Terjemah Kitab Tanqihul Qoul Bab 5 | Keutamaan Iman
Nama kitab | : | Tanqihul Qoul |
Judul kitab Arab | : | تنقيح القول الحثيث |
Judul terjemah | : | Terjemah Kitab Tanqihul Qoul |
Mata Pelajaran | : | Hadits, Keutamaan Amal |
Musonif | : | Syekh Nawawi al-Bantani |
Nama Arab | : | الشيخ محمد بن عمر النووي البنتني |
Lahir | : | 813 Masehi; 1230 H, Tanara, Banten, Indonesia |
Wafat | : | 1897 M; 1316 H, Pemakaman Ma'la Makkah Al-Mukarramah, w. 672 H / 22 Februari 1274 M |
Penerjemah | : | Ahsan Dasuki |
Tanqihul Qoul Bab ke

الباب الخامس: في فضيلة الإيمان
Bab Yang Kelima Tentang Keutamaan Iman
Muqoddimah
وَهُوَ فِى اللُّغَةِ تَصْدِيْقُ الْقَلْبِ الْمُتَضَمِّنُ لِلْعِلْمِ بِالْمُصَدَّقِ بِهِ، وَهُوَ فِى الشَّرِيْعَةِ التَّصْدِيْقُ، وَهُوَ الْعِلْمُ بِاللّٰهِ وَصِفَاتِهِ مَعَ جَمِيْعِ الطَّاعَاتِ الْوَاجِبَاتِ مِنْهَا وَالنَّوَافِلِ، وَاجْتِنَابِ الزَّلَّاتِ وَالْمَعَاصِى،
Iman secara bahasa adalah pembenaran hati yang mengandung pengetahuan tentang apa yang dibenarkan, dan secara syariat adalah pembenaran, yaitu pengetahuan tentang Allāh dan sifat-sifat-Nya beserta semua ketaatan, yang wajib dari ketaatan tersebut dan yang sunnah, serta menjauhi kesalahan dan maksiat.
وَيَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ: اَلْإِيْمَانُ هُوَ الدِّيْنُ وَالشَّرِيْعَةُ وَالْمِلَّةُ، لِأَنَّ الدِّيْنَ هُوَ مَا يُدَانُ بِهِ مِنَ الطَّاعَاتِ مَعَ اجْتِنَابِ الْمَحْظُوْرَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ، وَذٰلِكَ هُوَ صِفَةُ الْإِيْمَانِ.
Dan boleh dikatakan: Iman adalah agama, syariat, dan millah, karena sesungguhnya agama adalah apa yang dipatuhi berupa ketaatan-ketaatan beserta menjauhi hal-hal yang dilarang dan diharamkan, dan itulah sifat iman.
وَأَمَّا الْإِسْلَامُ فَهُوَ مِنْ جُمْلَةِ الْإِيْمَانِ، وَكُلُّ إِيْمَانٍ إِسْلَامٌ وَلَيْسَ كُلُّ إِسْلَامٍ إِيْمَانًا، لِأَنَّ الْإِسْلَامَ هُوَ بِمَعْنَى الْاِسْتِسْلَامِ وَالْاِنْقِيَادِ، فَكُلُّ مُؤْمِنٍ مُسْتَسْلِمٌ مُنْقَادٌ لِلّٰهِ تَعَالَى، وَلَيْسَ كُلُّ مُسْلِمٍ مُؤْمِنًا بِاللّٰهِ، لِأَنَّهُ قَدْ يُسْلِمُ مَخَافَةَ السَّيْفِ،
Adapun Islam, maka ia adalah bagian dari iman, dan setiap iman adalah Islam, tetapi tidak setiap Islam adalah iman, karena sesungguhnya Islam yaitu bermakna penyerahan diri dan kepatuhan, maka setiap orang mukmin adalah orang yang menyerahkan diri dan patuh kepada Allāh Ta’ala, dan tidaklah setiap orang muslim adalah orang yang beriman kepada Allāh, karena terkadang ia masuk Islam karena takut pedang.
فَالْإِيْمَانُ اسْمٌ يَتَنَاوَلُ مُسَمَّيَاتٍ كَثِيْرَةً أَقْوَالًا وَأَفْعَالًا، فَيَعُمُّ جَمِيْعَ الطَّاعَاتِ، وَالْإِسْلَامُ عِبَارَةٌ عَنِ الشَّهَادَتَيْنِ مَعَ طُمَأْنِيْنَةِ الْقَلْبِ وَالْعِبَادَاتِ الْخَمْسِ كَذَا قَالَهُ سَيِّدِي الشَّيْخُ عَبْدُ الْقَادِرِ الْجِيْلَانِيُّ:
Maka iman adalah nama yang mencakup banyak hal yang dinamai, baik ucapan maupun perbuatan, sehingga ia berlaku pada semua ketaatan, dan Islam adalah ungkapan dari dua kalimat syahadat beserta ketenangan hati dan ibadah-ibadah yang lima, demikianlah telah berkata tentangnya tuanku Syekh Abdul Qadir al-Jilani:
Hadits 1:
(قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْإِيْمَانُ مَعْرِفَةٌ) وَفِي رِوَايَةٍ لِابْنِ مَاجَهْ أَيْضًا يَدُلُّ ذٰلِكَ عَقْدٌ (بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ) وَهُوَ النُّطْقُ بِالشَّهَادَتَيْنِ كَمَا قَالَهُ الْقَسْطَلَانِيُّ (وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ)
(Telah bersabda Nabi ﷺ: Iman adalah pengetahuan) dan dalam riwayat milik Imam Ibnu Majah juga menunjukkan bahwa itu adalah ikatan (dengan hati dan ucapan dengan lisan) yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat sebagaimana telah berkata tentangnya Imam Al-Qasthalani (dan amal dengan anggota badan)
وَالْمُرَادُ أَنَّ الْأَعْمَالَ شَرْطٌ فِي كَمَالِ الْإِيْمَانِ، وَأَنَّ الْإِقْرَارَ اللِّسَانِيَّ يُعْرِبُ عَنِ التَّصْدِيْقِ النَّفْسَانِيِّ كَذَا قَالَهُ الْعَزِيْزِيُّ نَقْلًا عَنِ ابْنِ حَجَرٍ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالطَّبَرَانِيُّ عَنْ عَلِيٍّ، وَهُوَ حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ.
dan yang dimaksud adalah bahwa amal-amal itu syarat dalam kesempurnaan iman, dan bahwa pengakuan lisan itu mengungkapkan pembenaran jiwa, demikianlah telah berkata tentangnya Imam Al-‘Azizi mengutip dari Imam Ibnu Hajar, Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Ibnu Majah dan Imam Ath-Thabrani dari Ali, dan ini adalah hadits yang lemah.
Hadits 2:
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْإِيْمَانُ عُرْيَانٌ وَلِبَاسُهُ التَّقْوَى) وَهِيَ تَنْزِيْهُ الْقَلْبِ عَنِ الذُّنُوْبِ (وَزِيْنَتُهُ الْحَيَاءُ) أَيْ مِنَ اللّٰهِ تَعَالَى فِي إِتْيَانِ نَهْيِهِ (وَثَمْرَتُهُ الْعِلْمُ) أَيْ مِنَ الْعَمَلِ.
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Iman itu telanjang dan pakaiannya adalah takwa) Takwa adalah membersihkan hati dari dosa-dosa (dan perhiasannya adalah rasa malu) yaitu dari Allāh Ta’ala dalam mengerjakan larangan-Nya (dan buahnya adalah ilmu) yaitu dari amal.
Hadits 3:
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا إِيْمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ) أَيْ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ مَنْ أَمِنَهُ الْخَلْقُ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ، فَمَنْ خَانَ وَجَارَ فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ.
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah) yakni, karena sesungguhnya orang mukmin adalah orang yang makhluk merasa aman kepadanya atas diri dan harta mereka, maka barangsiapa yang berkhianat dan berbuat zalim, maka ia bukanlah seorang mukmin.
وَأَرَادَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْيَ الْكَمَالِ لَا الْحَقِيْقَةِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ حِبَّانَ عَنْ أَنَسٍ.
Dan maksud Nabi ﷺ adalah menafikan kesempurnaan (iman), bukan hakikat (iman). Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Ahmad dan Imam Ibnu Hibban dari Anas.
Hadits 4:
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) إِيْمَانًا كَامِلًا (حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ عَنْ أَنَسٍ
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian) dengan iman yang sempurna (sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri) Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Ahmad, Imam Bukhari,Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah dari Anas.
قَالَ إِبْرَاهِيْمُ الشَّبْرَخِيْتِيُّ: وَوَقَعَ فِي رِوَايَةِ الْإِسْمَاعِيْلِيِّ [حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ مَا يُحِبُّهُ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ]،
Telah berkata Syekh Ibrahim asy-Syabrakhiti: Dan terdapat dalam riwayat al-Isma’ili [“sampai ia mencintai untuk saudaranya yang muslim apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”],
وَالظَّاهِرُ أَنَّ التَّعْبِيْرَ بِالْأَخِ الْمُسْلِمِ جَرَى عَلَى الْغَالِبِ، لِأَنَّهُ يَنْبَغِي لِكُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يُحِبَّ لِلْكَافِرِ الْإِسْلَامَ، وَمَا يَتَفَرَّعُ عَلَيْهِ مِنَ الْكَمَالَاتِ
dan yang zhahir adalah bahwa ungkapan “saudara muslim” itu berlaku secara umum, karena sesungguhnya seyogyanya bagi setiap muslim untuk mencintai bagi orang kafir agar masuk Islam, dan apa yang bercabang darinya berupa kesempurnaan-kesempurnaan.
وَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ الْأَرْبَعِيْنَ وَابْنُ الْعِمَادِ: الْأَوَّلُ أَنْ يُحْمَلَ ذٰلِكَ عَلَى عُمُوْمِ الْإِخْوَةِ حَتَّى يَشْمُلَ الْكَافِرَ وَالْمُسْلِمَ،
Dan telah berkata Imam an-Nawawi dalam Syarah Arba’in dan Syekh Ibnu al-‘Imad: Yang pertama adalah bahwa hal itu dibawa kepada keumuman persaudaraan sehingga mencakup orang kafir dan muslim,
فَيُحِبُّ لِأَخِيْهِ الْكَافِرِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنْ دُخُوْلِهِ فِي الْإِسْلَامِ، كَمَا يُحِبُّ لِأَخِيْهِ الْمُسْلِمِ دَوَامَهُ عَلَى الْإِسْلَامِ، وَلِهٰذَا كَانَ الدُّعَاءُ بِالْهِدَايَةِ لِلْكَافِرِ مُسْتَحَبًّا.
maka ia mencintai untuk saudaranya yang kafir apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri yakni masuknya ia ke dalam Islam, sebagaimana ia mencintai untuk saudaranya yang muslim agar ia tetap dalam Islam, dan oleh karena itu terbukti mendoakan hidayah untuk orang kafir adalah dianjurkan.
Hadits 5:
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْإِيْمَانُ فِي صَدْرِ الْمُؤْمِنِ، وَلَا يَتِمُّ الْإِيْمَانُ إِلَّا بِتَمَامِ الْفَرَائِضِ وَالسُّنَنِ) أَيْ بِأَدَائِهِمَا تَامَّيْنِ (وَلَا يَفْسُدُ الْإِيْمَانُ إِلَّا بِجُحُوْدِ الْفَرَائِضِ وَالسُّنَنِ) أَيْ بِإِنْكَارِهِمَا
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Iman itu di dalam dada orang mukmin, dan tidaklah sempurna iman kecuali dengan sempurnanya fardhu-fardhu dan sunnah-sunnah) yaitu dengan melaksanakan keduanya secara sempurna (dan tidaklah rusak iman kecuali dengan mengingkari fardhu-fardhu dan sunnah-sunnah) yaitu dengan mengingkari keduanya
(فَمَنْ نَقَصَ فَرِيْضَةً) أَيْ وَاحِدَةً (بِغَيْرِ جُحُوْدٍ) أَيْ إِنْكَارٍ بِفَرْضِيَّتِهَا (عُوْقِبَ عَلَيْهَا) أَيْ عَلَى تَرْكِ تِلْكَ الْفَرِيْضَةِ، أَمَّا إِذَا تَرَكَ فَرِيْضَةً مَعَ إِنْكَارِ وُجُوْبِهَا فَقَدْ كَفَرَ
(maka barangsiapa mengurangi satu fardhu) yakni satu (tanpa mengingkari) yakni tanpa mengingkari kefardhuannya (ia akan disiksa karenanya) yaitu atas meninggalkan fardhu tersebut, adapun jika ia meninggalkan satu fardhu beserta mengingkari kewajibannya maka ia telah kafir
(وَمَنْ أَتَمَّ الْفَرَائِضَ) بِأَنْ أَدَّاهَا تَامَّةً (وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ) ثُمَّ إِذَا أَتَمَّ السُّنَنَ فَقَدْ زَادَ فِي مَرْتَبَتِهِ فِي الْجَنَّةِ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ.
(dan barangsiapa menyempurnakan fardhu-fardhu) dengan cara ia melaksanakannya secara sempurna (maka wajib baginya surga) kemudian jika ia menyempurnakan sunnah-sunnah maka sungguh telah bertambah tingkatannya di surga. Wallahu A’lam
Hadits 6:
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْإِيْمَانُ لَا يَزِيْدُ وَلَا يَنْقُصُ وَلٰكِنْ لَهُ حَدٌّ، أَيْ تَعْرِيْفٌ بِذِكْرِ أَفْرَادِ فُرُوْعِ الْإِيْمَانِ، فَإِنْ نَقَصَ فَفِي حَدِّهِ) أَيْ فَإِنْ نَقَصَ الْإِيْمَانُ فَالنَّقْصُ فِي حَدِّهِ لَا فِي نَفْسِ الْإِيْمَانِ
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang, tetapi ia memiliki batasan, yakni definisi dengan menyebutkan bagian-bagian dari cabang-cabang iman, Jika ia berkurang maka pada batasannya) yaitu, jika iman berkurang, maka kekurangannya ada pada batasannya, bukan pada esensi iman itu sendiri
(وَأَصْلُهُ) أَيْ أَصْلُ حَدِّ الْإِيْمَانِ (شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ)
(dan asalnya) yakni asal dari batasan iman (adalah syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allāh, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya)
وَالشَّهَادَةُ إِخْبَارُ الشَّخْصِ بِحَقٍّ عَلَى غَيْرِهِ بِلَفْظٍ خَاصٍّ. وَأَرْكَانُهَا خَمْسَةٌ: شَاهِدٌ وَمَشْهُوْدٌ لَهُ وَمَشْهُوْدٌ عَلَيْهِ وَمَشْهُوْدٌ بِهِ، وَصِيْغَةٌ،
Dan syahadat adalah pemberitahuan seseorang tentang suatu hak atas orang lain dengan lafaz khusus. Dan rukun-rukunnya ada lima: orang yang bersaksi (syahid), yang disaksikan untuknya (masyhud lah), yang disaksikan atasnya (masyhud ‘alaih), apa yang disaksikan (masyhud bih), dan sighat (lafaz).
فَالشَّاهِدُ هُوَ الْمُسْلِمُ، وَالْمَشْهُوْدُ لَهُ هُوَ اللّٰهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَسَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْمَشْهُوْدُ عَلَيْهِ هُوَ الْمُشْرِكُ بِاللّٰهِ وَالْمُنْكِرُ لِرِسَالَةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ،
Maka orang yang bersaksi adalah seorang muslim, yang disaksikan untuknya adalah Allāh Subhanahu wa Ta’ala dan junjungan kita Muhammad ﷺ, yang disaksikan atasnya adalah orang yang musyrik kepada Allāh dan orang yang mengingkari risalah junjungan kita Muhammad,
وَالْمَشْهُوْدُ بِهِ ثُبُوْتُ الْأُلُوْهِيَّةِ وَالْوَحْدَانِيَّةِ لِلّٰهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَثُبُوْتُ الرِّسَالَةِ لِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالصِّيْغَةُ هِيَ لَفْظُ أَشْهَدُ أَوْ تَرْجَمَتُهُ لَا غَيْرُ.
apa yang disaksikan adalah penetapan ketuhanan dan keesaan bagi Allāh Subhanahu wa Ta’ala, dan penetapan risalah bagi junjungan kita Muhammad ﷺ, dan sighatnya adalah lafaz “asyhadu” atau terjemahannya, tidak ada yang lain.
(وَإِقَامُ الصَّلَاةِ) أَيِ الْإِتْيَانُ بِهَا بِأَرْكَانِهَا وَشُرُوْطِهَا (وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ) أَيْ إِعْطَاؤُهَا إِلَى أَهْلِهَا بِإِخْرَاجِ جُزْءٍ مِنَ الْمَالِ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
(dan mendirikan shalat) yaitu melaksanakannya dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya (dan menunaikan zakat) yakni memberikannya kepada yang berhak dengan mengeluarkan sebagian dari harta dengan cara tertentu
(وَصَوْمُ رَمَضَانَ) أَيْ إِمْسَاكُ طَاهِرٍ مِنَ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ عَنْ شَهْوَةِ الْفَمِ وَالْفَرْجِ، وَمَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا كَالْأَنْفِ وَاللَّمْسِ الْمُؤَدِّي لِلْفِطْرِ فِي جَمِيْعِ نَهَارِ رَمَضَانَ بِنِيَّةٍ قَبْلَ الْفَجْرِ
(dan puasa Ramadhan) yakni menahan diri bagi orang yang suci dari haid dan nifas dari syahwat mulut dan kemaluan, dan apa yang menempati keduanya seperti hidung dan sentuhan yang menyebabkan berbuka di sepanjang siang hari Ramadhan dengan niat sebelum fajar
(وَالْحَجُّ) لِقَوْلِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [مَنْ لَمْ تَحْبِسْهُ حَاجَةٌ، أَيْ مِنْ مَرَضٍ وَظَالِمٍ، وَلَمْ يَحُجَّ وَلَهُ جَمْعٌ، أَيْ مَالٌ، فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءَ يَهُوْدِيًّا وَإِنْ شَاءَ نَصْرَانِيًّا]
(dan haji) karena sabda Nabi ﷺ: [“Barangsiapa yang tidak menghalangi kepadanya suatu kebutuhan, yakni dari sakit dan orang zalim, dan ia tidak berhaji padahal ia memiliki kumpulan, yakni harta, maka hendaklah ia mati jika ia mau menjadi seorang Yahudi dan jika ia mau menjadi seorang Nasrani”].
(وَغَسْلُ الْجَنَابَةِ فَمَنْ زَادَ فِي حَدِّهِ) أَيِ الْإِيْمَانِ (زَادَتْ حَسَنَاتُهُ وَمَنْ نَقَصَ فِيهِ فَفِيهِ) أَيْ مَنْ نَقَصَ فِي حَدِّ الْإِيْمَانِ، فَالنَّقْصُ فِي حَدِّهِ
(dan mandi junub, maka barangsiapa menambah pada batasannya) yakni iman (niscaya bertambahlah kebikan-kebaikannya, dan barangsiapa mengurangi padanya maka padanya) yakni barangsiapa mengurangi batasan iman, maka kekurangan itu ada pada batasannya
قَالَ السُّيُوْطِيُّ فِي النِّقَايَةِ: وَالْمُؤْمِنُ الْكَامِلُ فِي إِيْمَانِهِ مَنْ كَمُلَتْ فِيْهِ شُعَبُ الْإِيْمَانِ، وَمَنْ نَقَصَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهَا نَقَصَ فِي إِيْمَانِهِ بِحَسَبِهَا،
Telah berkata Imam **As-Suyuthi dalam Kitab An-Niqayah: Dan seorang mukmin yang sempurna dalam imannya adalah orang yang sempurna padanya cabang-cabang iman, dan barangsiapa kurang satu darinya, maka berkuranglah imannya sesuai dengan cabang iman yang kurang itu,
وَقَدْ أَجْمَعَ السَّلَفُ عَلَى أَنَّ الْإِيْمَانَ يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ، وَزِيَادَتُهُ بِالطَّاعَاتِ وَنُقْصَانُهُ بِالْمَعَاصِي، وَشُعَبُ الْإِيْمَانِ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ، كَمَا رَوَاهُ الشَّيْخَانِ.
dan sungguh para salaf telah sepakat bahwa iman itu bertambah dan berkurang, bertambahnya adalah dengan ketaatan dan berkurangnya adalah dengan kemaksiatan, dan cabang-cabang iman itu ada enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian, sebagaimana telah meriwayatkan pada hadits tersebut Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Catatan Kitab Tanqihul Qoul Bab 5 Tentang Keutamaan Iman1.بِضْعٌ maknanya adalah bilangan antara 3 sampai 9
أَوْ سِتٌّ وَسَبْعُوْنَ أَوْ سَبْعٌ وَسَبْعُوْنَ كَمَا فِى الْحَدِيْثِ الَّذِيْ رَوَاهُ أَبُوْ عَوَانَةَ، أَوْ أَرْبَعٌ وَسِتُّوْنَ كَمَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ.
atau tujuh puluh enam atau tujuh puluh tujuh sebagaimana dalam hadits yang telah meriwayatkan pada hadits tersebut Imam Abu ‘Awanah, atau enam puluh empat sebagaimana telah meriwayatkan pada hadits tersebut Imam At-Tirmidzi.
وَقَالَ سَيِّدِي الشَّيْخُ عَبْدُ الْقَادِرِ الْجِيْلَانِيُّ: وَنَعْتَقِدُ أَنَّ الْإِيْمَانَ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ، وَمَعْرِفَةٌ بِالْجِنَانِ، وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ، وَيَنْقُصُ بِالْعِصْيَانِ، وَيَقْوَى بِالْعِلْمِ وَيَضْعُفُ بِالْجَهْلِ، وَبِالتَّوْفِيْقِ يَقَعُ
Dan telah berkata tuanku Syekh Abdul Qadir al-Jilani: Dan kami meyakini bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, pengetahuan dengan hati, dan amal dengan anggota badan, ia bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan, dan menjadi kuat dengan ilmu dan menjadi lemah dengan kebodohan, dan dengan taufik ia terjadi
كَمَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّهُمْ قَالُوْا: الْإِيْمَانُ يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ،
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dan Abu Ad-Darda’ bahwa mereka berkata: Iman itu bertambah dan berkurang,
وَزِيَادَةُ الْإِيْمَانِ إِنَّمَا تَكُوْنُ بَعْدَ التَّحَقُّقِ بِأَدَاءِ الْأَوَامِرِ وَانْتِهَاءِ النَّوَاهِي، وَبِالتَّسْلِيْمِ فِى الْقَدَرِ وَتَرْكِ الْاِعْتِرَاضِ عَلَى اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي فِعْلِهِ فِي جَمِيْعِ خَلْقِهِ،
dan bertambahnya iman itu terjadi hanyalah setelah terwujud dengan melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan, dan dengan berserah diri pada takdir dan meninggalkan protes terhadap Allāh ‘Azza wa Jalla dalam perbuatan-Nya pada seluruh makhluk-Nya,
وَتَرْكِ الشَّكِّ فِي وَعْدِهِ فِي الرِّزْقِ وَبِالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ وَالْخُرُوْجِ مِنَ الْحَوْلِ وَالْقُوَّةِ وَالصَّبْرِ عَلَى الْبَلَاءِ وَالشُّكْرِ عَلَى النَّعْمَاءِ وَالتَّنْزِيْهِ لِلْحَقِّ، وَتَرْكِ التُّهْمَةِ لَهُ فِي سَائِرِ الْأَحْوَالِ،
dan meninggalkan keraguan pada janji-Nya dalam rezeki dan dengan bertawakal kepada-Nya dan keluar dari daya dan kekuatan dan sabar atas cobaan dan syukur atas nikmat dan menyucikan Al-Haq, dan meninggalkan tuduhan kepada-Nya dalam segala keadaan,
وَأَمَّا بِمُجَرَّدِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، فَلَا يَزِيْدُ الْإِيْمَانُ انْتَهَى.
adapun dengan semata-mata shalat dan puasa, maka iman tidak bertambah, selesai.
وَقَالَ الْغَزَالِيُّ وَالْعَمَلُ لَيْسَ مِنْ أَجْزَاءِ الْإِيْمَانِ وَأَرْكَانِ وُجُوْدِهِ، بَلْ هُوَ مَزِيْدٌ عَلَيْهِ يَزِيْدُ بِهِ، وَالزَّائِدُ مَوْجُوْدٌ وَالنَّاقِصُ مَوْجُوْدٌ وَالشَّيْءُ لَا يَزِيْدُ بِذَاتِهِ،
Dan telah berkata Imam Al-Ghazali: Dan amal itu bukanlah bagian dari iman dan buknlah bagian dari rukun-rukun keberadaan iman, tetapi ia (amal) adalah tambahan pada iman yang dengannya (dengan amal) ia (keimanan) dapat bertambah, dan yang bertambah itu ada dan yang berkurang itu ada, dan sesuatu itu tidak bertambah dengan sendirinya,
فَلَا يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ الْإِنْسَانُ يَزِيْدُ بِرَأْسِهِ، بَلْ يُقَالُ: يَزِيْدُ بِلِحْيَتِهِ وَسِمَنِهِ، وَلَا يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ الصَّلَاةُ تَزِيْدُ بِالرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ، بَلْ تَزِيْدُ بِالْآدَابِ وَالسُّنَنِ،
maka tidak boleh dikatakan manusia bertambah kepalanya, tetapi dikatakan: ia bertambah jenggotnya dan kegemukannya, dan tidak boleh dikatakan shalat bertambah dengan ruku’ dan sujud, tetapi ia bertambah dengan adab-adab dan sunnah-sunnah,
فَهٰذَا تَصْرِيْحٌ بِأَنَّ الْإِيْمَانَ لَهُ وُجُوْدٌ، ثُمَّ بَعْدَ الْوُجُوْدِ يَخْتَلِفُ حَالُهُ بِالزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ.
maka ini adalah penjelasan bahwa iman itu memiliki wujud, kemudian setelah wujud itu, keadaannya berbeda-beda dengan bertambah dan berkurang.
Hadits 7:
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْإِيْمَانُ نِصْفَانِ فَنِصْفٌ فِي الصَّبْرِ) أَيْ عَنِ الْمَحَارِمِ (وَنِصْفٌ فِي الشُّكْرِ) أَيِ الْعَمَلُ بِالطَّاعَاتِ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ أَنَسٍ.
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Iman itu ada dua bagian, separuh dalam kesabaran) yakni dari hal-hal yang diharamkan (dan separuh dalam kesyukuran) yakni mengamalkan ketaatan-ketaatan, Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Al-Baihaqi dari Anas.
Hadits 8:
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيْمَانُ قَيْدُ الْفَتْكِ لَا يَفْتِكُ مُؤْمِنٌ) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُدَ وَالْحَاكِمُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ عَنِ الزُّبَيْرِ وَعَنْ مُعَاوِيَةَ
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Iman itu adalah pengikat dari pembunuhan secara khianat, seorang mukmin tidak akan membunuh secara khianat) Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Bukhari, Imam Abu Dawud, dan Imam Hakim dari Abu Hurairah, dan Imam Ahmad dari Az-Zubair dan dari Mu’awiyah
أَيِ الْإِيْمَانُ يَمْنَعُ مِنَ الْفَتْكِ الَّذِي هُوَ الْقَتْلُ بَعْدَ الْأَمَانِ غَدْرًا.
yakni iman itu mencegah dari pembunuhan secara khianat, yaitu pembunuhan setelah diberi keamanan secara khianat.
قَوْلُهُ لَا يَفْتِكُ مُؤْمِنٌ خَبَرٌ بِمَعْنَى النَّهْيِ، أَيْ لَا يَفْتِكُ كَامِلُ الْإِيْمَانِ وَالْفَتْكُ أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ، وَهُوَ غَافِلٌ فَيَشُدُّ عَلَيْهِ فَيَقْتُلُهُ وَأَمَّا الْغِيْلَةُ فَهُوَ أَنْ يَخْدَعَهُ ثُمَّ يَقْتُلُهُ فِي مَوْضِعٍ خَفِيٍّ.
Sabda Nabi ﷺ “seorang mukmin tidak akan membunuh secara khianat” adalah kalimat berita yang bermakna larangan, yaitu tidak akan membunuh secara khianat orang yang sempurna imannya dan اَلْفَتْكُ adalah seseorang mendatangi temannya, sedang temannya lengah, lalu ia mengikatnya dan membunuhnya adapun اَلْغِيْلَةُ adalah ia menipunya kemudian membunuhnya di tempat yang tersembunyi.
Hadits 9:
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَلَقَ اللّٰهُ الْإِيْمَانَ وَحَقَّهُ) أَيْ زَيَّنَهُ (وَمَدَحَهُ بِالسَّمَاحَةِ وَالْحَيَاءِ وَخَلَقَ اللّٰهُ الْكُفْرَ وَذَمَّهُ بِالْبُخْلِ وَالْجَفَاءِ) أَيِ الْعُقُوْقِ.
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Allāh menciptakan iman dan menghiasinya) yakni menghiasi iman (dan memujinya dengan kemurahan hati dan rasa malu, dan Allāh menciptakan kekufuran dan mencelanya dengan kekikiran dan watak yang kasar) yaitu durhaka.
Hadits 10:
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، أَمَرَ اللّٰهُ تَعَالَى بِأَنْ يَخْرُجَ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنَ الْإِيْمَانِ) أَيْ زِيَادَةٌ عَلَى أَصْلِ التَّوْحِيْدِ كَمَا قَالَهُ الْقَسْطَلَانِيُّ.
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Apabila penghuni surga telah masuk surga, dan penghuni neraka telah masuk neraka, maka Allāh Ta'ala pasti akan memerintahkan agar mengeluarkan dari neraka orang yang ada di dalam hatinya seberat dzarrah berupa keimanan) yakni tambahan atas pokok tauhid sebagaimana telah berkata tentangnya Imam Al-Qasthalani.
وَفِي حَدِيْثِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: [يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، ثُمَّ يَقُوْلُ اللّٰهُ تَعَالَى أَيْ لِلْمَلَائِكَةِ:
Dan dalam hadits Al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: [Penghuni surga masuk surga, dan penghuni neraka masuk neraka, kemudian Allāh Ta’ala berfirman, yakni kepada para malaikat:
أَخْرِجُوْا، أَيْ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، أَيْ زِيَادَةٌ عَلَى أَصْلِ التَّوْحِيْدِ،
Keluarkanlah, yakni dari neraka, orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi berupa keimanan, yakni tambahan atas pokok tauhid,
فَيَخْرُجُوْنَ مِنْهَا قَدِ اسْوَدُّوا، فَيُلْقَوْنَ فِي نَهْرِ الْحَيَا بِالْقَصْرِ أَيِ الْمَطَرِ أَوِ الْحَيَاةِ بِالْمُثَنَّاةِ آخِرُهُ،]
maka mereka keluar dari neraka sungguh mereka telah menghitam, lalu mereka dilemparkan ke sungai Al-Haya] dengan qashr (membaca ringkas), yakni hujan atau Al-Hayat dengan dua titik (ة) di akhirnya,
وَهُوَ النَّهْرُ الَّذِي مَنْ غُمِسَ فِيْهِ حَيِيَ، فَيَنْبُتُوْنَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ بِكَسْرِ الْحَاءِ، أَيِ الْبَقْلَةُ الْحَمْقَاءُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ.
yaitu sungai yang barangsiapa dicelupkan ke dalamnya ia akan hidup, lalu mereka tumbuh sebagaimana tumbuhnya benih اَلْحِبَّةُ dengan kasrah pada huruf ha’, yakni sayuran hamqa’ di pinggir sungai.