Terjemah Kitab Tanqihul Qoul Bab ke 1 | Keutamaan Ilmu Dan Ulama
Nama kitab | : | Tanqihul Qoul |
Judul kitab Arab | : | تنقيح القول الحثيث |
Judul terjemah | : | Terjemah Kitab Tanqihul Qoul |
Mata Pelajaran | : | Hadits, Keutamaan Amal |
Musonif | : | Syekh Nawawi al-Bantani |
Nama Arab | : | الشيخ محمد بن عمر النووي البنتني |
Lahir | : | 813 Masehi; 1230 H, Tanara, Banten, Indonesia |
Wafat | : | 1897 M; 1316 H, Pemakaman Ma'la Makkah Al-Mukarramah, w. 672 H / 22 Februari 1274 M |
Penerjemah | : | Ahsan Dasuki |

﴿اَلْبَابُ الْأَوَّلُ فِى فَضِيْلَةِ الْعِلْمِ وَالْعُلَمَاءِ﴾
Bab Yang Pertama Tentang Keutamaan Ilmu Dan Ulama
Dalil Dari Al-Quran Tentang Keutamaan Ilmu
قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى - شَهِدَ اللّٰهُ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
Telah berfirman Allāh Ta’ala - Allāh bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan (mereka bersaksi atas keesaan Allah)
فَانْظُرْ كَيْفَ بَدَأَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِالْمَلَائِكَةِ وَثَلَّثَ بِأَهْلِ الْعِلْمِ وَنَاهِيكَ بِهٰذَا شَرَفًا وَفَضْلًا
maka lihatlah bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan diri-Nya sendiri, kedua dengan para malaikat, dan ketiga dengan ahli ilmu, dan cukuplah untukmu dengan ini sebagai suatu kemuliaan dan keutamaan.
Hadits 1: Keutamaan menuntut ilmu dan menghormati ulama
(قَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ) وَاسْمُهُ عَبْدُاللّٰهِ وَكَانَ صَاحِبَ سِرِّ رَسُولِ اللّٰهِ وَوِسَادِهُ وَنَعْلَيْهِ وَطَهُورِهِ فِى السَّفَرِ وَكَانَ خَفِيفَ اللَّحْمِ قَصِيرًا جِدًّا نَحْوَ ذِرَاعٍ شَدِيدَ الْأُدْمَةِ
(Telah bersabda Nabi ﷺ kepada Ibnu Mas'ud radhiyallāhu 'anhu) dan namanya adalah Abdullah, dan terbukti dia adalah sahabat rahasia Rasulullāh, sahabat bantalnya, sahabat kedua sandalnya, dan sahabat alat bersucinya saat bepergian, dan dia adalah orang yang kurus, sangat pendek sekitar satu hasta, dan kulitnya sangat sawo matang.
Catatan Kitab Tanqihul Qoul Tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama1.Yakni Ibnu Mas'ud adalah sahabat yang dipercaya untuk memegang rahasia Rasulullah. dan ia adalah sahabat yang menyediakan bantalnya rasulullah, menyediakan kedua sendalnya dan menyediakan alat bersuci Rasulullah saat bepergian.
وَكَانَ مِنْ أَجْوَدِ النَّاسِ ثَوْبًا وَأَطْيَبِ النَّاسِ رِيْحًا وَكَانَ دَقِيقَ السَّاقَيْنِ أَخَذَ يَجْتَنِي سِوَا كًا مِنَ الْأَرَاكِ فَجَعَلَتِ الرِّيحُ تَكْفَؤُهُ فَضَحِكَ الْقَوْمُ مِنْهُ
Dan terbukti dia itu termasuk orang yang paling bagus pakaiannya di antara manusia dan paling harum baunya di antara manusia, dan terbukti dia adalah orang yang kecil kedua betisnya. Suatu ketika dia mengambil siwak dari pohon arak, lalu angin berhembus hingga ia hampir terjatuh, maka orang-orang tertawa karenanya.
فَقَالَ رَسُولُ اللّٰهِ ﷺ لِمَ تَضْحَكُونَ فَقَالُوا يَارَسُولَ اللّٰهِ مِنْ دِقَّةِ سَاقَيْهِ فَقَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُمَا فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ أُحُدٍ
Maka bersabda Rasulullāh ﷺ, “Mengapa kalian tertawa?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullāh, (kami tertawa) karena kecil kedua betisnya.” Maka Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada pada kekuasaannya, sungguh kedua betisnya di timbangan (Mizan) itu lebih berat daripada gunung Uhud.”
وَكَانَ هُوَ كَثِيرَ الْوُلُوجِ عَلَيْهِ ﷺ وَيَمْشِي مَعَهُ وَأَمَامَهُ بِالْعَصَا وَيَسْتُرُهُ إِذَا اغْتَسَلَ وَيُوقِظُهُ إِذَا نَامَ وَيُلْبِسُهُ نَعْلَيْهِ إِذَا قَامَ فَاذَا جَلَسَ أَدْخَلَهُمَا فِى ذِرَاعَيْهِ
Dan terbukti dia adalah orang yang sering masuk menemui Rasulullah ﷺ, sering berjalan bersamanya dan sering berjalan di depannya dengan tongkat, menutupinya ketika beliau mandi, membangunkannya ketika beliau tidur, dan memakaikan kedua sandalnya ketika beliau berdiri, dan apabila beliau duduk, dia memasukkan kedua sandal tersebut ke dalam kedua lengannya.
(يَاابْنَ مَسْعُودٍ جُلُوسُكَ سَاعَةً) أَىْ مِنَ الزَّمَانِ لَيْلًا كَانَ أَوْنَهَارًا (فِى مَجْلِسِ الْعِلْمِ) وَفِى لَفْظٍ فِى حَلْقَةِ الْعَالِمِ
(Wahai Ibnu Mas'ud, dudukmu sesaat) yakni sebagian dari waktu, baik malam maupun siang (di majelis ilmu) dan dalam lafadz lain di halaqah orang alim.
(لَاتَمَسُّ) بِفَتْحِ الْمِيمِ (قَلَمًا وَلَاتَكْتُبُ حَرْفًا خَيْرٌلَكَ مِنْ عِتْقِ) أَىْ إِعْتَاقِ (أَلْفِ رَقَبَةٍ) أَىْ عَبْدٍ أَوْأَمَةٍ
(Engkau tidak menyentuh) dengan fathah pada huruf mim (pena dan tidak menulis satu huruf pun, itu lebih baik bagimu daripada memerdekakan) yakni membebaskan (seribu budak) yaitu budak laki-laki atau perempuan.
(وَنَظَرُكَ إِلَىٰ وَجْهِ الْعَالِمِ) أَىْ بِنَظَرِ الْمَحَبَّةِ (خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَلْفِ فَرَسٍ تَصَدَّقْتَ بِهَا فِى سَبِيلِ اللّٰهِ) أَىْ فِى جِهَادِ الْكُفَّارِ لِاِعْلَاءِ دِينِ اللّٰهِ تَعَالَىٰ
(Dan pandanganmu kepada wajah orang alim) yakni dengan pandangan cinta (itu lebih baik bagimu daripada seribu kuda yang engkau sedekahkan kuda tersebut di jalan Allāh) yakni dalam jihad melawan orang-orang kafir untuk meninggikan agama Allāh Ta’ala.
(وَسَلَامُكَ عَلَى الْعَالِمِ خَيْرٌلَكَ مِنْ عِبَادَةِ أَلْفِ سَنَةٍ) كَذَا ذَكَرَهُ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ فِى الدُّرَّةِ الْيَتِيمَةِ
(Dan ucapan salammu kepada orang alim itu lebih baik bagimu daripada ibadah seribu tahun) demikian telah menyebutkannya Al-Hafizh Al-Mundziri dalam kitab Ad-Durrah Al-Yatimah.
وَعَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللّٰهِ يَقُولُ [مَنْ مَشَى إِلَىٰ حَلْقَةِ عَالِمٍ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ مِائَةُ حَسَنَةٍ
Dan dari Umar bin Khattab, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullāh bersabda, [Barangsiapa berjalan menuju halaqah (majelis) orang alim, maka baginya untuk setiap langkah ada seratus kebaikan.”
فَاِذَا جَلَسَ عِنْدَهُ وَاسْتَمَعَ مَا يَقُولُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ كَلِمَةٍ حَسَنَةٌ] كَذَا ذَكَرَهُ النَّوَوِيُّ فِى رِيَاضِ الصَّالِحِينَ
Apabila dia duduk di sisinya dan mendengarkan apa yang ia katakan, maka baginya untuk setiap kata ada satu kebaikan]." Demikianlah telah menyebutkannya Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin.
Hadits 2: Keutamaan faqih dibanding ahli ibadah
(وَقَالَ ﷺ فَقِيهٌ) أَىْ عَالِمٌ بِعِلْمِ الشَّرِيعَةِ (وَاحِدٌ مُتَوَرِّعٌ) أَىْ مُتَكَلِّفٌ بِتَرْكِ الْمَحَارِمِ فَهُوَ الْمُبْتَدِى فِى ذٰلِكَ
(Telah bersabda Nabi ﷺ seorang ahli fikih) yakni seorang yang alim dengan ilmu syariat (yang satu lagi berusaha wara') yakni yang berusaha keras untuk meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan, maka dia adalah pemula dalam hal wara'
(أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ مُجْتَهِدٍ) أَىْ فِى الْعِبَادَةِ (جَاهِلٍ) أَيْ بِمَا يَطْرَأُ عَلَيْهَا (وَرِعٍ) أَىْ تَارِكٍ لِلْمَحَارِمِ فَهُوَ الْمُنْتَهَى فِى الْكَفِّ عَنِ الْمَحَارِمِ
(itu lebih berat bagi setan daripada seribu ahli ibadah yang bersungguh-sungguh) yakni dalam beribadah (yang bodoh) yakni dengan apa yang datang padanya (yang wara') yakni yang meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan, maka dia adalah puncak dalam menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan.
وَذٰلِكَ لِأَنَّ الشَّيْطَانَ كُلَّمَا فَتَحَ بَابًا عَلَى النَّاسِ مِنَ الْأَهْوَاءِ وَزَيَّنَ الشَّهَوَاتِ فِى قُلُوبِهِمْ بَيَّنَ الْفَقِيهُ الْعَارِفُ مَكَايِدَهُ فَيَسُدُّ ذٰلِكَ الْبَابَ وَيَجْعَلُهُ خَائِبًا خَاسِرًا
Hal itu karena setiap kali setan membuka pintu bagi manusia dari hawa nafsu dan menghiasi syahwat di hati mereka, maka seorang ahli fikih yang arif akan menjelaskan tipu dayanya, lalu ia menutup pintu itu dan ia menjadikan setan kecewa dan merugi.
بِخِلَافِ الْعَابِدِ فَإِنَّهُ رُبَّمَا يَشْتَغِلُ بِالْعِبَادَةِ وَهُوَ فِى حَبَائِلِ الشَّيْطَانِ وَلَا يَدْرِى أَفَادَ ذٰلِكَ الْعَزِيزِىُّ نَقْلًا عَنِ الطِّيبِيِّ
Berbeda dengan ahli ibadah, karena sesungguhnya ia terkadang sibuk beribadah padahal ia berada dalam jeratan-jeratan setan dan ia tidak menyadarinya. Telah menyampaikan tentang hal ini Syekh Al-Azizi seraya menukil dari Syekh At-Thibi.
وَفِى رِوَايَةِ التِّرْمِذِيِّ وَابْنِ مَاجَهْ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ [فَقِيهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ]
Dan dalam riwayat Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, [Seorang ahli fikih itu lebih berat bagi setan daripada seribu ahli ibadah].
Hadits 3: Keutamaan orang yang mengamalkan ilmu
(وَقَالَ ﷺ فَضْلُ الْعَالِمِ) أَىِ الْعَامِلِ بِعِلْمِهِ (عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَىٰ سَائِرِ الْكَوَاكِبِ)
(Dan telah bersabda Nabi ﷺ, "Keutamaan orang alim) yakni yang mengamalkan ilmunya (atas ahli ibadah itu seperti keutamaan bulan di malam purnama atas seluruh bintang-bintang.")
الْمُرَادُ بِالْفَضْلِ كَثْرَةُ الثَّوَابِ الشَّامِلِ لِمَا يُعْطِيهِ اللّٰهُ الْعَبْدَ فِى الْآخِرَةِ مِنْ دَرَجَاتِ الْجَنَّةِ وَلَذَّاتِهَا وَمَآكِلِهَا وَمَشَارِبِهَا وَمَنَاكِحِهَا
Yang dimaksud dengan keutamaan adalah banyaknya pahala yang mencakup terhadap apa yang Allāh berikan pahala tersebut kepada hamba di akhirat berupa derajat-derajat surga, kelezatannya, makanan-makanannya, minuman-minumannya, dan pernikahan-pernikahannya,
وَمَا يُعْطِيهِ اللّٰهُ تَعَالَىٰ لِلْعَبْدِ مِنْ مَقَامَاتِ الْقُرْبِ وَلَذَّةِ النَّظَرِ إِلَيْهِ وَسِمَاعِ كَلَامِهِ رَوَاهُ أَبُو نُعَيْمٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ
dan apa yang Allāh Ta’ala berikan pahala tersebut kepada hamba berupa maqom mqaom kedekatan, kelezatan memandang-Nya, dan mendengar firman-Nya. Telah meriwayatkannya Abu Nu’aim dari Mu’adz bin Jabal.
وَفِى رِوَايَةٍ لِلْحَارِثِ بْنِ أَبِى أُسَامَةَ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْهُ ﷺ [فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَىٰ أُمَّتِي]
Dan dalam riwayat milik Imam Al-Harits bin Abi Usamah dari Abu Sa’id Al-Khudri dari Nabi ﷺ, [Keutamaan orang alim atas ahli ibadah itu seperti keutamaanku atas umatku].
وَفِى رِوَايَةٍ لِلتِّرْمِذِيِّ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ [فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَىٰ أَدْنَاكُمْ] أَيْ نِسْبَةُ شَرَفِ الْعَالِمِ إِلَىٰ شَرَفِ الْعَابِدِ كَنِسْبَةِ شَرَفِ النَّبِيِّ إِلَىٰ أَدْنَىٰ شَرَفِ الصَّحَابَةِ
Dan dalam riwayat milik Imam At-Tirmidzi dari Abu Umamah, [Keutamaan orang alim atas ahli ibadah itu seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian], yakni perbandingan kemuliaan orang alim dengan kemuliaan ahli ibadah adalah seperti perbandingan kemuliaan Nabi dengan kemuliaan sahabat yang paling rendah.
قَالَ الْغَزَالِيُّ فَانْظُرْ كَيْفَ جَعَلَ الْعِلْمَ مُقَارِنًا لِدَرَجَةِ النُّبُوَّةِ وَكَيْفَ حَطَّ رُتْبَةَ الْعَمَلِ الْمُجَرَّدِ عَنِ الْعِلْمِ وَإِنْ كَانَ الْعَابِدُ لَا يَخْلُو عَنْ عِلْمٍ بِالْعِبَادَةِ الَّتِي يُوَاظِبُ عَلَيْهَا وَلَوْلَاهُ لَمْ تَكُنْ عِبَادَةً
Telah berkata Imam Al-Ghazali, “Maka lihatlah bagaimana Nabi menjadikan ilmu itu sebanding dengan derajat kenabian, dan bagaimana Nabi merendahkan tingkatan amal yang terlepas dari ilmu, meskipun terbukti seorang ahli ibadah tidak terlepas dari ilmu tentang ibadah yang ia tekuni ibadah tersebut, dan jika tanpa ilmu maka itu tidak menjadi ibadah.”
Hadits 4: Keutamaan perjalanan mencari ilmu
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ انْتَقَلَ) أَيْ تَحَوَّلَ مَاشِيًا أَوْ رَاكِبًا مِنْ مَحَلٍّ إِلَىٰ مَحَلٍّ آخَرَ (لِيَتَعَلَّمَ عِلْمًا) مِنَ الْعُلُومِ الشَّرْعِيَّةِ
(Telah bersabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa berpindah) yakni berpindah dengan berjalan kaki atau berkendara dari satu tempat ke tempat lain (untuk mempelajari suatu ilmu) dari ilmu-ilmu syariat
(غُفِرَ لَهُ) أَيْ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ الصَّغَائِرِ (قَبْلَ أَنْ يَخْطُوَ) أَيْ خُطْوَةً مِنْ مَوْضِعِهِ إِذَا أَرَادَ بِذٰلِكَ وَجْهَ اللّٰهِ تَعَالَىٰ. رَوَاهُ الشِّيرَازِيُّ عَنْ عَائِشَةَ.
(maka pasti akan diampuni baginya) yakni apa yang telah lalu dari dosa-dosanya yang kecil (sebelum ia melangkah) yakni satu langkah dari tempatnya, apabila ia menghendaki dengan mencari ilmu pada keridhaan Allāh Ta’ala. Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Asy-Syirazi dari Siti Aisyah.
Hadits 5: Muliakan ulama sebagai pewaris para nabi
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْرِمُوا الْعُلَمَاءَ) أَيْ بِعُلُومِ الشَّرْعِ الْعَامِلِينَ بِأَنْ تُعَامِلُوهُمْ بِالْإِجْلَالِ وَالْإِحْسَانِ إِلَيْهِمْ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ.
(Telah bersabda Nabi ﷺ: "Muliakanlah para ulama) yakni yang alim dengan ilmu ilmu syariat lagi mengamalkan, dengan cara kalian memperlakukan mereka dengan kemuliaan dan berbuat baik kepada mereka dengan ucapan dan perbuatan.
(فَإِنَّهُمْ عِنْدَ اللّٰهِ كُرَمَاءُ) أَيْ مُخْتَارُونَ (مُكَرَّمُونَ) أَيْ عِنْدَ الْمَلَائِكَةِ.
(karena sesungguhnya mereka di sisi Allāh adalah orang-orang yang mulia) yakni orang-orang pilihan (yang dimuliakan) yakni di sisi para malaikat.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللّٰهِ ﷺ يَقُولُ: [إِذَا تَحَدَّثَ الْعَالِمُ فِي مَجْلِسِهِ بِالْعِلْمِ وَلَمْ يَدْخُلْهُ هَزْلٌ وَلَا لَغْوٌ،
Dan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullāh ﷺ bersabda: [Apabila seorang alim berbicara di majelisnya dengan ilmu dan tidak masuk di dalamnya candaan dan perkataan sia-sia,
خَلَقَ اللّٰهُ تَعَالَى مِنْ كُلِّ كَلِمَةٍ طَلَعَتْ مِنْ فَمِهِ مَلَكًا يَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لَهُ وَلِسَامِعِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَإِذَا انْصَرَفُوا اِنْصَرَفُوْا مَغْفُورِينَ لَهُمْ]
maka Allāh Ta’ala menciptakan dari setiap kata yang keluar dari mulutnya seorang malaikat yang akan memohonkan ampunan kepada Allāh untuknya dan untuk orang yang mendengarkannya hingga hari kiamat. Apabila mereka bubar, maka mereka bubar dalam keadaan diampuni.]
ثُمَّ قَالَ: [هُمُ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ].
Kemudian beliau bersabda: [Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka dengan sebab mereka menjadi teman duduk para ulama].
Hadits 6: Pandangan kepada ulama adalah ibadah
(وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَظَرَ إِلَىٰ وَجْهِ الْعَالِمِ نَظْرَةً) أَيْ وَاحِدَةً (فَفَرِحَ بِهَا) أَيْ بِتِلْكَ النَّظْرَةِ (خَلَقَ اللّٰهُ تَعَالَىٰ مِنْ تِلْكَ النَّظْرَةِ مَلَكًا يَسْتَغْفِرُ) أَيْ ذٰلِكَ الْمَلَكُ (لَهُ) أَيِ النَّاظِرِ (إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ)ا
(Telah bersabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa memandang wajah orang alim dengan satu pandangan) yakni satu kali (lalu ia merasa senang dengannya) yakni dengan pandangan tersebut (maka Allāh Ta'ala pasti akan menciptakan dari pandangan tersebut seorang malaikat yang akan memohonkan ampunan) yakni malaikat tersebut (untuknya) yakni bagi orang yang memandang (hingga hari kiamat).
وَكَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَقُولُ: النَّظَرُ إِلَىٰ وَجْهِ الْعَالِمِ عِبَادَةٌ وَنُورٌ فِي النَّظَرِ وَنُورٌ فِي الْقَلْبِ، فَإِذَا جَلَسَ الْعَالِمُ لِلْعِلْمِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ مَسْأَلَةٍ قَصْرٌ فِي الْجَنَّةِ، وَلِلْعَامِلِ بِهَا مِثْلُ ذٰلِكَ كَذَا فِي رِيَاضِ الصَّالِحِينَ.
Dan terbukti Ali bin Abi Thalib berkata: “Memandang wajah orang alim adalah ibadah, cahaya dalam pandangan, dan cahaya dalam hati, maka apabila orang alim duduk untuk (mengajarkan) ilmu, maka baginya untuk setiap masalah (yang diajarkan) sebuah istana di surga, dan bagi orang yang mengamalkannya (mendapatkan) seperti itu.” Demikianlah dalam kitab Riyadhus Shalihin.
Hadits 7: Menghormati ulama adalah menghormati Nabi ﷺ
(وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَكْرَمَ عَالِمًا فَقَدْ أَكْرَمَنِي) أَيْ لِأَنَّهُ حَبِيبِي (وَمَنْ أَكْرَمَنِي فَقَدْ أَكْرَمَ اللّٰهَ) أَيْ لِأَنِّي حَبِيبُهُ (وَمَنْ أَكْرَمَ اللّٰهَ فَمَأْوَاهُ الْجَنَّةُ) أَيْ لِأَنَّهَا مَحَالُّ سُكْنَى أَحِبَّاءِ اللّٰهِ تَعَالَى
(Telah bersabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa memuliakan orang alim, maka sungguh ia telah memuliakanku) yakni karena orang alim adalah kekasihku (dan barangsiapa memuliakanku, maka sungguh ia telah memuliakan Allāh) yakni karena aku adalah kekasih Allah (dan barangsiapa memuliakan Allāh, maka tempat kembalinya adalah surga) yakni karena surga adalah tempat tinggal para kekasih Allāh Ta’ala.
وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [أَكْرِمُوا الْعُلَمَاءَ فَإِنَّهُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، فَمَنْ أَكْرَمَهُمْ فَقَدْ أَكْرَمَ اللّٰهَ وَرَسُولَهُ] رَوَاهُ الْخَطِيبُ الْبَغْدَادِيُّ عَنْ جَابِرٍ.
Telah bersabda Nabi ﷺ: [Muliakanlah para ulama, karena sesungguhnya mereka adalah pewaris para nabi. Barangsiapa memuliakan mereka, maka sungguh ia telah memuliakan Allāh dan Rasul-Nya]. Telah meriwayatkan pada hadits ini Imam Al-Khatib Al-Baghdadi dari Jabir.
Hadits 8: Tidur orang alim lebih utama daripada ibadah orang bodoh
(وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَوْمُ الْعَالِمِ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ الْجَاهِلِ) أَيْ نَوْمُ الْعَالِمِ الَّذِي يُرَاعِي آدَابَ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ الْجَاهِلِ الَّذِي لَا يُسَلِّمُ آدَابَ الْعِبَادَةِ،
(Telah bersabda Nabi ﷺ: "Tidurnya orang alim itu lebih utama daripada ibadahnya orang bodoh") yakni tidurnya orang alim yang menjaga adab-adab ilmu itu lebih utama daripada ibadahnya orang bodoh yang tidak menjaga adab-adab ibadah,
وَفِي رِوَايَةٍ لِأَبِي نُعَيْمٍ عَنْ سَلْمَانَ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ [نَوْمٌ عَلَىٰ عِلْمٍ خَيْرٌ مِنْ صَلَاةٍ عَلَىٰ جَهْلٍ]، أَيْ لِأَنَّهُ قَدْ يَظُنُّ الْمُبْطِلَ مُصَحِّحًا وَالْمَمْنُوعَ جَائِزًا
Dan dalam riwayat milik Abu Nu’aim dari Salman dengan sanad yang lemah, [Tidur atas dasar ilmu itu lebih baik daripada shalat atas dasar kebodohan], yakni karena sesungguhnya orang bodoh terkadang menyangka perkara yang membatalkan itu sebagai perkara yang mengesahkan dan perkara yang dilarang itu sebagai perkara yang boleh.
كَمَا قَالَ ضِرَارُ بْنُ الْأَزْوَرِ الصَّحَابِيُّ مَنْ عَبَدَ اللّٰهَ بِجَهْلٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ.
Sebagaimana telah berkata Dhirar bin Al-Azwar seorang sahabat, “Barangsiapa menyembah Allāh dengan kebodohan, maka terbukti apa yang ia rusak itu lebih banyak daripada apa yang ia perbaiki.”
وَكَمَا قَالَ وَاثِلَةُ بْنُ الْأَسْقَعِ: الْمُتَعَبِّدُ بِغَيْرِ فِقْهٍ كَحِمَارِ الطَّاحُونِ.
Dan sebagaimana telah berkata Watsilah bin Al-Asqa’, “Orang yang beribadah tanpa ilmu fikih itu seperti keledai penggilingan.”
Hadits 9: Keutamaan mempelajari ilmu meskipun tanpa mengamalkan
(وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَعَلَّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ يَعْمَلُ بِهِ أَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ كَانَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَ أَلْفَ رَكْعَةٍ تَطَوُّعًا) وَهٰذَا يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ الْعِلْمَ أَشْرَفُ جَوْهَرًا مِنَ الْعِبَادَةِ، وَلٰكِنْ لَا بُدَّ لِلْعَبْدِ مِنَ الْعِبَادَةِ مَعَ الْعِلْمِ، وَإِلَّا كَانَ عِلْمُهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
(Telah bersabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa mempelajari satu bab dari ilmu, baik ia mengamalkannya atau tidak, maka terbukti itu lebih utama daripada ia shalat seribu rakaat sunnah") Dan ini menunjukkan bahwa ilmu itu lebih mulia substansinya daripada ibadah, akan tetapi haruslah bagi seorang hamba beribadah disertai dengan ilmu, jika tidak maka ilmunya akan menjadi debu yang beterbangan.
كَمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: [مَا مِنْ عَالِمٍ لَا يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ إِلَّا نَزَعَ اللّٰهُ رُوحَهُ عَلَىٰ غَيْرِ الشَّهَادَةِ، وَنَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ يَا فَاجِرُ خَسِرْتَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ]
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: [Tidak ada seorang alim pun yang tidak mengamalkan ilmunya kecuali Allāh akan mencabut ruhnya tidak di atas syahadat, dan akan menyeru kepadanya seorang penyeru dari langit, “Wahai orang durhaka, engkau telah merugi di dunia dan akhirat.”]
وَعَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: [إِنَّ الْعَالِمَ إِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِعِلْمِهِ لَعَنَهُ الْعِلْمُ مِنْ جَوْفِهِ، وَيَلْعَنُهُ كُلُّ شَيْءٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ،
Dan dari Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullāh ﷺ bersabda: [Sesungguhnya orang alim apabila tidak mengamalkan ilmunya, maka pasti ilmu akan melaknatnya dari dalam dirinya, dan akan melaknat kepadanya segala sesuatu yang matahari terbit atasnya,
وَتَكْتُبُ الْحَفَظَةُ كُلَّ يَوْمٍ خَتْمًا عَلَىٰ صَحِيفَتِهِ هٰذَا عَبْدٌ آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللّٰهِ يَا عَبْدَ اللّٰهِ يَا مُضَيِّعَ حُقُوقِ سَيِّدِهِ، يَا مَنْ لَا يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ عَلَيْكَ لَعْنَةُ اللّٰهِ،
dan para malaikat Hafazhah setiap hari akan menulis stempel di lembaran amalnya, “Ini adalah hamba yang putus asa dari rahmat Allāh, wahai hamba Allāh, wahai orang yang menyia-nyiakan hak-hak Tuannya, wahai orang yang tidak mengamalkan ilmunya, atasmu laknat Allāh.”
فَإِذَا مَاتَ نَزَعَ اللّٰهُ رُوحَهُ عَلَىٰ غَيْرِ الشَّهَادَةِ، وَيُحْرَمُ الْمَوْتَ عَلَى الْإِيمَانِ].
Maka apabila ia mati, Allāh akan mencabut ruhnya tidak di atas syahadat, dan ia diharamkan mati di atas keimanan].
Hadits 10: Keutamaan mengunjungi dan mendampingi ulama
(وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا زَارَنِي، وَمَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا صَافَحَنِي، وَمَنْ جَالَسَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا جَالَسَنِي فِي الدُّنْيَا، وَمَنْ جَالَسَنِي فِي الدُّنْيَا أَجْلَسْتُهُ مَعِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ)
(Telah bersabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa mengunjungi orang alim, maka seakan-akan ia telah mengunjungiku. Barangsiapa berjabat tangan dengan orang alim, maka seakan-akan ia telah berjabat tangan denganku. Barangsiapa duduk bersama orang alim, maka seakan-akan ia telah duduk bersamaku di dunia. Dan barangsiapa duduk bersamaku di dunia, maka aku akan mendudukkannya bersamaku di hari kiamat")
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: [مَنْ زَارَ عَالِمًا فَقَدْ زَارَنِي، وَمَنْ زَارَنِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي، وَكَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ أَجْرُ شَهِيدٍ]
Dan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullāh ﷺ bersabda: [Barangsiapa mengunjungi orang alim, maka sungguh ia telah mengunjungiku. Dan barangsiapa mengunjungiku, maka wajib baginya syafaatku, dan baginya untuk setiap langkah ada pahala seorang syahid].
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: [مَنْ زَارَ عَالِمًا ضَمِنْتُ لَهُ عَلَى اللّٰهِ الْجَنَّةَ]
Dan dari Abu Hurairah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullāh ﷺ bersabda: [Barangsiapa mengunjungi orang alim, maka aku pasti akan menjamin surga baginya atas (nama) Allāh].
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [مَنْ زَارَ عَالِمًا أَيْ فِي قَبْرِهِ ثُمَّ قَرَأَ عِنْدَهُ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللّٰهِ أَعْطَاهُ اللّٰهُ تَعَالَى بِعَدَدِ خُطُوَاتِهِ قُصُورًا فِي الْجَنَّةِ وَكَانَ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ قَرَأَهُ عَلَىٰ قَبْرِهِ قَصْرٌ فِي الْجَنَّةِ مِنْ ذَهَبٍ]، كَذَا فِي رِيَاضِ الصَّالِحِينَ.
Dan dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia berkata: Telah bersabda Rasulullāh ﷺ: [Barangsiapa mengunjungi orang alim, yakni di kuburnya, kemudian ia membaca di sisinya satu ayat dari kitab Allāh, maka Allāh Ta’ala akan memberi orang tersebut sebanyak jumlah langkahnya istana-istana di surga, dan baginya untuk setiap huruf yang ia baca di atas kuburnya ada sebuah istana di surga yang terbuat dari emas], demikianlah dalam kitab Riyadhus Shalihin.