Terjemah Kitab Tanqihul Qoul Bab 8 | Keutamaan Adzan

16 Oct, 2025
Nama kitab:Tanqihul Qoul
Judul kitab Arab: تنقيح القول الحثيث
Judul terjemah: Terjemah Kitab Tanqihul Qoul
Mata Pelajaran:Hadits, Keutamaan Amal
Musonif:Syekh Nawawi al-Bantani
Nama Arab:الشيخ محمد بن عمر النووي البنتني
Lahir:813 Masehi; 1230 H, Tanara, Banten, Indonesia
Wafat:1897 M; 1316 H, Pemakaman Ma'la Makkah Al-Mukarramah, w. 672 H / 22 Februari 1274 M
Penerjemah:Ahsan Dasuki

Tanqihul Qoul Bab kedelapan Tentang Keutamaan Adzan

Tanqihul QoulImage by © LILMUSLIMIIN

اَلْبَابُ الثَّامِنُ: فِي فَضِيْْلَةِ الْأَذَانِ

Bab yang Kedelapan Tentang Keutamaan Adzan

Tafsir Ayat Tentang Seruan Kepada Allah

وَقِيْلَ فِيْ تَفْسِيْرِ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَا إِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا [فصلت: 33] نُزِلَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ فِي الْمُؤَذِّنِيْنَ.

Dan dikatakan dalam tafsir firman Allah ‘azza wa jalla: Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan beramal shaleh ﴿ [Q.S Fushshilat: Ayat 33] ayat ini diturunkan mengenai para muadzin.

Hadits 1: Pahala Adzan Selama Tujuh Tahun

(قَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَذَّنَ لِلصَّلَاةِ سَبْعَ سِنِيْنَ مُحْتَسِبًا) أَيْ مِنْ غَيْرِ أُجْرَةٍ (كَتَبَ اللّٰهُ لَهُ بَرَاءَةً مِنَ النَّارِ) رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ.

(Telah bersabda Nabi ﷺ: Barangsiapa yang mengumandangkan adzan untuk shalat selama tujuh tahun dengan ikhlas) yakni tanpa upah (maka Allah pasti akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka) Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam at-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah dari Ibnu Abbas.

Hadits 2: Pahala Adzan Selama Dua belas Tahun

(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَذَّنَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً) أَيْ مُحْتَسِبًا (وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ) رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالْحَاكِمُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ.

(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Barangsiapa yang mengumandangkan adzan selama dua belas tahun) yakni dengan ikhlas (maka wajib baginya surga) Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Ibnu Majah dan Imam al-Hakim dari Ibnu Umar.

وَحِكْمَةُ ذٰلِكَ أَنَّ أَكْثَرَ مَا يُعَمَّرُ الْإِنْسَانُ مِنْ أُمَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِائَةٌ وَعِشْرُوْنَ سَنَةً، وَالْاِثْنَتَا عَشْرَةَ هٰذِهِ عُشْرُ هٰذَا الْعُمْرِ،

Hikmah dari hal itu adalah bahwa umur maksimal manusia dari umat Nabi ﷺ adalah seratus dua puluh tahun, dan dua belas tahun ini adalah sepersepuluh dari umur tersebut,

وَمِنْ سُنَّةِ اللّٰهِ أَنَّ الْعُشْرَ يَقُوْمُ مَقَامَ الْكُلِّ كَمَا قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى: ﴿مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا [الأنعام: 160]

dan termasuk sunnatullah bahwa sepersepuluh dapat menggantikan keseluruhan sebagaimana firman Allah ta’ala: Barangsiapa berbuat kebaikan dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya﴿ [Q.S Al-An’am: 160]

وَأَمَّا حَدِيْثُ مَنْ أَذَّنَ سَبْعَ سِنِيْنَ، فَإِنَّهَا عُشْرُ الْعُمْرِ الْغَالِبِ كَذَا قَالَ بَعْضُ الْمُحَدِّثِيْنَ.

Adapun hadits orang yang adzan selama tujuh tahun, maka sesungguhnya tujuh itu adalah sepersepuluh dari umur pada umumnya, demikianlah telah berkata sebagian ahli hadits.

Hadits 3: Pahala Adzan Lima Kali Sehari dengan Iman dan Ikhlas

(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَذَّنَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ إِيْمَانًا) أَيْ تَصْدِيْقًا بِأَنَّ الْأَذَانَ مِنْ أُمُوْرِ الشَّرِيْعَةِ (وَاحْتِسَابًا) أَيْ طَلَبًا لِلْأَجْرِ مِنَ اللّٰهِ تَعَالَى

(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Barangsiapa yang mengumandangkan adzan untuk lima shalat karena iman) yakni membenarkan bahwa adzan termasuk urusan syariat (dan mengharap pahala) yakni mencari pahala dari Allah ta’ala

(غُفِرَ لَهُ) بِالْبِنَاءِ لِلْمَفْعُوْلِ (مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ) أَيْ مِنَ الصَّغَائِرِ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ. وَالْخَمْسُ صَادِقَةٌ بِأَنْ تَكُوْنَ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ مِنْ أَيَّامٍ.

(maka diampuni baginya) dengan bentuk pasif (apa yang telah lalu dari dosa-dosanya) yakni dari dosa-dosa kecil. Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam al-Baihaqi dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah. Dan (hitungan) lima itu berlaku dengan cara hendaknya terbukti sehari semalam atau dalam beberapa hari.

Hadits 4: Golongan yang Dilindungi dari Siksa Kubur

(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلَاثَةٌ يَعْصِمُهُمُ اللّٰهُ تَعَالَى مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ الشَّهِيْدُ)

(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Ada tiga golongan yang Allah ta'ala akan melindungi mereka dari siksa kubur: Orang yang mati syahid)

وَهُوَ يَصْدُقُ عَلَى شَهِيْدِ الْآخِرَةِ فَقَطْ كَمَنْ قُتِلَ ظُلْمًا، وَلَوْ بِحَسَبِ الْهَيْئَةِ كَمَنِ اسْتَحَقَّ الْقَتْلَ بِقَطْعِ الرَّأْسِ، فَقُتِلَ بِالتَّوَسُّطِ مَثَلًا،

dan syahid tersebut itu berlaku untuk syahid akhirat saja seperti orang yang dibunuh secara zalim, meskipun hanya dari segi bentuknya seperti orang yang berhak dihukum mati dengan pemenggalan kepala, lalu dibunuh dengan perantara misalnya,

Catatan Kitab Tanqihul Qoul Bab 8
    
1.

Yakni, ia dibunuh dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan seharusnya.Seharusnya ia dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya, tetapi ternyata ia dibunuh dengan cara lain, misalnya dicambuk sampai mati atau dibelah dadanya.

وَمَنْ مَاتَ بِغَرَقٍ وَإِنْ عَصَى فِيْهِ، بِنَحْوِ شُرْبِ خَمْرٍ بِخِلَافِ مَنْ غَرَقَ بِسَيْرِ سَفِيْنَةٍ فِيْ وَقْتِ هَيَجَانِ الرِّيْحِ، فَلَيْسَ بِشَهِيْدٍ،

dan orang yang mati tenggelam meskipun ia berbuat maksiat di dalamnya, seperti minum khamar, berbeda dengan orang yang tenggelam karena berlayar dengan kapal di saat angin kencang, maka ia bukan syahid,

Catatan Kitab Tanqihuol Qoul Bab 8
    
1.

Seseorang yang mati tenggelam tetap bisa dianggap syahid, walaupun ia pernah berbuat maksiat seperti minum khamar, karena kematiannya terjadi di luar kendali dirinya, sama seperti orang yang dibunuh secara tidak adil. Sebaliknya, orang yang tenggelam karena keputusannya sendiri, misalnya nekat berlayar saat badai, maka itu tidak dianggap syahid, karena kematian itu terjadi akibat pilihannya sendiri, bukan karena musibah atau tekanan dari luar.

وَمَنْ مَاتَ بِهَدْمٍ أَوْ حَرِيْقٍ، وَمَنْ مَاتَ غَرِيْبًا وَإِنْ عَصَى بِغُرْبَتِهِ كَآبِقٍ وَنَاشِزَةٍ، وَمَنْ مَاتَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ وَلَوْ عَلَى فِرَاشِهِ، وَمَنْ مَاتَ مَبْطُوْنًا،

dan orang yang mati karena tertimpa reruntuhan atau terbakar, dan orang yang mati dalam perantauan meskipun ia berbuat maksiat dalam perantauannya seperti budak yang kabur dan istri yang durhaka, dan orang yang mati dalam menuntut ilmu meskipun di atas tempat tidurnya, dan orang yang mati karena sakit perut,

وَمَنْ مَاتَ بِالطَّاعُوْنِ وَلَوْ فِيْ غَيْرِ زَمَنِهِ أَوْ بِغَيْرِهِ فِيْ زَمَنِهِ أَوْ بَعْدَهُ حَيْثُ كَانَ صَابِرًا مُحْتَسِبًا،

dan orang yang mati karena wabah tha’un meskipun bukan pada masanya atau karena selain tha’un pada masa tha’un atau sesudahnya, selama ia terbukti sabar dan ikhlas,

وَمَنْ مَاتَ عِشْقًا بِشَرْطِ الْكَفِّ عَنِ الْمَحَارِمِ حَتَّى عَنِ النَّظَرِ، بِحَيْثُ لَوِ اخْتَلَى بِمَحْبُوْبِهِ لَمْ يَتَجَاوَزِ الشَّرْعَ، وَبِشَرْطِ الْكِتْمَانِ حَتَّى عَنْ مَعْشُوْقِهِ،

dan orang yang mati karena rindu dengan syarat menahan diri dari hal-hal yang haram hingga dari memandang, sekiranya jika ia berduaan dengan orang yang dicintainya ia tidak akan melanggar syariat, dan dengan syarat merahasiakannya bahkan dari orang yang dicintainya,

وَكَالْمَرْأَةِ الَّتِيْ مَاتَتْ طَلْقًا، وَلَوْ مِنْ زِنًى إِذَا لَمْ تَتَسَبَّبْ فِيْ إِسْقَاطِ الْوَلَدِ وَكَذَا مَنْ مَاتَ فَجْأَةً أَوْ فِيْ دَارِ الْحَرْبِ قَالَهُ ابْنُ الرِّفْعَةِ.

dan seperti wanita yang mati saat melahirkan, meskipun dari hasil zina jika ia tidak menyebabkan keguguran anak, begitu pula orang yang mati mendadak atau di negeri perang, telah berkata tentangnya Syekh Ibnu ar-Rif’ah.

وَمَعْنَى الشَّهَادَةِ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ كَمَا قَالَهُ الْحِصْنِيُّ وَيَصْدُقُ أَيْضًا عَلَى شَهِيْدِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَعًا،

Dan makna kesyahidan bagi mereka adalah bahwa mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dan diberi rezeki sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh al-Hishni, dan ini juga berlaku untuk syahid dunia dan akhirat sekaligus,

وَهُوَ مَنْ مَاتَ بِسَبَبٍ مِنْ أَسْبَابِ قِتَالِ الْمُشْرِكِيْنَ لِإِعْلَاءِ دِيْنِ اللّٰهِ لَا لِرِيَاءٍ وَسُمْعَةٍ بِخِلَافِ شَهِيْدِ الدُّنْيَا فَقَطْ،

yaitu orang yang mati karena salah satu sebab peperangan melawan kaum musyrikin untuk meninggikan agama Allah, bukan karena riya dan sum’ah, berbeda dengan syahid dunia saja,

فَلَا يَدْخُلُ فِيْ هٰذَا الْحُكْمِ وَهُوَ مَنْ مَاتَ فِيْ قِتَالِ الْكُفَّارِ مُدْبِرًا عَلَى وَجْهٍ غَيْرِ مَرْضِيٍّ شَرْعًا، أَوْ مَاتَ بِقِتَالِهِمْ رِيَاءً وَسُمْعَةً.

maka ia tidak termasuk dalam hukum ini, yaitu orang yang mati dalam peperangan melawan orang kafir dalam keadaan melarikan diri dengan cara yang tidak diridhai syariat, atau mati dalam memerangi mereka karena riya dan sum’ah.

(وَالْمُؤَذِّنُ) أَيْ لِوَجْهِ اللّٰهِ تَعَالَى لَا لِطَلَبِ أَجْرٍ مِنْ أَحَدٍ (وَالْمُتَوَفَّى) بِفَتْحِ الْفَاءِ (يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ)

(Dan muadzin) yakni karena Allah ta’ala, bukan untuk mencari upah dari siapapun (dan orang yang wafat) dengan fathah pada huruf fa’ (pada hari Jum'at dan malam Jum'at).

قَالَ بَعْضُهُمْ: فَمَنْ مَاتَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَتَهُ إِنْ عُذِّبَ كَانَ عَذَابُهُ سَاعَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ يَنْقَطِعُ وَلَا يَعُوْدُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَكَذٰلِكَ ضَغْطَةُ الْقَبْرِ وَاللّٰهُ أَعْلَمُ.

telah berkata sebagian dari mereka: Maka barangsiapa dari kaum mukminin yang meninggal pada hari Jum’at atau malamnya, jika ia disiksa, maka terbukti siksanya itu hanya sesa’at, kemudian terputus dan tidak akan kembali siksaan tersebut hingga hari kiamat, begitu pula dengan himpitan kubur, Wallahu A’lam.

Hadits 5: Keutamaan Adzan dan Shaf Pertama

(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ) وُضِعَ الْمُضَارِعُ مَوْضِعَ الْمَاضِيْ لِيُفِيْدَ اسْتِمْرَارَ الْعِلْمِ (مَا فِي النِّدَاءِ) أَيِ التَّأْذِيْنِ (وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ) أَيْ مِنَ الْفَضْلِ

(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Seandainya manusia mengetahui) Kata kerja mudhari’ (sekarang/akan datang) di letakkan di tempat kata kerja madhi (lampau) untuk menunjukkan keberlangsungan pengetahuan (apa yang ada di dalam seruan) yakni adzan (dan shaf pertama) yakni berupa keutamaan

(ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا) وَفِيْ رِوَايَةٍ لَا يَجِدُوْا بِلَا النَّافِيَةِ، وَبِحَذْفِ نُوْنِ الرَّفْعِ، وَهُوَ ثَابِتٌ لُغَةً (إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا) بِتَخْفِيْفِ الْمِيْمِ (عَلَيْهِ) أَيِ الْمَذْكُوْرِ مِنَ الْأَذَانِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ (لَاسْتَهَمُوْا)

(kemudian mereka tidak menemukan) Dan dalam riwayat lain: ‘لَا يَجِدُوْا’ dengan ‘لا’ nafi (peniadaan),  dan dengan menghapus ن rafa’, dan ini tetap dalam bahasa (kecuali dengan mengundi) dengan meringankan huruf mim (atasnya) yakni yang disebutkan dari adzan dan shaf pertama (niscaya mereka akan mengundi).

وَالْمَعْنَى لَوْ عَلِمُوْا فَضِيْلَةَ الْأَذَانِ، وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ وَعَظِيْمَ جَزَائِهِمَا، ثُمَّ لَا يَجِدُوْنَ طَرِيْقًا يُحَصِّلُوْنَهُمَا بِهِ لِضِيْقِ الْوَقْتِ، أَوْ لِكَوْنِهِ لَا يُؤَذِّنُ لِلْمَسْجِدِ إِلَّا وَاحِدٌ لَاقْتَرَعُوْا فِيْ تَحْصِيْلِهِمَا

Dan maknanya adalah seandainya mereka mengetahui keutamaan adzan dan shaf pertama serta besarnya pahala keduanya, kemudian mereka tidak menemukan cara untuk mendapatkan keduanya karena sempitnya waktu, atau karena keadaannya tidak dapat adzan di masjid kecuali satu orang, niscaya mereka akan berundi untuk mendapatkan keduanya

(وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي التَّهْجِيْرِ) أَيِ التَّبْكِيْرِ بِأَيِّ صَلَاةٍ كَانَ وَلَا يُعَارِضُهُ أَمْرُ الْإِبْرَادِ لِلظُّهْرِ، لِأَنَّهُ تَأْخِيْرٌ قَلِيْلٌ (لَاسْتَبَقُوْا إِلَيْهِ) أَيِ التَّهْجِيْرِ

(Dan seandainya mereka mengetahui apa yang ada di dalam at-tahjir) yakni bersegera untuk shalat apa pun, dan ini tidak bertentangan dengan perintah (menunda sampai) dingin untuk waktu Zhuhur (saat panas terik), karena itu hanya penundaan sebentar (niscaya mereka akan berlomba-lomba kepadanya) yakni kepada at-tahjir

(وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ) أَيْ مَا فِيْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ فِيْ جَمَاعَةٍ مِنَ الثَّوَابِ (لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا) بِفَتْحِ الْحَاءِ وَسُكُوْنِ الْمُوَحَّدَةِ،

(Dan seandainya mereka mengetahui apa yang ada di dalam shalat Atamah dan Subuh) yakni apa yang ada di dalam shalat Isya dan Subuh secara berjamaah berupa pahala (niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak) lafadz حبوا dengan fathah pada huruf ح’ dan sukun pada huruf ب’,

أَيْ وَلَوْ كَانَ الْإِتْيَانُ مَشْيًا عَلَى الرُّكَبِ وَالْيَدَيْنِ رَوَاهُ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَأَبُوْ دَاوُدَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ.

Yakni meskipun terbukti datang dengan berjalan di atas lutut dan tangan. Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam an-Nasa’i, dan Imam Abu Dawud dari Abu Hurairah.

Hadits 6: Syafaat Nabi Pada Hari Kiamat

(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ) أَيِ الْأَذَانَ (فَقَبَّلَ إِبْهَامَيْهِ) أَيْ بِالْفَمِ (فَوَضَعَ) أَيِ الْإِبْهَامَيْنِ (عَلَى عَيْنَيْهِ وَقَالَ مَرْحَبًا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَعَالَى قُرَّةُ أَعْيُنِنَا بِكَ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، فَأَنَا شَفِيْعُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَقَائِدُهُ إِلَى الْجَنَّةِ).

(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Barangsiapa yang mendengar seruan) yakni adzan (lalu mencium kedua ibu jarinya) yakni dengan mulut (lalu meletakkan) yakni kedua ibu jari (di atas kedua matanya dan berkata: "Marhaban bidzikrillāhi Ta'ālā qurratu a'yuninā bika yā Rasūlallāh ", maka aku adalah pemberi syafaatnya pada hari kiamat dan penuntunnya ke surga).

Catatan Kitab Tanqihul Qoul Bab 8
    
1.

Doa tersebut artinya adalah: Selamat datang dengan dzikir kepada Allah ta'ala, penyejuk mata kami denganmu wahai Rasulullah

Hadits 7: Doa yang Dikabulkan antara Adzan dan Iqamah

(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا كَانَ) أَيْ جَاءَ (وَقْتُ الْأَذَانِ فُتِحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَاسْتُجِيْبَ الدُّعَاءُ وَإِذَا كَانَ وَقْتُ الْإِقَامَةِ لَمْ تُرَدَّ دَعْوَتُهُ)

(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Apabila telah tiba) yakni datang (waktu adzan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan dikabulkanlah doa, dan apabila telah tiba waktu iqamah, maka tidak akan ditolak doanya).

قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْأَذْكَارِ رَوَيْنَا عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ] رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ السُّنِّيِّ وَغَيْرُهُمْ.

Telah berkata Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar, kami meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah ﷺ: [Tidak adakan ditolak doa di antara adzan dan iqamah] Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, Imam Ibnu as-Sunni, dan lainnya.

وَزَادَ التِّرْمِذِيُّ فِيْ رِوَايَتِهِ قَالُوْا: فَمَاذَا نَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ؟ قَالَ: [سَلُوا اللّٰهَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ] اهـ.

Dan Imam at-Tirmidzi menambahkan dalam riwayatnya, mereka berkata: “Lalu apa yang kami ucapkan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: [Mintalah kepada Allah ‘afiyah (keselamatan) di dunia dan akhirat] Selesai.

Hadits 8: Seribu Pahala, Penghapusan Dosa, Naiknya Derajat

(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَ عِنْدَ الْأَذَانِ مَرْحَبًا بِالْقَائِلِيْنَ عَدْلًا، مَرْحَبًا بِالصَّلَوَاتِ وَأَهْلًا، كَتَبَ اللّٰهُ تَعَالَى لَهُ أَلْفَ حَسَنَةٍ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ سَيِّئَةٍ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ)

(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Barangsiapa yang berkata ketika adzan: "Marhaban bilqho'ilīna 'adlan, marhaban bish-sholawati wa ahlan", maka Allah ta'ala pasti akan menuliskan baginya seribu kebaikan, menghapus darinya seribu keburukan, dan mengangkat baginya seribu derajat)

Catatan
    
1.

Artinya adalah: Selamat datang bagi orang-orang yang adzan karena keadilan, selamat datang bagi ahli-ahli shalat"

Hadits 9: Perintah Menjawab Seruan Adzan

(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَمِعَ الْأَذَانَ وَلَمْ يَقُلْ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ فَإِنَّهُ يُمْنَعُ مِنَ السُّجُوْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا سَجَدَ الْمُؤَذِّنُوْنَ).

(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Barangsiapa yang mendengar adzan dan tidak mengucapkan seperti apa yang muadzin ucapkan, maka sesungguhnya ia akan dihalangi dari sujud pada hari kiamat ketika para muadzin sujud).

وَرُوِيَ أَنَّهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: [إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ] رَوَاهُ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ.

Dan telah diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: [Apabila kalian mendengar seruan (adzan),  maka ucapkanlah seperti apa yang muadzin ucapkan] Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah.

قَالَ الْمَنَاوِيُّ: إِجَابَةُ الْمُؤَذِّنِ مَنْدُوْبٌ. وَقِيْلَ وَاجِبٌ. قَوْلُهُ مَا يَقُوْلُ، وَلَمْ يَقُلْ مِثَالَ مَا قَالَ الْمَاضِيْ لِيُشْعِرَ بِأَنَّهُ يُجِيْبُهُ بَعْدَ كُلِّ كَلِمَةٍ،

Telah berkata Imam al-Mnawi: Menjawab (seruan) muadzin hukumnya sunnah. Dan dikatakan (pula) wajib. Sabda Nabi ﷺ pada lafadz “مَا يَقُوْلُ”, dan tidak mengatakan lafadz “مِثْلَ مَا قَالَ” (dengan fi’il madhi) adalah untuk memberi tahu bahwa seseorang menjawab adzan setelah setiap kalimat,

وَلَمْ يَقُلْ مِثْلَ مَا تَسْمَعُوْنَ إِيْمَاءً إِلَى أَنَّهُ يُجِيْبُهُ فِي التَّرْجِيْعِ، أَيْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ.

dan tidak mengatakan semisal lafadz “مِثْلَ مَا تَسْمَعُوْنَ” sebagai isyarat bahwa seseorang menjawabnya pada saat tarji’, yakni meskipun ia tidak mendengarnya.

قَوْلُهُ مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ ظَاهِرُهُ أَنَّهُ يَقُوْلُ مِثْلَ قَوْلِهِ فِيْ جَمِيْعِ الْكَلِمَاتِ، لٰكِنْ وَرَدَتْ أَحَادِيْثُ بِاسْتِثْنَاءِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ وَحَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ،

Sabda Nabi ﷺ pada lafadz “مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ” zhahirnya adalah bahwa seseorang mengucapkan seperti ucapan muadzin dalam semua kalimat, akan tetapi terdapat hadits-hadits dengan mengecualikan “حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ” dan “حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ”,

وَأَنَّهُ يَقُوْلُ بَيْنَهُمَا لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ، وَهٰذَا هُوَ الْمَشْهُوْرُ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ، وَعِنْدَ الْحَنَابِلَةِ وَجْهٌ أَنَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَ الْحَيْعَلَةِ وَالْحَوْقَلَةِ.

dan bahwa seseorang mengucapkan di antara keduanya “لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ “, dan ini adalah yang masyhur menurut jumhur (mayoritas ulama), dan menurut para pengikut Imam Hanbali ada pendapat bahwa seseorang menggabungkan antara hai’alah dan hauqalah.

Catatan
    
1.

Yang dimaksud menggabungkan hai'alah dan hauqalah adalah saat mua'dzin mengucapkan حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ atau حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ maka seseorang mengucapkan حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ atau حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ kemudian setelahnya mengucapkan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ

وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ: وَقَدْ يُقَالُ الْأَوْلَى أَنْ يَقُوْلَهُمَا كَذَا قَالَهُ الْعَزِيْزِيُّ نَقْلًا عَنِ الْعَلْقَمِيِّ، ثُمَّ قَالَ الْعَزِيْزِيُّ قُلْتُ، وَهُوَ الْأَوْلَى لِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ قَالَ بِهِ مِنَ الْحَنَابِلَةِ، وَأَكْثَرُ الْأَحَادِيْثِ عَلَى الْإِطْلَاقِ انْتَهَى.

Dan telah berkata Imam al-Adzra’i: Dan terkadang dikatakan yang lebih utama adalah mengucapkan keduanya, demikianlah telah mengatakan tentangnya Syekh al-‘Azizi menukil dari Syekh al-‘Alqami, kemudian telah berkata Syekh al-‘Azizi: Aku berkata, dan pendapat tersebut itu lebih utama untuk keluar dari perselisihan orang yang berpendapat demikian dari kalangan Hanabilah, dan kebanyakan hadits itu bersifat mutlak. Selesai.

وَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْأَذْكَارِ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ أَوِ الْمُقِيْمَ وَهُوَ يُصَلِّيْ لَمْ يُجِبْهُ فِي الصَّلَاةِ، فَإِذَا سَلَّمَ مِنْهَا أَجَابَهُ كَمَا يُجِيْبُهُ مَنْ لَا يُصَلِّيْ،

Dan telah berkata Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar: Apabila seseorang mendengar muadzin atau orang iqamat sedangkan ia sedang shalat, maka ia tidak menjawabnya di dalam shalat, maka apabila ia telah salam darinya, ia menjawabnya sebagaimana menjawabnya orang yang tidak shalat,

فَلَوْ أَجَابَهُ فِي الصَّلَاةِ كُرِهَ، وَلَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ، وَهٰكَذَا إِذَا سَمِعَهُ وَهُوَ عَلَى الْخَلَاءِ لَا يُجِيْبُهُ فِي الْحَالِ، فَإِذَا خَرَجَ أَجَابَهُ

Jika ia menjawabnya di dalam shalat, maka dimakruhkan, dan shalatnya tidak batal, dan demikian pula jika ia mendengarnya dan ia berada di toilet, maka ia tidak menjawabnya dalam keadaan tersebut, kemudian apabila ia telah keluar, maka ia menjawabnya.

فَأَمَّا إِذَا كَانَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ أَوْ يُسَبِّحُ أَوْ يَقْرَأُ حَدِيْثًا أَوْ عِلْمًا آخَرَ أَوْ غَيْرَ ذٰلِكَ، فَإِنَّ يَقْطَعُ جَمِيْعَ هٰذَا وَيُجِيْبُ الْمُؤَذِّنَ،

Adapun jika terbukti ia sedang membaca Al-Qur’an atau sedang bertasbih atau sedang membaca hadits atau ilmu lainnya atau selain itu, maka sesungguhnya ia memutus semua ini dan menjawab (seruan) muadzin,

ثُمَّ يَعُوْدُ إِلَى مَا كَانَ فِيْهِ، لِأَنَّ الْإِجَابَةَ تَفُوْتُ، وَمَا هُوَ فِيْهِ لَا يَفُوْتُ غَالِبًا، وَحَيْثُ لَمْ يُتَابِعْهُ حَتَّى فَرَغَ الْمُؤَذِّنُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَدَارَكَ الْمُتَابَعَةَ مَا لَمْ يَطُلِ الْفَصْلُ اهـ.

kemudian ia kembali kepada apa yang sedang ia kerjakan, karena (kesempatan) menjawab itu akan hilang, sedangkan apa yang sedang ia kerjakan itu tidak akan hilang pada umumnya, dan sekiranya ia tidak mengikutinya hingga muadzin selesai, maka disunnahkan untuk menyusul mengikutinya selama jedanya tidak terlalu lama. Selesai.

Hadits 10: Tiga Golongan Yang Akan Berada Di Bawah Naunngan ‘Arsy

(وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ فِيْ ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ) أَيْ أَهْلَ مَمْلَكَتِهِ

(Dan telah bersabda Nabi ﷺ: Ada tiga golongan yang berada di bawah naungan 'Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan 'Arsy: pemimpin yang adil)  yakni terhadap rakyat kerajaannya

(وَمُؤَذِّنٌ حَافِظٌ) قَالَ سَيِّدِي الشَّيْخُ عَبْدُ الْقَادِرِ الْجَيْلَانِيُّ: وَيَجِبُ عَلَى الْمُؤَذِّنِ الْاِحْتِرَازُ عَنِ اللَّحْنِ فِي الشَّهَادَتَيْنِ، وَيَكُوْنُ عَارِفًا بِالْأَوْقَاتِ،

(dan muadzin yang menjaga) Telah berkata Tuanku Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Dan wajib bagi seorang muadzin untuk menjaga diri dari kesalahan dalam dua kalimat syahadat, dan hendaknya terbukti ia mengetahui waktu-waktu (shalat),

وَأَنْ لَا يُؤَذِّنَ إِلَّا بَعْدَ دُخُوْلِ الْوَقْتِ إِلَّا فِي الْفَجْرِ خَاصَّةً، وَيَحْتَسِبُ بِأَذَانِهِ وَجْهَ اللّٰهِ تَعَالَى، وَلَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ جَزَاءً،

dan hendaknya ia tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah masuk waktu kecuali pada waktu Fajar secara khusus, dan hendaknya ia mengharap ridha Allah ta’ala dengan adzannya, dan tidak mengambil upah atas adzannya,

وَيَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ بِوَجْهِهِ فِي التَّكْبِيْرِ وَالشَّهَادَتَيْنِ، وَيُوَلِّيْ وَجْهَهُ يَمِيْنًا وَشِمَالًا فِي الدُّعَاءِ إِلَى الصَّلَاةِ،

dan hendaknya ia menghadap kiblat dengan wajahnya saat takbir dan dua syahadat, dan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri saat menyeru kepada shalat,

وَإِذَا أَذَّنَ لِصَلَاةِ الْمَغْرِبِ جَلَسَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ جَلْسَةً خَفِيْفَةً، وَيُكْرَهُ لَهُ أَنْ يُؤَذِّنَ وَهُوَ جُنُبٌ أَوْ مُحْدِثٌ

dan apabila ia adzan untuk shalat Maghrib, maka ia duduk di antara adzan dan iqamah dengan duduk yang ringan, dan dimakruhkan baginya untuk adzan sedangkan ia adalah dalam keadaan junub atau berhadats.

(وَقَارِىءُ الْقُرْآنِ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِائَتَيْ آيَةٍ) قَالَ سَيِّدِي الشَّيْخُ عَبْدُ الْقَادِرِ الْجَيْلَانِيُّ: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَنَامَ حَتَّى يَقْرَأَ ثَلَاثَمِائَةِ آيَةٍ لِيَدْخُلَ فِيْ زُمْرَةِ الْعَابِدِيْنَ،

(dan orang yang membaca Al-Qur'an yang membaca di setiap malam dua ratus ayat) Telah berkata Tuanku Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Dan disunnahkan agar ia tidak tidur hingga membaca tiga ratus ayat agar ia masuk dalam golongan para ahli ibadah,

وَلَا يُكْتَبُ مِنَ الْغَافِلِيْنَ فَلْيَقْرَأْ سُوْرَةَ الْفُرْقَانِ وَالشُّعَرَاءِ، فَإِنَّ فِيْهِمَا ثَلَاثَمِائَةِ آيَةٍ، وَإِنْ لَمْ يُحْسِنْهُمَا قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةِ وَنُوْنٍ وَالْحَاقَّةِ وَسُوْرَةَ الْوَاقِعِ، أَيْ سَأَلَ سَائِلٌ وَالْمُدَّثِّرِ،

dan tidak ditulis sebagai orang-orang yang lalai, maka hendaknya ia membaca surat al-Furqan dan asy-Syu’ara, karena sesungguhnya di dalam keduanya itu terdapat tiga ratus ayat, dan jika ia tidak mengetahui dengan baik keduanya, maka hendaknya ia membaca surat al-Waqi’ah, Nun, al-Haqqah, dan surat al-Waqi’ah, yakni سَأَلَ سَائِلٌ (al-Ma’arij) dan al-Muddatsir,

فَإِنْ لَمْ يُحْسِنْهُنَّ فَلْيَقْرَأْ سُوْرَةَ الطَّارِقِ إِلَى خَاتِمَةِ الْقُرْآنِ، فَإِنَّهَا ثَلَاثَمِائَةِ آيَةٍ، فَإِنْ قَرَأَ مِقْدَارَ أَلْفِ آيَةٍ كَانَ أَحْسَنَ، وَأَكْمَلَ لِلْفَضْلِ،

Jika ia tidak mengetahui dengan baik surat-surat itu, hendaknya ia membaca surat ath-Thariq hingga akhir Al-Qur’an, karena sesungguhnya itu (berjumlah) tiga ratus ayat, jika ia membaca seukuran seribu ayat, maka terbukti itu lebih baik, dan lebih sempurna bagi keutamaan,

وَكُتِبَ لَهُ قِنْطَارٌ مِنَ الْأَجْرِ، وَكُتِبَ مِنَ الْقَانِتِيْنَ وَذٰلِكَ مِنْ سُوْرَةِ ﴿تَبَارَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُ [الملك: 1] إِلَى خَاتِمَةِ الْقُرْآنِ،

dan pasti akan ditulis baginya satu kuintal pahala, dan pasti akan ditulis sebagai orang-orang yang taat, dan itu adalah dari surat ****Maha Suci Allah yang di dalam kuasa-Nyalah segala kerajaan﴿ [Al-Mulk: 1] hingga akhir Al-Qur’an,

فَإِنْ لَمْ يُحْسِنْهَا فَلْيَقْرَأْ مِائَتَيْنِ وَخَمْسِيْنَ مَرَّةً ﴿قُلْ هُوَ اللّٰهُ أَحَدٌ [الإخلاص: 1] فَإِنَّ مَجْمُوْعَهَا أَلْفُ آيَةٍ أَيْ وَذٰلِكَ مَعَ الْبَسْمَلَةِ،

maka jika ia tidak mengetahui dengan baik surat tersebut, hendaknya ia membaca dua ratus lima puluh kali Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa﴿ [Al-Ikhlas: 1] karena sesungguhnya jumlah keseluruhannya adalah seribu ayat, yakni itu beserta basmalah,

وَيَنْبَغِيْ أَنْ لَا يَدَعَ قِرَاءَةَ أَرْبَعِ سُوَرٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ ﴿الۤمّۤۗ تَنْزِيْلُ [السجدة: 1] وَسُوْرَةِ يس, وَحم, الدُّخَانِ ـ وَتَبَارَكَ،

dan seyogyanya ia tidak meninggalkan membaca empat surat setiap malam: ****Alif Lam Mim. Tanzil﴿ [As-Sajdah: 1], surat Yasin, Ha Mim ad-Dukhan, dan Tabarak (al-Mulk),

وَإِنْ قَرَأَ مَعَهَا سُوْرَةَ الْمُزَّمِّلِ وَالْوَاقِعَةِ كَانَ أَحْسَنَ. كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنَامُ حَتَّى يَقْرَأَ السَّجْدَةَ وَتَبَارَكَ الْمُلْكُ

dan jika ia membaca bersamanya surat al-Muzzammil dan al-Waqi’ah, maka terbukti itu lebih baik. Terbukti Nabi ﷺ tidak tidur hingga beliau membaca surat as-Sajdah dan Tabarak al-Mulk (al-Mulk).

وَفِيْ خَبَرٍ آخَرَ حَتَّى يَقْرَأَ سُوْرَةَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ ـ وَالزُّمَرِ، وَفِيْ خَبَرٍ آخَرَ حَتَّى يَقْرَأَ الْمُسَبِّحَاتِ، وَيُقَالُ فِيْهَا آيَةٌ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ آيَةٍ.

Dan dalam riwayat lain: hingga beliau membaca surat Bani Israil (al-Isra) dan az-Zumar, dan dalam riwayat lain: hingga beliau membaca al-Musabbihat, dan dikatakan di dalamnya ada satu ayat yang lebih utama dari seratus ribu ayat.

Catatan Kitab Tanqihul Qoul Bab 8
    
1.

surat musabbihat yakni adalah surat-surat yang diawali dengan tasbih: Al-Isra, Al-Hadid, Al-Hashr, As-Saff, Al-Jumu‘ah, At-Taghabun, Al-A‘la