًا فَهَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ الطَّلَبُ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّ التَّيَمُّمَ طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ مَعَ إِمْكَانِ الطَّهَارَةِ بِالْمَاءِ
Keadaan kedua, ia memperkirakan adanya air di sekitarnya, baik perkiraan itu dekat maupun jauh, maka dalam keadaan ini wajib atas orang tersebut mencari tanpa ada perselisihan, karena sesungguhnya tayamum adalah thaharah darurat beserta kemungkinan adanya thaharah dengan air.
اَلْحَالَةُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَتَيَقَّنَ وُجُودَ الْمَاءِ حَوَالَيْهِ وَهَذَا لَهُ ثَلَاثُ مَرَاتِبَ
Keadaan ketiga, ia yakin adanya air di sekitarnya, dan keadaan ini memiliki tiga tingkatan:
اَلْأُولَى أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ عَلَى مَسَافَةٍ يَنْتَشِرُ إِلَيْهَا النَّازِلُونَ لِلْحَطَبِ وَالْحَشِيشِ وَالرَّعْيِ فَيَجِبُ السَّعْيُ إِلَى الْمَاءِ وَلَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ
Tingkatan pertama, bahwa air berada pada jarak yang biasa menyebar kepadanya orang-orang yang singgah untuk mencari kayu bakar, rumput, dan menggembala, maka wajib berusaha menuju air dan tidak boleh bertayamum.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى لَعَلَّهُ يَقْرُبُ مِنْ نِصْفِ فَرْسَخٍ وَهَذِهِ الْمَسَافَةُ فُسِّرَتْ فَوْقَ الْمَسَافَةِ عِنْدَ التَّوَهُّمِ
Telah berkata Muhammad bin Yahya, “Mungkin jaraknya mendekati setengah farsakh.” Dan jarak ini ditafsirkan lebih jauh dari jarak ketika hanya menduga-duga (adanya air).
Catatan Kitab Kifayatul Akhyar Jarak satu Farsakh1.1 Farsakh sama dengan 3 mil
2.1 mil sama dengan 6 KM
3.1 KM sama dengan 1000 Meter
4.Setengah Farsakh berarti 5 mil sama dengan 4 KM
الْمَرْتَبَةُ الثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ بَعِيدًا بِحَيْثُ لَوْ سَعَى إِلَيْهِ خَرَجَ الْوَقْتُ فَهَذَا يَتَيَمَّمُ عَلَى الْمَذْهَبِ لِأَنَّهُ فَاقِدٌ لِلْمَاءِ فِي الْحَالِ
Tingkatan kedua adalah bahwa air berada di tempat yang jauh sekiranya jika ia berusaha menuju ke sana, maka pasti akan keluar waktu shalat, maka dalam kondisi ini ia bertayamum menurut pendapat madzhab karena sesungguhnya ia tidak memiliki air saat itu.
وَلَوْ وَجَبَ انْتِظَارُ الْمَاءِ مَعَ خُرُوجِ الْوَقْتِ لَمَا سَاغَ التَّيَمُّمُ أَصْلًا
Dan seandainya wajib menunggu air beserta keluarnya waktu, niscaya tidak akan diperbolehkan tayamum sama sekali.
Catatan Kitab Kifayatul Akhyar Tentang Tayamum1.Yakni seandainya hukum fikih mewajibkan seseorang mencari air ke tempat yang sangat jauh meskipun waktu shalat akan habis niscaya tidak akan ada hukum tayamum selama air masih ada di dunia ini
بِخِلَافِ مَا لَوْ كَانَ الْمَاءُ مَعَهُ وَخَافَ فَوْتَ الْوَقْتِ لَوْ تَوَضَّأَ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ التَّيَمُّمُ عَلَى الْمَذْهَبِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِفَاقِدٍ لِلْمَاءِ فِي الْحَالِ
Berbeda halnya jika air ada bersamanya dan ia khawatir waktu shalat akan habis jika ia berwudhu, maka sesungguhnya tidak boleh baginya bertayamum menurut pendapat mazhab karena sesungguhnya ia tidak kehilangan air saat itu.
ثُمَّ هَذِهِ الْمَسَافَةُ تُعْتَبَرُ بِوَقْتِ الصَّلَاةِ الْحَاضِرَةِ بِكَمَالِهَا حَتَّى لَوْ وَصَلَ إِلَى مَنْزِلِهِ فِي آخِرِ الْوَقْتِ وَجَبَ قَصْدُ الْمَاءِ وَالْوُضُوءُ وَإِنْ فَاتَ الْوَقْتُ
Kemudian jarak ini diperhitungkan dengan waktu shalat yang sedang berlangsung beserta sempurnanya waktu shalat, sehingga jika ia sampai di tempatnya pada akhir waktu, maka wajib baginya menuju air dan berwudhu meskipun waktunya habis.
Catatan1.Yakni jarak tersebut diperhitungkan dengan waktu shalat yang sedang berlagsung secara sempurna bukan dihitung berdasarkan jarak saat ia sadar akan bertayamum contoh dzhuru misalnya dimulai jam 12:00 sampai 15:00 maka jika pada jam 13:00 ia sadar harus bertayamum karena tidak adanya air maka jarak yang harus dihitung adalah jarak dari jam 12:00 sampai 15:00 bukan jarak dari jam 13:00 sampai 15:00
أَوِ الْاِعْتِبَارُ بِوَقْتِ الطَّلَبِ وَلَا نُظِرَ إِلَى أَوَّلِ الْوَقْتِ
Atau perhitungannya adalah pada waktu mencari (air) dan tidak dilihat pada awal waktu (shalat).
الرَّاجِحُ عِنْدَ الرَّافِعِيِّ الْأَوَّلُ وَهُوَ الِاعْتِبَارُ بِكُلِّ وَقْتِ تِلْكَ الْفَرِيضَةِ
Pendapat yang rajih menurut Imam Ar-Rafi’i adalah yang pertama, yaitu perhitungannya adalah dengan seluruh waktu shalat fardhu tersebut.
وَرَجَّحَ النَّوَوِيُّ الثَّانِيَ وَهُوَ أَنَّ الْاِعْتِبَارَ بِوَقْتِ الطَّلَبِ
Dan Imam Nawawi merajihkan pendapat yang kedua, yaitu bahwa perhitungannya adalah pada waktu mencari.
الْمَرْتَبَةُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ بَيْنَ الْمَرْتَبَتَيْنِ بِأَنْ تَزِيْدَ مَسَافَتُهُ عَلَى مَا يَنْتَشِرُ إِلَيْهِ النَّازِلُونَ وَتَقْصُرَ عَنْ خُرُوجِ الْوَقْتِ
Tingkatan yang ketiga adalah air berada di antara dua tingkatan, karena jarak air tersebut lebih jauh dari jarak orang-orang yang singgah biasa menyebar kepadanya, dan lebih dekat dari (jarak yang menyebabkan) habisnya waktu shalat.
وَفِي ذَلِكَ خِلَافٌ مُنْتَشِرٌ وَالْمَذْهَبُ جَوَازُ التَّيَمُّمِ لِأَنَّهُ فَاقِدٌ لِلْمَاءِ فِي الْحَالِ وَفِي السَّعْيِ زِيَادَةُ مَشَقَّةٍ
Dan dalam hal ini terdapat perselisihan yang menyebar luas, dan pendapat mazhab adalah bolehnya bertayamum karena ia tidak memiliki air saat itu dan dalam usahanya (mencari air) terdapat kesulitan tambahan.
اَلْحَالَةُ الرَّابِعَةُ أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ حَاضِرًا لَكِنْ تَقَعُ عَلَيْهِ زَحْمَةُ الْمُسَافِرِينَ بِأَنْ يَكُونَ فِي بِئْرٍ وَلَا يُمْكِنُ الْوُصُولُ إِلَيْهِ إِلَّا بِآلَةٍ وَلَيْسَ هُنَاكَ إِلَّا آلَةٌ وَاحِدَةٌ
Keadaan yang keempat adalah air ada tetapi terjadi padanya kerumunan para musafir, karena air berada di dalam sumur dan tidak mungkin bisa mencapainya kecuali dengan alat, dan tidak ada disana kecuali hanya ada satu alat.
أَوْ لِأَنَّ مَوْقِفَ الْاِسْتِقَاءِ لَا يَسَعُ إِلَّا وَاحِدًا
Atau karena sesungguhnya tempat mengambil air tidak cukup kecuali satu orang.
وَفِي ذَلِكَ خِلَافٌ وَالرَّاجِحُ أَنَّهُ يَتَيَمَّمُ لِلْعَجْزِ الْحِسِّيِّ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ عَلَى هَذَا الْمَذْهَبِ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ
Dan dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, dan pendapat yang rajih adalah sesungguhnya ia boleh bertayamum karena ketidakmampuan secara hissi, dan tidak ada kewajiban mengulang (shalat) baginya menurut mazhab ini, Wallahu A’lam.
وَأَمَّا الْمَرَضُ فَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Adapun sakit, maka ia terbagi menjadi tiga bagian.
الْأَوَّلُ أَنْ يَخَافَ مَعَهُ بِالْوُضُوءِ فَوْتَ الرُّوحِ أَوْ فَوْتَ عُضْوٍ أَوْ فَوْتَ مَنْفَعَةِ الْعُضْوِ
Yang pertama, seseorang khawatir beserta penyakit dengan berwudhu akan kehilangan nyawa, atau kehilangan anggota badan, atau kehilangan fungsi anggota badan.
وَيُلْحَقُ بِذَلِكَ مَا إِذَا كَانَ بِهِ مَرَضٌ غَيْرُ مَخُوفٍ إِلَّا أَنَّهُ يَخَافُ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ أَنْ يَصِيرَ مَرَضًا مَخُوفًا فَيُبَاحُ لَهُ التَّيَمُّمُ وَالْحَالَةُ هَذِهِ عَلَى الْمَذْهَبِ
Dan disamakan dengan itu sesuatu apabila padanya ada penyakit yang tidak mengkhawatirkan, akan tetapi sesungguhnya ia khawatir sebab menggunakan air penyakitnya akan menjadi penyakit yang mengkhawatirkan, maka dalam keadaan ini diperbolehkan baginya untuk bertayamum. Keadaan ini adalah menurut pendapat madzhab
الْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَخَافَ زِيَادَةَ الْعِلَّةِ وَهُوَ كَثْرَةُ الْأَلَمِ وَإِنْ لَمْ تَزِدِ الْمُدَّةُ أَوْ يَخَافَ بُطْءَ الْبُرْءِ وَهُوَ طُولُ مُدَّةِ الْمَرَضِ وَإِنْ لَمْ يَزِدِ الْأَلَمُ
Bagian yang kedua adalah ia khawatir bertambahnya penyakit, yaitu semakin banyaknya rasa sakit meskipun tidak bertambah masa sakitnya, atau ia khawatir lambat sembuh, yaitu lamanya masa sakit meskipun tidak bertambah rasa sakit,
أَوْ يَخَافَ شِدَّةَ الضَّنَى وَهُوَ الْمَرَضُ الْمُدْنِفُ الَّذِي يَجْعَلُهُ ضَنًى أَوْ يَخَافَ حُصُولَ شَيْنٍ قَبِيحٍ كَالسَّوَادِ عَلَى عُضْوٍ ظَاهِرٍ كَالْوَجْهِ وَغَيْرِهِ مِمَّا يَبْدُو عِنْدَ الْمِهْنَةِ وَهِيَ الْخِدْمَةُ
Atau ia khawatir akan parahnya kelemahan, yaitu penyakit kronis yang membuatnya lemah, atau ia khawatir akan timbulnya cacat yang buruk seperti kehitaman pada anggota badan yang terlihat seperti wajah dan lainnya dari anggota tubuh yang tampak saat bekerja, yaitu melayani.
Catatan Kitab Kifayatul Akhyar Tentang Tayaymum1.Penyakit kronis adalah gangguan kesehatan yang berlangsung lama biasanya satu tahun atau lebih dan memerlukan perawatan medis berkelanjutan
وَفِي جَمِيعِ هَذِهِ الصُّوَرِ خِلَافٌ مُنْتَشِرٌ وَالرَّاجِحُ جَوَازُ التَّيَمُّمِ وَعِلَّةُ الشَّيْنِ الْفَاحِشِ أَنَّهُ يُشَوِّهُ الْخِلْقَةَ وَيَدُومُ ضَرَرُهُ فَأَشْبَهَ تَلَفَ الْعُضْوِ
Dan dalam semua gambaran ini terdapat perbedaan pendapat yang tersebar luas, dan pendapat yang rajih adalah bolehnya bertayamum. Alasan (bolehnya tayamum karena) cacat yang parah adalah karena sesungguhnya ia merusak bentuk fisik dan berlangsung lamanya kemadharatan, maka ia menyerupai rusaknya anggota badan.
الْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَخَافَ شَيْنًا يَسِيرًا كَأَثَرِ الْجُدَرِيِّ أَوْ سَوَادًا قَلِيلًا أَوْ يَخَافَ شَيْنًا قَبِيحًا عَلَى غَيْرِ الْأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ
Bagian yang ketiga adalah ia khawatir akan cacat ringan seperti bekas cacar atau kehitaman yang sedikit, atau ia khawatir akan cacat yang buruk pada selain anggota badan yang terlihat
أَوْ يَكُونَ بِهِ مَرَضٌ لَا يَخَافُ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ مَعَهُ مَحْذُورًا فِي الْعَاقِبَةِ وَإِنْ تَأَلَّمَ فِي الْحَالِ كَجِرَاحَةٍ أَوْ بَرْدٍ أَوْ حَرٍّ فَلَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا بِلَا خِلَافٍ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ
Atau padanya ada penyakit yang tidak mengkhawatirkan sebab menggunakan air beserta sakit itu bahaya di kemudian hari, meskipun ia merasakan sakit saat itu seperti luka, dingin, atau panas, maka tidak boleh bertayamum karena salah satu dari ini tanpa ada perbedaan pendapat, Wallahu A’lam.
[فَرْعٌ] لِلْمَرِيضِ أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى مَعْرِفَةِ نَفْسِهِ فِي كَوْنِ الْمَرَضِ مَخُوفًا إِذَا كَانَ عَارِفًا وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى قَوْلِ طَبِيبٍ حَاذِقٍ فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ غَيْرِ الْحَاذِقِ
[Cabang] Bagi orang sakit hendaknya ia bersandar pada pengetahuan dirinya sendiri tentang keadaan penyakit yang dikhawatirkan jika ia terbukti adalah orang yang mengetahui. Dan boleh baginya untuk bersandar pada perkataan dokter (speasialis) yang ahli, maka tidak diterima perkataan selain dari (dokter spesialis) yang ahli.
وَيُشْتَرَطُ مَعَ حِذْقِهِ الْإِسْلَامُ فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْكَافِرِ لِأَنَّ اللّٰهَ تَعَالَى فَسَّقَهُ فَيُلْغَى مَا أَلْغَاهُ اللّٰهُ وَلَا يَغْتَرُّ بِصَنِيعِ فُقَهَاءِ الرِّجْسِ
Dan disyaratkan beserta keahliannya adalah Islam, maka tidak diterima perkataan orang kafir karena Allāh Ta’ala telah menfasikkannya, maka diabaikanlah apa yang telah Allāh abaikan, dan janganlah tertipu dengan perbuatan para ahli fikih yang kotor.
وَيُشْتَرَطُ فِيهِ أَيْضًا الْبُلُوغُ فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ الصَّبِيِّ
Dan disyaratkan padanya juga baligh, maka tidak diterima perkataan anak kecil.
وَيُشْتَرَطُ فِيهِ الْعَدَالَةُ أَيْضًا فَلَا يُقْبَلُ قَوْلُ الْفَاسِقِ لِأَنَّ اللّٰهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْوُضُوءَ فَلَا يَعْدِلُ عَنْهُ إِلَّا بِقَوْلِ مَنْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ
Dan disyaratkan padanya keadilan juga, maka tidak diterima perkataan orang fasik, karena sesungguhnya Allāh Ta’ala telah mewajibkan wudhu, maka tidak boleh berpaling dari wudhu kecuali dengan perkataan orang yang dapat diterima perkataannya.
وَقَدْ أَلْغَى اللّٰهُ تَعَالَى قَوْلَ الْفَاسِقِ فَيَلْزَمُ مِنْ قَبُولِ قَوْلِ الْفَاسِقِ مُخَالَفَةُ الرَّبِّ فِيمَا أَمَرَ بِهِ وَيُقْبَلُ قَوْلُ الْعَبْدِ وَالْمَرْأَةِ وَيَكْفِي وَاحِدٌ عَلَى الْمَشْهُورِ
Dan sungguh Allāh Ta’ala telah mengabaikan perkataan orang fasik, maka menerima perkataan orang fasik berarti menentang Tuhan dalam apa yang Allah perintahkan padanya. Dan diterima perkataan hamba sahaya dan wanita, dan cukup satu orang menurut pendapat yang masyhur.
وَقِيلَ لَا بُدَّ مِنِ اثْنَيْنِ كَمَا فِي الْمَرَضِ الْمَخُوفِ فِي الْوَصِيَّةِ فَإِنَّ الْمَذْهَبَ الْجَزْمُ بِاشْتِرَاطِ الْعَدَدِ هُنَاكَ
Dan dikatakan harus ada dua orang seperti dalam penyakit yang dikhawatirkan dalam wasiat, karena mazhab menetapkan syarat jumlah di sana.
وَكَانَ الْفَرْقُ أَنَّ فِي الْوَصِيَّةِ يَتَعَلَّقُ ذَلِكَ بِحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ مِنَ الْوَرَثَةِ وَالْمُوصَى لَهُمْ فَاشْتُرِطَ الْعَدَدُ
Dan terbukti perbedaannya adalah bahwa dalam wasiat hal itu berkaitan dengan hak-hak manusia dari ahli waris dan orang yang diwasiatkan, maka disyaratkan jumlah.
وَفِي التَّيَمُّمِ الْحَقُّ لِلّٰهِ تَعَالَى وَحَقُّهُ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمُسَامَحَةِ وَلِأَنَّ الْوُضُوءَ لَهُ بَدَلٌ وَهُوَ التَّيَمُّمُ وَلَا كَذَلِكَ فِي الْوَصِيَّةِ
Dan dalam tayamum, hak itu milik Allāh Ta’ala, dan hak-Nya itu dibangun di atas kemudahan. Dan karena sesungguhnya wudhu itu memiliki pengganti, yaitu tayamum, dan tidak demikian halnya dalam wasiat.
وَلَوْ لَمْ يُوجَدْ طَبِيبٌ بِشُرُوطِهِ قَالَ الرُّويَانِيُّ قَالَ السِّنْجِيُّ لَا يَتَيَمَّمُ قَالَ النَّوَوِيُّ وَلَمْ أَرَ لِغَيْرِهِ مَا يُخَالِفُهُ وَلَا مَا يُوَافِقُهُ
Dan jika tidak ditemukan dokter dengan syarat-syaratnya, telah berkata Imam Ar-Ruyani, telah berkata Imam As-Sinji, “tidak boleh bertayamum.” Telah berkata Imam An-Nawawi, “Dan aku tidak melihat dari selain Imam As-Sinji ulama yang menyelisihinya dan tidak pula ulama yang menyetujuinya.”
قَالَ الْإِسْنَائِيُّ وَفِي فَتَاوَى الْبَغَوِيِّ الْجَزْمُ بِأَنَّهُ يَتَيَمَّمُ فَتَعَارَضَ الْجَوَابَانِ وَإِيجَابُ الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ مَعَ الْجَهْلِ بِحَالِ الْعِلَّةِ الَّتِي هِيَ مَظِنَّةُ الْهَلَاكِ بَعِيدٌ عَنْ مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ
Telah berkata Imam Al-Isnawi, “Dan dalam kitab Fatawa Imam Al-Baghawi, yang pasti adalah bahwa ia boleh bertayamum.” Maka kedua jawaban itu saling bertentangan. Dan mewajibkan wudhu dan mandi dengan ketidaktahuan tentang keadaan penyakit yang pennyakit itu menjadi dugaan kebinasaan adalah jauh dari keindahan syariat.
فَنَسْتَخِيرُ اللّٰهَ تَعَالَى وَنُفْتِي بِمَا قَالَهُ الْبَغَوِيُّ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ.
Maka kami memohon pilihan kepada Allāh Ta’ala dan kami berfatwa dengan apa yang telah Imam Al-Baghawi katakan, Wallāhu A’lam.
قَالَ: (وَدُخُولُ وَقْتِ الصَّلَاةِ وَطَلَبُ الْمَاءِ وَتَعَذُّرُ اسْتِعْمَالِهِ) يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ التَّيَمُّمِ دُخُولُ وَقْتِ الصَّلَاةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا﴾ الْآيَةَ
Telah berkata Imam Abu Syuja: (Dan masuknya waktu shalat, mencari air, dan ketidak mampuan menggunakannya). Disyaratkan untuk sahnya tayamum masuknya waktu shalat karena firman Allāh Ta’ala ﴾Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah﴿ Al-Ayat.
وَالْقِيَامُ إِلَيْهَا لَا يَكُونُ إِلَّا بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ خَرَجَ الْوُضُوءُ بِدَلِيلٍ وَبَقِيَ التَّيَمُّمُ عَلَى ظَاهِرِ الْآيَةِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Dan mengerjakan shalat itu tidak ada kecuali setelah masuk waktu. Tidak termasuk wudhu karena dalil, dan tersisa tayamum berdasarkan zhahir ayat karena sabda Nabi ﷺ:
[جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَتُرَابُهَا طَهُورًا أَيْنَمَا أَدْرَكَتْنِي الصَّلَاةُ تَيَمَّمْتُ وَصَلَّيْتُ].
[Telah dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan debunya itu suci, di mana pun shalat menemuiku, aku bertayamum dan aku shalat].
وَلِأَنَّ التَّيَمُّمَ طَهَارَةُ ضَرُورَةٍ وَلَا ضَرُورَةَ إِلَيْهِ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ
Dan karena sesungguhnya tayamum adalah bersuci darurat, dan tidak ada darurat pada tayamum sebelum masuk waktu shalat, Wallāhu A’lam.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ التَّيَمُّمِ طَلَبُ الْمَاءِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا﴾ا أُمِرْنَا بِالتَّيَمُّمِ عِنْدَ عَدَمِ الْوِجْدَانِ وَلَا يُعْلَمُ عَدَمُهُ إِلَّا بِالطَّلَبِ
Dan disyaratkan untuk sahnya tayamum mencari air karena firman Allāh Ta’ala ﴾Sedangkan kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah﴿. Kita diperintahkan untuk bertayamum ketika tidak menemukan (air), dan tidak dapat diketahui ketidak adaan air kecuali dengan mencari.
وَيُشْتَرَطُ فِي الطَّلَبِ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ لِأَنَّهُ وَقْتُ الضَّرُورَةِ وَلَهُ أَنْ يَطْلُبَ بِنَفْسِهِ وَكَذَا يَكْفِيهِ طَلَبُ مَنْ أَذِنَ لَهُ عَلَى الصَّحِيحِ
Dan disyaratkan dalam mencari (air) hendaknya terbukti setelah masuk waktu karena sesungguhnya itu adalah waktu darurat. Dan baginya boleh untuk mencari sendiri, dan demikian pula cukup baginya pencarian dari orang yang telah ia izinkan untuk mencari air menurut pendapat yang shahih.
قُلْتُ أَنْ يُشْتَرَطَ أَنْ يَكُونَ مَوْثُوقًا بِهِ فِي الطَّلَبِ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ وَلَا يَكْفِي طَلَبُ مَنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ بِلَا خِلَافٍ
Aku berkata: disyaratkan hendaknya terbukti orang yang dipercaya dalam mencari (air), Wallāhu A’lam, dan tidak cukup pencarian dari orang yang tidak ia izinkan untuk mencari air tanpa ada perselisihan.
وَكَيْفِيَّةُ الطَّلَبِ أَنْ يُفَتِّشَ رَحْلَهُ لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُونَ فِي الرَّحْلِ مَاءٌ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ بِهِ
Dan tata cara mencari adalah hendaknya ia memeriksa barang bawaannya karena kemungkinan ada di dalam barang bawaannya air sedangkan ia tidak menyadarinya.
فَإِنْ لَمْ يَجِدْ نَظَرَ يَمِينًا وَشِمَالًا وَأَمَامًا وَخَلْفًا إِنِ اسْتَوَى مَوْضِعُهُ وَيَخُصُّ مَوَاضِعَ الْخُضْرَةِ وَاجْتِمَاعَ الطَّيْرِ بِمَزِيدِ احْتِيَاطٍ
Maka jika ia tidak menemukan, ia melihat ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang jika tempatnya datar, dan ia mengkhususkan tempat-tempat yang hijau dan tempat berkumpulnya burung dengan lebih berhati-hati.
فَإِنْ لَمْ يَسْتَوِ الْمَوْضِعُ نُظِرَ إِنْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَوْ تَرَدَّدَ لَمْ يَجِبِ التَّرَدُّدُ لِأَنَّ هَذَا الْخَوْفَ يُبِيْحُ لَهُ التَّيَمُّمَ عِنْدَ تَيَقُّنِ الْمَاءِ فَعِنْدَ التَّوَهُّمِ أَوْلَى
Maka jika tidak datar tempatnya, maka dilihat, jika ia khawatir atas dirinya atau hartanya jika ia bolak-balik (mencari), maka tidak wajib bolak-balik (mencari), karena kekhawatiran ini membolehkan baginya bertayamum ketika yakin ada air, maka ketika hanya menduga (adanya air) lebih utama (untuk boleh tayamum).
فَإِنْ لَمْ يَخَفْ وَجَبَ عَلَيْهِ التَّرَدُّدُ إِلَى حَدٍّ يَلْحَقُ غَوْثَ الرِّفَاقِ مَعَ مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ التَّشَاغُلِ يَشْغَلُهُمْ وَالتَّفَاوُضِ فِي أَقْوَالِهِمْ
Jika ia tidak khawatir, maka wajib atasnya bolak-balik (mencari) sampai batas pertolongan teman-temannya dapat menyusul, beserta urusan mereka dari kesibukan yang menyibukkan mereka dan sibuk dalam perbincangan dalam ucapan-ucapan mereka.
وَيَخْتَلِفُ ذَلِكَ بِاسْتِوَاءِ الْأَرْضِ وَاخْتِلَافِهَا صُعُودًا وَهُبُوطًا فَإِنْ كَانَ مَعَهُ رُفْقَةٌ وَجَبَ سُؤَالُهُمْ إِلَى أَنْ يَسْتَوْعِبَهُمْ أَوْ يَضِيقَ الْوَقْتُ فَلَا يَبْقَى إِلَّا مَا يَسَعُ الصَّلَاةَ عَلَى الرَّاجِحِ
Dan hal itu berbeda-beda tergantung datarnya tanah dan perbedaannya, baik menanjak maupun menurun. Jika bersamanya ada rombongan, maka ia wajib menanyai mereka sampai mencakup semuanya atau sampai sempitnya waktu sehingga tidak tersisa kecuali waktu yang cukup untuk shalat menurut pendapat yang rajih.
وَقِيلَ يَسْتَوْعِبُهُمْ وَلَوْ خَرَجَ الْوَقْتُ وَلَا يَجِبُ أَنْ يَطْلُبَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الرُّفْقَةِ بِعَيْنِهِ بَلْ يَكْفِي أَنْ يُنَادِيَ فِيهِمْ مَنْ مَعَهُ مَاءٌ مَنْ يَجُودُ بِالْمَاءِ وَنَحْوِهِ
Dan dikatakan (pendapat lain), ia harus mencakup (menanyai) mereka semua meskipun telah keluar waktu (shalatnya). Dan tidak wajib dia meminta dari setiap orang dari rombongan satu persatu, tetapi cukup ia menyeru di antara mereka, “Siapa yang punya air, siapa yang menemukan air,” dan sejenisnya.
وَلَوْ بَعَثَ النَّازِلُونَ ثِقَةً يَطْلُبُ لَهُمْ كَفَاهُمْ كُلُّهُمْ ثُمَّ مَتَىٰ عَرَفَ مَعَهُمْ مَاءً وَجَبَ عَلَيْهِ طَلَبُهُ وَلَوْ كَانَ عَلَىٰ وَجْهِ الْهِبَةِ عَلَى الرَّاجِحِ
Dan jika orang-orang yang singgah mengutus orang yang terpercaya untuk mencari (air) bagi mereka, maka cukuplah bagi mereka semua. Kemudian kapan pun orang yang terpercaya itu mengetahui ada air bersama mereka, maka wajib atasnya untuk memintanya meskipun terbukti dengan cara hibah menurut pendapat yang rajih.
وَلَوْ أُعِيرَ الدَّلْوُ وَجَبَ قَبُولُهُ وَلَوْ أُقْرِضَ الْمَاءُ وَجَبَ قَبُولُهُ عَلَى الصَّحِيحِ
Dan jika dipinjami timba, maka wajib menerimanya. Dan jika diberi pinjaman air, maka wajib menerimanya menurut pendapat yang shahih.
وَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَشْتَرِيَ مَاءَ الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ وَيَصْرِفَ إِلَيْهِ أَيَّ نَوْعٍ كَانَ مَعَهُ مِنَ الْمَاءِ إِلَّا أَنْ يَحْتَاجَ إِلَى الثَّمَنِ لِمُؤْنَةٍ مِنْ مُؤَنِ سَفَرِهِ فِي ذِهَابِهِ وَإِيَابِهِ فَلَا يَجِبُ الشِّرَاءُ حِينَئِذٍ
Dan wajib atasnya untuk membeli air wudhu dan mandi, dan ia harus mengganti air tersebut dengan apa pun yang ada bersamanya, kecuali jika ia membutuhkan ongkos untuk bekal dari bekal bekal perjalanannya, untuk keberangkatannya dan kepulangannya, maka tidak wajib membeli saat itu.
وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِزِيَادَةٍ عَلَىٰ ثَمَنِ مِثْلِهِ وَإِنْ قَلَّتِ الزِّيَادَةُ عَلَى الرَّاجِحِ
Dan tidak wajib atasnya untuk membelinya dengan harga yang lebih mahal dari harga sepadannya, meskipun sedikit kelebihannya menurut pendapat yang rajih.
وَلَوْ لَمْ يُعِرْهُ أَحَدٌ آلَةَ الْاِسْتِقَاءِ إِلَّا بِالْأُجْرَةِ وَجَبَ عَلَيْهِ إِجَارَتُهَا بِأُجْرَةِ الْمِثْلِ
Dan jika tidak ada seorang pun yang meminjamkannya alat untuk mengambil air kecuali dengan upah, maka wajib atasnya untuk menyewanya dengan upah yang sepadan.
وَلَوْ قَدَرَ عَلَىٰ أَنْ يُدْلِيَ عِمَامَتَهُ فِي الْبِئْرِ وَيَعْصِرُهَا وَجَبَ عَلَيْهِ ذَلِكَ
Dan jika ia mampu untuk mengulurkan sorbannya ke dalam sumur dan memerasnya, maka wajib atasnya untuk melakukan hal itu.
فَلَوْ لَمْ تَصِلْ إِلَى الْمَاءِ وَأَمْكَنَ شَقُّهَا شَقَّهَا وَشَدَّ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ لِتَصِلَ لَزِمَهُ ذَلِكَ إِذَا لَمْ يَحْصُلْ فِي الثَّوْبِ نَقْصٌ يَزِيدُ عَلَىٰ ثَمَنِ الْمَاءِ أَوْ أُجْرَةِ الْحَبْلِ
Jika (sorban itu) tidak sampai ke air dan memungkinkan untuk merobeknya, maka ia harus merobeknya dan mengikat sebagiannya dengan sebagian yang lain agar sampai, hal itu wajib baginya jika tidak terjadi pada kain itu kerusakan yang nilainya melebihi harga air atau upah tali.
وَفِي ضَبْطِ ثَمَنِ الْمِثْلِ أَوْجُهٌ الرَّاجِحُ ثَمَنُهُ فِي ذَلِكَ الْمَوْضِعِ وَتِلْكَ الْحَالَةِ
Dan dalam dhobit harga yang sepadan ada beberapa pendapat, pendapat yang rajih adalah harganya di tempat itu dan pada kondisi itu.
وَقَوْلُهُ وَتَعَذُّرُ اسْتِعْمَالِهِ يَشْمَلُ أَنْوَاعَ أَسْبَابِ إِبَاحَةِ التَّيَمُّمِ وَقَدْ مَرَّ ذِكْرُ السَّفَرِ وَالْمَرَضِ
Dan perkata Syekh Abu Syuja “dan tidak mampu menggunakan air"itu mencakup berbagai macam sebab dibolehkannya tayamum, dan telah lewat penjelasan tentang bepergian dan sakit.
وَمِنْ أَسْبَابِ الْإِبَاحَةِ أَيْضًا مَا إِذَا كَانَ بِقُرْبِهِ مَاءٌ وَيَخَافُ لَوْ سَعَىٰ إِلَيْهِ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِنْ سَبُعٍ أَوْ عَدُوٍّ عِنْدَ الْمَاءِ
Dan di antara sebab-sebab dibolehkannya (tayamum) juga adalah apabila ada air di dekatnya dan ia khawatir jika ia berusaha menuju ke sana akan membahayakan dirinya dari binatang buas atau musuh di dekat air.
أَوْ يَخَافُ عَلَىٰ مَالِهِ الَّذِي مَعَهُ أَوِ الْمُخَلَّفِ فِي رَحْلِهِ مِنْ غَاصِبٍ أَوْ سَارِقٍ وَإِنْ كَانَ فِي سَفِينَةٍ لَوِ اسْتَقَىٰ اسْتَلْقَىٰ فِي الْبَحْرِ فَلَهُ التَّيَمُّمُ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ
Atau ia khawatir atas hartanya yang bersamanya atau yang ditinggalkan di barang bawaannya dari perampas atau pencuri. Dan jika ia berada di dalam kapal, jika ia mengambil air, ia akan jatuh ke laut, maka baginya boleh bertayamum dalam semua keadaan itu.
وَلَوْ خَافَ الْاِنْقِطَاعَ عَنِ الرُّفْقَةِ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ لَوْ قَصَدَ الْمَاءَ فَلَهُ التَّيَمُّمُ قَطْعًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ ضَرَرٌ فَخِلَافٌ الرَّاجِحُ أَنَّ لَهُ أَنْ يَتَيَمَّمَ لِلْوَحْشَةِ
Dan jika ia khawatir terpisah dari rombongan, jika ada bahaya baginya jika ia menuju air, maka baginya boleh bertayamum secara pasti. Dan jika tidak ada bahaya baginya, maka ada perbedaan pendapat, pendapat yang rajih adalah bahwa ia boleh bertayamum karena kesendirian.
وَمِنْ أَسْبَابِ إِبَاحَةِ التَّيَمُّمِ الْحَاجَةُ إِلَى الْعَطَشِ إِمَّا لِعَطَشِهِ أَوْ عَطَشِ رَفِيقِهِ أَوْ عَطَشِ حَيَوَانٍ مُحْتَرَمٍ فِي الْحَالِ أَوْ فِي الْمُسْتَقْبَلِ
Dan di antara sebab-sebab dibolehkannya tayamum adalah kebutuhan karena haus, baik karena haus dirinya sendiri, atau karena haus temannya, atau karena haus hewan-hewan yang dihormati, pada saat itu atau pada masa yang akan datang.
وَلَوْ مَاتَ رَجُلٌ وَلَهُ مَاءٌ وَرُفْقَتُهُ عِطَاشٌ شَرِبُوهُ وَيَمَّمُوهُ وَوَجَبَ عَلَيْهِمْ ثَمَنُهُ وَجَعَلَهُ فِي مِيرَاثِهِ وَثَمَنُهُ قِيمَتُهُ فِي مَوْضِعِ الْإِتْلَافِ فِي وَقْتِهِ
Dan jika seorang laki-laki meninggal dan ia memiliki air sedangkan teman-temannya kehausan, maka mereka boleh meminumnya dan mentayamumkannya, dan wajib atas mereka membayar harganya dan menjadikan harga tersebut sebagai bagian dalam warisannya, dan harganya adalah nilainya di tempat dipakai pada waktunya.
وَمِنَ الْأَسْبَابِ عَدَمُ اسْتِعْمَالِهِ لِأَجْلِ الْجِرَاحَةِ وَفِي مَعْنَاهَا كَالدَّمَامِلِ وَنَحْوِهَا سَوَاءٌ كَانَ ثَمَّ جَبِيرَةٌ أَمْ لَا
Dan di antara sebab-sebab (boleh bertayamum) adalah tidak menggunakan air karena adanya luka, dan yang semakna dengannya seperti bisul dan sejenisnya, baik disana ada perban atau tidak.
وَقَدْ ذَكَرَهَا الشَّيْخُ بَعْدَ ذَلِكَ لِأَجْلِ حُكْمِ الْقَضَاءِ وَلِلْعَطْشَانِ أَنْ يَأْخُذَ الْمَاءَ مِنْ صَاحِبِهِ قَهْرًا إِذَا لَمْ يُبْذِلْهُ بِشَرْطِ عَدَمِ احْتِيَاجِهِ إِلَيْهِ وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ
Dan sungguh Syaikh Abu Syuja telah menyebutkannya setelah itu untuk menjelaskan hukum qadha, dan bagi orang yang kehausan hendaknya mengambil air dari pemiliknya secara paksa jika ia tidak memberikannya dengan syarat pemiliknya tidak membutuhkannya, dan ia wajib membayar nilainya, Wallahu A’lam.